BAB 28

Hola semuanya.. apa kabar? Wkwk asli baru bisa nulis lagi karna jadwal bener2 lagi padat merayap. Bahkan dari bulan kemarin. Bayangin aja. Satu bulan cuma dapet libur tiga. Mantul 😂

Ok lanjut aja yaa follow ig @indahmuladiatin

Jangan lupa vote dan komentar sebanyak2nya 🥰

Happy reading!

🌼🌼🌼

Usai masalah Herdian selesai, Raka kembali disambut dengan setumpuk pekerjaan. Akibat selama ini dirinya hanya bisa fokus pada masalah itu. Pekerjaan di luar kota sudah menunggu. Ayahnya sendiri kemarin memberikan surat tugas. Dirinya harus segera pergi ke Bengkulu.

Awalnya Raka menolak untuk mengajak Lyza meski gadis itu sekarang menjadi sekretarisnya, namun, gadis itu merengek ingin ikut. Padahal menurut Raka, perjalanan ini hanya akan membuat lelah. Dua hari yang akan menjadi hari yang super sibuk. Mana sempat jalan-jalan.

Pada akhirnya, masalahnya dengan Chika harus kembali tertunda. Dirinya harus menahan diri lebih lama. Karena masih ada urusan penting yang harus diselesaikan. Sejak awal, saat ayah mengamanahkan jabatan di perusahaan, dirinya sudah sadar, kepentingan pribadi tidak boleh mengganggu pekerjaan. Karena dalam perusahaan ini, ada banyak orang yang menggantungkan hidupnya.

Selama di Bengkulu, jadwal Raka dan Lyza benar-benar padat. Mereka bahkan sampai harus pulang larut. Tempat menginap mereka adalah rumah yang dulu sempat ditempati oleh bunda Fian dan mommy Stella. Rumah yang memiliki kenangan tersendiri.

Meski rumah ini sudah lama tidak dihuni, namun kebersihannya tetap terjaga karena ada orang-orang yang datang setiap hari untuk membersihkannya. Di beberapa titik rumah, ada figura berisi foto-foto Raka saat kecil, entah dengan bunda, mommy, atau dengan daddy Gavyn.

Di ruang tamu, ada foto keluarga. Bunda Fian duduk di samping Mommy Stella, di tengah keduanya Raka duduk manis, dengan senyum lucu. Dan di sisi samping mommy, ada Daddy Gavyn. Belum lagi ada foto-foto pernikahan daddy dan mommy.

Lyza seperti terlempar pada masa-masa itu. Rumah ini membuatnya merasa pulang. Meski tidak pernah menginjak tempatnya. Senyum di wajah wanita cantik itu membuatnya betah berlama-lama menatap figura.

Lelah seharian di kantor cabang itu hilang. Kantuk yang menyerang pun tidak dia hiraukan. Lyza hanya ingin duduk di sini, menatap setiap sudut rumah. Terlalu melankolis atau apapun itu, terserah. Dirinya hanya ingin istirahat sebentar dari kata kuat.

Raka sendiri pun tidak jauh berbeda. Di kamar yang dia huni, dirinya menatap langit-langit kamar. Saat itu, dirinya masih terlalu kecil hingga tidak bisa mengingat setiap detail kenangan di rumah ini. Namun, masuk ke dalam rumah membuatnya merasa dipeluk erat oleh kenangan itu.

Tok. Tok. Ketukan pintu membuat Raka menoleh. "Ya?"

"Belum tidur?" tanya Lyza.

Senyum Raka mengembang tipis. "Hm. Tidurlah, besok masih banyak yang harus kita kerjakan."

Di luar, Lyza tersenyum dan menyandarkan tubuhnya pada pintu yang masih tertutup. Baguslah Raka tidak membuka pintu itu, karena dia tidak ingin memperlihatkan wajah rapuhnya pada siapapun. "Bukankah rumah ini terasa nyaman?"

"Lumayan," jawab Raka singkat.

"Aku melihat banyak foto Mommy, apa kalian tinggal lama di sini?" tanya Lyza lagi. Masih berusaha mengatur suaranya agar tidak serak.

"Aku tidak ingat," jawab Raka. "Tapi sepertinya lumayan lama."

"Bagaimana rasanya," gumam Lyza. Pandangannya menelusuri area di sekitarnya. Itu bukan pertanyaan untuk Raka. "Pasti menyenangkan bukan? kalau saat ini Mommy masih ada denganku, apa mungkin aku bisa hidup tenang di sini. Aku, Mom, Kenneth."

Raka terdiam, dihirup napasnya dalam-dalam lalu dihembutkan secara perlahan. Dirinya beranjak menuju pintu. Punggung tegapnya bersandar pada pintu. "Kalau Mom masih ada."

"Kalau Mom masih ada di sini, percayalah, kamu, Kenneth, dan Daddy akan jadi salah satu keluarga paling bahagia. Mom," ucap Raka terhenti. "Mom akan mengomelimu panjang lebar karena kamu yang keras kepala, percayalah, saat dia kesal, dia akan lebih menyeramkan daripada Bunda."

Kali ini Raka dan Lyza terkekeh bersama. Tawa yang getir. Kali ini Lyza tidak bisa menyembunyikan isaknya. Dirinya duduk dan memeluk erat kedua kakinya.

Raka hanya diam mendengarkan tangis itu dari balik pintu pemisah. Matanya ikut memanas. Kepalanya ikut bersandar pada pintu. "Lyza."

"Emm?" jawabnya di sela isak.

"Maaf," ucap Raka tulus. Maaf jika dirinya tidak bisa membantu apapun. Maaf karena bukannya menyembuhkan, dirinya justru menambah luka baru. Maaf karena dirinya tidak bisa menepati janji untuk terus menjaga gadis ini.

Lyza mendengus samar, meski hanya satu katanya. Dirinya memahami maknanya sangat luas. Dan dia pun mengerti bahwa Raka tidak pernah bermaksud menyakitinya. "Sudah malam, aku harus tidur."

"Ya."

"Terima kasih," ucap Lyza. "Terima kasih sudah menemaniku sebentar."

🌼🌼🌼

Pagi buta, saat matahari belum benar-benar muncul. Raka dan Lyza sudah siap di meja makan. Keduanya duduk sambil menikmati sarapan masing-masing. Tidak ada pembahasan soal semalam. Keduanya pun tidak berniat membahasnya.

"Oh iya, kulihat taman di samping cukup luas," ucap Lyza.

Raka mengangguk, setuju. Dilihat dari foto pernikahan mommy dan daddy. Sepertinya pesta itu diselenggarakan di taman itu. Sayang sekali rumah ini dikosongkan. Tapi dirinya paham kenapa daddy tidak ingin rumah ini disewakan apalagi dijual.

Bahkan setiap dekorasinya mungkin tidak pernah dirubah sejak rumah ini ditinggalkan. Rumah ini pasti memiliki cerita dan kenangan tersendiri untuk daddy. Dan sudah pasti akan sangat dijaga.

"Rumah ini benar-benar nyaman," gumam Lyza dengan senyum cerah. "Kalau aku tinggal di sini, bagaimana?"

Raka mengerutkan kening dengan senyum geli. "Sendiri? Jangan bercanda, kamu tidak akan betah."

"Kenapa?" tanya Lyza.

"Di sini jauh dari pusat kota," jawab Raka santai. Tentu saja Lyza tidak bisa. Lyza bukan tipe orang yang bisa berdiam di rumah. Gadis ini menyukai hiruk pikuk kota. Dengan gedung tinggi-tinggi. Kehidupan yang padat. Mall-mall besar.

Lyza ingin membuka mulutnya untuk melawan, namun itu fakta. Jadi dirinya hanya cemberut kesal dan melanjutkan sarapannya. Kenapa sih pria ini sangat mengenalinya.

🌼🌼🌼

Beberapa program kerja yang Raka tinjau langsung hari ini berjalan lancar, hingga senja kembali datang, perkajaan itu sudah beres. Hal yang sengaja dia lakukan agar memiliki sedikit waktu untuk mengajak Lyza pergi.

Di parkiran, satu orang menunggu di depan mobil. Langsung diberikan kunci itu pada Raka yang meminta disiapkan mobil untuk jalan-jalan sebentar.

Raka membuka pintu bagian kemudi. "Tolong persiapkan tiket pesawat untuk besok pagi."

"Wow. So.. Whe're we going?" tanya Lyza, semangat.

Raka mendengus pelan dan membuka bagian atas mobilnya agar bisa menikmati udara sore hari. Dikerdarai mobil itu dengan kecepatan sedang. Bukan ke arah rumah yang mereka tinggali, namun Lyza tidak banyak berkomentar. Gadis ini duduk dengan manis, menatap antusias jalan-jalan yang mereka lewati.

Hingga mereka tiba di jalanan panjang tepi pantai. Hembusan angin segar itu mengusap lembut wajahnya. Lyza bersorak senang dan berdiri dari kursinya menikmati angin segar itu. "Thank you, Mr. Raka. Or.. Mr. Rajendra?"

Raka hanya mendengus pelan, dan memelankan laju mobilnya.

Lyza yang sudah tidak sabar langsung turun dan berlari ke tepi pantai saat mobil Raka berhenti. Dirinya menendang-mendang air yang mengenai kakinya. Rasanya lama sekali dia tidak bisa menikmati waktu untuk bersenang-senang.

"Dasar anak kecil."

Lyza menoleh, agak gemas dengan tanggapan Raka. Dirinya menoleh dan berjalan mundur. "Jadi kita bisa berlibur sebentar?"

"Hm. Nikmatilah waktumu." Raka memperhatikan wajah itu. Kulit putih Lyza bersemu kemerahan dengan senyum manis. Rambut panjang itu berterbangan karena angin. Tidak perlu diulang berkali-kali. Lyza memang gadis yang sangat cantik. Ketika wajah itu serius, ketegasannya akan mengingatkannya pada mommy Stella.

Lyza menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Masih sambil berjalan mundur, menghadap Raka. "Aku rasa, kalau Mommy masih ada, dia bukan hanya akan mengomel panjang lebar soal aku."

Melihat Raka mengerutkan keningnya, Lyza terkekeh pelan dan menunjuk wajah Raka. "Dia juga akan mengomelimu, ingin lihat caranya dia marah?"

Raka menggulung kemejanya hingga siku, dan bersedekap. Menunggu Lyza mencontohkan cara mommy.

Lyza berdeham mengatur suaranya. Dilirik Raka yang menatap serius ke arahnya. "Lihat yaa!" "Raka! Astaga, kamu lagi-lagi membuat Bundamu kesal? Mommy kan sudah bilang, kamu itu jangan terlalu cuek, kalau sikapmu begitu, bukan hanya Bunda yang kesal, Mom juga akan kesal. Dan satu lagi, berhenti mengganggu adikmu, kamu ini cuek sekali pada orang tapi senang menggoda Lyza sampai menangis. Dasar anak nakal."

Raka terdiam dan satu sudut bibirnya terangkat. Astaga, dirinya ingat omelan itu. Saat itu dia diomeli karena lagi-lagi membuat orang menangis karena sikap cueknya di sekolah. Lyza ingat itu, dan gadis ini mempraktikan cara mommy marah dengan sangat baik.

Tanpa sadar, Raka tertawa. Tawa yang memang sangat jarang Lyza lihat. Di tempatnya berdiri, Lyza hanya bisa menikmati pemandangan itu. Raka yang hangat. Raka yang selalu melindunginya.

"Aku mirip kan dengan Mommy?" tanya Lyza.

Raka mengangguk dan mengacungkan jempolnya. "Sepertinya kamu lebih cocok menjadi artis."

"Hey aku ini model, kamu lupa itu?" tanya Lyza geli.

"Tidak ingin kembali jadi model?" tanya Raka.

Lyza tersenyum dan menatap hamparan langit berwarna jingga di hadapannya. Itukah mimpinya, selama ini dia hanya mencari kegiatan agar waktunya padat, padat sepadat-padatnya agar tidak punya waktu untuk memikirkan semua masalahnya.

"Aku terlalu cantik bukan, untuk bekerja di kantormu?" kekeh Lyza.

Raka menggelengkan kepalanya dengan senyum geli. Dirinya ikut menatap lautan luas itu hingga matahari benar-benar tenggelam. "Kamu lapar?"

"Yaa, bisa kita cari restoran enak?" Lyza mengusap perutnya. "Aku pasti bisa menghabiskan banyak makanan."

"Ayo."

Lyza merentangkan tangannya lebar-lebar. "Kakiku lelah, jadi tolong gendong aku." Senyumnya mengembang lebar dengan kedua alis terangkat.

"Cih, dasar bayi besar." Raka berlutut, menawarkan punggungnya. "Kalau punggungku sakit, kamu harus tanggung jawab."

"Aku kan seringan kapas," balas Lyza sekenanya. Disandarkan dagunya pada bahu Raka. "Ternyata bekerja di kantor melelahkan ya. Kamu harus membayarku dengan adil ya Bang."

"Oh iya, ingat. Gajiku itu besar, loh. Kamu mempekerjaan seorang model profesional di London untuk menjadi sekretaris. Belum lagi jadwalmu padat sekali, aku harus berdiri lama, berjalan jauh. Betisku sekarang jadi besar, itu aset penting, kaki jenjangku kan tidak didapat secara gratis," oceh Lyza panjang lebar. Dan tentu saja tidak penting.

"Oh ya?" balas Raka pura-pura serius. "Kalau begitu, gajimu akan dipotong."

"Kenapa?" tanya Lyza.

"Karena hari ini kamu menggunakan fasilitas kantor untuk jalan-jalan. Mobil itu kalau disewakan seharga lebih dari lima belas juta. Ditambah kamu sekarang memerintah bosmu untuk menggendongmu," balas Raka. "Hm, gajimu bulan ini tidak akan cukup."

Lyza mengerjapkan matanya dan menggelengkan kepala, takjub. Dipukul punggung Raka. "Dasar! Mana bisa begitu."

🌼🌼🌼

Rumah yang disewa oleh Chika sudah rapih. Beberapa barang pun sudah ditata dengan apik oleh Dita dan Wulan. Kedua sahabatnya ini sekarang sedang asik duduk lesehan di atas karpet bulu sambil menikmati es teh.

Chika menepuk-nepuk celananya yang kotor setelah mengangkat-angkat kotak buku-buku miliknya yang ada di panti. "Oke semua beres."

"Yaa, jadi sekarang kita bisa makan?" tanya Wulan.

"Aku yang traktir yaa. Kalian ingin makan apa?" tanya Chika tidak kalah semangat.

Ketiganya memesan makanan dan makan bersama di rumah ini. Meski tidak besar, rumah ini memang nyaman. Karena itulah Dita tidak banyak bicara. Dirinya paham kenapa Chika memutuskan untuk pindah.

"Oh yaa, ada sesuatu untuk kalian. Tunggu ya!" Dita buru-buru berdiri dan keluar mengambil barang di mobilnya. Dengan senyum mengembang, diulurkan dua paper bag.

"Wah apanih?" Wulan mengecek paper bag itu. Nama butik terkenal terpampang di sudutnya. Dikeluarkan gaun indah yang ada di dalamnya. Matanya berbinar. "Gila, ini cantik banget!"

Chika ikut membukanya. Gaun berwarna yang sama denhan model berbeda itu pun membuat mulut Chika terbuka. Dirinya jadi ingat koleksi gaun di rumah keluarga Raka. "Ini gaun untuk kami nanti?"

"Yapp! Cantik kan? Gue sendiri yang request modelnya." Dita menangkupkan tangannya. "Karena acaranya di kota Bogor, dua hari sebelum acara, kalian mau kan nemenin gue?"

"Tentu, kalau kami diberi libur," kekeh Chika.

Dita mendengus pelan dan mengibaskan tangannya. Itu hal mudah. Dirinya bisa minta bantuan pada Arga. "Oke, yuk gue anter pulang. Udah sore banget nih."

🌼🌼🌼

Tiba di rumah, pandangannya jatuh pada area parkir rumah ini. Di antara mobil mewah itu ada mobil yang biasa Raka pakai. Pria itu sudah pulang kah. Kata orang-orang, Raka sedang ada tugas di luar kota, dan Lyza ikut.

Perjalanan bisnis atau apapun itu, Chika rasa semua sama saja. Tidak akan mengubah pandangan orang lain pada pasangan itu. Gosip selama dua hari ini semakin kencang. Entah tentang dirinya yang sekarang sudah dicampakan oleh Raka, atau bahasa kasarnya, didepak secara tidak terhormat.

Chika menghela nafas panjang dan menggelengkan kepala. Entah lah. Rasanya gosip itu tidak ada apa-apanya dibanding sikap Raka kemarin.

"Selamat datang Nona Chika," sapa seorang pekerja di rumah ini saat Chika masuk ke dalam rumah.

Chika menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis. Langkahnya terhenti melihat Raka sedang asik bicara dengan bunda dan Lyza. Dirinya mencoba memasang senyum seperti biasa.

"Selamat malam," sapanya. Chika mencium punggung tangan bunda.

"Hey Chika, kamu baru pulang?" tanya Lyza. "Oh ya aku membawa sesuatu untuk kamu, mau lihat?"

"Boleh," jawab Chika semangat.

Lyza merangkul bahu Chika. "Wah kurasa yang kubeli sangat cocok untukmu."

"Kamu harusnya enggak perlu repot, lagipula kamu ke sana kan untuk kerja," jawab Chika. Keduanya asik bicara sambil menaiki anak tangga.

🌼🌼🌼

Raka menatap kedua gadis yang sedang asik ngobrol itu. Dua orang yang dia sayangi dalam porsi berbeda. Namun, sama-sama memiliki arti yang penting.

"Ada apa?" tanya bunda.

"Bukan apa-apa," jawab Raka sambil menundukkan kepalanya.

Bunda yang paham kalau sedang ada masalah hanya mengangguk dan memilih untuk diam. Meski sangat penasaran, tapi tidak semua masalah putranya bisa dia campuri. Dirinya hanya bisa memberi rasa tenang, dan nyaman.

Makan malam keluarga hari ini tidak jauh berbeda dari kemarin-kemarin. Ayah baru saja pulang dari mengantar tiga anaknya jalan-jalan. Permintaan Caramel tentu saja. Si bungsu yang paling menyukai makanan manis.

Ketika semua tenang, dan makanan utama pun sudah habis. Chika yang duduk di dekat bunda, berdeham pelan. Hingga semua orang di meja ini menatapnya.

Senyum manis itu mengembang. "Chika mau bicara sama semua."

Deg. Tanpa sadar, posisi duduk Raka menegak. Entah, ada perasaan tidak enak saat gadis ini mulai serius.

"Ada apa?" tanya bunda.

Chika terdiam sebentar dan menghela nafas panjang. "Chika udah dapat rumah kontrakan untuk tempat tinggal sementara."

Genggaman tangan Raka pada sendok itu menguat. Namun dirinya tetap memilih fokus pada makanannya.

"Kamu ingin pindah?" tanya bunda.

Chika menganggukan kepalanya. "Chika sudah lama tinggal di rumah ini. Kasihan Raka kalau harus terus tinggal di apartemennya."

"Jangan jadikan aku alasan. Aku baik-baik saja tinggal di sana," kata Raka tegas dan datar. Dirinya sudah berusaha menahannya.

Di tempatnya duduk, mata Chika berkaca-kaca. Ditatap raut wajah Raka yang terlihat marah. "Hey aku tahu. Kamu temanku yang terbaik, karena itu aku tidak mau terus menyusahkanmu."

Chika dengan senyum sedih. "Bunda, Om Karel dan semua sudah baik sekali. Terima kasih banyak untuk semuanya."

"Kak jangan pindah, Kara udah seneng punya Kakak perempuan," pinta Caramel.

Astaga, meski sudah mempersiapkan diri untuk bicara. Chika tetap merasa ini sulit. Dihapus airmatanya yang menetes. "Kakak masih tetap jadi kakakmu setelah pindah dari sini. Rumah kakak dekat dengan kantor, kapan-kapan kamu bisa main dan menginap di sana."

"Sayang kamu yakin? Bunda rasa Raka tidak masalah untuk tinggal di apartemennya sendiri. Dia memang sudah waktunya mandiri," kata bunda dengan wajah sedih.

Chika menggenggam erat tangan bunda. "Bunda, ini juga udah waktunya untuk Chika melanjutkan hidup. Chika enggak bisa terus bergantung pada Raka. Sekarang Chika mau kembali menata semuanya, Chika juga udah kerja di perusahaan Om Karel."

Om Karel meletakkan sendoknya dan menautkan jarinya di atas meja. "Jaman sekarang bahaya anak perempuan tinggal sendirian. Pikirkan baik-baik Chika, Om juga sudah menganggapmu sebagai anak Om sendiri."

Kalimat itu kembali membuatnya menangis. Tentu saja Chika sangat sadar dengan ketulusan orang-orang di rumah ini. "Di sana lingkungannya sangat aman Om, Chika sudah survei sendiri. Masalah dengan Ayah pun udah selesai, doakan tidak terjadi apa-apa."

Karena Chika sudah yakin. Om Karel hanya bisa menghela nafas panjang. "Baiklah, semua keputusan ada di tanganmu. Tapi kalau kamu ingin kembali, rumah ini akan selalu terbuka."

"Terima kasih," ucap Chika.

Raka berdiri dari kursinya dan menatap lurus ke arah Chika. "Ikut aku sebentar," ucapnya sebelum berbalik pergi.

🌼🌼🌼

Raka membawa Chika pergi ke taman belakang. Di dekat kolam renang, ada gazebo dengan pemandangan taman belakang yang cantik. Meski kadang jadi berantakan karena ulah ayam-ayam milik Caramel.

"Apa maksudmu?" tanya Raka.

"Maksudku? Aku cuma ingin pindah, Kaka. Dan kamu udah dengar sendiri alasanku tadi," jawab Chika.

Raka mendengus kesal dan bersedekap. "Kamu menganggapku bodoh?"

"Kenapa aku harus menganggapmu bodoh?" tanya Chika. "Astaga, Kaka. Itu benar-benar alasanku. Kamu tau kan, aku nggak bisa selamanya bergantung sama kamu. Kamu juga nggak bisa selama-,"

Ucapan Chika terpotong karena Raka maju, hingga dirinya tersudut. Kedua tangan itu mengurungnya. Mata Chika mengerjap gugup. Satu telunjuknya mendorong bahu Raka yang sudah pasti tidak berpengaruh apa-apa.

"Ap-apa?" tanya Chika.

Pandangan Raka semakin tajam. Mata itu menelusuri setiap inci wajah Chika. "Karena Aksa?"

"Apa?" tanya Chika dengan mata menyipit.

"Karena dia kamu memilih pergi?" tanya Raka lagi.

Chika menggelengkan kepalanya, takjub. Kenapa Aksa harus menjadi penyebabnya. "Kamu mau tau alasanku yang lebih kuat?" Meski Raka tidak menjawab, Chika melanjutkan bicaranya. Ditunjuk dada Raka.

"Kamu," jawab Chika. Kedua matanya kembali memanas. "Kamu, Kaka. Kamu."

"Kalau aku di sini, aku harus siap untuk jatuh. Bukan cuma sekali, tapi berkali-kali." Chika menggelengkan kepala. Diusap kasar airmatanya. "Kalau aku di sini, aku nggak yakin bisa bertahan. Aku takut, Kaka. Aku takut, aku takut untuk mimpi terlalu jauh."

Kali ini dengan berani, Chika mengusap rahang Raka. "Aku nggak tau lagi. Gimana kalau aku benar-benar cinta sama kamu. Aku, dengan keadaanku yang begini."

"Kamu sempurna, Chika."

"Nggak Kaka!" balas Chika, cepat. "Kamu nggak bisa menutup mata kamu dari fakta aku bukan siapa-siapa. Kamu tau itu, jarak itu."

"Aku, cuma perempuan nggak jelas. Aku nggak tau siapa orangtua kandungku. Aku cuma perempuan yang pernah duduk di bar untuk dijual." Chika menundukkan kepalanya.

"Bukannya aku terlalu berani untuk berharap bisa sama kamu? bukannya aku terlalu nggak tahu diri?" gumam Chika.

"Di sana ada Lyza. Dia sempurna, untuk kamu yang juga sama sempurnanya." Chika mengulurkan tangannya untuk merapihkan rambut Raka. "Dia mencintai kamu, dan kurasa bukan hal sulit untuk mencintainya juga."

Diraih tangan Raka untuk mengembalikan cincin yang saat itu diberikan oleh pria ini. Hal yang harusnya sejak kemarin-kemarin dia lakukan.

"Maaf Kaka, aku nggak bisa terima ini,  soal Opa dan Oma aku bisa bantu-,"

Raka menarik Chika ke dalam pelukannya hingga ucapan itu terhenti. Jadi selama ini itukah yang dipikiran oleh gadis ini. Pemikiran macam apa itu. Cukup lama dekapan itu, dia ingin menyampaikan kemarahan, kekesalan, dan kerinduannya.

Ditangkup wajah Chika dengan kedua telapak tangannya. "Siapa yang menganggapmu perempuan tidak jelas?"

"Kurang jelas apa gadis ini, hmm? Gadis super cerewet. Dia bicara lebih banyak daripada orang lain, ceroboh, menyebalkan, bodoh."

"Kaka-,"

"Tapi," Raka mendekatkan wajahnya. "Dia  cantik, senyumnya manis sampai semua orang ikut tersenyum, baik hati."

Chika mendengus, dengan isak tertahan. "Kamu memuji atau meledekku?"

"Dia juga kuat menghadapi apapun, dia bisa berdiri tegak dengan kedua kakinya sendiri di antara banyaknya masalah. Dia pantang menyerah. Dia bisa saja memilih berhenti, tapi dia tetap maju, meski mungkin di depan ada ranjau berbahaya."

Kali ini Chika kembali terisak, seperti itukah dirinya di mata Raka.

Kening Raka mengetuk kening Chika. Dengan senyum mengembang. "Aku jadi banyak bicara."

Chika terkekeh pelan dan mendongak.

"Jangan dengarkan ucapan orang yang tidak mengenalmu." Raka mengusap pipi Chika yang basah. Gadis inilah yang dia butuhkan untuk menemaninya. Ditatap manik mata Chika. Untuknya, gadis ini selalu sempurna. Siapapun orangtuanya, apapun masalalunya. Dia tidak peduli soal itu.

"Bisa pikirkan lagi untuk tetap tinggal?" pinta Raka.

Chika menggelengkan kepalanya. Dia tetap harus pergi darisini. "Aku harus pindah, Kaka."

Raka mengangkat tubuh Chika agar duduk di tepian gazebo. Dirangkul pinggang kecil itu. "Kalau begitu, beri aku jaminan."

"Jaminan apa?" tanya Chika.

"Jaminan kalau kamu akan aman tinggal di sana." Raka tidak bisa membiarkan Chika ada dalam bahaya. Dirinya tidak akan bisa tidur dengan tenang.

"Emm, tempat itu sangat aman. Aku sudah cek langsung. Dita dan Wulan juga ikut, tanya saja mereka. Tempatnya tidak besar, tapi nyaman. Kamu bisa melihatnya langsung. Lalu apalagi yaa."

"Tidak boleh ada tamu laki-laki," balas Raka.

Chika mengerutkan keningnya. "Memangnya siapa yang akan datang? Teman-teman kantor pun tidak ada yang berani mendekatiku karena kamu."

"Si penyanyi itu."

"Aksara?" tanya Chika. Matanya menyipit. "Kamu ini cemburu ya?"

"Memangnya belum jelas?" jawab Raka kesal. Dasar tidak peka. Masa begitu saja tidak mengerti. Digenggam tangan Chika. "Beri aku jaminan lebih pasti."

"Astaga, apalagi Kaka?!" tanya Chika.

Raka kembali memasangkan cincin itu pada jari manis Chika. "Aku tidak terima penolakan."

"Itu arogan," balas Chika.

"Terserah," balas Raka. "Jangan membuatku gusar, kabari aku kalau ada yang mengganggumu, kunci pintumu rapat-rapat, jangan mudah percaya pada orang lain."

"Jaminan yang sangat banyak yaa.."

"Setuju, atau kamu tidak bisa keluar dari rumah ini."

Chika mendengus pelan dan menganggukkan kepalanya, pasrah.

"Orang-orang yang biasanya menjagamu akan tetap ikut denganmu. Perlakukan mereka dengan baik."

"Memangnya aku pernah berbuat tidak baik pada mereka?" protes Chika.

Raka tersenyum miring. "Kamu berkali-kali membuat mereka hampir kehilangan pekerjaan."

"Itu kan-,"

"Deal?" tanya Raka.

Dan Chika tahu kalau Raka benar-benar serius akan ucapannya. Dianggukkan kepalanya. "Emm."

"Good girl." Raka menunjuk jari manis Chika. "Tolong pahami cincin yang terpasang di jarimu. Aku tidak suka bermain dengan komitmen. Dan kamu sendiri yang menyetujui permainan Bunda. Kamu yang mengumumkannya di depan Opa. Jadi, kamu harus bertanggung jawab."

Chika merasa ada banyak kupu-kupu terbang melihat Raka tersenyum hangat padanya. Ini benar Raka si galak itu. "Aku mau turun."

Raka membantunya untuk turun. Saat ini Chika merasa pipinya benar-benar panas. Di tatap pemandangan di sekitarnya. Hingga tangan Raka menuntun dagunya agar kembali menatap ke depan.

"Aku serius." Bukankah Raka memang selalu serius dalam ucapannya. Saat wajah Raka semakin mendekat, dan ujung hidungnya bertemu dengan ujung hidung Raka. Mata Chika terpejam rapat.

Piyak. Piyak. Piyak. Suara anak-anak ayam milik Caramel mengagetkan Chika dan Raka. Chika menoleh. "Anak ayamnya-,"

Raka mendengus kesal dan mengusap kepala Chika. Sial sekali. Ternyata benar kata Bunda, Arkan, dan Rafan. Anak-anak ayam ini sangat meresahkan. Besok mungkin dirinya akan ikut serta dalam vote menyingkirkan mereka.

🌼🌼🌼

See you on the next chapter 🥰🥰🥰

Eaaaa part yg pastinya paling ditunggu karna ada di tbwafs. Kejawab ya penasarannya 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top