BAB 27

Hola selamat malam! Apakabar gengs?? Maaf kayak biasa masih lama updatenya tapi untuk bonusnya part ini lebih puanjang dari biasanya. So selamat menikmati 😂

Jangan lupa follow ig @indahmuladiatin
Untuk tau info2 ceritaku. Oh iya udah pada tau belum kalau tbwafs mau terbit? Cusss otw nabung yaa

Oke langsung aja happy reading guys! Jangan lupa vote dan komentar sebanyak-banyaknya untuk dukung cerita ini!

🌼🌼🌼

Di ruangan kerja Herdian, Raka duduk tenang, dengan tangan bersedekap. Di hadapannya, Herdian pun duduk tenang meski sebenarnya ketar-ketir karena sudah mendapatkan kabar soal pelarian Gufran yang gagal. Setidaknya data-data yang lain masih aman.

"Berita yang luar biasa," ucap Raka basa-basi.

Herdian mendengus samar, kedua tangannya bertaut di atas meja kerjanya. "Saya turut prihatin. Tapi sebagai orang yang lama berteman dengan Ayahmu, saya hanya memberi saran, jangan membuat malu perusahaan dengan menikahi seorang pelacur."

Kurang ajar. Raka mengerutkan keningnya dan mengangguk-anggukkan kepala. Masih terlihat tenang, namun itu bukan hal bagus untuk Herdian. Lebih baik amarah yang meluap-luap karena mudah dibaca daripada ketenangan ini.

"Jangan khawatir," balas Raka. Dirinya bangkit dari kursi dan merapihkan jasnya. "Jika dia bukan yang terbaik, dia tidak mungkin menjadi calon Nyonya Rajendra."

Raka berbalik untuk meninggalkan ruangan itu. Namun, saat ingin membuka pintu, Herdian kembali membuka suara. "Lalu yang tersebar itu editan? Untuk apa?"

"Apa lagi?" tanya Raka meremehkan. "Karena Anda terlalu lemah."

Kali ini benar-benar ditinggalkan ruangan itu. Di belakangnya Dita mengikuti dengan senyum tertahan. "Itu keren, Raka."

"Ada kabar dari Arga?" tanya Raka tidak menanggapi pujian itu.

Dita mengangguk antusias. Kali ini dirinya mensejajarkan langkahnya dengan Raka dan menjelaskan semua info dari Arga. Semua bukti sudah diproses, dan tidak perlu waktu lama untuk memberi surat panggilan pada Herdian.

"Semua beres," ucap Dita.

Raka berdeham dan kembali tutup mulut. Berjalan tanpa menoleh ke sekitar, meski banyak mata mencuri pandang padanya. Sudah pasti bukan, di belakang, dirinya pasti menjadi bahan pembicaraan orang-orang itu.

"Masih ada waktu setengah jam," kata Dita pada Raka. Meski begitu, Raka tidak memelankan langkahnya sama sekali. Gemas bukan, baru saja melihat pasangan itu mulai mencair. "Raka, kamu punya kesempatan ngobrol dengan Chika. Kamu percaya Chika kan?"

Tentu saja, dirinya mungkin bisa percaya pada Chika. Tapi tidak dengan orang yang bernama Aksa itu. Dan foto itu jelas menunjukkan kedekatan antar keduanya. Untuk sekarang ini, lebih baik dia selidiki dulu orang seperti apa Aksa itu.

Langkah Raka dan Dita terhenti karena di hadapan mereka opa dan oma sudah datang. Sial, cepat sekali. Baru saja tersebar, ternyata masalah ini sudah merembet kemana-mana.

"Sibuk Nak? Sampai kamu mengabaikan panggilanku?" tanya Oma dengan alis terangkat.

Raka menghela nafas panjang. "Aku ada rapat penting hari-,"

Kali ini bukan oma yang membuka suara, Opa berdeham pelan. "Ikut kami ke ruangan Ayahmu, sekarang."

Hanya itu, namun Raka tahu, perintah itu tak terbantahkan. Dirinya hanya bisa mengikuti. Sedangkan Dita masih tertinggal di tempat, bingung harus bagaimana. Ini bisa jadi masalah besar, dan Chika harus tahu itu.

🌼🌼🌼

Kenapa berita itu bisa tersebar, kenapa foto-fotonya dengan Aksa bisa tersebar luas. Dan siapa sebenarnya Aksara itu. Chika lagi-lagi menggelengkan kepala, tidak ada habisnya pertanyaan di kepalanya ini muncul.

Dia tidak peduli dengan pandangan-pandangan merendahkan itu. Ini bukan pertama kalinya bukan. Sudah terlalu biasa. Lagipula dirinya tidak bisa memaksakan semua orang untuk percaya dan menyukainya, bukan.

Sejak berita itu tersebar, Chika hanya khawatir pada reputasi Raka. Raka Rajendra, pria yang memiliki banyak prestasi, berasal dari keluarga baik-baik, dan sekarang mendapat beberapa skandal, selingkuh dengan Lyza dan sekarang lebih parah lagi, memiliki calon istri seorang PSK.

Chika menutup wajahnya dan berusaha menenangkan diri. Bagaimana dirinya bisa membantu memulihkan nama Raka. Apa yang harus dilakukan sekarang. Kenapa Raka harus berurusan dengannya yang memiliki banyak masalah.

"Chika," panggil Wulan, hati-hati.

"Emm?" jawab Chika.

Wulan tersenyum dan memberikan sekaleng minuman dingin. "Minum dulu, lo pasti haus kan? nggak usah mikirin omongan orang-orang."

"Terima kasih," balas Chika sambil tersenyum. Tentu saja, toh yang menilainya adalah orang-orang yang tidak tahu fakta sebenarnya. Untuk apa peduli, itu hanya akan melelahkan diri sendiri.

"Kita ke kantin yuk? kerjaan udah beres kan?" ajak Wulan mengingat ini sudah hampir jam istirahat.

Meski tidak lapar, Chika mengiyakan ajakan itu. Dirinya mengikuti Wulan yang berjalan duluan. Di depan lift, Raka sedang berdiri dengan Dita, menunggu lift terbuka.

"Kaka!" panggil Chika sambil berlari menghampiri. Saat ingin menyentuh tangan Raka, pria itu menghindar. Ekspresi dingin yang sama seperti yang lalu.

"Kaka, aku mau jelasin soal foto itu."

Sayangnya, Raka mengabaikannya lagi. Pria itu masuk ke dalam lift dan hanya melirik sekilas. Hanya itu, dan Chika tidak bisa menahannya. Pria itu pasti marah, tentu saja. Di saat seperti ini, harusnya dia membantu menjaga nama baik Raka, namun sebaliknya, dirinya justru membuat suasana makin runyam.

Niat ke kantin siang ini langsung batal. Chika memilih untuk keluar sebentar. Setidaknya membuang semua sesak yang sudah menumpuk sejak pagi tadi. Dengan kepala tertunduk, Chika berjalan di sisi trotoar.

"Chika," panggil seseorang sambil berbisik.

Chika mendongakkan kepalanya, menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Ssstt, di balik sini," bisik itu lagi di balik tanaman.

"Siapa ya?" tanya Chika, ragu.

"Aksa," balasnya pelan. "Maaf, tapi aku harus sembunyi-sembunyi. Bisa kita bicara sebentar?"

"Untuk apa?" tanya Chika lagi.

Terdengar helaan nafas yang berat dari Aksa. Pria itu mungkin juga kaget mendengar berita yang ramai hari ini. "Maaf soal identitas asliku, tapi aku benar-benar nggak terlibat dalam berita itu."

"Aksa, bisa tolong keluar? Orang menganggapku aneh karena aku bicara dengan tanaman," kata Chika melihat beberapa orang yang mengerutkan keningnya.

"Kita cari tempat aman, oke? Kutunggu di belakang gedung perusahaanmu. Kita punya waktu sebentar," kata Aksa sebelum benar-benar pergi.

Pria itu, seenaknya saja. Chika mengigit bibirnya, jujur saja dirinya penasaran dengan penjelasan Aksa. Namun, jika ada orang yang melihat mereka berdua, pasti gosip itu akan semakin besar. Lebih dari itu, Raka bisa makin marah.

"Astaga," keluh Chika yang pada akhirnya pergi ke belakang gedung.

Melihat situasi aman di sekitar, Chika langsung menghampiri Aksa yang kali ini sedang duduk santai dan tersenyum menyambut. "Apa yang mau kamu jelaskan? aku harus buru-buru pergi."

"Bisa duduk sebentar?" tanya Aksara dengan suara beratnya yang lembut. Pria ini memang hangat. Pembawaan yang membuat semua orang di sekitarnya nyaman. Hangat, namun cukup misterius.

Chika duduk di tempat yang agak jauh dari Aksa. "Aku harap kamu benar-benar enggak terlibat dalam skandal hari ini."

Aksara menggelengkan kepalanya, senyum itu mengembang kecut. "Aku juga sama kagetnya."

"Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu bukan orang biasa? kenapa kamu kerja di cafe itu, padahal kamu itu-," ucapan Chika terhenti karena melihat ekspresi pria ini.

"Siapa yang peduli aku siapa?" tanya Aksara. Kepalanya menggeleng pelan. "Apapun latar belakangku, aku adalah aku. Maaf, kemarin aku nggak bermaksud menutupi semua, tapi aku cuma nggak berminat untuk cerita pada orang-orang tentangku."

Chika menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Terik sinar matahari siang ini membuatnya berkeringat. Diperhatikan pria yang tidak jauh di depannya ini.

"Aku udah lama pergi ninggalin rumah," cerita Aksara sambil mendongak. "Jadi kalau kamu bilang aku bukan orang biasa, kamu salah. Aku cuma penyanyi cafe, dan tukang foto."

"Fotografer," sanggah Chika.

Aksara terkekeh pelan dan kembali menatap Chika. "Yaa, tapi menurutnya, aku hanya tukang foto." Kepalanya menggeleng miris, "sekarang dia pasti sedang duduk sambil memasang tampang marah karena aku membuat masalah."

"Ayahmu?" tanya Chika hati-hati.

"Yaa. Dia selalu menyeretku untuk ikut ke perusahaan, tapi apa asiknya itu?" tanya Aksara. Bahunya terangkat, itu adalah hal paling membosankan. Dan dirinya tidak suka itu. Sayangnya apa yang menurutnya menarik justru ditentang habis-habisan. Membuang waktu katanya. Menyia-nyiakan masa muda.

Bukankah hidup bukan hanya soal mengejar uang. Selama ini dirinya hidup dalam lingkungan super mewah. Ini itu tinggal tunjuk. Dan ternyata itu tidak ada cukupnya. Dirinya tetap merasa sepi, dan selalu seperti itu.

"Karena itu kamu kabur?" tanya Chika lagi.

"Yaa itu hanya salah satu," balas Aksara santai seolah itu bukan masalah besar.

"Tapi Aksa, Ibumu pasti khawatir."

Kedua alis tebal Aksa bertaut. "Ibuku? Maksudmu Ibuku yang mana? yang media tahu, atau ibuku yang sebenarnya?"

"Apa?" tanya Chika agak kaget. Maksudnya, keluarga Aksara itu tidak jauh berbeda dari keluarga Rajendra bukan. Di media, keluarga itu tampak sangat bahagia. Ibu dari pria ini adalah pengacara handal yang terkenal dan menjadi salah satu figur wanita yang sangat diidolakan. Ditambah ayahnya pun pengusaha sukses seperti om Karel.

"Kaget?" kekeh Aksara. "Bukankah hebat kekuatan media dalam membangun stigma masyarakat?"

"Ibu Kamilla bukan ibu kandungmu?" tanya Chika lagi. Memastikan.

Aksara tersenyum kecut dan menggelengkan kepalanya. Karena faktanya memang begitu. Wanita hebat tapi dingin itu bukan ibu kandungnya. Meski sifat itu sangat diwajarkan. Mengingat dirinya hanya anak dari selingkuhan dari ayahnya. Terlalu egois jika menuntut wanita itu tetap bersikap baik padanya.

"Kamu akan lebih kaget saat mendengar siapa ibu kandungku," kekeh Aksa.

Chika mengerjapkan matanya. "Siapa?"

Aksara mengeluarkan ponselnya entah untuk apa, namun, tidak lama dari itu ponsel Chika bergetar. Pesan masuk dari Aksa. Pria itu mengirim foto seorang perempuan yang meski sudah tidak muda lagi, tapi sangat cantik, tidak kalah cantiknya dengan ibu Kamilla. Dan bukan itu yang mengagetkannya. Tapi siapa yang ada di foto ini yang mengagetkan.

Ellena Gabriella, artis senior yang memiliki banyak bakat. Film-filmnya yang selalu meledak di pasaran, bahkan sudah berpartisipasi di film luar. Suaranya pun sangat menyenangkan untuk di dengar, meski lagu-lagunya termasuk lagu lama, namun sampai sekarang masih sering diputar. Tapi bukankah wanita itu sudah berkeluarga juga. Memiliki tiga anak yang lucu-lucu.

Chika ingin membuka suaranya, namun tidak bisa. Aksara, pria ini memang bukan orang biasa.

"Ssttt, ini rahasia," kata Aksa sambil menempelkan telunjuk pada bibirnya sendiri.

🌼🌼🌼

Chika kembali ke kantor setelah Aksa pergi, katanya ingin melanjutkan pelariannya. Yaa terserah lah. Dirinya sendiri seperti masih kaget akan cerita Aksa.

"Chika!" panggil Dita. "Astaga lo kemana aja sih? Raka sekarang lagi ditahan sama Opa, Omanya."

"Yaa?" tanya Chika masih belum sadar sepenuhnya. "Opa, Oma? Mereka di sini? Sekarang?"

"Iya, Chika! Yaampun, lo kenapa sih? Udah sana! Buruan, lo sama Raka pasti mau disidang," kata Dita.

Chika melotot kesal dan berlari ke ruangan Raka. Diabaikan pandangan bingung dari orang-orang. Dita ini menyebalkan sekali, bukannya menenangkan, justru membuatnya makin takut.

Tiba di depan ruangan Om Karel, Chika mengerem larinya. Diatur nafas yang berkejaran. "Huh, oke. Aku hanya perlu jujur."

Tok, tok. Chika mengetuk pintu hingga pintu besar itu terbuka. Menampilkan bunda yang muncul dengan senyum menenangkannya seperti biasa. "Syukurlah kamu datang, ayo masuk."

"Emm oke," balas Chika sambil mengikuti langkah bunda. Saat ini, semua sedang menatapnya. Dia sendiri masih berdiri canggung.

"Duduklah," ucap Opa.

Chika yang awalnya ingin duduk di kursi agak jauh dari Raka, langsung mendapatkan kode dari bunda.

"Duduk di sana," bisik bunda.

Dengan berat hati, Chika duduk di samping Raka. Benar kata Dita, ini seperti sebuah persidangan. Tapi lebih menegangkan. Di hadapannya, kedua orang tua ini masih diam. Sedangkan om Karel dan bunda Fian tidak bisa membantu apapun.

"Siapa yang akan menjelaskan tentang berita yang sedang tersebar sekarang?" tanya opa, tegas.

Chika menundukkan kepala, nyalinya semakin ciut mendengar suara opa. "Maaf Opa-," ucapannya terhenti karena siku Raka menyenggol pelan lengannya.

"Bukan apa-apa, itu hanya perbuatan Herdian," balas Raka tidak terdengar gugup sama sekali.

Opa mengalihkan pandangannya pada Chika meski sudah mendapatkan jawaban itu. "Chika, kamu ingin bicara?"

"Maaf," ucap Chika. "Untuk semua rumor itu, aku minta maaf. Tapi apa yang kuceritakan pada Bunda Fian adalah kejadian yang sejujur-jujurnya."

Oma tersenyum tipis, memperhatikan wajah itu mengingatkannya pada masa dimana menantunya datang ke dalam keluarganya. Seperti dulu, kali ini dirinya pun percaya bahwa Raka tidak akan salah memilih. Apapun berita yang tersebar saat ini, semua itu tidak akan mempengaruhi penilaiannya.

"Maaf aku menyeret Kaka dalam masalah-,"

"Jangan pikirkan soal itu," potong opa. "Tentang rumor pertama, tidak perlu dipikirkan. Kita bisa menuntut orang yang menyebarkan berita itu." Kali ini raut wajah opa yang tegas semakin terlihat serius. "Ini tentangmu dengan orang itu, apa hubunganmu dengan Raka baik-baik saja?"

"Ya?" tanya Chika dengan mata mengerjap. Orang itu, pasti Aksa maksudnya. Dirinya menoleh pada Raka, di sampingnya, Raka hanya diam tidak menjawab.

Sebenarnya wajar saja opa menanyakan itu. Dalam statusnya sekarang, foto-fotonya dengan Aksa memang terlihat tidak wajar. Orang yang mengambil gambar itu memang ahli. Terlihat sangat alami, entah saat dirinya sedang bergandengan tangan, atau saat Aksa menyentuh pipinya meski itu untuk mengusap airmatanya.

"Kami berteman, Chika juga belum lama bertemu sama Aksa, dan hari itu dia menemani Chika datang ke pengadilan untuk persidangan Ayah." Chika menceritakannya semuanya dengan jujur.

"Nah kan," kata bunda. "Raka, kamu ini harus jaga Chika, anak ini cantik, jadi pasti banyak yang tertarik."

Raka mendengus pelan. Mengabaikan ocehan bunda. "Bisa aku pergi sekarang?"

"Tetap duduk di tempatmu," perintah Opa meski dengan suara datar. "Segera bereskan masalah ini, jangan membuat berita ini semakin mengembang tidak jelas."

"Benar, ini nggak akan baik untuk kalian. Ditambah Chika, meski kita tahu yang sebenarnya, orang lain belum tentu begitu, dan pasti nggak akan nyaman untuk Chika menghadapi orang-orang di luar," ucap Oma yang jelas mengkhawatirkan calon istri dari cucunya ini.

"Oma nggak perlu khawatir," jawab Chika. "Chika nggak terlalu mikirin tanggapan orang-orang."

"Nggak bisa begitu sayang," sanggah oma. "Ini juga menyangkut nama Raka. Kamu sendiri tahu kan, ada banyak orang yang ingin menjatuhkannya."

Chika terdiam dan menundukkan kepalanya. Benar, ini memang soal Raka. Pria ini tidak bisa terus mendapatkan masalah darinya, bukan. Bagaimana kalau dirinya jujur saja soal status ini. Kepalanya menoleh pada Raka, memperhatikan pria itu, jika jujur sekarang, pasti Raka akan marah sekali.

Saat sedang asik menatap Raka, pria itu menoleh. Membuatnya mengerjapkan mata, kaget. Kedua alis tebal itu bertaut, menatap curiga ke arahnya. Tangan itu menariknya duduk lebih dekat.

"Apa yang kamu pikirkan?" bisik Raka.

"Emm?" tanya Chika, masih kaget.

Raka menyipitkan matanya. "Jangan macam-macam. Biar aku yang bereskan."

"Ada apa?" tanya Opa melihat keduanya berbisik.

"Bukan apa-apa, dia hanya gugup." Raka menjawab dengan tenang. "Maaf soal kegaduhan ini, aku akan bereskan secepatnya."

"Bagus." Opa mengalihkan pandangannya pada Chika. "Untuk sementara waktu, kamu bisa istirahat di rumah. Ambillah cuti untuk berlibur."

"Kalau tidak, apa lebih baik kita percepat saja pernikahan mereka?" tanya oma mendadak. Hingga semua orang di ruangan bungkam.

"Pernikahan?" tanya Chika, dan Bunda Fian hampir bersamaan.

Om Karel hanya menghela nafas panjang dan mengurut keningnya. Entahlah drama apa yang sedang dimainkan di hadapannya saat ini. Tapi yang pasti, Raka harus bertanggung jawab dengan semua drama yang sudah diputuskannya untuk dimulai.

🌼🌼🌼

Raka dan Chika diizinkan keluar dari ruangan itu. Keduanya masih sama-sama bungkam setelah ucapan spontan dari Oma. Meski sebenarnya bukan hal aneh karena keduanya sudah mengaku memiliki hubungan.

"Kaka apa nggak lebih baik kita jujur?" tanya Chika hati-hati.

"Terserah kamu," jawab Raka sebelum berlalu pergi meninggalkannya.

Astaga, Chika sampai lupa kalau Raka sedang marah. Langkahnya berusaha mengejar langkah Raka yang cepat itu. "Kaka, aku minta maaf. Aku tau aku salah."

Raka tetap mengabaikannya.

"Kaka, aku benar-benar nggak tau ada yang mengikuti aku sama Aksa."

Kali ini langkah Raka terhenti. Pria itu bersedekap. "Menurutmu, itu pointnya?"

"Ehh?" Chika menganggukkan kepala, ragu. "Aku tau aku salah. Seharusnya aku lebih hati-hati, apalagi sekarang kamu punya banyak masalah. Aku janji-,"

"Lakukan apa yang kamu mau." Raka kembali melanjutkan langkahnya. Dan kali ini Chika membiarkannya.

Di belakang Chika, Dita hanya bisa menepuk-nepuk bahunya. "Dia pasti marah banget."

"Yaudah, biarin dia tenang dulu. Oke?" saran Dita sebagai pengamat sejak tadi. Dirinya sudah yakin, setelah keluar dari ruangan itu, pasti pasangan ini akan berdebat. Tapi yaa setidaknya perdebatan itu tidak separah bayangannya. Atau lebih tepatnya, Raka bukan orang yang suka berdebat.

🌼🌼🌼

Raka tidak ingin mengulur waktunya. Sejak tadi setelah keluar dari kantor, dirinya, Dewa dan Arga mengurus sisa-sisa urusan dengan Herdian. Kesaksian dari Gufran pun sangat membantu.

Malam ini lagi-lagi Dewa dan Arga harus menginap di apartemen milik Raka. Ketiganya kembali lembur. Untuk hasil maksimal.

Senyumnya mengembang. Si Herdian itu bisa duduk dengan tenang tanpa tahu kalau semua data itu sudah diretas. Bodoh. Orang itu pikir dengan menyebarkan rumor sampah itu, dirinya akan berhenti.

"Ingat yaa, beri libur yang panjang untuk Ditaku," kata Arga lagi dan lagi.

Raka memutar matanya. "Suruh dia ajukan cuti besok."

"Wah serius?!" tanya Arga semangat. Tentu saja dia langsung menghubungi Dita. Calon istri tercintanya itu. Perempuan paling cantik, menggemaskan, dan jutek.

Dewa terkekeh geli dan menutup laptopnya. Berbaring di atas karpet dengan santai. Menyenangkan sekali. "Urusan panti hampir beres, ini pun beres. Arga sebentar lagi menikah. Lo gimana sama Chika?"

"Entah." Raka sedang malas membahas soal Chika. Selalu saja yang terbayang hanya gadis itu berpegangan tangan dengan si penyanyi cafe, atau siapa lah namanya.

"Soal foto-foto itu?" tanya Dewa.

Raka menghela nafas panjang dan mengangkat alisnya. Dia tidak suka itu. Apalagi kata-kata Chika setelah mereka keluar dari ruangan itu. Jujur katanya. Jujur soal apa. Apa Chika masih menganggap semuanya main-main. Setelah semua keseriusannya. Setelah cincin yang dia pasangkan sendiri di jari manis gadis itu.

Apa Chika tidak mengerti kalau dirinya serius. Atau jangan-jangan karena Chika menyukai si penyanyi itu. Sialan, memikirkan semua itu hanya akan membuat dirinya kesal.

"Jangan terlalu dipikirin." Dewa menoleh pada Raka. "Percaya sama apa yang lo mau percaya. Gue pun yakin, dia sama orang itu nggak ada apa-apa."

"Bahas apa?" tanya Arga yang baru kembali. "Soal foto Chika sama si Aksara itu?"

"Ck kalau sudah beres, kalian bisa istirahat." Raka berdiri dan langsung pergi ke kamarnya. Berbaring di ranjang. Tidak perlu dipikirkan. Tidur lebih baik.

Belum lama memejamkan mata, pesan masuk di ponselnya membuatnya kembali bangun. Astaga, siapa malam-malam berani menganggunya. Sudah ingin mengumpat kesal, niatnya urung melihat nama Chika.

Kaka, aku minta maaf

Raka menatap lama pesan itu. Helaan nafasnya memberat. Dirinya membalas pesan itu dan langsung menonaktifkan ponselnya. Dia harus tidur, karena besok harinya akan panjang.

Tidur beberapa jam membuat tubuh Raka kembali segar. Meski tidak terlalu nyenyak karena semalam Arga sempat ribut mencari makanan karena lapar.

Lapar yang sangat menyusahkan. Karena anak itu berisik sekali. Rasanya ingin menyumpal mulut itu dengan kertas. Untung dirinya masih baik.

Raka merapihkan penampilannya di depan kaca. Sudah hampir jam tujuh. Dirinya dan Dewa akan langsung pergi mengurus ke pihak kepolisian sementara Arga mengurus Herdian.

Di kantor, Herdian yang sudah mendengar bahwa semua data rahasianya sudah diretas, tidak bisa duduk dengan tenang lagi. Secepat mungkin dikemasi barang-barangnya. Dia harus pergi secepatnya, sebelum Raka datang kemari.

Brak. Pintu ruangannya dibuka. Beberapa orang masuk, dipimpin oleh seorang yang dia kenal sebagai salah satu rekan dari Raka. Herdian menyipitkan matanya. "Ada apa ini? kalian tidak punya sopan santun?!"

"Oh maaf," jawab Arga tanpa ada raut menyesal sama sekali. Pandangannya berfokus pada tas milik Herdian. "Wah, mau kemana Pak? Saya udah susah payah bawa Bapak-bapak ini loh."

"Saya ada urusan," jawab Herdian.

Satu orang di belakang Arga maju. Menunjukkan satu kertas di depan wajah Herdian. "Silakan ikut, saya harap Anda bersikap kooperatif. Anda juga berhak menghubungi pengacara Anda."

Surat penangkapan itu membuat Arga terkekeh geli. "Selamat Tuan, saya mewakili Raka pagi ini karena hari ini dia sibuk berlibur."

"Kurang ajar! Kalian semua tidak bisa melakukan ini pada saya!" tolak Herdian mentah-mentah. Namun, tetap saja itu sia-sia. Tidak ingin malu karena ada banyak orang di kantor, Herdian mengikuti semua dengan tenang. Setidaknya dia tidak boleh menjatuhkan harga dirinya dihadapan orang-orang itu.

Sebelum masuk ke dalam mobil, Herdian menatap tajam Arga. "Tunggu pembalasan saya."

"Siap," jawab Arga santai dengan tersenyum lebar. "Anda siapkan saja strategi itu di dalam penjara."

🌼🌼🌼

Chika, Dita, dan Lyza menyaksikan Herdian berjalan dikawal beberapa orang termasuk Arga, dari lantai dua. Di lobby, orang-orang sudah ramai ikut melihat kejadian itu. Jadi pada pertarungan ini, Raka lah yang menjadi pemenangnya. Meski di awal semua ragu pada pria itu.

"Akhirnya," gumam Dita.

Chika menoleh pada Dita dan tersenyum tipis. "Hari ini kamu mau langsung mengajukan cuti yaa?"

"Yaps," jawab Dita semangat. Berakhirnya kasus ini menadakan liburannya pun datang. Raka sudah setuju memberikannya cuti. Dan itu artinya dia bisa lebih fokus pada persiapan pernikahan.

"Pasti menyenangkan ya, bisa cuti panjang, luburan," kata Lyza.

"Emm yaa pastinya, seenggaknya gue nggak harus hadapin wajah datarnya Raka selama beberapa minggu kedepan," kekeh Dita.

Chika dan Lyza ikut tertawa mendengar jawaban yang meski terdengar seperti candaan tapi itu jujur. Yaa di kantor ini, orang yang paling sering harus menghadapi Raka adalah Dita. Untung Dita bisa bertahan.

"Yaudah, gue nyusul Arga dulu." Dita langsung berbalik pergi tanpa menoleh.

"Dasar, kemarin-kemarin dia kelihatan agak cuek," kekeh Chika sambil menggelengkan kepalanya. "Oh iya Za, kamu hari ini katanya ambil libur?"

"Yaa, ini aku juga akan langsung pergi," jawab Lyza.

"Kemana?" tanya Chika penasaran.

"Ke makam Mommy, lusa adalah peringatan meninggalnya Mom. Dan juga.." Lyza tersenyum lebar dan mengangkat alisnya. "Hari ini aku akan bertemu dengan Kenneth."

"Adikmu? Kamu udah bisa menghubunginya?" tanya Chika, semangat. Ikut senang mendengar kabar baik itu.

Lyza tertawa dan menganggukkan kepalanya. Dia sudah dikabari kalau hari ini kemungkinan besar Kenneth akan datang. Akhirnya, setelah hampir setiap hari dia menunggu di makam mommy. Hari yang paling dia tunggu setelah berpisah cukup lama. Dirinya sangat rindu pada adik laki-lakinya itu. Ada kata maaf yang harus disampaikan.

"Perlu aku temani?" tawar Chika.

"Oh tidak perlu," jawab Lyza. "Terima kasih, Chika. Aku bisa pergi ke sana sendiri. Lagipula kamu tahu kan? Bang Raka sudah menugaskan orang untuk selalu menjagaku."

Chika terdiam sebentar dan mengangguk sambil tersenyum. Dirinya menatap kepergian Lyza. Yaa dia pun harus kembali bekerja kan.

Sambil berjalan kembali ke ruangannya, dicek kembali pesan dari Raka. Tidak ada pesan lagi setelah balasan semalam.

Ya

Hanya itu balasan singkat dari permintaan maafnya. Dan hari ini, Raka pun tidak pergi ke kantor. Mungkin sedang mengurus Herdian. Tapi kenapa tadi Arga yang datang, bukan Raka.

Chika menghela nafas panjang dan menundukkan kepala. Kenapa tadi tidak tanya Dita saja kemana Raka hari ini. Tapi bisa-bisa, sohibnya itu meledeknya terus-terusan.

"Yaampun Chika, lo kenapa sih? Murung aja," oceh Wulan yang sejak tadi asik bolak-balik ke toilet. Perkara seblak satu mangkuk yang dipesan semalaman. Perutnya seperti sedang berdisko sekarang.

"Lan, kamu jadi bantu aku cari tempat kost kan?" tanya Chika.

Wulan menggaruk kepalanya sendiri. "Lo jadi udah yakin banget mau pindah?"

"Iya, aku nggak enak numpang terus sama keluarga Kaka. Kalau dipikir-pikir, dia itu sampai pindah ke apartemen, pokoknya aku harus buru-buru pindah," jawab Chika yang sudah yakin dengan keputusannya. Setelah menimbang-nimbang selama beberapa hari ini.

"Yaudah deh, nanti sore yaa."

"Huu terima kasih yaa, kamu terbaik!"

Wulan memutar matanya, dengan tawa geli. Kruukkk. "Duh sial! Serangan lagi! Bentar Chik, gue ke toilet dulu!" Anak itu langsung lari terbirit-birit.

"Astaga."

🌼🌼🌼

Sampai malam keduanya mencari lokasi yang tidak jauh dari kantor. Selain nantinya akan menghemat waktu, itu juga akan menghemat ongkos karena Chika bisa jalan kaki saja untuk pergi ke kantor. Atau kalau memang malas, dia bisa naik ojek.

Melihat lokasi kelima ini, Chika bisa tersenyum puas. Lingkungannya bersih, dan aman. Ditambah tempat kost ini meski kecil tapi nyaman sekali. Chika mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku suka di sini."

"Yaa gue setuju, ini lumayan deket sama kantor. Jalanannya juga luas, muat lah untuk mobil lewat bebas tanpa harus lecet kebaret kendaraan lain," kekeh Wulan.

Chika mengerutkan keningnya. "Lalu? Aku kan nggak akan bawa mobil ke sini."

"Yaa Pak Raka kan pasti ke sini nantinya," jawab Wulan.

"Untuk apa?!" tanya Chika. Menanggapi ledekan Wulan tidak akan ada habisnya. Daripada begitu, Chika langsung ngobrol dengan pemilik kost ini.

Wulan menyikut pelan lengan Chika. "Lo yakin? Udah bilang belum, sama Bos?"

"Belum sih, nanti mungkin kalau semuanya udah siap."

"Duh gawat," keluh Wulan.

Sebelum pulang, Chika mengantar Wulan ke rumah meski sohibnya itu menolak. Kasihan, Wulan sudah mau menemaninya keliling sampai malam meski besok harus kembali kerja.

Di perjalanan pulang, Chika mendapat pesan dari Aksa. Pria itu mengabari kalau berita di media sosial mulai berkurang. Yaa mungkin ini karena keluarga dari Raka sudah mengambil tindakan.

"Sudah sampai Nona."

"Oh yaa, terima kasih." Chika langsung keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Di depan pintu, dirinya berpapasan dengan Raka yang sedang berjalan dengan Lyza.

"Hey Chika, darimana?" sapa Lyza. Gadis itu, meski menampilkan senyum, matanya terlihat sembab. Habis menangis kah.

"Oh iya, aku lembur di kantor," jawab Chika cepat. Terpaksa berbohong karena ada Raka di sini.

Lyza menyipitkan matanya. "Jangan terlalu memaksakan diri. Kesehatan itu penting."

"Yaa, terima kasih Ibu Lyza." Chika terkekeh pelan. "Kamu mau pergi lagi?"

"Iya, aku harus pulang ke rumahku untuk acara Mommy. Sampai jumpa di sana, kamu harus datang ya!" kata Lyza, serius. "Sekarang kamu harus istirahat, jangan tidur terlalu larut, oke?"

Chika menganggukkan kepala. "Hati-hati."

Sementara Lyza pergi, Raka tetap berdiri di tempatnya. "Pembohong." Hanya itu kata yang keluar dari mulut Raka sebelum akhirnya menyusul Lyza.

Tidak heran Raka tahu kalau dirinya berbohong. Pria itu punya banyak mata-mata kan. Dia hanya berharap, orang yang menjaganya hari ini tidak mengkhianatinya dengan membocorkan semua pada Raka. Dirinya hanya belum siap bicara.

Ditatap keduanya hingga mobil itu meninggalkan area parkir halaman rumah ini. Chika menghela nafas panjang dan masuk ke dalam rumah. Di dalam, dirinya menyapa bunda sebelum menaiki tangga dan pergi ke kamarnya.

Direbahkan tubuhnya pada ranjang itu. Apa yang akan dia sampaikan pada Raka tentang kepindahannya. Chika bergulung untuk mengambil kotak di nakas dekat ranjang. Dibuka kotak kecil hitam itu. Kotak cincin yang Raka pasangkan padanya malam itu.

Cincin itu terlihat sangat cantik, dan pas sekali di jari manisnya. Chika tersenyum sedih dan memejamkan mata. Dan ketika itulah satu tetes airmatanya mengalir tanpa bisa dicegah.

🌼🌼🌼

Di kantor semua kembali berjalan dengan normal. Dita sudah mulai cuti beberapa hari yang lalu dan penggantinya adalah Lyza. Dari kabar yang Chika dengar, Raka sendiri yang meminta Lyza menggantikan Dita untuk sementara.

Di toilet, Chika duduk diam, termenung. Perutnya tidak sakit. Dirinya hanya menghindar dari bisikan-bisikan orang lain tentang Raka dan Lyza.

"Lihat sekarang Pak Raka makin nunjukin kedekatannya sama Lyza," kekeh perempuan yang tidak Chika kenal.

"Yaa mereka berdua emang lebih cocok. Lo tau kan, Lyza itu kan dari keluarga Soller. Sepadan sama keluarga Rajendra. Belum lagi Lyza itu cantik banget, pokoknya kalau sampai mereka berdua beneran menikah, itu lebih masuk akal."

"Haha iya juga, dari awal gue juga nggak yakin sama si Chika itu. Ternyata dia cuma perempuan nggak jelas."

"Bukan cuma nggak jelas. Dia perempuan panggilan."

Dan keduanya tertawa bersama. Dari bilik pintu, Chika hanya bisa mengatur nafasnya. Didongakkan kepala menahan matanya yang mulai panas. Kenapa harus menangis, semua yang dikatakan orang-orang itu benar kan.

Setelah kedua orang itu pergi, Chika baru berani keluar. Dia mencuci tangannya. "Kenapa ucapan mereka pedas sekali, aku bukan perempuan panggilan."

Jam istirahat, Chika kembali menyaksikan Raka dan Lyza berjalan bersama. Kali ini dirinya berusaha mengabaikannya dan berjalan lurus ke depan tanpa menyapa. Bilang saja tidak lihat.

Chika mengantri di salah satu stan makanan. Mengabaikan orang-orang yang mencuri pandang padanya. Ponselnya bergetar pelan. Panggilan masuk dari Aksara membuat keningnya mengerut.

"Yaa kenapa Aksa?"

"Selamat siang," sapanya di seberang.

"Ada apa Aksa? Aku sibuk."

Aksa terkekeh pelan. "Maaf, ternyata mengantri makanan pun kegiatan yang sangat sibuk."

"Hah?" Chika buru-buru menelusuri pandangannya di area kantin. Matanya melebar melihat Aksa mengenakan kemeja formal dan duduk di salah satu meja di sana. Tangannya sedikit terangkat untuk memberi tanda. Pria tampan itu menggunakan kacamata dan menata rapih rambutnya. Jauh dari penampilan keseharian yang terlihat terlalu santai.

"Aksa?! Kamu kenapa kemari?" bisik Chika yang langsung menghampiri Aksa saat itu juga.

Aksa tersenyum tipis dan mengeluarkan kertas pada Chika. "Aku cuma ingin lihat-lihat."

"Tapi Aksa.." lirih Chika. Dirinya tidak ingin ada berita yang merugikan Raka lagi. "Tolong pergi dari sini. Kalau Kaka tau-,"

"Dia nggak akan tau," potong Aksa. "Aku dengar dari Dita, kamu mencari tempat tinggal baru. Apa kamu dan dia ada masalah?"

Chika menggelengkan kepalanya. "Aku cuma mau pindah dari rumahnya."

"Apa itu karena aku?" tanya Aksa lagi. "Aku bisa bantu kamu untuk menjelaskan semuanya."

"Jangan Aksa," cegah Chika. Disentuh punggung tangan pria ini. "Ini bukan karena kamu. Jauh sebelum kamu datang pun aku udah punya rencana untuk pindah."

"Kamu yakin?" tanya Aksa curiga. Bagaimana tidak. Menurut pengamatannya sejak tadi, Raka itu terlihat dekat dengan sekertaris barunya. Ditambah ocehan dari orang-orang.

Chika menganggukkan kepala. "Sekarang aku mohon, kamu harus pergi. Jangan buat keributan di sini."

"Oke aku pergi," jawab Aksa. "Tapi kalau kamu butuh bantuan, kamu bisa menghubungiku langsung. Mengerti?"

"Emm." Chika menganggukkan kepalanya. "Hati-hati."

🌼🌼🌼

Semua yang ada di meja itu tidak luput dari pandangan Raka. Di tempatnya, satu sudut bibirnya terangkat. Apa orang itu menganggapnya bodoh sampai tidak sadar ada penyusup di kantor ini.

Raka mencengkram keras gelas minuman. Dialihkan pandangannya ke tempat lain. Itulah yang dinamakan hanya teman.

Lyza meletakkan sendoknya dan beralih pada Raka. "Hari ini kita pulang lebih awal?"

"Ya."

"Sekalian ajak Chika ya? Kasihan kalau dia harus pulang-,"

"Tidak perlu," potong Raka sebelum bangkit dari kursinya. "Dia bisa datang dengan Bunda nanti. Itu pun kalau dia mau."

Meski bicara begitu, selama persiapan pengajian, Raka terus menunggu di teras rumah ini. Menyambut orang-orang yang mulai datang. Hingga mobil orangtuanya terlihat. Di mobil pertama, ayah dan bunda turun sambil menggandeng si bungsu, Caramel.

Di mobil kedua si kembar datang tanpa Chika. Gadis itu benar-benar tidak datang meski kemarin Lyza sendiri yang memintanya datang. Raka menghela nafas panjang.

"Ngapain Bang di luar?" tanya Caramel.

"Ayo masuk, Daddy sudah menyiapkan tempat di dalam."

Arkan dan Rafan saling pandang, agak heran melihat wajah keruh abangnya. "Bang Raka kenapa?" tanya Arkan.

"Mungkin masalah kantor. Lo liat sendiri beritanya heboh."

Arkan menggaruk kepalanya sendiri. Memangnya ada masalah apa di kantor. Dia justru sama sekali tidak tahu apa-apa. Bukan hanya tidak tertarik, dirinya kan sudah sibuk dengan banyak kegiatan.

Raka menyusul Lyza yang saat ini sedang duduk di ruang tamu. "Dimana Daddy?"

"Mana aku tahu," balas Lyza agak cuek karena menanyakan soal daddynya.

"Lyza, kita sudah sepakat kan untuk hari ini saja. Setidaknya tolong hargai Mommy," jawab Raka, tegas.

Mendengarnya, Lyza hanya bisa mengatur nafas. "Ya baiklah."

Hingga pengajian akan dimulai, Raka masih menunggu kedatangan Chika. Dilihat jam tangannya berkali-kali. Kemana gadis itu. Di sampingnya, Caramel menyipit curiga.

"Lagi nunggu Kak Chika ya?" bisik Caramel.

Raka mengarahkan kepala Caramel agar kembali menghadap ke depan. "Dengar ceramahnya."

"Ehh itu Kak Chika!" bisik Caramel lagi.

Raka langsung menoleh ke arah pintu. Dan tawa dari mulut adiknya itu membuatnya menggeram pelan. Dasar jahil. Ditatap adiknya ini, gemas.

"Hehe satu kosong! Kara berhasil bohongin Abang."

"Dasar anak kecil." Raka merangkul Caramel dan membekapnya di dada. "Mau mengerjai Abang, hmm?"

Caramel tertawa pelan dan melepaskan diri dari pelukan itu. Dirapihkan rambutnya yang acak-acakan karena ulah abangnya ini. "Abis Abang tuh gengsi banget. Kak Chika nanti dateng, tapi sama temennya."

"Siapa?" tanya Raka.

Caramel mengangkat bahunya. "Nggak tau."

Tidak lama dari situ, Chika benar-benar datang. Bukan dengan Aksa, tapi dengan Dita. Kedua orang ini duduk berseberangan dengannya. Gadis itu mengabaikannya.

Perang dingin itu berlanjut, tanpa ada penyelesaian. Raka memilih keluar, duduk di taman yang ada di halaman depan. Digulung kemeja putihnya hingga siku.

Hingga acara selesai, dan orang-orang mulai pulang, Raka baru kembali masuk. Bergabung dengan keluarganya. Di sana, Dita dan Chika ikut bergabung.

Chika minta izin untuk menginap di rumah Dita. Raka mengerti kalau gadis ini berusaha sebisa mungkin menghindar darinya. "Aku antar ke depan."

Raka mengantar keduanya ke depan. Di dekat mobil Dita, dia menghentikan langkahnya. Ditatap Dita sekilas, untuk meminta waktu sebentar.

"Gue masuk ke mobil duluan ya," kata Dita sebelum masuk ke dalam rumah.

"Ada apa?" tanya Chika langsung.

Raka bersedekap, kedua mata tajamnya menatap lurus manik mata Chika. "Apa karena aku diam, kamu makin berani sekarang?"

"Apa maksud kamu, Kaka?" Chika mengerutkan keningnya.

"Siapa yang mengizinkanmu mengundang penyusup itu?" tanya Raka. Lebih dingin daripada biasanya.

"Aku nggak mengundang Aksa," jawab Chika tidak terima. "Dia datang ke kantor, dan aku juga sama kagetnya."

Raka mendengus samar. "Aku tidak peduli dengan drama kalian, tapi bisa kalian tidak melakukannya di kantor, di tempatku sendiri."

"Drama?" ulang Chika. "Drama apa yang kamu maksud? Drama kalau kamu punya calon istri seorang perempuan panggilan, padahal di sampingmu ada perempuan yang lebih sepadan sama kamu?"

Raka terdiam mendengar kalimat Chika. Mata indah itu terlihat berkaca-kaca.

Chika menundukan kepalanya. "Maaf, aku harus pergi sekarang."

Raka menahan tangan Chika, tapi gadis itu langsung menepisnya. "Tunggu-,"

"Kaka stop! Kamu harusnya paling paham kalau semuanya memang harus berakhir." Chika menahan Raka saat pria itu akan melangkah maju.

Raka tidak bisa menahan Chika. Gadis itu langsung masuk ke dalam mobil. Dan dirinya pun tidak bisa memaksanya membuka pintu. Dikeluarkan ponselnya untuk mengirim pesan pada Dita.

Hati-hati, aku titip Chika sebentar.

🌼🌼🌼

See you on the next chapter! 🤗

Yaa! Panjang kan?! Btw ini aku kasih bonus foto Raka, Chika sama Lyza versiku. Kalau kalian punya versi kalian sendiri yaa monggo balik ke imajinasi masing2

Raka Eldenis Rajendra

Chika *kalau make up

Elyza

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top