BAB 25
Hola semuanya.. apa kabar? Semoga semuanya sehat
Raka dan Chika balik lagi untuk nemenin kalian, dan chapter ini agak panjang untuk ngobatin kangen kalian. Lansung aja yaa follow ig @indahmuladiatin untuk tau info2 ceritaku
Happy reading guys! Jangan lupa vote dan komentar sebanyak2nya untuk dukung cerita ini
🌼🌼🌼
Di antara celah tirai ruangan besar ini, sinar matahari pagi menyilaukan bagi mata yang baru saja terbuka. Lengang di sekitar, hanya terdengar suara dari setiap pergerakan jarum panjang pada jam di ruangan ini. Ruangan dengan dominansi warna hitam dan putih ini tidak asing.
Lyza mengerang pelan, merasakan kepalanya seperti dipukul berkali-kali. Sesekali matanya kembali mengerjap. Dimana ini, bukankah semalaman dirinya sedang asik menikmati musik. Kenapa sekarang dia berakhir di ruangan ini.
"Hoaamm." Diregangkan tangannya lebar-lebar. Hingga suara berat itu mengagetkannya. Lyza melebarkan matanya melihat Raka tertidur di sofa. Pria itu tampak tenang, meski tidur dengan posisi duduk.
Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, sebelum menyadari kalau ini adalah kamar dari pria ini. Lyza meringis kecil, gawat, apa yang sudah dia lakukan semalam. Jangan-jangan semalam dirinya menjadi maniak dan mengejar-ngejar Raka. Atau jangan-jangan dia merengek minta masuk ke apartemen ini. Astaga, apapun itu pasti memalukan sekali.
Perlahan, Lyza menuruni ranjang dan melangkah tanpa suara. Tangannya berusaha membuka pintu sepelan mungkin. Gila, rasanya seperti seorang pencuri.
"Sudah akan pergi?" suara berat itu berhasil membuat punggungnya menegak.
Kaku, Lyza menoleh dengan ringisan kecil. "Selamat pagi." Ibu jarinya menunjuk ke belakang. "Boleh aku keluar? aku haus."
Di hadapannya, Raka tampak kelelahan. Pria itu menghela nafas panjang. Sebelum akhirnya keluar mendahuluinya, berjalan menuju dapur dan membuka lemari pendingin. Meski tidak membuka suara, tapi aura kemarahan itu terasa. Lyza merasa hawa dingin di sekitarnya.
"Duduk."
"Emm." Lyza buru-buru duduk di pantri. Menunggu Raka yang entah sedang sibuk membuat sarapan apa. Tapi tangan pria itu tampak terlatih, dengan gerakan cepat tapi tidak terlihat terburu-buru.
Sepiring sandwich terhidap di hadapannya. Tampilan yang cukup menarik hingga Lyza menelan saliva. "Terima kasih."
Raka hanya berdeham, dan melanjutkan sarapannya. Itu bukan sesuatu yang melegakan untuknya. Ini terasa canggung. Lyza tidak tahu kesalahan apa yang sudah dia lakukan. Jika ingin marah, lebih baik marah-marah saja daripada diam menghanyutkan seperti sekarang. Membuat orang menebak-nebak saja.
Ting. Notifikasi dari ponsel terdengar. Itu milik Raka, tapi pria itu mengabaikannya. Memilih untuk melanjutkan sarapan hening ini. Lyza mengeluh pelan, tidak bisakah Raka bicara sedikit. Menegangkan sekali. Kalau begini caranya, bukan kenyang, dia akan makin kelaparan.
Suara notifikasi kembali terdengar, susul menyusul. Namun Raka tetap tidak beranjak. Bagaimana kalau itu hal penting. "Maaf, apa tidak sebaiknya-,"
"Habiskan sarapanmu," potong Raka.
Lyza kembali menutup mulutnya dan langsung mengangguk. Diam, melanjutkan sarapan tidak mengenakan ini dengan buru-buru. Setelah makanan ini habis, dirinya bisa langsung kabur bukan.
Kali ini panggilan terdengar, dan Raka tidak bisa mengabaikannya lagi. Pria itu menghampiri ponselnya dan menerima panggilan itu. Dari tempatnya duduk, Lyza hanya bisa memperhatikan.
Terdengar helaan nafas berat dari Raka. Sekilas Raka menoleh padanya, sebelum akhirnya keluar dari ruangan. Dan entah, perasaannya mulai tidak enak. Apa panggilan itu berhubungan dengan dirinya. Masalah apa yang sudah dia lakukan hingga raut wajah Raka seperti itu.
🌼🌼🌼
"Foto lo dan Lyza udah tersebar, dan sekarang semua ramai. Ini akan menguntungkan untuk pihak musuh," ucap Arga di seberang.
Raka mengurut keningnya, semalam dia sudah minta untuk membereskan masalah kamera yang mengambil gambarnya, namun tetap saja kelolosan. Ini bukan soal dirinya sendiri, karena itu bukan hal penting, jika ingin menjatuhkannya dengan cara ini, maka jangan khawatir, dirinya bukan orang yang mudah dijatuhkan dengan cara kotor dan menjijikkan seperti itu.
Nama Lyza sebagai keluarga Soller akan menjadi pusatnya. Berita pertunangannya dengan Chika ikut tersebar, dan mungkin Lyza akan dilabeli dengan banyak hal yang tidak baik. Ditambah foto itu bisa menimbulkan kesalahpahaman.
"Tolong bereskan semua," ucap Raka sebelum memutuskan panggilan.
Dirinya kembali ke dalam, selera makannya sudah hilang. "Aku tunggu di mobil."
"Yaa?" tanya Lyza kaget. "Oh tidak perlu, aku bisa pulang sendiri."
Raka menghela nafas panjang, dan menoleh pada Lyza. "Matikan data ponselmu. Untuk sementara waktu jangan melihat sosial media."
"Ada apa?" tanya Lyza. Terlihat mulai panik.
Sayangnya dirinya sudah tidak berminat menjelaskan apapun. "Tidak perlu memikirkan hal tidak penting, ayo pulang. Bunda khawatir padamu."
Untung tanpa banyak bertanya Lyza mengikutinya keluar dari apartemen. Selama perjalanan menuju rumah, dirinya tidak bicara. Pikirannya benar-benar penuh. Tanpa terasa, tangannya terkepal keras. Kurang ajar, orang-orang itu sudah keterlaluan.
Beraninya menggunakan cara-cara sampah seperti ini. Tidak bisa dibiarkan. Dirinya tidak bisa bersantai lagi. Rencananya kemarin harus dia lakukan sesegera mungkin. Mereka harus tahu siapa yang sedang dihadapi sekarang.
Tiba di rumah, Lyza langsung berlari masuk setelah keluar dari mobil. Bisa dimengerti, Lyza pasti membutuhkan waktu untuk sendiri. Tidak apa, di rumah ini gadis itu aman.
Di pintu depan, bunda sudah berdiri menjulang. Bersedekap dengan wajah menuntut penjelasan. Bunda tidak berangkat ke kantor. Berita itu pasti sudah sampai padanya. Yaa meski tidak ingin melibatkan bunda, sepertinya sekarang semua akan terlibat. Bahkan opa dan oma.
"Jelaskan pada Bunda," kata bunda, tanpa menyambut kedatangannya.
Raka berlalu masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa. "Itu hanya rumor."
"Apa yang sebenarnya terjadi antar kamu dan Lyza?" tanya bunda. Baginya masalah berita di luar sana, itu tidak penting. Saat ini yang ingin diketahui adalah hubungan antar Raka dan Lyza.
"Tidak ada apa-apa antara kami," balas Raka masih dengan tenang.
"Kamu yakin?" tanya bunda sengit. Pasti ada yang ditutupi. Melihat putranya diam, helaan nafasnya semakin berat. Benar kan, ada sesuatu. "Boleh Bunda minta sesuatu?"
"Apa?" tanya Raka.
Bunda duduk di sofa yang berhadapan dengan Raka. "Katakan dengan jujur, ada apa?"
Sial sekali, hal yang tidak bisa dia abaikan adalah permintaan bunda. Terpaksa dia menceritakan tentang perasaan Lyza padanya. Dan bunda tidak kaget mendengar itu.
Bunda menundukkan kepala, jemarinya saling bertautan, dengan gestur gelisah. Raka bisa mengerti, kegelisahan bunda tentu beralasan. Ini soal Lyza, dan dirinya sangat paham kalau saat ini yang bunda khawatirkan adalah gadis itu.
"Bunda jangan khawatir-,"
"Kasihan anak itu," gumam bunda. "Bunda paham sekali perasaannya, sejak kecil dia merasa diasingkan oleh ayahnya sendiri, ditambah saat ini hubungannya tidak baik dengan adiknya." Sekarang, tanpa sadar mungkin Lyza sudah menggantungkan harapannya pada Raka. Satu-satunya pria yang menyayanginya, peduli padanya.
Bunda kembali mendongak, senyum itu mengembang meski wajahnya terlihat sedih. "Lalu apa yang akan kamu lakukan sekarang?"
Kali ini dirinya terdiam. Apa yang akan dia lakukan. Entah. Bagaimana mungkin itu tidak terpikirkan sekarang. Kepalanya menggeleng pelan.
Bunda beranjak untuk duduk di sampingnya. Tangan lembut itu mengusap punggung tangannya. "Yaudah, untuk sekarang kamu bisa fokus padahal masalah di kantor. Bunda nggak rela orang-orang itu mendepak kamu."
"Hmm," jawab Raka dengan senyum tipis. Digenggang tangan bunda untuk menenangkan dirinya sendiri. "Soal Chika-,"
"Dia udah lihat berita itu pagi ini," jawab bunda mengerti arah pertanyaan putra sulungnya. Diusap wajah yang saat ini makin terlihat dewasa itu. Tidak terasa, dulu pipi ini bulat, dengan mata lebar yang menggemaskan, berlarian dengan kaki kecil dan celotehan tidak jelas. Sebesar apapun putranya ini tetap seperti anak kecil di matanya.
"Kamu nggak perlu khawatir, nanti Bunda bantu jelaskan ke Chika ya," kata bunda.
Raka menggelengkan kepalanya. "Biar Raka sendiri yang bicara nanti, untuk sekarang masalah perusahaan jauh lebih penting."
"Emm, Bunda percaya dengan keputusanmu. Kamu langsung ke kantor?" tanya bunda sambil mengusap puncak kepala Raka.
"Yaa, tolong temani Lyza."
"Pasti, karena itu Bunda pilih bolos," bisik bunda berusaha untuk bercanda. "Kamu hati-hati yaa, Bunda tunggu kabar baik darimu."
🌼🌼🌼
Di depan gedung tinggi perusahaan Rajendra beberapa wartawan menunggu dengan sabar sejak pagi hari. Sayangnya keamanan ketat menahan mereka untuk mewawancarai siapapun yang akan masuk. Tidak ada celah untuk mengetahui apakah Raka ada di dalam atau tidak.
Dari kursinya, Chika menatap keluar jendela dimana para wartawan itu duduk, menunggu dengan sia-sia. "Huh." Tangannya menyisir rambut panjangnya ke belakang.
"Kenapa sih?" tanya Wulan, penasaran.
Chika menggelengkan kepalanya. Kepalanya sudah pusing mendengar berita pagi ini. Foto Raka sedang membopong Lyza dengan mesra tersebar luas. Entah kapan diambil, dan kemungkinan besar itu semalam. Ditatap cincin yang terpasang di jari manisnya.
"Cih." Buru-buru dilepas cincin itu. Lagi-lagi dirinya sendiri yang berharap terlalu jauh. Dilempar cincin itu ke sembarang arah. Tangannya menutup wajah.
"Yaa ampun, kalau lo begini semua orang akan mengiyakan kalau Raka selingkuh," kata Dita yang ternyata memungut cincin yang Chika buang.
Chika terisak pelan dan buru-buru mengusap airmatanya. Beruntung di ruangan ini orang-orang di bagian finance sedang ke kantin. Hanya Wulan yang memilih untuk tinggal dan menemaninya.
"Maaf," lirih Chika sambil mengatur nafasnya.
Dita tersenyum tipis dan kembali meletakkan cincin itu di meja. "Lo tau kan? Sekarang ada banyak orang yang mau menjatuhkan Raka."
"Emm." Chika menganggukkan kepala.
"Itu salah satu cara mereka, Chika. Lo harus percaya sama Raka," kata Dita yakin. "Sekarang dia lagi berusaha untuk selesain semuanya."
Bukan hanya soal kepercayaan. Sayangnya ini memang lebih rumit dari itu. Chika tidak bisa menjelaskannya pada Dita dan siapapun. Kepalanya hanya mengangguk dengan senyum dipaksakan. Mau bagaimana lagi, dirinya memang harus membantu Raka dengan tidak memperkeruh suasana.
Sejak tadi saja oma sudah menghubunginya berkali-kali perihal gosip yang sedang tersebar. Ditambah pandangan orang-orang padanya sejak pagi. "Dimana Kaka sekarang?"
"Dia baru otw ke kantor," jawab Dita.
Baru berangkat, hem dan semalam Lyza pun tidak pulang ke rumah. Menghabiskan waktu semalaman kah kedua orang itu. Setelah adegan-adegan di foto itu.
"Oke." Chika menghembuskan nafas panjang. "Aku harus membereskan pekerjaanku, sepertinya hari ini aku harus pulang lebih cepat."
Dita tersenyum dan menjentikkan jarinya. "Dan lewat pintu belakang, masalahnya sekarang bukan cuma Raka yang jadi artis dadakan, lo juga dikejar wartawan."
"Yaa benar juga," jawab Chika. Senyumnya mengembang kecut. "Aku perlu kacamata hitam lagi."
Wulan memajukan kursinya dan mengangkat tinggi-tinggi kacamata hitam. "Tenang, ini ready. Lo tinggal berlagak kayak artis kena skandal . Jawab aja No coment. Selesai!"
"Dasar!" kekeh Dita dan Chika bersamaan.
Dua jam ini Chika manfaatkan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Setelah memastikan semua pekerjaannya beres, dirinya langsung menyambar tas dan pergi. "Pulang yaa, kerjaanku udah selesai."
"Eh tapi kan belum jam-,"
Plak. Wulan memukul punggung rekannya itu. Tidak peka. Sudah tahu situasi di luar sedang genting. "Kalau udah beres pulang aja, lo udah izin ke Mbak Nimas kan?"
"Emm, duluan ya semua." Chika mengangkat alisnya sebagai isyarat terima kasih pada sohibnya itu.
Di bawah sana, supir yang bertugas mengantarnya kemana-mana sudah menunggu. Saat pintu lift dua orang bertubuh tegap menyambutnya. Chika mengenali dua orang ini, mereka ikut membantunya saat dihajar orang-orang itu.
"Nona Chika, kami ditugaskan untuk melindungi Anda, langsung."
Chika hanya menganggukkan kepalanya dan lanjut berjalan. Beberapa orang di loby menatap penasaran namun tetap diam. Daripada terkena masalah hanya karena kepo.
Mobil hitam yang sudah tidak asing baginya langsung terbuka. Tanpa banyak komentar, dirinya langsung masuk ke dalam. Sebelum pintu itu ditutup, seorang yang tadi mengantarnya sampai mobil menunduk untuk bicara.
"Mobil kami tepat ada di belakang, Nona tidak perlu khawatir."
"Yaa, terima kasih." Chika menganggukkan kepala dan tersenyum tipis. Dirinya percaya pada orang-orang ini.
Mobil itu melaju melewati gerbang. Beberapa kamera mengarah padanya. Beruntung kaca mobil ini gelap, jadi dia tidak perlu khawatir. Di luar sana, tampak mereka berebut mendekati mobil. Dan petugas keamanan pun langsung sigap menghalangi.
Chika menghela nafas panjang. Disandarkan tubuhnya. Kenapa hanya seperti ini saja melelahkan. Dirinya belum pernah berada di situasi seperti sekarang ini, jika hanya melihat dari layar televisi, rasanya seperti biasa saja, ternyata saat menghadapinya langsung ini bukan hal yang menyenangkan.
"Langsung pulang Nona?" tanya supir yang setia mengantarnya kemanapun.
"Ke panti Pak, aku ingin istirahat di sana."
🌼🌼🌼
Meski bangunan ini tidak semegah rumah besar milik keluarga orangtua Raka. Tapi rumah ini menyimpan banyak kebahagiaan untuk Chika. Panti yang sejak dulu menjadi tempatnya untuk tumbuh. Meski sempat pergi meninggalkannya untuk hidup bersama orangtua angkat.
"Kak Chika!!!" sambut Sarah.
Chika berlutut untuk mensejajarkan tingginya. "Halo sayang, kamu udah makan belum?"
"Udah, tadi Ibu masak telur ceplok." Sarah bercerita dengan semangat. Rambut lurusnya dikuncir dua, rapih, dengan pita warna pink yang dulu pernah dia belikan.
"Kak Chika," panggil Sarah. "Kakak abis nangis?"
"Emm? nggak tuh. Emang kenapa?"
Sarah terkekeh kecil dan menunjuk mata Chika. "Abis nangis kan? Matanya bengkak, kayak aku kalau abis nangis."
"Enak aja! Kakak abis bangun tidur, tau!" Chika kembali berdiri dan mengulurkan tangannya. "Masuk yuk! Kakak nginep loh hari ini."
"Asik!"
Di dapur, Ibu Ayu dan beberapa ibu lain sedang mempersiapkan makan malam. Chika memilih bergabung di sana. Masih dengan pakaian formalnya, rambut panjang itu dicepol asal.
"Kangen yaa," komentar Chika.
Ibu Ayu tersenyum dan mengepul punggung tangan Chika. "Kamu kan bisa setiap saat ke sini."
"Iya Bu, tapi tetep beda. Waktu tinggal di sini, aku bisa tau perkembangan anak-anak." Chika mengerucutkan bibirnya. "Apa aku tinggal di sini lagi ya Bu?"
"Lagi ada masalah sama Nak Raka?" tanya bu Ayu.
"Emm?? haha kenapa jadi ke Kaka, Bu? Aku kan bahas diriku sendiri." Chika tertawa canggung dan melanjutkan kerjaannya. Dia tidak pernah cerita macam-macam soal Raka.
"Ibu udah lihat beritanya," kata bu Ayu. "Ibu nggak ngerti situasi kamu dan Nak Raka sekarang, bahkan Ibu nggak tau kalau kamu dan dia udah bertunangan. Tapi yang ibu tau pasti, Nak Raka orang yang baik."
Gerakan tangannya saat memotong bawang merah terhenti. Chika kembali menoleh. Tentu saja dirinya setuju kalau pria itu memang sangat baik. Tidak perlu diragukan.
"Aku bingung Bu," gumam Chika. "Ada banyak hal yang aku pikirin. Aku juga ngerasa duniaku sama dia benar-benar beda."
Bu Ayu justru tersenyum mendengar perkataan Chika. "Selama kalian masih ada di Bumi, dunia kalian tetap sama."
"Ibu, bukan begitu.." kata Chika. Dan bu Ayu tertawa kecil. Wanita paruh baya itu mendekat. Meski bukan ibu kandung bagi semua anak di sini. Chika selalu percaya, kalau kasih sayang bu Ayu seperti layaknya seorang ibu.
"Ibu serius, Nak. Selama kalian ada di bumi, tidak ada yang namanya dunia kalian berbeda. Kamu hanya belum terbiasa dengan kebiasaan hidupnya, dan dia pun mungkin belum terbiasa dengan kebiasaan hidupmu," jelasnya dengan pelan. "Kalau kalian memang saling mencintai, perbedaan bukan masalah besar, justru itu bumbu dari sebuah hubungan. Begini Nak, saat warna yang sama disatukan itu bukan hanya akan baik dilihat, mungkin orang akan menganggapnya monoton. Begitupula warna-warna acak ketika disatukan, ada yang menganggap itu berantakan, tapi akan ada pula yang mengatakan itu justru akan membuat gradasi warna yang indah."
Bu Ayu menunjuk kepalanya sendiri. "Semua kembali ke sini, pemikiran kita. Mau berpikir perbedaan itu dari sudut pandang mana."
Chika terdiam, kedua matanya mengerjap beberapa kali. Seulas senyum tipis tersungging di bibirnya. Kata-kata itu seperti menenangkan. Namun tetap tidak mengubah kegelisahannya. Bukan hanya soal perbedaan. Tapi soal Lyza yang juga mencintai Raka, Lyza yang lebih pantas untuk pria itu.
Ting. Notifikasi pesan masuk dari ponselnya. "Aku ke depan dulu yaa Bu."
Notifikasi pesan masuk dari Dita langsung dibuka. Seharian ini sohibnya itu sedang sibuk sekali. Entahlah apa yang sedang direncanakan sekarang, tapi yang pasti hari ini Raka tidak ada di kantor. Seharian. Padahal tadi katanya baru akan berangkat.
Chika? Lo bisa hubungin Raka?
Chika mengerutkan keningnya. Kenapa bertanya begitu. Curiga ada yang tidak beres, dia langsung menghubungi Dita. "Halo Dita, ada apa? memangnya kamu nggak bisa hubungin Kaka?
"Dari tadi dia nggak bisa dihubungin! hari ini masing-masing dari kita lagi jalanin misi untuk segera selesain masalah kantor. Raka pergi ke tempat orang yang berkomplotan sama Pak Herdian."
"Apa?!" seru Chika. "Dan sampai sekarang belum ada kabar dari Kaka? Dewa sama Arga juga nggak bisa hubungin dia?"
Helaan nafas Dita terdengar. "Belum ada yang bisa sampai sekarang. Masalahnya adalah dia pergi cuma ditemani empat orangnya karena yang lain dia tugasin untuk jaga lo."
Mata Chika melebar, dirinya terduduk di kursi kayu yang ada di teras panti ini. Matanya menatap nanar ke depan. Bodoh. Dirinya tidak butuh penjagaan seketat itu. "Dita, tolong kirim alamat kemana Kaka pergi, sekarang."
"Itu bahaya Chika, bahkan Raka melarang kita untuk datang. Sekarang ini, Arga udah suruh orang-orangnya pergi pantau kondisi di sana."
"Tolong kirim aja alamatnya, aku mohon!" pinta Chika lirih. Dirinya ingin pergi secepatnya ke tempat itu. Tidak peduli dengan bahaya.
"Duh, oke. Gue kirim alamatnya. Gue sama yang lain juga otw ke sana ya, kita ketemu di sana. Ingat, jangan bertindak sebelum kami datang!" pesan Dita sebelum mengakhiri panggilannya.
Dita benar-benar langsung mengirim alamatnya. Tanpa banyak berpikir, Chika langsung mengambil tasnya. "Bu maaf, aku pamit dulu."
"Ada apa Nona?" tanya seorang penjaganya yang sejak tadi menunggu di depan panti.
Chika segera menaiki mobil. "Berapa total orang yang mengikuti saya?"
"Dua belas orang."
"Hmm." Chika menganggukkan kepala. "Tolong antar saya ke alamat ini, sekarang."
Supir yang membaca alamat yang ditunjukkan oleh Chika langsung terdiam. Mereka tidak diizinkan untuk pergi ke sana, apalagi membawa Chika ke sana. Bisa mengamuk lagi tuannya nanti. "Maaf Nona, Tuan Raka melarang kami pergi ke sana."
"Kalian orang-orangku sekarang," kata Chika. Dia tidak ada waktu untuk basa-basi sekarang. "Kalau dia memarahi kalian, aku yang akan membela kalian langsung. Sekarang cepat kita ke sana. Aku takut dia membutuhkan bantuan."
Hening sebentar, hingga anggukkan kepala itu membuat Chika lega. Senyumnya mengembang tipis. "Terima kasih."
🌼🌼🌼
Suasana di luar kantor yang ramai dengan wartawan membuat mobil Raka terhenti. Kurang ajar, cepat sekali orang-orang itu bergerak. Dia tidak bisa muncul sekarang. Lebih baik langsung ke tempat Gufran, salah satu saksi kunci kasus ini. Meski orang itu tak akan membuka suara.
Sebelum membalik arah, Raka menghubungi orang-orangnya. "Empat orang ikuti mobil ini, sisanya kawal Chika. Pastikan dia sampai ke rumah tanpa gangguan siapapun."
Satu mobil mengikuti mobilnya untuk ikut mendatangi Gufran. Dikabari Dita yang sekarang sedang memantau keadaan dari kantor. Update terbaru dari Dita saat ini sangat penting untuk menentukan langkah selanjutnya.
Tiba di kawasan pergudangan bahan baku itu, Raka memelankan mobilnya. Matanya menyipit menelusuri setiap angka dari bangunan. Hingga menemukan alamat yang dia cari sejak tadi, mobilnya terhenti.
Raka menghela nafas panjang. Ditatap sekitar tempat ini, sepi. Suasana yang agak aneh untuk jam sibuk meski hanya kawasan pergudangan. Ada berapa orang yang menunggunya di sana. Sepuluh, dua puluh, atau lebih dari itu.
Berapa lama waktu yang dia perlu habisnya untuk menghajar orang-orang itu. Jarinya mengetuk-ngetuk kemudi. Berpikir cepat untuk strategi setelah membuka pintu mobil. Bereskan secepatnya dan masuk tanpa harus membuat kegaduhan yang tidak perlu.
Dibuka pintu mobilnya, dengan berani, dirinya berdiri menjulang. Menantang orang-orang yang sudah siap di persembunyiannya. "Keluar sekarang, jangan membuang waktu."
Kalimat itu seperti intruksi. Orang-orang itu keluar dengan senjata balok kayu, tongkat baseball besik, tongkat golf dan yang lainnya. Mata tajamnya memperhatikan sekitar. Ada sekitar tiga puluh orang. Jika kemampuan mereka ecek-ecek maka tidak butuh waktu lebih dari setengah jam. Satu orang bisa melawan enam orang. Tapi siapa yang tahu ada musuh tambahan nantinya.
Keempat orangnya menyusul di belakang Raka. Siap untuk melawan dan memasang kuda-kuda. Tidak takut dengan senjata-senjata yang ada di tangan para musuh.
"Kalian boleh melawan, jangan sampai ada korban jiwa." Raka memberi intruksi pelan.
"Baik Tuan."
Pertarungan yang tidak seimbang itu dimulai. Raka sendiri sudah melepas jasnya dan menggulung kemeja hingga siku. Siap untuk bertarung. Sudut bibirnya terangkat. "Silakan maju."
Bruk. Pukulan tongkat baseball berhasil ditepis oleh Raka. Namun serangan lainnya susul menyusul. Dengan gerakan gesit, dirinya menghajar orang-orang itu. Sikunya menyikut wajah pria yang menyerangnya dari belakang. Dengan bertopang pada tubuh orang yang sedang membungkuk kesakitan, Raka melopat untuk menendang orang yang baru saja datang. Gerakan akrobatik itu tentu membuat musuhnya geram.
Brak. Lagi Raka menendang orang yang berusaha menyerangnya. Satu tongkat golf mengarah padanya tepat ketika dia sedang sibuk menyerang dua orang musuh. Bahunya terkena serangan hingga langkahnya sedikit mundur.
Sial. Raka mengusap bahunya. Benar dugaan awalnya, musuh semakin banyak. Namun tidak ada jalan mundur. Cepat, dirinya kembali maju, tangannya mengambil satu tongkat golf untuk dijadikan senjata. Lumayan membantu, dirinya jadi lebih cepat menjatuhkan musuh.
Pertarungan itu alot, hingga hampir satu jam saat tenaganya sudah terkuras, dia dan keempat pengawalnya berhasil menjatuhkan semua musuh. Raka mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Darah segar keluar dari mulutnya karena pukulan keras dari tongkat baseball.
Ternyata Herdian benar-benar takut dia datang kemari. Kemungkinan besar, Gufran memang memiliki semua bukti kecurangan orang itu. Senyumnya mengembang sinis, tidak sia-sia datang kemari.
"Cepat geledah tempat ini."
Keempat orang itu mengangguk dan langsung masuk meninggalkannya yang akan menghubungi Herdian. Tidak menunggu lama, panggilannya diterima oleh orang itu.
"Hey Nak, bagaimana? seru?"
Raka mendengus pelan. "Kau hanya mengirim orang-orang seperti ini? sepertinya kau memang meremehkanku."
Tawa renyah keluar dari suara berat itu. "Sudah saya duga, kamu memang bukan anak muda biasa. Baiklah, berterimakasih lah, karena saya benar-benar menghargaimu. Karena ini saya dengan susah payah mencari orang-orang yang akan mengantarkanmu ke dunia selanjutnya."
Dugg. Suara ledakan keras terdengar dari dalam gudang itu. Raka terperengah. Gila. Apalagi ini. "Apa yang kau lakukan Herdian?!"
"Hahaha, jangan khawatir. Orangtuamu dan semua orang hanya akan tahu kalau kamu mati karena perampokan. Selamat tinggal, Nak. Jangan menyimpan banyak benci, kelak."
Tepat setelah panggilan itu mati, sebuah mobil melaju ke arah Raka yang masih terperengah dengan ledakan itu. Brak. Tubuhnya terdorong hingga tergulung-gulung di jalan.
Meski tidak terlalu keras, itu berhasil membuat kepalanya mengeluarkan darah. Raka mengerang pelan karena benturan di kepalanya. Dengan pandangan agak memudar, dirinya mencoba untuk kembali berdiri.
Empat orang dengan tubuh tegap keluar. Orang-orang yang seperti sudah siap menghabisinya.
Raka mendengus pelan, meremehkan. Saat pandangannya kembali jelas dirinya kembali bangkit. Kali ini dirinya sendiri, karena entah bagaimana nasib penjaganya yang ada di dalam tempat yang meledak itu. Semoga baik-baik saja.
Keempat orang itu mengeluarkan pisau. Dan mulai menyerang. Raka abaikan tubuhnya yang terasa sudah remuk. Dirinya harus bertahan bagaimana pun caranya.
Srettt. Pisau itu berhasil menggores lengannya. Lagi, sakit itu harus ditahan. Orang-orang ini berbeda dari yang sebelumnya. Beladiri yang sangat terlatih. Pukulan yang terarah dan kuat. Mereka bukan orang biasa.
Gerakan-gerakan cepat itu membuat goresan-goresan pisau di tubuhnya semakin banyak. Raka berusaha untuk mundur, menghindar dan menangkis tanpa bisa menyerang.
Satu mata pisau tajam terarah ke wajahnya, dan dengan cepat Raka menghindar lalu berusaha mengunci tangan itu. Krak. Bunyi tulang dari tangan yang diputarnya. Segera dia mengambil pisau itu. Dia banting tubuh besar itu lalu menggoreskan pisau ke telapak tangan. Disikut wajah itu berkali-kali hingga darah keluar dari hidung.
Tersisa tiga orang. Raka mengatur nafasnya dan berusaha mengumpulkan tenaganya sambil menatap tajam ketiga orang yang sudah mengambil kuda-kuda siap menyerang.
Ketiga orang itu kembali menyerang bersamaan. Dan kali ini Raka sudah menyusuh cara untuk mematahkan serangan ketiganya dalam beberapa waktu saja sebelum dirinya tumbang. Cepat Raka menghindar dan menyerang dengan pisaunya dihunus pisau itu pada bahu musuhnya hingga jatuh lalu kakinya menendang yang lainnya dan digores punggungnya dengan pisau tajam itu. Dan satu lagi punggung pisau itu dia gunakan untuk memukul mata sisa musuhnya hingga menjerit sakit dan terjatuh.
Dua mobil yang dikenalinya datang. Saat pintu mobil terbuka, Chika langsung berlari keluar dan menghampirinya. Tubuh kecil itu menubruk tubuhnya dan langsung memeluk erat dirinya.
"Bodoh! kenapa kemari?" omel Raka meski membalas pelukan itu.
"Keterlaluan!" isak Chika. "Kalau ingin mati, setidaknya jelaskan dulu masalah kemarin!"
Kening Raka mengerut, kekehan geli keluar dari bibirnya yang perih. Diusap kepala Chika. "Nanti kujelaskan."
Di belakang Chika, orang yang terakhir berhasil dilumpuhkan oleh Raka, kembali bangkit. Saat pisau itu mengarah pada Chika. Dengan sigap, Raka menggenggam pisau tajam itu dengan tangannya. Darah menetes di telapak tangannya.
Semua pengawal Chika langsung mengamankan orang itu dan musuh lainnya.
"Astaga Kaka!"
🌼🌼🌼
Raka tidak ingin dibawa ke rumah sakit. Setelah polisi dan petugas medis datang, dibantu oleh Dewa dan Arga, mereka bernegosiasi agar kasus ini diselidiki secara tertutup dan tidak diliput oleh media. Dan minta izin agar Raka diizinkan untuk dirawat di rumah tanpa harus ke rumahsakit.
Keempat orang pengawal Raka yang terkena ledakan dalam gedung selamat dengan luka-luka yang cukup parah, namun tetap lebih baik daripada bayangan. Semua diurus oleh istri Dewa yang bekerja di rumahsakit.
Chika menggulung perbah pada tubuh Raka, meski agak gugup karena melihat otot pada perut itu tetap saja dia membuang segala pikiran aneh. Tidak, bukan waktunya mengagumi tubuh ini.
"Kamu yakin nggak mau ke rumahsakit?" tanya Chika lagi-lagi untuk ke sekian kalinya.
"Ada banyak wartawan yang sedang mengejarku. Aku tidak mau ambil risiko," jawab Raka, sabar. Dirapihkan anak rambut Chika. "Jangan khawatir."
Chika mendengus kesal dan memeras handuk kecil untuk membersihkan kepala Raka yang bahkan darahnya sudah mengering. Bagaimana bisa tidak khawatir. Kondisi Raka tadi tidak baik.
Diusap sisi rahang Raka, perlahan. "Kenapa mereka jahat sekali?"
Raka tersenyum tipis, digenggam tangan yang sedang membersihkan luka-luka pada wajahnya itu. "Aku akan buat mereka menyesal."
"Harus!" balas Chika.
Melihat tidak ada cincin di jari manis itu, Raka bisa menduga kalau ini pasti berhubungan dengan rumor tentangnya dan Lyza. "Kamu marah?"
"Soal?" tanya Chika sambil lanjut membersihkan luka di wajah Raka.
"Aku dan Lyza."
Chika terdiam sebentar, kemudian menggelengkan kepala. Dirinya egois jika mementingkan masalah pribadi di saat Raka sedang memiliki banyak masalah, bahkan nyawanya hampir terancam.
"Aku dan Lyza-,"
"Kaka," potong Chika. "Sebaiknya kamu fokus, hanya sisa beberapa hari lagi."
Raka menghela nafas panjang dan menganggukkan kepala. Direngkuh tubuh Chika ke dalam pelukannya. Kepalanya bersandar pada bahu Chika. "Boleh aku istirahat sebentar?"
"Emm." Chika mengusap-usap kepala Raka. "Maaf, aku nggak bisa banyak membantumu."
Dengan mata terpejam, Raka tersenyum tipis dan menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Chika. Tidak, itu salah. Justru Chika banyak membantunya. Di saat seperti ini, dirinya benar-benar terbantu oleh gadis ini. Gadisnya.
🌼🌼🌼
See you on the next chapter ❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top