BAB 24

Selamat malam sobat! Apa kabar?! Masih pada bangun nggak?

Mohon maaf lahir batin yak semua. Maaf kalau saya sering ngeselin 😂

Langsung yaks Follow ig @indahmuladiatin untuk tau info ceritaku

Jangan lupa vote dan komentar sebanyak-banyaknya untuk dukung cerita ini. Jangan sider ya sobat!

🌼🌼🌼

Raka tidak pernah main-main dengan ucapannya. Sore ini juga, meski di kantor pekerjaannya menumpuk, dirinya menyempatkan datang ke tempat ini secara langsung. Tentu saja tempat dimana dulu Chika tinggal.

Di mobil, dirinya menunggu sembari membaca dokumen yang dikirim oleh Dita. Sementara orang-orangnya sedang mencari kedua orang yang mengganggu Chika, kemarin.

"Sial!" geram Raka sambil mengacak rambutnya, kesal. Kembali mengingat luka-luka di wajah itu. Sudah hampir satu jam dirinya menunggu di mobil dan tangannya sudah gatal ingin menghajar orang-orang itu.

Tok tok. Jendela di sampingnya diketuk. Seorang yang sejak tadi menunggu di depan mobilnya menundukkan tubuhnya. Raka membuka kaca itu.

"Dua orang itu sudah berhasil ditangkap."

Raka mendengus pelan dan berdeham. Bagus. Diletakkan tabnya, dengan santai, digulung kemejanya hingga siku. Tidak lama dari itu, orang-orangnya menyeret dua orang yang sejak tadi dia tunggu.

Dengan posisi berlutut kedua orang itu sudah terlihat babak belur. Orang yang sejak tadi berdiri di dekat mobil Raka langsung membuka sisi pintu dimana Raka duduk. "Silakan Tuan."

Kedua tangannya tenggelam di saku celana hitam yang Raka gunakan. Seulas senyum miring terukir di bibirnya. Bukan hal bagus, perpaduan antar wajah dingin dan seringai itu sungguh menyeramkan.

"Menjauh."

Keempat orang yang tadi menyeret dua orang itu langsung melangkah mundur, mempersilakan Raka untuk menindak dua orang itu. Tugas mereka hanya sampai di sini. Selanjutnya, mereka hanya perlu menyaksikan.

Raka menghela nafas berat. Dirinya sudah terlalu bersabar, harusnya dua orang ini dia seret juga ke dalam penjara, tapi Chika selalu tidak suka melibatkan banyak orang. Dia hanya bisa menurutinya karena ini memang urusan Chika.

"Siapa lo, heh?!" bentak orang itu.

Dug. Raka menendang wajah itu. Keras. "Siapa yang menyuruhmu bicara?" Aura menyeramkan itu cukup membungkam orang itu.

"Bangsat! Siapa lo berani sama kami?!" teriak rekan orang yang sudah terkapar.

Raka mendengus pelan, lagi dirinya melayangkan tendangan hingga ikut rebah di tanah. "Kubilang, siapa yang menyuruhmu bicara?!"

Krak. "Arrrgggg!!" teriak pria dengan badan yang paling besar saat telapak tangannya diinjak dengan keras oleh Raka. Suara retak tulang terdengar jelas.

"Dengan tangan ini?" tanya Raka. "Atau dengan yang ini?" Lagi diinjak tangan itu.

"Ampun! Ampun!"

Kali ini Raka menginjak leher orang itu, "kau apakan dia kemarin?!"

"Am-akh ampun." Susah payah menjawab sambil berusaha bernapas.

"Sepertinya kalian terlalu besar kepala karena tidak masuk penjara. Apa kuhancurkan saja kepala kalian, sekarang?" tanya Raka semakin dingin.

Raka melihat jam di pergelangan tangannya. Tersisa sepuluh menit sebelum dirinya harus kembali ke kantor. "Habisi mereka."

"Baik, Tuan."

Sebelum melangkah pergi, kakinya ditahan oleh salah satu dari orang itu. "Jangan! Tolong jangan bunuh kami!"

Raka melirik sekilas dan menghempaskan orang itu. Jemarinya tergerak sebagai isyarat pengusiran. Singkirkan mereka dari hadapanku, kurang lebih seperti itu artinya. Untung orang-orang yang bekerja padanya sudah cukup mengerti dengan sikap Raka yang tidak banyak bicara.

"Sekali lagi kudengar kalian mendekatinya, akan kuhabisi kalian dengan tanganku sendiri," ucap Raka sebelum menaiki mobilnya. Dan itu sudah cukup membuat kedua orang itu tidak akan mendekati Chika lagi. Tidak akan pernah.

Supir yang mengendarai mobil Raka kembali membawanya ke kantor. Di pintu loby, dirinya berpapasan dengan direktur keuangan di perusahaan ini. Musuh yang sejak satu bulan terakhir sangat ingin melihat kehancurannya.

"Wah wah darimana bos muda kita ini?"

Raka mendengus pelan dan menundukkan kepalanya. "Selamat sore, wajah Anda terlihat segar, sepertinya beberapa hari ini Anda tidak ada kerjaan."

"Apa maksudmu?" tanya Herdian, agak emosi karena wajah santai dari musuhnya meski diberi ancaman secara terang-terangan.

"Yaa cukup mengesankan," ucap Raka. "Terima kasih untuk kado yang Anda berikan beberapa hari ini."

Kurang ajar, pandangan meremehkan dari Raka benar-benar membuatnya kesal. Bocah tengik ini tidak takut rupanya. Ancaman itu tidak berarti apa-apa. Sudah dia bilang, ini bukan ide bagus, dan terlalu basa-basi. Lebih baik langsung dihabisi sebelum menjadi batu yang semakin besar yang menghalangi jalannya.

Herdian tertawa hambar dan mengangguk-anggukkan kepala. Tidak boleh terpancing di sini. Dimana orang-orang sedang memperhatikannya. Dia sudah mendapatkan simpati banyak orang. Tangannya menepuk-nepuk bahu Raka.

"Sayang sekali, padahal saya sangat menyukai anak muda yang berpotensi seperti Anda." Herdian bicara pelan dan tersenyum kecut. "Sepertinya Anda masih harus banyak belajar."

Raka balas tersenyum tipis. Dirinya menundukkan kepala. "Terima kasih atas pujiannya, maaf saya harus menyelesaikan pekerjaan. Ada banyak hal yang harus diungkap, bukan?"

"Yaa benar, silakan." Herdian mempersilakan Raka lewat. "Semoga berhasil, Nak."

Raka tidak lagi menanggapi ucapan itu, dan berlalu pergi meninggalkan Herdian. Orang itu berbahaya, tidak mudah menjatuhkannya. Namun, dirinya juga yakin, bukan hal yang tidak mungkin untuk mengalahkannya.

Tiba di ruangannya, Dita masih duduk di kursi kerjanya. Di sana sudah ada Arga yang seperti biasa, menjemput calon istri. Sahabatnya itu langsung menghampiri dengan semangat.

"Akhirnya gue dapat beberapa hal yang berhari-hari kita cari," ucap Arga. Untuk masalah mencari informasi, jangan ragukan pria ini. Anak buahnya andal dalam hal itu.

"Bagus." Raka membuka pintu ruangannya. "Hubungi Dewa dan Ly-," ucapannya terhenti saat ingin menyebut Lyza. Kemana gadis itu pergi, dia tidak tahu banyak soal Jakarta. Dia tidak punya siapa-siapa di sini selain keluarganya. Dan pulang ke rumah keluarga Soller adalah hal yang tidak mungkin di saat seperti ini.

"Perlu kuhubungi Lyza?" tanya Dita untuk memastikan.

Raka menghela nafas panjang, "tidak, biarkan dia menenangkan diri."

"Memangnya ada apa?" tanya Arga yang tidak tahu apa-apa. Ingin lanjut bertanya tapi Dita menyuruhnya untuk diam. Bukan waktunya membahas hal lain selain keadaan genting ini.

Rapat dadakan ini dimulai setelah Dewa datang. Tentunya ini tentang informasi yang barusan Arga dapat. Itu sangat membantu untuk memecahkan masalah menyebalkan ini.

Raka memutar pena yang ada di genggamannya. Mata tajam kecokelatan itu menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras. Waktunya tinggal sedikit lagi, mereka harus cepat.

"Seenggaknya kita punya sedikit petunjuk sekarang," kata Dita.

Dewa menautkan kedua tangannya. Dia juga paham situasi ini kurang baik. Tinggal menghitung hari sampai dimana keputusan Raka akan didepak dari perusahaan atau menjadi pemenang dalam pertarungan ini.

Semua akses ditutup dengan baik oleh Herdian. Mereka yang terlibat kekeh tidak membuka suara. Dan itu sudah pasti, karena sekali membuka suara, hidup mereka akan terancam. Cara salah satunya adalah bersabar menunggu orang suruhannya meretas semua akses milik Herdian. Dan itu bukan hal mudah, mengingat orang-orang yang bekerja pada Herdian pun bukan orang sembarangan.

Kedua alis tebalnya bertaut. Telunjuknya mengetuk-ngetuk meja secara tidak sadar, memikirkan jalan keluar dari masalah ini. "Dita, ada tugas untukmu."

"Siap, aku siap apapun tugasnya," kata Dita semangat.

Raka mendengus pelan, yaa dirinya selalu memiliki orang yang bisa diandalkan. "Besok aku akan temui langsung Gufran."

"Apa? itu bahaya, orang-orang Pak Herdian sedang mengawasimu," jawab Dita, agak tidak setuju dengan itu.

"Itu bagus," jawab Raka enteng. "Aku akan membawa orang-orangku. Dan biarkan mereka melihat itu."

Dita mengerutkan keningnya. "Lalu tugasku?"

"Tetap di kantor, awasi pergerakan orang itu. Kabari aku."

"Itu bahaya, jangan gegabah!" tolak Dewa.

Raka menggelengkan kepalanya. Jika di sarangnya orang itu tidak bisa diserang, dirinya harus mengundangnya keluar. Meski berbahaya, itu opsi yang juga harus dia ambil selain mengandalkan hackernya.

"Kalau begitu gue ikut!" kata Arga.

Dewa mengangguk setuju. "Kami ikut."

"Kalian mengurus yang lain." Raka menyerahkan salah satu ponselnya pada Dewa. "Beberapa bukti penting ada di sini, hubungi Daniel."

Dewa mengangguk dan menerima ponsel itu. Dirinya juga mengenal Daniel. Mereka bertemu saat kuliah di fakultas yang sama. Seperti yang dia tahu, Daniel memiliki banyak chanel di kepolisian.

"Ga, tolong percepat peretasan data orang itu."

"Oke, besok gue akan pantau langsung," kata Arga. Meski kurang setuju kalau Raka beraksi sendiri, dirinya harus menghargai keputusan dari sahabatnya ini. Dia percaya Raka bisa mengatasinya.

🌼🌼🌼

Chika duduk di kursi yang ada di depan pos security kantor. Sudah hampir setengah jam dia hanya duduk, diam. Menunggu Raka keluar dari kantor setelah kembali tadi sore.

Apa yang pria itu lakukan pada orang-orang kemarin. Raka terlihat sangat marah tadi, dan dirinya merasa agak terharu karena pria itu ternyata sangat peduli. Meski tetap saja pikirannya soal pernyataan cinta Lyza pada Raka masih berputar.

"Apa yang kamu pikirin?" suara berat itu membuat Chika terlonjak kaget. Matanya melebar melihat Aksa berdiri di hadapannya dengan senyum geli. "Yaa ampun, kamu bengongin apa sih?"

"Aksa?!" protes Chika sambil mengeluh dada. "Kamu ngagetin aku tau!"

Aksa terkekeh pelan, ditepuk puncak kepala Chika. "Maaf. Lagi ngapain duduk sendiri di sini?"

"Yaa? Oh lagi nunggu ojek." Chika buru-buru menjawab sekenanya. Lagipula dia tidak mungkin menjawab kalau sedang menunggu bos perusahaan sebesar ini kan. Bisa-bisa Aksa akan langsung kabur mengiranya perempuan gila yang mengalami halusinasi.

"Ohh." Aksara mengangguk-anggukkan kepalanya. Lagi-lagi pria tampan ini terlihat serius menatap gedung tinggi di hadapannya. Entahlah, Chika merasa Aksa tertarik pada gedung itu.

"Kamu mau masuk ke sana?" tanya Chika.

Aksa menoleh dan tersenyum tipis. "Nggak tertarik, aku cuma penasaran kenapa orang berlomba-lomba kerja di perusahaan besar. Emang menarik banget ya?"

"Emm? mungkin bukan karena menarik, tapi lebih untuk kebutuhan. Perusahaan besar mungkin menjamin pekerjanya dengan penghasilan yang lumayan," jawab Chika. Ditepuk bangku di sampingnya. "Duduk dulu."

"Yaa kamu benar." Aksa duduk di samping Chika dan mengamati wajah itu. Sejak tadi dirinya sudah penasaran dengan lebam di wajah gadis ini. "Boleh aku tanya soal wajahmu?"

Tangan Chika reflek menyentuh pipinya sendiri. Senyumnya mengembang canggung. "Ah ini, emm yaa. Aku cuma agak ceroboh."

"Hem, lain kali hati-hati," ucap Aksa dengan senyum tipis. Meski tidak percaya, dirinya tidak melanjutkan pertanyaan itu. Kalau Chika ingin cerita, maka gadis ini akan menceritakannya.

"Yaa ya." Chika menunjukkan cengirannya. "Oh iya, kamu kenapa ke sini? mau dengar komentarku soal lagumu lagi?"

"Bukan, aku bosan di studio. Bisa temani aku jalan-jalan?" Aksa mengulurkan tangannya pada Chika. "Ada tempat makan enak yang belum sempat kukunjungi."

Mata Chika menatap uluran tangan terbuka itu, dirinya ingin menunggu Raka, tapi pria itu pasti sedang sibuk. Ragu, diterima uluran tangan Aksa. "Awas kalau enggak enak."

Aksa tertawa geli dan menganggukkan kepalanya. "Kalau nggak enak, kita tuntut sama-sama, oke?"

🌼🌼🌼

Lagi-lagi Raka harus lembur, dilonggarkan dasinya agar lebih nyaman. Sebelum pulang ke apartemen, dia ingin mengunjungi ruangan Chika sebentar. Di kantor tersisa beberapa orang yang memang mendapat jadwal lembur serta bagian kebersihan yang berlalu lalang.

"Malam Pak."

"Yaa," jawab Raka.

"Nyari Mbak Chika ya Pak? tadi Mbak Chika udah pulang," kata bapak yang sudah bekerja bertahun-tahun di bagian kebersihan.

Raka menganggukkan kepalanya. "Terima kasih."

Meski tahu kalau Chika sudah pulang, dirinya tetap melihat ruangan gadis itu. Bodoh. Apa telepon saja nanti. Tapi untuk apa. Menanyakan keadaan, atau sekedar basa-basi sedang apa sekarang.

"Menyusahkan," keluh Raka. Dia tidak bisa memikirkan kalimat apa yang akan digunakan kalau gadis itu mengangkat teleponnya. Sudah lah, siapa tahu sekarang Chika sudah tidur.

Mobil sport hitamnya melaju pelan melewati parkiran depan, saat ingin melewati pintu masuk, matanya menatap tajam ke depan. Chika. Dengan siapa gadis itu malam-malam begini, kenapa belum pulang padahal sedang sakit.

Pria yang tingginya tidak jauh berbeda darinya itu berdiri dihadapan Chika. Keduanya terlihat akrab, dan lihat tawa-tawa menyebalkan itu. Raka mendengus pelan, dia ingat, pria itu pula yang mengantar Chika ke kantor. Si vokalis band di cafe hits itu.

Sengaja, ditekan klakson mobilnya, panjang. Hingga kedua orang itu menoleh kaget, dan menatap silau lampu mobilnya. Puas melihat wajah protes Chika, dirinya baru membuka pintu mobil dan menghampiri keduanya.

"Sudah selesai?" tanya Raka. "Ayo pulang."

"Dia yang menjemputmu?" tanya Aksa pada Chika.

Chika menggelengkan kepala, cepat. "Bukan, ini Pak Raka, dia bosku."

Aksa mengerutkan keningnya dan menganggukkan kepalanya. "Maaf, tapi supirnya sebentar lagi datang. Anda bisa pergi sekarang."

Tanpa banyak bicara, Raka langsung menghubungi supir yang ditugaskan untuk mengantar jemput Chika. "Tidak perlu menjemputnya, malam ini dia pulang dengan saya." Tanpa menunggu balasan, dia langsung menutup teleponnya.

Chika melotot kesal dan menyenggol tangan Raka. "Kenapa kamu bilang begitu? Aku pulang dengan siapa nanti?!"

"Denganku." Raka menggenggam tangan Chika. "Sepertinya Anda yang harus pergi, sekarang."

"Ehmm," balas Aksa sambil tersenyum aneh. Dengan pandangan mata, dia bertanya pada Chika, namun gadis ini tidak memberikan jawaban apapun. "Saya mengajaknya pergi tadi, jadi saya juga yang harus memastikan dia pulang dengan selamat."

Raka mendengus pelan. "Tidak perlu khawatir, dia aman."

"Anda hanya bosnya."

"Hanya bos?" ulang Raka. Tangan kirinya terangkat. Di jari manisnya terpasang cincin, yang baru saja dia pasang sebelum turun dari mobil. "Saya juga calon suaminya."

"Ka-kaka.." bisik Chika, bingung dan panik. "Sejak kapan kamu pakai cincin? itu cincin apa?!"

Raka tidak menanggapi itu, auranya semakin dominan. Mata itu tajam menatap orang dihadapannya. Wajah yang tidak asing, namun dirinya tidak terlalu ingat.

"Kamu bertunangan?" tanya Aksa pada Chika.

"Bukan begitu! panjang ceritanya," jawab Chika langsung. "Tunggu sebentar yaa Aksa, aky harus bicara sebentar dengan Bosku."

Chika langsung menarik Raka mendekat pada mobil. "Kaka, sejak kapan kamu pakai cincin? Kamu dapat darimana?"

"Bodoh," keluh Raka sambil mengambil kotak di kantung celananya. Diraih tangan Chika, lalu dipasangkan cincin di jari manis itu. "Cepat suruh dia pergi."

Chika membatu di tempatnya sembari menatap cincin yang baru saja terpasang di jarinya. Bukan tentang bentuk cincin ini yang sangat indah, namun siapa yang memasangkan cincin ini. "Ini apa-," mulutnya kembali tertutup, "Kaka kenapa-,"

"Suruh dia pulang," ucap Raka sambil mengusap puncak kepala Chika. "Kita harus pulang sekarang."

"Tapi ini ap-," Chika berdecak kesal. "Kamu harus jelaskan nanti," ucapnya sebelum kembali pada Aksa.

"Aksa maaf, kamu lebih baik pulang. Aku ada urusan dengan dia," ucap Chika.

Aksa memperhatikan cincin di jari manis tangan kiri Chika. "Dia benar-benar tunanganmu?"

"Emm," jawab Chika cepat. "Aku pulang yaa, terima kasih teraktirannya. Lain kali aku akan ajak kamu ke tempat makan favoritku. Daa Aksa."

Chika masuk ke mobil tanpa bicara pada Raka yang sejak tadi menunggu di luar. Dia melipat kedua tangannya dan menunggu Raka bicara, menjelaskan apa arti cincin ini. Memangnya sekarang sandiwara ini harus dibuat senyata mungkin.

"Harus begini? aku nggak nyaman," protes Chika.

"Karena dia?" tanya Raka, tajam. Pandangannya seperti menusuk. Hingga Chika merasa nyalinya kembali menciut.

"Di-dia apa? Aksa nggak ada hubungannya dengan ini," balas Chika. "Oh yaa lagipula hari ini kamu baru aja mendapatkan pernyataan cinta dari Lyza. Kalau sampai Lyza salah paham gimana?"

"Mengalihkan pembicaraan?" tanya Raka. Tapi ini memang penting juga untuk dibahas. "Soal Lyza, biar aku yang mengurusnya. Jangan pikirkan soal itu."

"Itu memang bukan urusanku," balas Chika sambil mengalihkan perhatiannya pada jalan yang mereka lewati.

"Beri aku waktu untuk menyelesaikan semua masalahku," ucap Raka. Kali ini tidak ada nada marah di kalimat itu. Wajahnya pun tampak lebih rileks.

"Maksudmu?" tanya Chika.

Raka menepikan mobilnya di depan mini market. Dilepas seatbeltnya agar bisa duduk menghadap gadis ini. "Hanya beberapa bulan, setelah itu kita pikirkan soal hubungan ini."

"Hubungan apa?" tanya Chika. "Tentang hubungan pura-pura ini?"

"Berhenti bicara soal pura-pura." Raka merapihkan anak rambut di pipi Chika. Perilaku yang lagi-lagi membuat gadis di hadapannya kaget. "Aku tidak suka bermain dengan komitmen."

"Lalu?" tanya Chika, takut-takut.

"Jangan lepas cincin ini." Raka mengusap cincin yang ada di jarimanis Chika. "Ini tanda, kamu calon istriku."

🌼🌼🌼

Raka mengantar Chika sampai ke dalam rumah. Di sana ada ada bunda yang duduk dengan cemas. Melihatnya datang dengan Chika, wajah itu terlihat lega.

"Syukurlah kalian sudah pulang." Bunda mengusap kepala Chika. Mendengar kalau Chika luka-luka cukup menjelaskan kenapa kemarin perasaannya tidak enak. Meski penasaran, namun bunda menahan pertanyaannya.

"Kamu pasti capek, istirahat yaa." Bunda menepuk-nepuk pelan punggung Chika.

Chika yang masih kaku dengan kalimat dari Raka tadi hanya mengangguk. Kepalanya menunduk. "Selamat tidur, oh maaf, selamat malam."

Raka hanya tersenyum geli melihat tingkah Chika yang tidak berani menatapnya sama sekali. Bahkan bersikap konyol seperti sekarang. Ditatap Chika yang berlari menaiki tangga.

"Aku harus kembali ke apartemenku."

"Raka," panggil bunda kembali terlihat cemas. "Lyza belum pulang, dan sejak tadi Bunda nggak bisa menghubunginya."

"Belum pulang?!" Raka menatap jam tangannya. Ini sudah malam dan Lyza tidak pernah pulang semalam ini selama di Jakarta. Kemana gadis itu pergi.

"Biar aku cari dia."

"Kabari Bunda secepatnya yaa," pinta bunda.

Raka mengangguk dan mencium punggung tangan bunda. Dirinya segera pergi dan menghubungi orang yang dia tugaskan menjaga Lyza. Setelah mendapatkan informasi tempat dimana gadis itu berada, dia langsung meningkatkan kecepatan mobilnya.

Hampir satu jam Raka tempuh untuk tiba di bar yang terkenal di daerah ini. Bar yang juga sering dia kunjungi dengan Dewa dan Arga. Di pintu masuk, penjaga berbadan besar meminta identitasnya.

Dikeluarkan kartu keanggotaan VIP miliknya. Ada untungnya juga sering menemani dua sohibnya nongkrong di tempat ini. Raka segera masuk melewati kerumunan orang-orang yang sedang menikmati gemerlapnya ruang ini. Matanya menelusuri setiap sudut ruangan.

Di tengah sana, Lyza sedang menari dikelilingi banyak laki-laki. Gadis itu menjadi pusat perhatian dengan penampilannya yang cantik dan pakaiannya yang menunjukkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Tangannya terkepal keras, segera dia hampiri gadis ini.

"Ayo pulang."

Lyza berdecak kesal dan menghempaskan tangan Raka. "Jangan sentuh!" aroma minuman yang menyengat itu menjelaskan kalau gadis ini memang sudah mabuk.

"Lyza ayo kita pulang, ini sudah malam." Raka berusaha bicara baik-baik.

Lyza menyipitkan matanya. Tangannya mengusap rahang Raka. "Wah, dia tampan. Hai, siapa namamu?"

"Lyza!" tegur Raka. Saat ini mereka sedang menjadi pusat perhatian. Beberapa blitz mengarah padanya, gawat, dia tidak bisa menarik perhatian banyak orang di tempat seperti ini. "Ayo kita pulang, kita bahas masalah ini di rumah."

"Pulang!" tanya Lyza geli. "Hey! Pria tampan ini mengajakku pulang bersama!"

"Huuuuuuu!!" teriak orang-orang di sekitar.

Raka mengacak rambutnya kesal. Tidak ada cara lain. Dia langsung membopong gadis ini dan mengabaikan berontakan itu. Saking kencangnya pemberontakan itu, pipinya ikut terkena cakaran. "Kebiasaan minummu benar-benar buruk."

Sepanjang perjalanan pulang ke apartemennya, Lyza terus meracau tidak jelas. Tertawa, menangis, lalu kembali tertawa lagi. Dalam kondisi seperti ini, dia tidak mungkin membawa Lyza pulang ke rumah keluarganya.

Raka kembali membopong Lyza. Kali ini, Lyza sudah tertidur pulas. Wajah cantiknya tampak lelah. Make up itu agak berantakan karena menangis tadi.

Sampai di tempatnya, Lyza kembali terbangun, berjalan lunglai. Raka sendiri duduk di sofa melepaskan sepatunya. Membiarkan Lyza berjalan entah kemana.

"Air, aku haus," itu gumamannya.

Raka berjalan ke dapur karena mengira Lyza minum di dapur, tapi tidak ada siapapun. Dug. Suara itu membuatnya berjalan cepat ke toilet. Di sana, Lyza duduk di lantai sambil menangis seperti anak kecil.

Tangan itu mengusap-usap kepalanya sendiri. Entah mungkin kepala itu terbentur, Raka sendiri sudah pasrah. "Ayo, kamu harus tidur."

"Kepalaku sakit, hiks."

"Iya nanti kita obati," jawab Raka.

Melihat ranjang, Lyza langsung berlari dan melompat ke sana. Bergulung di selimut yang hangat. Senyumnya mengembang. "Nyamannya! Hangat!"

"Benar-benar." Raka menggelengkan kepala. "Aku tidak akan mengizinkanmu minum lagi!"

Dibuka lemarinya untuk mengambil kaus. Dia harus mandi, dan istirahat karena besok pun akan menjadi hari yang melelahkan untuknya. Nanti setelah mandi, dia akan menghubungi bunda.

"Mommy," gumam Lyza.

Gumaman yang menghentikan langkah Raka yang baru saja ingin meninggalkan kamarnya. Dirinya kembali berbalik. Dalam tidur, Lyza terisak, tampak rapuh. Bukan seperti Lyza yang dia lihat setiap harinya.

"Mommy," panggil Lyza lagi.

Raka menghampiri ranjang, dan duduk di sana. Diusap pelan kepala Lyza.

"Mommy, aku ingin ikut denganmu."

Deg. Usapan tangan Raka terhenti. Dirinya terperengah dengan kalimat itu. Apa yang Lyza pikirkan. Kenapa bicara seperti itu. Wajahnya mendekat pada telinga Lyza. "Kamu ingin meninggalkanku?"

Mata cantik itu perlahan terbuka, menatap nanar wajah Raka yang dekat dengannya. Airmata menetes di sudut matanya. "Raka?"Lyza terisak pelan dan memeluk Raka. Menghirup dalam-dalam aroma parfum milik pria ini hingga kembali jatuh tertidur.

"Selamat tidur," ucap Raka.

🌼🌼🌼

See you on the next chapter 🤗🤗🤗

Gimana komentarnya untuk part ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top