BAB 23

Hola gengs.. apa kabar? MCB balik lagi buat nemenin kalian nih

Jangan lupa follow ig @indahmuladiatin untuk tau info2 ceritaku

Dan kasih vote + komentar sebanyak-banyaknya yaaa buat dukung cerita ini. Thank you ❤️

Happy reading guys!

🌼🌼🌼

Raka duduk di hadapan kedua sahabatnya yang saat ini juga terlihat serius membantunya. Meski jarang sekali bisa serius, mereka bersungguh-sungguh membantunya. Dan dia pun selalu percaya pada dua orang ini. Mungkin setelah keluarganya, maka Dewa dan Arga adalah orang yang paling dia percaya.

Kali ini mereka sedang berada di apartemen milik Raka. Hanya bisa di sini karena beberapa hari ini ada beberapa orang yang selalu mengawasi gerak-gerik Raka. Menyusahkan. Dirinya tidak sempat kalau harus mengurus orang-orang itu.

"Aku cuma bisa buat ini," kata Dita yang datang sambil membawa nampan berisi empat mangkuk mie instan yang kuahnya masih mengepul.

Dewa merapihkan berkas yang dia kerjakan dan segera menghampiri makanannya. "Setidaknya ini lebih baik, daripada kemarin."

Ucapan yang dibalas tawa oleh Arga. Sangat setuju, mengingat kemarin saat membuka makanan, mereka mendapat bingkisan agak menjijikkan. Entah seniat apa musuh-musuh Raka sampai bisa menyelipkan tikus mati, di paket makanan yang mereka pesan. Itu jelas ancaman, dan mereka bukan gentar, justru tertawa geli. Sayang sekali, orang-orang itu salah memilih lawan.

"Ayo makan sebentar!" suruh Dita.

Arga menghampiri Dita, dan duduk di sampingnya. Dirangkul pinggang ramping itu. "Terima kasih, sayang. Aku lapar."

"Kalau lapar, cepat makan!" omel Dita sambil melepas rangkulan itu. "Oh yaa jangan lupa, malam ini kamu ditunggu Papa."

Arga menganggukkan kepala dan mengecup singkat bibir itu. "Siap, kita pulang ke rumahmu."

"Gimana persiapan pernikahan kalian? Fala terus marah-marah karena dia pikir kalian nggak punya cukup untuk mengurus pernikahan kalian," tanya Dewa yang hanya bisa pasrah kalau Fala marah.

"Tenang, semua beres. W.O pilihan Fala memang terbaik, aku belum sempat main ke rumahmu, padahal kangen main keluar dengannya." Dita mengambil mangkuknya dan mulai makan.

Empat orang ini makan dengan serius, tanpa bicara. Selain mereka harus cepat, makan sambil ngobrol juga tidak baik. Setelah beres, Dita dan Arga langsung membereskan mangkuk itu.

"Letakkan saja di sana, biar aku yang membersihkan, nanti." Raka bicara sembari kembali ke kursi tempatnya bekerja tadi. Kertas-kertas di meja ini masih berserakan.

"Terima kasih, tuan rumah yang baik. Tenang aja, ada Arga di sini, dia pintar membersihkan apapun," balas Dita dan langsung dibalas tawa oleh Arga.

Gemas, Arga memeluk Dita dari belakang, meski gadisnya ini sedang mencuci mangkuk-mangkuk itu. "Aku rindu," bisiknya.

"Astaga Arga, kamu terus mengikutiku hampir setiap hari!" omel Dita.

Arga mendengus pelan dan mengambil alih pekerjaan Dita. "Sayang, menurutmu bulan madu kita lebih baik dimana ya?"

"Emm? bukannya ke Jerman? kamu bilang kita sekalian berkunjung ke rumah Nenekmu." Dita merapihkan rambut Arga yang agak berantakan. "Aku juga ingin pergi ke sana, aku penasaran dengan paviliun kaca milik Nenekmu."

Arga tersenyum manis dan mendekatkan wajahnya. "Oke. Aku kira kamu keberatan."

"Mana mungkin? Lagipula kamu udah lama nggak pergi ke sana." Dita menghela nafas panjang. "Tapi aku belum mengajukan cuti."

Arga telah menyelesaikan pekerjaannya. Setelah mengeringkan tangan, dirinya menghadap Dita dan mengangkat gadis itu, mendudukkannya di atas pantry. "Itu mudah, sayang."

"Raka! Bisa berikan cuti selama satu bulan untuk Dita?" Tanya Arga tanpa mengalihkan pandangannya pada Dita. Pandangan yang penuh dengan cinta. Salah satu alasan dirinya tidak pernah cemburu pada Arga, meski pria ini sering terlihat akrab dengan perempuan lain adalah, tatapan memuja dari pria tampan ini.

"Hem." Hanya itu respon Raka.

"Dengar? kita akan liburan sepuasnya." Arga memejamkan matanya. "Kamu beruntung kan? ayo beri aku hadiah."

Dita mendengus pelan dan mengecup singkat bibir Arga. Saat akan menjauh, Arga menarik tengkuknya, melanjutkan ciuman itu. Dikalungkan tangannya pada leher pria ini.

"I love you." Kata-kata dari Arga di tengah ciuman mereka.

Dita tersenyum tipis dan mengusap rahang itu. "Aku tahu."

Dehaman dari Raka yang akan mengambil minum di lemari es, membuat keduanya menoleh. Tanpa rasa canggung, Arga menyeringai, lucu. "Cepat cari pasangan!"

Dita berbisik pada Arga, mengingat cerita Chika di malam waktu dia dan Arga mengurung duo ini di ruangan kerja Raka. Dia sampai lupa belum menceritakannya pada Arga. Yaa wajar, dirinya sendiri saja masih kaget.

Mata Arga melebar. "Kamu serius?"

"Emm." Dita mengangguk antusias.

"Wah-wah." Arga menghampiri Raka. "Gimana rasanya?"

"Apa?" tanya Raka. Ingin protes karena tahu-tahu sohibnya ini merangkul bahunya, sok akrab. Kalau begini, pasti ada yang tidak enak.

"Gimana rasanya berciuman?" tanya Arga sambil menaik turunkan alisnya.

Raka yang sedang minum langsung tersedak. Matanya melotot kesal, dan pandangannya teralih pada Dita. Sekretarisnya itu hanya mengacumkan dua jari dengan cengiran tanpa dosa. "Jangan bicara macam-macam."

"Apa responnya?" tanya Arga lagi, penasaran.

"Respon apa?!" Raka mengusap ujung hidungnya. Dia segera mengeluarkan pasangan itu.

"Ada apa?" tanya Dewa, penasaran. Apalagi melihat ekspresi Raka. Entah bagaimana mendeskripsikannya. Salah tingkah. Astaga, mana mungkin.

"Hey! Sepertinya tebakan kita benar!" kata Arga yang dengan semangat menghampiri Dewa. Seolah berita ini sangat penting. Memang sangat penting, karena ini moment langka. Atau mungkin ini memang moment pertama, selama mereka bersahabat.

Dewa bersedekap, menunggu cerita Arga. Pastinya ini berhubungan dengan sikap Raka yang aneh. Setelah mendengar penjelasan singkat Arga, mata tajamnya ikut melebar.

Mulutnya terbuka, dan kembali tertutup. Kali ini serius atau bercanda. Astaga. Ini benar. "Wow."

Meski sudah menebak kalau Raka memiliki perasaan pada Chika, mendengar hal ini langsung tetaplah menakjubkan. Akhirnya, ada orang yang berhasil melelehkan gunung es ini. Dan bukan seorang model super cantik, atau kalangan perempuan dari keluarga kaya.

"Lo benar-benar mencium, Chika?" tanya Dewa. Masih takjub.

Brak. Suara jatuh, barang membuat empat orang itu menoleh. Apel itu menggelinding ke arah kaki Raka. Pria itu menangkap apel itu.

"Ma-maaf, tanganku agak licin." Lyza segera membereskan belanjaan di tangannya.

"Kenapa kamu tidak meneleponku?" tanya Raka sambil membantu membereskan belanjaan. Dirinya sudah bilang kalau ingin kemari, lebih baik menghubunginya dulu.

Lyza tetap sibuk tanpa menatap Raka. "Maaf, aku tidak mau merepotkan."

Arga dan Dewa saling lirik, keduanya sudah mendengar kedekatan Raka dengan Lyza dari Dita. Beberapa kali menyaksikannya secara langsung membuat mereka menyadari kalau sepertinya Lyza memiliki perasaan pada Raka.

Ini akan rumit, karena yang mereka tahu, Raka sangat menyayangi Lyza, seperti pria itu menyayangi Caramel. Bagaimana kalau nanti Raka sampai sadar tentang perasaan Lyza.

Raka mengambil alih belanjaan itu dari tangan Lyza. "Duduklah, biar aku buatkan minuman."

Lyza menahan tangan Raka. "Nanti saja, aku bisa buat sendiri. Lanjutkan saja pekerjaanmu."

🌼🌼🌼

Chika berjalan cepat menelusuri trotoar, setelah pulang kantor dirinya mampir ke panti. Dan karena asik ngobrol, dirinya tidak sadar kalau sudah menghabiskan waktu cukup lama. Sudah hampir jam sembilan malam, dan dia belum pulang. Bunda pasti khawatir. Ditambah baterai ponselnya habis, tidak sempat mengabari.

Tangannya ditarik keras, hingga Chika menoleh kaget. Matanya melebar, dua orang yang sering bersama dengan ayah angkatnya datang. Astaga, kenapa dua orang ini ada di sini.

"Akhirnya, lo nggak bisa sembunyi selamanya, sayang!"

"Lepas!" bentak Chika.

"Mana mungkin kita lepas! Udah lama kita cari lo!" Orang itu menjambak keras rambut Chika. "Gara-gara orang sok jual mahal kayak lo, kita sekarang hidup susah! Gue harus dikejar-kejar orang, karena nggak bisa bayar hutang."

"Aku nggak peduli! Itu masalah hidup kalian!" bentar Chika. Meski takut, dirinya hanya bisa melawan.

Plak. Tamparan mendarat di pipi Chika. "Kurang ajar! Berani jawab! Lo harus ikut kita!"

"Nggak!" Chika berusaha melepaskan tangan itu dari rambutnya. Rasa sakit itu benar-benar tidak ada apa-apanya dibanding ketakutannya sekarang. Dia tidak mau kembali ke tempat itu. Malam itu dirinya bisa bebas, belum tentu malam ini dia bisa keluar dari tempat itu dalam keadaan utuh, sebagai wanita.

"Jangan banyak omong Jek! Seret aja dia."

"Akhhh!" Chika meringis sakit saat rambutnya ditarik kencang agar ikut berjalan.

"Diem lo! Sekarang lo cuma sendiri. Nggak akan ada yang bisa lindungin lo!"

Chika berusaha sekuat mungkin untuk lepas, dirinya menginjak kencang kaki orang yang menyeretnya. Setelah itu lututnya menyikut selangkangan orang yang satu lagi. Dicolok kedua mata itu, tanpa ampun.

Tanpa banyak berpikir, Chika langsung berlari kabur. Meski banyak orang di sini, mereka hanya bisa menyaksikan, mungkin agak takut untuk ikut campur karena dua orang itu selain tampangnya seram, tubuhnya pun besar, kekar.

Belum jauh dirinya berlari, tubuhnya didorong hingga jatuh. Wajahnya membentur trotoar hingga terasa hidungnya mengeluarkan darah. Tuhan, kepalanya sudah pusing sekali, bisakah dirinya selamat kali ini. Tolong. Dia tidak bisa berakhir di tempat itu.

"Mau lari kemana lo, jalang!" Bentak orang itu.

Chika kembali ditarik paksa. Meski terlihat sudah tidak berdaya, orang itu tetap memperlakukan Chika dengan tidak manusiawi. Dalam keadaan setengah sadar, senyum sinisnya mengembang.

"Ikut. Atau lo mau mati?"

"Silakan." Chika berucap lirih. "Lebih baik aku mati, daripada kalian membawaku ke tempat itu."

"Sialan!" Tangan itu mencekik leher Chika. Detik sebelum dirinya benar-benar kehilangan kesadaran. Dalam samar, dirinya melihat ada beberapa orang berbadan tegap datang menghajar dua orang itu.

"Nona Chika?" panggil suara yang tidak Chika kenal.

"Tolong," lirih Chika tanpa suara. "Kaka, tolong aku."

Orang-orang suruhan Raka itu langsung membawa Chika ke rumahsakit terdekat. Mereka sempat kehilangan jejak karena Chika menaiki kendaraan umum tadi. Beruntung mereka sempat menolong tadi, kalau tidak, mungkin bukan hanya Chika yang akan habis, malam ini.

Selama menunggu kabar akan kondisi Chika, orang-orang itu mengurus semua. Mereka belum sempat mengabari bosnya, dan agak takut untuk bicara. Apa yang akan dijelaskan nanti.

"Nona Chika, bagaimana kondisi Anda?" tanya salah satu orang berbadan tegap itu, melihat Chika sudah sadar.

"K-kalian siapa?" tanya Chika.

"Kami orang yang diutus Pak Raka." Lima orang itu menundukkan kepalanya, kompak. "Maaf, kami gagal menjaga Nona."

Chika terbatuk dan tersenyum tipis, lagi-lagi pria itu menjadi penyelamatnya, meski tidak langsung. Matanya terpejam untuk mengurangi rasa sakit. "Terima kasih, kalau nggak ada kalian, aku nggak tau nasibku tadi."

"Sama-sama Nona, kami akan kabari Pak Raka, sekarang."

"Jangan!" larang Chika. Saat ini Raka sedang sibuk dengan pekerjaannya. Pria itu sudah cukup pusing dengan masalah perusahaan. "Jangan, aku udah nggak apa-apa. Aku boleh pinjam handphone, sebentar?"

Satu ponsel diulurkan pada Chika. "Terima kasih." Dirinya buru-buru menelepon bunda. Nomor yang dia hapal selain nomor Raka. "Halo Bunda."

"Chika? Astaga Chika, kamu kemana?"

"Maaf, aku tadi mampir ke panti." Chika berusaha untuk duduk. "Bunda maaf, sepertinya malam ini aku menginap di panti."

"Ohh yaa sudah, lagipula ini sudah malam. Besok perlu supir untuk ke kantor?" tanya bunda.

Chika menghela nafas panjang. "Boleh aku izin untuk besok?"

"Ada apa, sayang? Kamu baik-baik aja kan?"

"Emm, aku cuma kurang enak badan." Tidak terasa, dia kembali meneteskan airmata. "Boleh, Bunda?"

"Yaa, apa Bunda jemput aja sekarang? biar kamu bisa istirahat di rumah."

"Nggak usah, aku bisa tidur di sini. Lagipula aku kangen panti." Chika sepertinya harus istirahat dulu di panti, karena tubuhnya sekarang benar-benar terasa sakit. "Aku tidur dulu yaa, Bunda. Bunda juga selamat tidur."

"Iya sayang."

🌼🌼🌼

Di kamarnya, Lyza termenung di balkon. Menatap taman luas yang menjadi pemandangan favoritnya di kamar ini. Selain karena kamar ini milik Raka. Pembicaraan yang tidak sengaja didengarnya tadi siang, mengganggu pikirannya.

Entah semua dimulai sejak kapan. Atau memang sejak kembali, dirinya sudah jatuh pada pria itu. Pada intinya, sekarang semua semakin rumit. Dia tidak bisa menahan perasaanya, lagi.

Meski tahu Raka mungkin hanya menganggapnya adik, tapi dia sadar, perasaannya lebih dari itu. Dia tidak bisa melihat Raka hanya sebagai kakak. Tidak bisa.

Lyza menghela nafas panjang dan menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan. Lalu sekarang bagaimana. Selama ini dia memang sering dengan tidak sengaja menangkap moment canggung antar Raka dan Chika, namun tadi dirinya mendengar secara langsung. Semua sudah jelas, ada hubungan spesial antar dua orang itu. Meski Raka menjawab kalau mereka hanya teman.

Sekarang bagaimana dengan perasaannya, apa dia bisa jujur, atau lebih baik dia diam. Bagaimana kalau Raka akan menjauh saat tahu soal perasaannya. Kepalanya menggeleng pelan, tidak bisa, dia tidak mau ditinggal lagi. Mommy, Daddy, dan Kenneth, semua pergi meninggalkannya. Apa sekarang Raka juga akan meninggalkannya.

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. Lyza mengusap pipinya yang basah. "Yaa masuk."

Caramel, anak itu berjalan menghampirinya. Beberapa hari ini, meski belum terlalu akrab, Caramel sudah bisa menerima kehadirannya. Meski sikapnya kurang welcome, tapi Lyza sayang pada anak ini. Entahlah. Dia merasa melihat dirinya sendiri dalam versi lebih ceria, dan tanpa beban.

"Bunda manggil, waktunya makan malam." Caramel bicara dengan canggung.

"Emm, terima kasih."

Caramel berdeham pelan dan duduk di kursi yang ada di balkon ini. Kepalanya mendongak ke atas, menatap langit yang malam ini tidak terlalu cerah. "Kak Lyza lagi sedih?"

"Yaa?" Lyza tersenyum tipis dan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Yaa lumayan, kamu sendiri? sepertinya kamu juga sedang banyak pikiran."

"Oh ya biasa, lagi pekan ulangan." Caramel menanggapinya dengan santai. "Kata Bunda, sebentar lagi hari peringatan meninggalnya Mommy Stella ya?"

Lyza terdiam dan mengerjapkan matanya. Yaa benar. Akhirnya hari itu tiba. Hari dimana dunianya terasa hancur berkeping-keping. Hari yang mengubah kehidupannya sampai hari ini.

"Sedih karena inget Mommy Stella ya?" tanya Caramel, agak hati-hati.

"Sebagian karena itu." Lyza tersenyum dan menepuk-nepuk tempat di sampingnya. "Duduklah di sini."

"Kenapa Kak?" tanya Caramel sambil duduk di samping Lyza.

Lyza mengusap kepala Caramel. "Kamu tahu? Aku benar-benar ingin punya adik seperti kamu."

"Kenapa?"

"Entah, kurasa karena mungkin kalau Mommy tidak pergi, aku akan tumbuh seperti kamu." Lyza tersenyum kecut. "Kamu beruntung, kamu punya Bunda yang sangat sayang kamu, punya Ayah seperti Om Karel."

Caramel mengangguk anggukkan kepala dan kembali menatap langit. Sayang sekali malam ini tidak ada bintang. "Kara emang beruntung." Dia teringat banyak moment dalam hidupnya. "Dulu waktu Kara masih SD, ada pentas seni di sekolah, semua tampil sama ibu masing-masing. Kara udah latihan sama Bunda, berhari-hari. Sayangnya Bunda sakit dua hari sebelum Kara pentas."

Senyum Caramel mengembang geli, "hari itu Kara nangis, karena semuanya gagal. Dan Kakak tau nggak? Tiba-tiba Ayah dateng ke kamar Kara, Ayah bilang Ayah yang akan gantiin Bunda."

"Oh yaa?" tanya Lyza tertarik.

Caramel menganggukkan kepalanya. Kemudian tertawa geli. "Tau perannya Bunda itu apa?"

"Apa?"

"Ibu peri." Caramel makin tertawa geli. "Ayah mau pakai sayap-sayapan sama rambut palsu panjang, dan pas tampil, semua orang ketawa."

"Kamu serius?" tanya Lyza dengan senyum geli. Membayangkan Om Karel yang sekeren itu mau menjadi ibu peri di depan banyak orang. Astaga. Dia bahkan tidak bisa membayangkan.

"Iya! Ayah bahkan nggak keberatan waktu Kara dandanin Ayah, katanya asal Kara berhenti nangis, Ayah akan temenin Kara tampil." Caramel tersenyum lebar. Salah satu alasannya tidak takut pada apapun adalah ada ayah. Ayah yang akan menjadi orang yang pertama membelanya. Ayah yang akan memberikan segalanya bahkan dunia kalau bisa.

"Ayah yang terbaik," ucap Caramel.

Lyza tersenyum sedih. "Aku iri. Daddy tidak begitu."

"Kata siapa?" tanya Caramel. "Daddy Gavyn juga ayah yang baik."

"Baik untukmu, tapi tidak untuk kami, anak-anaknya," jawab Lyza. Kalau daddy adalah ayah yang baik, kenapa dirinya harus dibuang. Kalau daddy ayah yang baik kenapa bertahun-tahun, daddy tidak datang.

"Kara juga nggak tau alasan kenapa Daddy Gavyn ngirim Kakak sama adiknya Kakak ke London, tapi Kara rasa kalau alasannya itu benci, itu nggak masuk akal." Caramel bersedekap dengan wajah serius. "Kalau benci, Daddy nggak akan cerita soal Kakak dengan ekspresi bahagia."

"Jangan percaya, ekspresi itu palsu."

Caramel menggelengkan kepalanya. Tidak. Dia tahu itu bukan palsu. "Mata adalah ekspresi paling murni. Kakak pernah dengar nggak, kalau mata itu jendela jiwa? Klasik sih tapi, itu bener loh."

"Waktu cerita soal Kakak, Kara bisa lihat ekspresi yang sama kayak Ayah tiap denger Kara ngoceh panjang lebar." Caramel menepuk pelan punggung tangan Lyza. "Kalau Kakak mau kasih kesempatan, mungkin Kakak akan dapat jawaban untuk semua masalah Kakak."

Lyza terdiam cukup lama dan tersenyum. "Kamu mau kan jadi adikku? Aku mau punya teman belanja, teman cerita, teman ke salon."

"Hmm kalau untuk ke salon, Kara nggak janji yaa." Caramel terkekeh pelan. "Kara nggak ngerti soal itu."

Lyza ikut tertawa dan menganggukkan kepalanya. Dipeluk Caramel dengan erat. "Terima kasih, aku senang. Nanti aku kenalkan ke adikku yaa. Dia tampan loh."

"Wah maaf Kak, Kara udah punya pacar."

"Ohh yaa? Siapa? Pasti adikku lebih tampan."

Caramel menggerakkan telunjuknya ke kanan dan kiri. "Nggak dong, pacar Kara yang paling ganteng."

🌼🌼🌼

Chika masuk ke kantor dengan kacamata hitam. Hal yang tentu saja aneh. Selain tidak ada orang yang menggunakan kacamata hitam di ruangan, ini juga bukan gaya Chika. Toh memang sebenarnya, ini bukan untuk bergaya, dia hanya ingin menutupi lebam di bawah matanya yang masih sangat terlihat.

Lehernya ditutup syal berwarna hitam. Satu lagi hal yang aneh, karena cuaca di luar benar-benar panas. Wulan yang sejak tadi memperhatikan Chika dari atas sampai bawah hanya mengernyit bingung.

"Lo sakit?" bisik Wulan.

Chika menggelengkan kepala. "Aku cuma mau tampil beda, keren ya?"

"Aneh." Wulan meringis kecil. Dirangkul tangan Chika. "Ngaku, lo kenapa?"

Benar sih, dia tidak bisa menutupinya dari Wulan. Pelan dilepas kacamata hitamnya. Melihat lebam itu, Wulan langsung menyipitkan mata. "Lo kenapa, Chika?!"

"Bukan masalah besar, Wulan. Aku cuma-,"

"Bukan masalah besar gimana?!" Protes Wulan. Tidak terima melihat wajah Chika lebam-lebam. Ini jelas bukan karena jatuh. "Gue harus lapor Pak Raka."

"Jangan!" larang Chika, panik. "Jangan ganggu Kaka, sekarang dia harus fokus masalah perusahaan."

"Kalau lo nggak mau gue bilang sama Pak Raka, lo harus cerita, lo kenapa?" tanya Wulan. Dia tidak tega melihat luka-luka itu. Dan tebakannya mengarah pada ayah angkat sahabatnya ini.

Chika menghela nafas panjang, dibuka lilitan syalnya, di lehernya ada luka bekas cekikan orang itu. "Mereka, orang yang waktu itu pernah kamu temuin ternyata masih cari aku."

"Dua orang temen bokap angkat lo itu?"

"Emm, mereka hampir bawa aku lagi." Chika menundukkan kepalanya. "Aku cuma nyoba ngelawan mereka, sebisaku."

"Kurang ajar! Apasih mau mereka? masih untung Pak Raka nggak ikut nyeret mereka ke penjara, bukannya kapok pas lihat bokap lo ditangkep, mereka justru nantang." Wulan mengatur nafasnya, emosi.

"Udah, toh sekarang aku nggak apa-apa." Chika kembali mengenakan syalnya. "Tolong kamu jangan cerita ke siapa pun. Aku takut berita ini sampai ke Kaka."

"Iya deh, tapi kalau ada apapun, lo harus cerita ke gue. Oke?" tanya Wulan.

"Emm."

Chika mulai terbiasa dengan pandangan aneh orang-orang padanya. Saat ditanya kenapa pakai kacamata hitam, dia bilang saja sedang sakit mata, mereka langsung diam dan pergi. Takut tertular. Cara yang ampuh.

Setumpuk berkas ada di tangannya, semua sudah selesai dia fotocopy. Bahkan tangannya sampai pegal. Setidaknya dirinya bisa istirahat sekarang. Sayangnya baru akan duduk, mbak Nimas memanggilnya ke ruangan.

"Chika, boleh minta tolong? Saya belum sempat ke ruangan Pak Raka, ini berkas yang Pak Raka minta tadi pagi, bisa serahkan padanya sekarang?" tanya mbak Nimas.

"Ehh?" Chika meringis kecil. Jelas dia ingin menolak, tapi rasanya tidak enak. Lagipula Raka kan melarangnya mendekat ke ruangannya. "Oke Mbak."

"Terima kasih yaa, maaf merepotkan kamu. Tolong sampaikan ke Pak Raka, maaf berkasnya agak telat." Mbak Nimas tersenyum dan memberikan berkas itu.

Chika tersenyum canggung dan langsung pergi ke ruangan Raka. Seperti biasa, di sana dia bertemu dengan Dita. "Ta, Pak Raka ada kan?"

"Yaa ada, tapi lo kenapa tampil begini?" Dita berdiri menghampiri Chika. "Tunggu, hidung lo kenap-,"

"Sssttt!" Chika menutup mulut Dita dengan telapak tangannya. "Jangan berisik, aku cuma mau titip ini ke Kaka. Bilang aja ini dari aku, titipan Mbak Nimas, aku masih dilarang mendekat ke ruangannya kan?"

"Ada apa?" tanya Dita kali ini lebih pelan.

"Panjang ceritanya, nanti aja." Chika mendekat pada pintu ruangan Raka. Ditatap pintu itu lurus-lurus. "Di dalam ada Lyza?"

"Emm."

Matanya melebar kaget karena ternyata pintu itu tidak tertutup dengan baik, dirinya bisa menguping bukan. Dibuka sedikit pintu itu, di sana, Lyza sedang berdiri di hadapan Raka. Keduanya terlihat serius.

"Aku tidak bisa menutupinya lagi, maaf, tapi aku hanya ingin jujur."

"Lyza kamu-," Raka menatap nanar wajah gadis cantik itu. "Aku Abangmu."

"Tapi aku tidak bisa melihatmu sebagai Abang!" balas Lyza. "Aku sayang kamu, bukan sebagai Abang, jangan tanya kenapa begitu. Aku tidak punya jawaban untuk itu."

Chika terdiam melihat Raka yang terlihat kaget. Wajah itu mengeruh. Dan entah lah, mendengar pengakuan itu langsung membuatnya merasa sakit. Meski sejak awal dia sadar kalau Lyza menyukai Raka.

Raka menyentuh kedua bahu Lyza. "Dengarkan aku, kamu hanya terbawa perasaan karena selama ini mungkin hanya aku yang dekat denganmu."

"Terbawa perasaan?" tanya Lyza. "Mungkin, dan sekarang tolong jangan menuntutku untuk melupakan perasaanku."

"Lyza-,"

"Itu hakku kan?" tanya Lyza. "Aku berhak menyukai siapapun kan? Aku berhak jatuh cinta pada siapa pun?"

"Jangan khawatir, aku tidak akan menuntut kamu untuk membalas perasaanku. Ini perasaan milikku." Lyza mengusap airmatanya. "Aku hanya ingin jujur, maaf kalau itu mengganggu."

Ini jelas sesuatu yang mengagetkan untuk Raka. Dipijat keningnya.

"Maaf aku harus pergi."

Raka menahan tangan Lyza. "Pulanglah ke rumah. Kamu tidak bisa pergi dengan kondisi begini."

"Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku bukan anak kecil lagi." Lyza segera pergi meninggalkan ruangan Raka.

Di belakangnya, Raka berusaha menyusul, namun langkahnya terhenti melihat Chika berdiri di depan ruangannya. Astaga apalagi ini, Chika pasti mendengar semuanya.

Penampilan Chika membuat perhatian Raka sedikit teralihkan. "Kenapa kamu menggunakan kacamata hitam?"

Saat tangan Raka akan melepas kacamata itu, Chika melangkah mundur. "Maaf, aku harus kembali ke ruanganku."

Ditahan tangan itu, lebam di sudut bibir Chika jelas membuat Raka makin curiga. Dia tidak mendapatkan laporan apapun. Saat kacamata hitam besar itu dibuka, barulah lebam di dekat mata Chika terlihat. Lebam yang cukup parah.

Raka menyipitkan matanya, dilepas syal yang menutupi leher gadis ini. Saat melihat bekas tancapan kuku di leher itu, dia bisa langsung menebaknya. "Siapa?!"

"Aku harus kembali ke ruanganku, Kaka." Chika sudah tidak punya tenaga untuk berdebat dengan pria ini. Sekarang, dirinya hanya ingin duduk sendiri.

Raka menuntun Chika untuk duduk di sofa. Ditangkup wajah itu dengan lembut, mata tajamnya menelusuri wajah lebam-lebam itu. Siapa yang berani melakukan ini.

Airmata Chika menetes di antara tangkupan tangan pria ini. Ibujari Raka mengusap airmata itu. Kenapa tidak ada yang melaporkan kondisi Chika padanya. Siapa yang membuat Chika sampai begini, siapapun itu, mereka harus mendapatkan balasan setimpal.

"Dita, kosongkan jadwalku sore ini."

"Oke."

"Kenapa?" tanya Chika.

Raka menghela nafas panjang. "Ada yang menantangku, aku tidak bisa duduk manis di kursi kerjaku."

🌼🌼🌼

See you on the next chapter ❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top