Bab 22
Hola gengs. Apa kabar? Yaa setelah banyaknya teror akhirnya saya bisa update. Tapi mau infoin, kalau belum bisa up bukan berarti saya males, kalau saya bikin ig story bukan berarti saya lagi luang. Kalau belum update berati saya emang belum dapet waktu untuk nulis.
Jadi mau kalian ngomel kek gimana pun ya gimana. Saya sistem nulisnya perpart, kalau udah jadi langsung saya up. Bukan yg saya timbun banyak. Kalau kek gitu udah saya up semua daripada kena julitan 😂
Intinya terima kasih banyak buat pembaca MCB yang dukung banget cerita ini dengan nggak neror saya pake bahasa yg nggak enak. Saya yakin masih banyak pembaca di sini yang santun, baik hati, tidak sombong dan rajin menabung.
Yak langsung aja, daripada ngoceh panjang lebar toh belum tentu dibaca. Follow ig saya untuk tau info2 cerita di @indahmuladiatin jangan buat neror ya sobat wkwk
Jangan lupa vote dan komentar sebanyak-banyaknya untuk dukung cerita ini.
Happy reading guys!
🌼🌼🌼
Chika bertopang dagu sembari menatap gelas kaca di hadapannya. Bukan minuman ini yang menjadi pusat perhatiannya, namun pesan yang baru saja dia terima dari Aksa. Pria yang baru dia kenal beberapa waktu lalu.
Bukan pesan yang macam-macam. Aksa hanya menawarkan untuk datang kembali ke cafe tempat mereka pertama bertemu, tapi kenapa dirinya jadi terus memikirkannya. Bahkan sampai di tempat ini.
Harusnya Chika bisa fokus pada pesta launching yang sedang dihadiri olehnya kan. Di sini ada banyak hal yang menarik, makanan yang enak-enak, orang-orang kelas atas yang sudah pasti tidak akan dia temui kalau bukan bersama dengan Raka, atau setidaknya soal suasana di tempat ini yang benar-benar asik.
Chika menghela nafas panjang, entahlah, ada di tempat ini membuatnya merasa bosan. Sepertinya ini memang bukan tempatnya, ini bukan dunianya. Terlalu resmi, atau terlalu monoton.
"Lima kali."
Suara itu memecahkan lamunan Chika. "Yaa?"
"Lima kali, kamu menghela nafas." Raka membaca, entah itu apa dengan wajah serius.
"Oh," tanggap Chika sembari mengusap tengkuknya sendiri. "Maaf, aku agak bosan." Tubuhnya kembali tegak. "Bisa kita pulang sekarang?"
"Tidak."
"Boleh aku keluar sebentar?" tanya Chika lagi.
"Tidak."
Chika mengerucutkan bibirnya. Menyebalkan sekali pria ini. "Emm kalau aku jalan-jalan ke sana, boleh?"
"Jangan macam-macam." Raka kembali menanggapi tanpa menoleh.
Tangan Chika terkepal kuat-kuat, astaga. Pria ini benar-benar menguji kesabarannya. Kalau tahu begini, dia kabur saja. Tidak peduli dengan omelan pria ini nantinya.
"Kalau begitu aku mau pulang." Chika berdiri dari kursinya. "Sendiri."
"Setengah jam, setelah itu kita pulang." Kali ini pria itu meletakkan tabnya. Raut dingin di wajah itu terihat lebih serius. Hal yang menandakan bahwa tidak ada lagi yang harus didebatkan. Itu keputusan final.
"Aku bosan. Setengah jam itu waktu yang panjang!" protes Chika namun tetap kembali duduk sembari bersedekap. Menatap ke sekitar. Beberapa perempuan sedang mencuri pandang ke arah Raka. Perempuan kelas atas, yang dia yakin pernah lihat entah itu di majalah atau di televisi.
Oh iya, dia sampai lupa. Waktu itu kan pernah ada gosip kalau Raka sedang dekat dengan aktris ternama. Entah kemana gosip itu sampai tiba-tiba hilang. Tapi pada intinya, Raka memang jauh dari kata laki-laki biasa.
Raka memanggil seorang pelayan, dan memesan beberapa makanan. Nama makanan yang bahkan Chika tidak pernah dengar. "Kenapa kamu pesan makanan?"
"Kamu lapar, kan?"
"Aku bosan Kaka! Bosan! Bukan lapar!" Astaga. Raka ini benar-benar tidak peduli dengan omelannya tadi ya.
Tidak lama dari itu makanan disajikan di mejanya. Meski mengatakan tidak lapar, aroma dari makanan itu membuat Chika agak tertarik, tapi gengsi karena barusan marah-marah pada Raka.
Di hadapannya, Raka justru cuek, memotong-motong daging di piringnya. Setelah semua terpotong, piring itu diserahkan pada Chika. "Habiskan, setelah itu kita pulang. Aku janji."
Chika terdiam menatap piring yang diulurkan oleh Raka. Pria yang selalu membuat perasaannya jungkir balik tidak karuan. Perhatiannya, kebaikannya, lalu cueknya, dinginnya. Ditambah ciumannya malam itu. Memastikan sesuatu, apa yang harus dipastikan oleh Raka, malam itu.
"Kaka," panggil Chika. Pertanyaan itu seolah tidak bisa keluar, dirinya kembali diam, dan kepalanya menggeleng pelan. "Terima kasih."
Hanya itu, setelah itu makanan ini berhasil mengalihkan perhatiaannya.
🌼🌼🌼
Beberapa minggu padat itu benar-benar membuat Raka jarang berkunjung ke rumah. Bahkan dirinya tidak bisa ikut mendampingi Chika menghadapi persidangan ayah angkat gadis itu. Yaa mau bagaimana lagi, yang terpenting dia mendapat laporan lengkap tentang kasus itu.
Di sampingnya Lyza juga tampak serius membantunya. Gadis ini kekeh ingin ikut menyelesaikan masalah ini. Katanya meski tidak bisa terlalu berpengaruh, dia bisa membantu sedikit.
Rambut panjang bergelombang dengan warna blonde itu tergulung dengan rapih, menyisakan anak rambut di sisi pipinya. "Aku tidak tahu, kalau semua bisa diatur serapih ini."
"Karena itu kita juga harus bekerja dengan rapih," balas Raka dengan santai. Padahal masalah ini lumayan berat. Namanya dipertaruhkan. Saat ini semua sedang menjadikannya pusat perhatian, setelah rapat besar direksi, dimana dirinya dengan berani mengungkapkan bahwa keuangan perusahaan sudah tidak sehat, dan lebih parah lagi, tanpa beban Raka langsung menyebutkan siapa dalangnya.
Dalam rapat itu, Raka berdiri dengan rasa percaya diri tinggi. Meski di hadapannya ada banyak orang yang telah lama terjun dalam dunia bisnis, termasuk ayahnya.
"Saya hanya penasaran, dan ternyata, tikus kecil itu bebas berkeliaran mengambil apapun karena si tuan rumahnya sendiri yang melepaskannya."
Hanya itu dan semua orang langsung melihat direktur keuangan. Ruangan rapat hening. Dan saat itu kalau tidak salah lihat, ayahnya justru tersenyum tipis. Tidak kaget.
"Omong kosong! Mana mungkin saya melakukan itu. Nama saya yang paling dipertaruhkan di sini."
"Dan Anda pula yang paling diuntungkan di sini." Raka tersenyum santai.
"Jangan asal bicara! Buktikan kalau itu memang benar!" salah satu orang bersuara. Disusul suara-suara lain. Pecah. Suasana ruang rapat ini tidak kondusif dan di tengah mereka, Raka tetap berdiri tenang.
Aura pria itu tampak semakin dingin. Dengan tubuh tegap dibalut jas hitam. Mata tajamnya menatap keseluruhan ruangan. "Apa yang akan saya dapatkan jika saya bisa membuktikan itu?"
"Kenaikan jabatan," kata ayahnya langsung.
"Tidak bisa! Pak Karel, jangan karena dia anak Anda, Anda bisa seenaknya!" kata Herdian, direktur keuangan di sini.
Ayah berdiri dari kursinya dan menghampiri Raka. "Kalau dia tidak bisa membuktikan, aku sendiri yang akan mengeluarkannya dari perusahaan." Dingin, tegas, dan tidak akan bisa diganggu gugat.
"Di hadapan kalian semua." Kembali ayah bicara.
Raka mendengus pelan dan mengangguk. Diulurkan tangannya. "Beri saya waktu, satu bulan."
"Buktikan ucapanmu." Ayah menerima uluran tangannya dan menjabat tangan itu.
"Pasti," jawabnya yakin. Ini bukan hanya tentang namanya, tapi nama ayahnya. Jelas dia tidak akan bermain dengan santai lagi. Dan sudah dipastikan, lawannya harus waspada karena dirinya pun mulai serius.
Sejak itu rata-rata orang di perusahaan ini menjadi kontra padanya. Raka termasuk orang baru di perusahaan, sehebat apapun, bisa saja pria ini salah, usianya pun masih tergolong muda, bisa membuat keputusan yang tidak tepat. Salah mendukung, mereka bisa didepak dari perusahaan.
Raka sendiri tidak terlalu memikirkannya. Tidak peduli seberapa banyak yang mendukungnya, benar adalah benar dan salah adalah salah. Dia juga tidak peduli sebesar apa pengaruh musuhnya saat ini. Fokus saja pada pekerjaannya.
"Malam ini sepertinya kita harus lembur, lagi dan lagi," kekeh Lyza sambil menatap hamparan dokumen yang padahal memusingkan.
"Hmm. Kalau kamu tidak sanggup, aku bisa-,"
"Sendiri?" potong Lyza. "Cih, ingat kamu itu manusia biasa. Jangan berlagak seperti super hero yang bisa melakukan apapun."
Raka ikut mendengus, oke, dirinya memang membutuhkan bantuan. Karena berhari-hari dia sudah kurang tidur. "Terima kasih."
"Oh maaf Tuan, ini tidak gratis." Lyza menyandarkan tubuhnya pada meja. "Ajak aku berlibur."
"Hmm. Yaa kita lihat nanti, seberapa bagus pekerjaanmu," balas Raka pura-pura serius.
"Ayolah, Abang. Aku butuh berlibur. Kalau ke Bali, bagaimana? Kita berdua bisa pergi ke sana, kan? Iya kan?" bujuk Lyza sambil mengedip-ngedipkan matanya. Wajah cantik itu terlihat sangat berharap membuat Raka gemas dan mencubit pipi itu.
"Dasar, baiklah. Kita atur jadwal, nanti."
"Benar?!! Janji yaa!" kata Lyza.
"Hmm."
🌼🌼🌼
Chika duduk di kantin dengan Wulan, kali ini tanpa Dita karena jika Raka sibuk, maka Dita pun akan sibuk. Tentu saja mereka sudah mendengar berita itu. Sekarang posisi Raka sedang terancam. Sudah dua minggu setelah rapat besar itu, dan sepertinya Raka belum menemukan banyak hal. Terbukti, di rumah, bunda kelihatan cemas.
Sebenarnya Chika penasaran dengan kondisi Raka sekarang, meski dirinya pun sibuk dengan persidangan ayah angkatnya dan urusan panti yang belum juga beres. Yaa mau bagaimana lagi, semua harus diselesaikan satu persatu kan.
"Lo nggak mau ke ruangannya gitu?" tanya Wulan. "Gue denger, semua udah yakin, Pak Raka yang akan didepak dari perusahaan."
Chika kembali menghela nafas panjang. "Aku juga mau ke sana, tapi apa alasannya? dia udah bilang kalau aku nggak boleh ikut campur urusan itu."
"Kenapa sih?" tanya Wulan, agak kesal. Karena Lyza yang baru saja dibolehkan. Kata Dita, Lyza bahkan setiap hari ada di ruangan Raka.
Bahu Chika terangkat. Mana dia tahu, pria itu kan sulit sekali ditebak. Apa jangan-jangan dirinya menyusahkan. "Mungkin kerjaanku nggak cukup bagus."
"Pemikiran apaan tuh? jangan mikir yang aneh-aneh deh, kerjaan lo itu bagus. Kalau dia nilai begitu, dia yang bodoh." Wulan langsung tidak terima.
"Hey, barusan kamu maki-maki bos kamu loh," ringis Chika, mengingat Wulan ini sejak pertama berteman dengannya selalu takut salah bicara soal Raka.
"Yaa sorry kelepasan, lagian kan gue bilang, kalau." Wulan menunjukkan cengirannya. Tidak takut seperti waktu itu.
Benar kata Wulan, dia memang harus melihat Raka kan. Lagipula melihat saja kan tidak perlu sampai bertemu. Chika mengendap-endap di lantai dimana ruangan Raka berada. Meski ini tidak keren sama sekali dan membuat punggungnya sakit karena berjalan dengan posisi menunduk, tapi dirinya tidak bisa mengeluh.
Sampai di dinding dekat ruangan, dirinya mengintip sedikit. Di meja kerja yang ada di depan ruangan Raka, Dita sedang serius bekerja. Chika langsung berlari pelan ke meja itu. "Sstt, Dita.."
"Dita!" panggil Chika lagi.
"Yak!" Dita melebarkan mata kaget, melihat kepala Chika muncul dari bawah mejanya. "Astaga! Ngagetin aja. Kenapa sih, ngumpet begitu?!"
"Hehe, maaf." Chika menoleh pada ruangan Raka. "Kaka ada di dalam?"
"Dimana lagi?" tanya Dita, masih kesal. Dia tadi sedang serius mengerjakan pekerjaan yang lagi-lagi diberikan oleh Raka. "Lo abis dari kantin?"
"Emm." Chika menganggukkan kepalanya. "Di dalam ada Lyza ya?"
"Yap, kayak biasa." Dita tersenyum meledek. "Kenapa? Cemburu yaa, bilang dong sama si Mas, jangan dekat-dekat yang lain."
"Enak aja! Siapa yang cemburu!" keluh Chika. Dirinya menempelkan telinga di pintu ruangan Raka. Tidak ada yang terdengar sama sekali. Tidak bisa. Pintu ini benar-benar tebal. Bahkan Raka tidak mau mendobraknya.
Meski begitu, Chika tetap mencoba, bahkan alisnya sampai berkerut saking berusaha berkonsentrasi.
"Mau tau gimana caranya denger?" tanya Dita dengan geli.
"Gimana?"
Dita bertopang dagu dan memasang wajah serius. "Buka pintunya, samperin mereka, duduk di sana terus bilang ke mereka, silakan ngobrol, aku mau dengar. Selesai."
Chika melotot kesal dan tidak menanggapi itu. Dirinya cemberut kesal dan duduk di sofa yang ada di depan ruangan Raka. "Oh iya, apa udah ada kemajuan?"
"Sedikit, dan pastinya itu bukan hal yang bagus. Kita dikejar waktu." Dita menghembuskan nafas panjang. Dirinya juga lelah. Selain fokus membantu Raka, dia juga harus memikirkan pernikahannya dengan Arga. Menjalankan dua hal penting sekaligus, bukan hal yang mudah.
"Yaa, aku dengar orang-orang banyak yang membicarakan Kaka," keluh Chika. Kasihan sekali pria itu, mau membantu pun tidak bisa.
Suara pintu terbuka membuat Chika langsung berdiri dan sembunyi di belakang sofa. Merapatkan tubuhnya agar tidak terlihat. Digigit bibirnya kuat-kuat karena gugup.
"Dita, aku akan keluar sebentar. Kamu ingin makan apa?" itu suara Lyza.
Chika mengintip dari balik sofa, dan melihat Lyza keluar sendirian. Gadis itu, meski terlihat kurang tidur, tetap saja sangat cantik. Kalau dirinya yang berpenampilan begitu, bisa dikira hidup segan mati tak mau.
"Apa aja deh, gue pemakan segalanya," balas Dita. "Thanks yaa."
"Oke. Aku pergi dulu."
Setelah Lyza keluar, baru Chika berani keluar dari persembunyiannya. Dia kembali menghampiri meja kerja Dita. "Untung aja, hampir ketauan."
Dita meringis kecil dan mengangguk dengan senyum canggung.
"Kenapa Kaka nggak ikut keluar yaa? Dia belum makan kan?" Chika berdecak kesal. "Kalau dia sakit gimana?"
"Emm, lo tanya langsung aja kali yaa?" tanya Dita sambil mengusap tengkuk. Ingin tertawa tapi harus ditahan.
"Tanya dia? haha terima kasih, Dita. Kamu tahu kan, itu ide buruk." Chika kembali cemberut kesal. Apa dia kembali saja ke ruangannya ya.
Dehaman di belakang membuat punggungnya langsung menegak. Chika mengerutkan keningnya, ekspresi bertanya itu dibalas cengiran oleh Dita. Ragu, dirinya berbalik. "Oh haha Kaka, hm maaf, Pak Raka. Sejak kapan di sini?"
Raka memutar bola matanya, tidak heran lagi dengan sikap Chika. "Istirahatmu sudah selesai."
"Udah Pak, maaf tadi saya mampir sebentar," jawab Chika. Agak sedih karena kalimat Raka seolah tidak menerimanya ada di tempat ini. Kalau ingin mengusir tidak perlu basa-basi kan.
"Dita, aku balik ke ruanganku yaa. Jangan lupa makan siang," ucap Chika sebelum berbalik pergi.
🌼🌼🌼
Raka mendengus kesal dan menarik tangan Chika. Dalam genggaman tangannya, tanga kecil itu terasa dingin. "Beri waktu setengah jam, jangan biarkan siapapun masuk ke ruanganku."
"Siap Pak," kata Dita.
Diabaikan rontaan dari Chika. Dirinya harus bicara, dan gadis ini harus mendengarkannya baik-baik. "Duduk."
"Apa sih? tadi nyuruh aku pergi." Chika bersedekap, kesal.
"Duduk."
Chika mengepalkan tangannya, namun tetap duduk, mengikuti perintah Raka. Menyebalkan, kenapa di saat seperti sekarang ini, dirinya tidak bisa melawan. "Apa? Aku harus cepet kerja, bos ku galak."
Raka duduk di hadapannya, terlihat lebih serius, dan mata tajam dengan alis tebal itu menatapnya lurus. Cukup lama, hingga membuat pipi Chika bersemu merah. "Ka-kalau mau bicara, tolong langsung bicara."
Ada banyak hal yang ingin Raka tanyakan. Tentang bagaimana perasaan gadis ini setelah sidang dimulai. Bagaimana kabarnya karena beberapa minggu ini bahkan mereka jarang berpapasan. Apa ada lagi yang berani macam-macam selama dirinya tidak ada di samping Chika.
"Sidang Ayahmu, lancar?" bukan itu. Astaga, dirinya bahkan tahu soal itu dengan jelas.
"Emm? Yaa, udah masuk ke tahap putusan," jawab Chika masih merasa canggung. Dia pikir, Raka ingin membahas hal penting, yaa tapi sidang ayah angkatnya, juga hal penting, kan.
"Hmm." Raka kembali diam, jemarinya saling bertautan. "Untuk beberapa waktu kedepan, kamu tidak perlu ke ruanganku."
"Hah?" Chika mengerjapkan matanya. "A-aku kan ke sini untuk Dita, bukan untuk kamu."
"Apapun alasannya." Raka kembali menjawab. Selain tidak ingin membuat Chika tidak nyaman karena kehadiran Lyza, dirinya tidak bisa menyeret Chika ikut ke dalam masalah ini. Terlalu rumit, dan agak berbahaya. Ada banyak orang yang mengincarnya.
"Kenapa?" tanya Chika memberanikan diri untuk bertanya.
Yaa, bukan Chika namanya kalau langsung mengikuti kata-katanya tanpa melawan. Gadis ini selalu punya cara untuk membuatnya, kesal, gemas, marah, dan banyak perasaan lagi yang cukup asing untuknya. Asing, baginya yang lebih sering tenang dalam menghadapi apapun.
"Bisa kamu berhenti bertanya?"
Chika menggelengkan kepalanya. "Kenapa?"
Raka menghela nafas, berat. "Jangan bawa dirimu ke dalam bahaya."
"Maksudmu?" tanya Chika, semakin bingung.
"Kamu tidak kenal musuhku," kata Raka, mengalihkan pandangannya ke arah lain. Semua orang di kantor ini tahu status Chika. Dan itu sudah cukup membuat gadis ini menjadi salah satu objek sasaran yang tepat. Kalau dirinya dan Chika menjauh untuk sementara, mereka akan fokus pada dirinya, dan juga akan mengabaikan Chika.
"Direktur keuangan kan? Pak Herdian? Aku kenal, beberapa kali aku lihat dia." Chika menjawab dengan enteng.
"Bodoh."
Salah lagi. Astaga, dia kan sudah menjawab dengan benar. Apa yang salah dengan jawabannya.
Raka paham, Chika terlalu polos untuk mengerti. Beberapa hari lalu dia mengalami hal-hal yang tidak masuk akal. Maksudnya, jika hampir celaka satu kali, mungkin itu masuk akal, tapi itu terjadi dalam tiga kali berturut-turut. Ban mobilnya yang tiba-tiba pecah. Dirinya yang hampir ditabrak mobil saat menyeberang, padahal jelas-jelas dia sudah sangat hati-hati. Atau saat dengan tugas luar, kepalanya hampir terkena balok yang jatuh.
Meski sudah menduga itu, tapi menjalaninya langsung ternyata rasanya cukup berbeda dari teori. Dirinya tidak takut. Sama sekali tidak. Itu hanya membuatnya geli, karena merasa musuhnya bodoh jika berani mengusiknya.
"Dengar aku, kamu hanya perlu fokus pada pekerjaanmu sendiri. Kalau bosan, minta temani Wulan, atau temanmu yang aku kenal." Raka mengetuk jemarinya di meja. "Jangan bertindak tanpa berpikir, aku akan sibuk untuk beberapa waktu kedepan."
Kening Chika makin mengerut. Kedua bulumata lentiknya mengerjap. "Kaka, boleh langsung ke intinya?"
"Astaga, Chika!" geram Raka. Maksudnya jaga dirimu selagi aku tidak ada. "Jangan dekat-dekat aku, jaga dirimu sebaik mungkin, karena sekarang aku sedang diincar. Paham?!"
"Oh," Chika mengangguk-anggukkan kepalanya. "Diincar?! Kamu.. kamu diincar Pak Herdian? Kaka, itu bahaya kan?"
Raka memijat keningnya, "kalau sekarang kamu paham, lebih baik kamu kembali ke tempatmu."
"Tunggu dulu!" protes Chika. "Apa Bunda dan Om Karel tahu?"
"Untuk apa?" tanya Raka santai. Dirinya bisa menyelesaikan ini sendiri. Tidak perlu melibatkan orang lain. Toh sebelum memutuskan untuk membuka semuanya, dia sudah sadar akan bahaya-bahaya itu.
"Kaka!" omel Chika. Bisa-bisanya bertanya untuk apa. "Kalau sampai ada apa-apa sama kamu, gimana? kamu nggak bisa sesantai ini, ini bukan hal sepele, Kaka."
Tidak. Raka sudah bilang pada ayahnya kalau masalah ini akan dia selesaikan tanpa bantuan dari ayah. "Kamu lupa siapa aku?"
"Emm?" Chika menggelengkan kepala. "Tapi Kaka-,"
"Aku akan selesaikan semua, dan kamu tidak perlu ikut campur." Raka berdiri dari sofa itu dan melihat jam tangannya. Sudah hampir setengah jam. "Jangan khawatir, aku bisa menjaga diriku sendiri."
🌼🌼🌼
Meski sangat percaya kalau Raka bisa menghadapi semuanya, tetap saja dirinya khawatir. Chika menatap Raka yang terlihat sangat percaya diri itu. Tidak ada ketakutan di sana. Seperti semua memang bukan masalah besar.
"Apa Lyza membantu kamu?" tanya Chika. Bodoh. Kalau begini kan ketahuan sekali kalau dirinya memang cemburu. Astaga masa bodoh, dia memang penasaran.
"Hmm."
"Kenapa Lyza boleh?" tanya Chika langsung. Agak tidak terima. Lyza diizinkan, sedangkan dirinya hanya disuruh menjauh.
"Karena tidak akan ada yang berani menyentuhnya." Raka mepelaskan jas dan menggulung lengan kemejanya hingga siku. Jika berani, itu berarti bukan hanya menantang keluarga Rajendra, orang itu juga menantang keluarga Soller. Percayalah, tidak ada yang berani menyusahkan hidupnya dengan mengganggu dua keluarga itu.
"Kenapa?" tanya Chika lagi.
Raka mendengus pelan dan menghampiri Chika. Didorong pelan tubuh itu. "Waktumu sudah habis. Aku harus kembali kerja."
"Tapi aku-," Chika masih berusaha tetap ada di ruangan ini.
"Sebentar lagi, setelah urusan ini beres kita itu bisa selesaikan urusan ayah angkatmu dan pembukaan panti."
"Bukan itu Kaka!" keluh Chika.
Dorongan Raka terhenti di dekat pintu. Saat Chika berbalik, tangannya bertumpu pada pintu, mengurung gadis ini. "Kalau semua selesai, kita bisa selesaikan urusan lainnya."
"Urusan apa?" tanya Chika."
Raka mendekatnya wajahnya ke telinga Chika. "Urusan kita."
"Urusan kita?" tanya Chika lagi.
"Kamu tidak lupa kan? kalau malam itu aku sudah memastikan sesuatu." Satu alis Raka terangkat, menantang. Dan di hadapannya Chika melebarkan mata. Reflek, gadis ini menyentuh bibirnya sendiri. "Bagus, masih ingat rupanya."
Menyebalkan sekali pria ini, sementara dirinya malu dan merasa jantung berdebar kencang, Raka justru masih terlihat biasa saja. Terbuat dari apa sih manusia di hadapannya ini. Chika menggeleng kepala, takjub.
Diusap puncak kepala Chika. "Jaga dirimu."
"Kamu yang sedang ada dalam perang, Tuan Muda!" Chika mendorong Raka, agar menjauh. "Oke, selamat siang, Pak. Maaf mengganggu waktunya."
"Lumayan sopan," komentar Raka, geli.
"Hey aku memang sopan." Chika merapihkan rambutnya. "Hati-hati, Kaka. Kamu tahu kan, semua orang khawatir."
"Hmm."
Keduanya menoleh saat mendengar ketukan, karena ternyata sisi pintu lainnya sudah dibuka. Di sana ada Lyza. "Sepertinya aku mengganggu kalian."
"Eh oh nggak, aku udah mau balik ke ruanganku," kata Chika, buru-buru. Dirinya menundukkan kepalanya pada Raka. "Selamat siang, Pak."
"Chika," panggil Lyza. "Mau makan bersama? Aku baru membeli makanan untukku dan Bang Raka."
Chika melirik sekilas pada Raka. Pria itu bersedekap, dan sudah pasti kalau bisa bicara sekarang, maka kalimat yang akan keluar adalah, pergilah secepatnya. "Haha terima kasih, aku udah makan di kantin. Tadi aku cuma mampir untuk jenguk Dita."
"Yaa ya, gue bahkan terharu dijenguk sahabat," oceh Dita. Chika melotot kesal dan memukul tangan sohibnya ini. Komentar yang tidak membantu.
🌼🌼🌼
See you on the next chapter 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top