BAB 21

Hola gengs. Apa kabar? Yaampun, sebentar lagi mau puasa yaa. Mohon maaf yaa kalau saya ada salah.

Langsung aja yuk follow ig @indahmuladiatin untuk tau info2 ceritaku

Dan jangan lupa vote + komentar sebanyak-banyaknya untuk dukung cerita ini.

Happy reading sobat 🤗

🌼🌼🌼

Sejak satu jam lalu, Chika sudah tertidur pulas di sofa. Yaa setidaknya gadis ini tidak membahas soal tindakannya tadi. Raka hanya bisa menggeram kesal dan mengacak rambutnya sendiri. Dilepas dua kancing teratas kemejanya untuk melonggarkan dasi.

"Huh." Raka menggelengkan kepala dan menatap tajam pada gedung-gedung tinggi di sekitar kantornya. Kenapa ruangan ini benar-benar panas.

Gumaman pelan dar bibir Chika yang matanya masih tertutup itu membuatnya melirik kesal. Apa gadis ini bisa tidur nyenyak sedangkan dirinya sekarang merasa serba salah. Tangannya terkepal gemas. Bisa-bisanya dia tidur di situasi seperti ini.

Matanya terpejam rapat-rapat. Kembali mengumpulkan ketenangannya. Ini bukan dirinya, kenapa bisa sampai lepas kendali. Kedua tangannya tenggelam di saku celana bahan yang dia kenakan. Dengan tubuh tinggi tegap, yang menjulang. Dirinya berdiri menghadap kaca.

Chika yang tidak sengaja terbangun langsung melihat pemandangan itu. Raka, pria itu terlihat sempurna. Seperti pahatan karya seni luar biasa. Wajah yang selalu menampilkan ekspresi dingin itu terlihat bercahaya karena pantulan cahaya bulan, diantara remangnya ruangan. Dipikir dari berbagai sisi pun rasanya tidak mungkin kan Raka menyukainya.

Jemarinya menyentuh bibir pelan, hanya memikirkan saja membuat pipinya kembali memanas. Kepalanya menggeleng pelan, tidak bisa, harus dilupakan. Matanya langsung terpejam rapat karena Raka menoleh padanya. Semoga Raka tidak sadar kalau barusan dia menatap pria itu.

Selama sisa waktu beberapa jam, Raka kembali duduk di meja kerjanya dan memejamkan mata. Mungkin tidur akan membuat kegelisahan itu berkurang. Dirinya harus bekerja lagi besok.

🌼🌼🌼

Teriknya sinar matahari pagi ini membuat Chika menutup wajahnya. Dia terbangun dan melihat sekitar, matanya melebar, sudah pagi. Dan dirinya masih di ruangan Raka. Gawat. Chika langsung bangkit dan merapihkan rambutnya.

Dirapihkan berkas-berkas itu. "Kaka bangun!"

Raka yang mendengar suara berisik itu langsung membuka mata. Punggungnya terasa sakit karena tidur dengan posisi duduk dalam waktu yang cukup lama. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul tujuh, masih ada waktu untuk merebahkan diri.

Dengan langkah gontai, Raka menghampiri sofa yang awalnya menjadi tempat Chika. "Bilang pada Dita, beri waktu aku tiga puluh menit."

"Tapi-," Chika tidak melanjutkan ucapannya karena Raka sudah kembali memejamkan mata. Ah yasudah lah, sekarang yang terpenting bagaimana caranya keluar dari ruangan ini.

Chika menghampiri pintu keluar dan mencoba membukanya lagi. Klik. Mata bulatnya melebar, bagaimana mungkin tidak terkunci. Saat pintu itu terbuka, di meja kerjanya, Dita sudah duduk manis dengan beberapa cangkir minuman di mejanya.

"Selamat pagi," sapa Dita dengan senyum polos.

Chika menyipitkan mata, "selamat pagi? Hah? Selamat pagi, katamu?!"

"Ehh oh, haha santai." Dita langsung berdiri dari kursinya. Bersiap untuk kabur. "Jadi gimana semalam?"

"Gimana?!" tanya Chika kesal. "Kemari! Biar aku tunjukkan!"

"Eitss, sorry. Gue banyak kerjaan. Bye!" kata Dita sebelum lari terbirit-birit kabur dari Chika. Karena ide Arga semalam, dirinya pun ikut campur mengerjai dua orang itu. Gemas, karena ingin tahu sebenarnya Raka itu punya perasaan juga pada Chika atau tidak.

"Mau kabur kemana kamu?" tanya Chika sambil mengejar Dita.

Untungnya pagi ini kantor belum terlalu ramai. Keduanya sama-sama membungkuk dan mengatur nafas. Gila, Dita sudah bersiap dengan amukan Chika tapi rasanya tetap saja persiapan itu belum cukup. Bajunya kuyup oleh keringat.

"Tenang," kata Dita masih sambil mengatur nafas. "Gue sama Arga cuma bantu."

"Bantu apanya?" tanya Chika makin sewot. Di antara mereka ada meja-meja. Sejak tadi, mereka berlarian di antara meja di sana. "Kamu tau nggak, aku jadi harus tidur di kantor! Kalau Bunda khawatir gimana?"

"Oh tenang aja, gue udah bilang kalau lo lembur terus nginep di tempat gue," balas Dita, enteng. Cengirannya membuat Chika makin kesal. "Santai dong, yaampun. Lagian nggak ada apa-apa kan semalam?"

"Te-tentu aja nggak ada apapun," jawab Chika terlalu cepat dan gugup. Tentu saja itu membuat Dita mengerutkan keningnya. "Memangnya kamu pikir ada apa? Nggak ada apapun antara aku sama Raka. Jangan pikir yang macam-macam yaa!"

Meski Chika bicara begitu, tapi Dita merasa terjadi sesuatu malam ini. Dan itu membuat senyum jahilnya mengembang. "Nggak ada apa-apa yaa?"

"Yaa, nggak terjadi apapun." Chika mengusap ujung hidungnya. "Pokoknya nggak ada apapun."

"Chika, kancing baju lo terbuka. Raka sampai buka-buka?" pancing Dita.

Chika gelagapan dan langsung melihat kemeja formalnya. "Nggak! dia cuma menciumku-," keningnya mengerut karena bajunya meskipun kusut, tapi kancingnya terpasang. "Mana yang terbuka?"

"Astaga Chika," kekeh Dita kaget, tapi juga senang. Tawanya pecah sampai airmatanya keluar, dia tidak bisa menahannya. Dasar Chika. Polos sekali gadis ini. "Wah-wah kacau. Baru dikurung semalaman, kemajuannya sepesat ini?"

"Dita!!! kamu ngerjain aku yaa?!" rengek Chika. Pipinya sudah memerah seperti tomat saking malunya. Benar-benar, Dita ini memang luar biasa menyebalkan. Dia kembali mengejar Dita yang langsung kabur sambil tertawa.

🌼🌼🌼

Hari ini setelah pulang dari kantor, Chika langsung masuk ke kamarnya. Tidak ada lembur karena semalam pekerjaannya sudah dia tuntaskan. Syukurlah, karena dipaksa bekerja banyak saat pikiran tidak fokus itu sulit.

Chika mengatur nafasnya sembari menatap cermin, bahkan sejak tiga puluh menit yang lalu. Semoga Raka tidak pulang ke rumah malam ini, semoga pria itu sibuk, atau semoga tidak ada barang yang harus diambil di rumah. Pokoknya jangan sampai bertemu Raka, setidaknya untuk hari ini dan beberapa hari kedepan.

"Nona, makan malam sudah siap," kata seorang pegawai di rumah ini, dari luar pintu kamarnya.

"Yaa, terima kasih."

Makan malam sedikit, setelah itu kembali ke kamar. Yaa, itu bagus. Kalau pun nanti Raka pulang, toh dirinya sudah ada di kamar. Dia aman.

Sial bagi Chika, ternyata Raka sudah duduk manis di meja makan, bersama Lyza. Keduanya sedang serius bicara, entah soal apa, yang jelas bukan membicarakan bagaimana cuaca hari ini kan. Chika mengambil tempat yang terjauh dari keduanya. Berharap semua segera datang ke meja makan.

Tidak lama, Caramel datang bersama dengan Arkan. Keduanya saling adu argumen, yang pastinya tidak penting.

"Nggak bisa, pokoknya gue nggak mau. Enak aja, masa Arkan warna pink!" keluh Arkan.

"Tapi yang paling montok ya yang warna pink, Bang! Lagian, lo kenapa ikut-ikutan sih? itu kan ayam gue!" balas Caramel, tidak kalah kesalnya.

"Pink?! Itu nggak ada garang-garangnya. Gue nolak! Lagian lo kan pake nama gue, lo ngelanggar hak cipta. Jelas gue harus ikut campur!" omel Arkan.

Astaga, dua orang ini bertengkar karena ayam. Dan mereka terlihat serius. Chika bertopang dagu, menyaksikan perdebatan itu.

"Jadi si pink yang montok itu Arkan?" tanya bunda yang baru saja datang dengan om Karel.

Caramel menoleh, wajahnya terlihat takut, namun cengirannya membuat Chika terkekeh geli. Apalagi tingkah anak itu sekarang. "Hehe lucu kan Nda si Arkan?"

"Lucu apanya?! Dia ngerusak tanaman Bunda. Pokoknya besok ayam itu harus dipisah. Dia harus dikurung," keluh bunda.

"Nggak bisa, aku nggak mau Nda," jawab Arkan.

"Kan yang dikurung itu Arkan si ayam, kenapa kamu yang nggak mau?" tanya bunda.

"Iya ya?" gumam Arkan. Dirinya jadi menjiwai menjadi ayam. Kurang ajar sekali adiknya ini. Jangan-jangan sekarang dia punya ikatan batin dengan si pink yang montok itu.

"Dimana Rafan? ayo kita mulai makan malam," kata om Karel menyudahi semua perdebatan itu.

"Malem Nda," sapa Rafan setelah datang dan mengecup pipi bunda Fian. Anak itu baru pulang, dan terlihat baru berlari dari luar. Ini waktu makan malam keluarga. Chika baru ingat kalau hari ini lah jadwalnya. Semua harus menyisihkan waktu. Tidak ada alasan.

Di meja makan yang besar ini, semua makan dengan tenang, sesekali ngobrol tentang kegiatan masing-masing. Makanan yang disajikan mulai dari menu pembuka hingga penutup semua memang lezat. Tidak kalah dengan menu di rumah utama keluarga Rajendra.

Caramel yang akhir-akhir ini sedang asik dengan dunianya sendiri langsung kabur setelah menyelesaikan makan malamnya. Arkan dan Rafan pun begitu, keduanya langsung mengambil langkah seribu, mungkin takut ditanya-tanya soal sekolah. Dengar-dengar mereka sebentar lagi terbebas dari hukuman dari bunda Fian, jangan sampai terkena hukum lagi.

"Chika, kamu kelihatannya kurang tidur. Pasti capek yaa semalaman lembur?" tanya bunda khawatir.

Pertanyaan itu membuat Raka mendengus, "lembur? Dia tidur nyenyak."

"Enak saja, dia itu lembur semalaman di kantor." Bunda mencibir, kesal. Saat akan kembali memakan buah, tangan bunda terhenti. "Tunggu dulu, kamu tau darimana Chika tidur?"

Chika mengeluh pelan, kalau bisa, dia ingin melempar sendok di tangannya pada Raka. Di lirik Lyza yang terlihat fokus pada makanannya. Raka, Bisa-bisanya pria itu bicara seenaknya. Di depan bunda dan Lyza pula. "Kaka cuma bercanda, Bunda."

"Chika, kamu harus minta gaji tambahan padanya. Oke?" kata bunda semangat.

Om Karel berdeham pelan. "Lyza, besok kamu sudah bisa datang ke kantor."

"Terima kasih, Om," ucap Lyza dengan senyum tipis.

"Oh iyaa, benar juga. Selamat bergabung sayang." Bunda mengepalkan tangannya ke atas. "Semangat! Dan ingat, kalau ada apapun, kamu jangan ragu cerita sama Bunda."

🌼🌼🌼

Raka menghempaskan punggungnya pada sofa di ruangan vip yang berada di salah satu bar besar di kota ini. Di hadapannya, Dewa dan Arga sedang asik membicarakan tentang acara pernikahan Arga dan Dita yang semakin dekat. Wajar saja, Dewa adalah satu-satunya yang sudah berpengalaman.

"Fala punya kenalan WO, nanti gue coba tanya." Dewa mengeluarkan rokok miliknya. "Lo fokus aja ke persiapan lain."

Arga mengangguk semangat. "Gue nggak tau, ternyata makin deket harinya, rasanya makin nggak karuan."

"Lo tunggu aja pas harinya," kekeh Dewa.

Keduanya berhenti bicara, dan saling melempar pandangan, bingung. Ada apalagi sekarang, hingga wajah si dingin itu terlihat gusar. Sekarang karena ada Chika, mereka jadi punya dua kemungkinan kalau mood Raka sedang jelek, bisa karena pekerjaan atau karena Chika yang terlibat masalah.

Arga sendiri sudah kena omel karena kejadian mengunci ruangan kerja Raka, di malam itu. Saat dia cerita pada Dewa, sohibnya ini justru tertawa dan hanya bisa geleng-geleng kepala. Kalau dipikir-pikir, Arga memang senang mengerjai Raka.

"Gue harus mulai serius." Raka meraih kaleng softdrink di hadapannya.

"Wah bagus, jadi kapan nikah? abis gue kan?" tanya Arga.

Raka menyipitkan mata, kesal. Ini bukan tentang masalah pribadi. "Untuk sementara, urusan soal panti gue serahkan ke kalian. Ada beberapa hal yang harus gue urus secepatnya."

"Soal apa?" tanya Dewa, ikut kepo.

Sebelum Raka resmi menggantikan posisi ayah di perusahaan, dirinya harus membereskan orang-orang yang sudah bermain dengan bebas di perusahaannya selama beberapa tahun terakhir ini. Yaa sepertinya bulan ini akan menjadi bulan yang padat sekali. 

Raka menghela nafas panjang dan memejamkan mata. "Kantor."

Dewa dan Arga mengangguk-anggukkan kepala, mengerti. Mereka tahu saat ini Raka sedang sibuk membongkar orang-orang lama yang mulai nakal di perusahaan. Bukan hal yang mudah, karena ternyata dalangnya adalah orang yang sudah lama sekali bekerja di kantor dan menjadi salah satu orang paling penting.

"Oke, lo nggak perlu khawatir. Biar gue dan Fala yang handle, si Arga biar fokus ke persiapan pernikahan." Dewa menggulung kemejanya hingga siku. "Gue dan Fala pinjam Chika."

🌼🌼🌼

Ini hari pertamanya bekerja di kantor ini. Lyza tersenyum dan menyapa semua orang yang berada di satu divisi dengannya. Dengan wajah cantik dan ramah, tidak sulit untuknya berbaur dengan yang lain. Dalam divisi ini, beberapa tim telah dibagi. Dan dirinya masuk ke dalam tim dimana tugas mereka adalah merancang strategi pemasaran produk. Hal yang baru namun menarik baginya.

Di jam istirahat, Lyza mengambil kotak bekal makanannya. Dia pergi ke kantin setelah mengirim pesan pada Chika. Di sepanjang jalan menuju kantin, beberapa pasang mata menatapnya secara terang-terangan. Pandangan kagum yang sudah biasa.

"Chika!" sapa Lyza sambil mengangkat tangannya. Di sana, Chika duduk dengan dua orang temannya. "Hey. Kamu sekretaris, Bang Raka kan?"

"Yapp, gimana kerjaan hari ini? asik?" tanya Dita.

Lyza mengangguk antusias. "Tentu saja, ini dunia baru untukku. Oh iya, apa Bang Raka ada di ruangannya?"

"Yaa, dia agak sibuk hari ini," jawab Dita sambil melirik Chika.

"Ohh, dia pasti belum makan." Lyza tersenyum dan berdiri dari kursinya. "Maaf, sepertinya aku belum bisa bergabung." Pandangannya beralih pada Chika. "Chika, kamu mau ikut aku ke ruangannya? Ayo kita makan bersama."

"Emm? aku di sini aja, aku nggak biasa makan sama Kaka," jawab Chika dengan senyum canggung.

"Oke, kalau begitu, aku duluan yaa. Selamat makan siang," uap Lyza sebelum berbalik pergi dan meninggalkan area kantin. Ditatap kotak bekal di tangannya, senyumnya semakin mengembang. Dia tidak sabar dengan reaksi dari Raka.

Sampai di ruangan milik pria itu, langkahnya terhenti di depan pintu ruangan. Pintu itu tidak tertutup rapat, dari tempatnya berdiri, dirinya bisa mendengar Raka sedang berbicara dengan sesorang di telepon. Tampaknya pembicaraan itu serius, jadi dia memutuskan untuk menunggu di luar. Dihampiri meja kerja Dita. Di sana dokumen tertata rapih. Pasti sangat menyenangkan bisa bekerja di meja ini, selalu bisa berada di samping Raka.

Lyza tersenyum tipis, helaan nafasnya memberat. Apa yang dia pikirkan. Sebelum pikirannya berkelana semakin jauh, dirinya segera masuk ke ruangan Raka karena pria itu sudah selesai menelepon. Di kursi kerjanya, Raka tampak sangat tampan, dengan wajah serius, alis tebal yang bertaut saat mengerutkan kening.

"Selamat siang, Bapak Raka." Lyza tersenyum, berjalan mendekat dengan mengangkat tinggi bekel makanannya. "Time for lunch."

Pria itu melihat jam tangannya. "Makanlah duluan."

"Mana bisa begitu?!" protes Lyza. Menyebalkan sekali. Raka ini memang sangat mencintai kerja, tapi tetap saja makan itu kebutuhan pokok. "Aku membuatnya sendiri, tolong hargai itu."

"Lyza, aku akan makan nanti," jawab Raka dengan sabar.

"Kalau begitu, aku juga akan makan nanti," balas Lyza santai. Dirinya menarik kursi mendekat pada kursi Raka. "Apa yang sedang Abang kerjakan?"

Dilihat beberapa laporan keuangan yang berjejer di sana. Aneh, bukankah itu bukan tugas Raka. "Apa ada masalah di bagian keuangan?"

"Hmm." Raka mengambil kotak bekal yang Lyza bawa. "Bukan masalah penting, ayo makan."

"Bukan masalah penting, tapi melewatkan makan siang?" tanya Lyza geli. Dikuncir rambutnya yang tergerai. "Apa yang aku bisa bantu? aku lumayan bisa diandalkan loh."

"Makan dulu," jawab Raka lagi. Perkara pekerjaan, dirinya bisa mengerjakannya nanti. Dia bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Cukup melibatkan beberapa orang, jangan sampai berita ini lebih menyebar.

Usai makan siang, Lyza tetap memaksa untuk membantu. Jadilah keduanya mendiskusikan pokok masalah yang sedang Raka hadapi. Karena baru bergabung, Lyza tidak terlalu mengerti soal itu, namun dirinya tertarik untuk membantu.

"Kenapa tidak melibatkan Chika? dia kan bekerja di bagian finance?" tanya Lyza sambil membaca laporan keuangan itu.

Raka berdeham pelan, mendengar nama Chika disebut membuatnya agak canggung. Untuk menetralisir itu, dirinya berusaha kembali fokus. Untuk masalah ini dia tidak bisa melibatkan Chika. Musuhnya itu licik, dan tidak ada jaminan kalau mereka tidak membuat cara-cara curang untuk melawannya.

Lagipula ini bukan perkara uang ratusan juta atau beberapa miliar. Ini lebih dari itu, ditambah nama baik. Dirinya yakin, mereka akan mempertaruhkan apapun untuk membuat semua tidak terbongkar. Meski caranya kotor.

"Aku tidak suka banyak orang yang terlibat," jawab Raka sekenanya.

Gerakan tangan Lyza terhenti. "Boleh aku bertanya?"

Raka hanya menatap balik Lyza tanpa menjawab. Kalau gadis ini sampai bertanya, sepertinya pertanyaan itu penting.

"Apa Chika dan Abang punya hubungan spesial?" tanya Lyza.

Hening. Raka terdiam, mengamati wajah penasaran di hadapannya. Agak aneh, Lyza tidak terlalu suka mencampuri urusan pribadi orang lain. Gadis ini selalu cuek dengan sekitar. Dan kalau tidak salah tebak, wajah cantik di hadapannya ini sedang khawatir, meski sepertinya Lyza berusaha menutupi itu.

"Kami teman baik." Raka menepuk pelan puncak kepala Lyza. Dirinya sangat mengenal Lyza, sejak kecil, gadis ini selalu ada dalam pengawasannya. Meski sempat pergi ke London, dirinya selalu mendapatkan kabar bagaimana keseharian Lyza.

Lyza mengangguk-anggukkan kepalanya, senyumnya mengembang tipis. "Oke."

🌼🌼🌼

Chika menepuk pelan keningnya, gawat, dia lupa kalau harus tugas keluar hari ini, setelah istirahat. Sebelum jam istirahat selesai, dirinya langsung pergi lebih dulu ke ruangannya untuk mengambil tas.

Di area parkir kantor, Chika menunggu ojek online datang sambil mengipas wajah. Hari ini memang panas sekali, ditambah memikirkan kalau Raka dan Lyza sedang berduaan di ruangan pria itu. Kepalanya menggeleng, apa yang dia pikirkan, fokus, fokus, ada banyak kerjaan yang harus diselesaikan.

"Mbak Chika?"

"Iyaa Pak." Chika segera memakai helm yang diulurkan.

Jalanan yang macet membuat perjalanannya terhambat, Chika baru sampai ke bank yang dituju setelah hampir satu jam berpanas-panasan. Masuk ke dalam bank membuatnya merasa seperti berada di surga dunia. Pendingin ruangan yang nyaman.

Sayangnya setelah hampir dua jam, Chika harus kembali berpanas-panasan. Kali ini dia memilih untuk jalan kaki menuju pedagang-pedagang kaki lima. "Pak, es kelapanya yaa satu."

"Satu lagi Pak," tambah seseorang yang membuat Chika menoleh kaget.

Pria itu justru tersenyum santai sambil mengangkat alisnya. "Boleh gabung?"

"Emm?" Chika mengangguk ragu dengan senyum canggung. Kebetulan sekali bertemu lagi dengan pria manis ini.

🌼🌼🌼

"Kamu lagi apa di sini?" tanya Chika pada Aksara.

Aksara mengangkat kameranya dan mengarahkan lensa itu pada wajah Chika. Sudut bibirnya terangkat. "Nggak mau senyum? Mau gue foto loh."

"Jangan, nanti kamera kamu yang rusak," kekeh Chika. Tangannya menutup lensa itu. "Kamu kerja di sekitar sini?"

"Nggak, lagi iseng foto-foto area sini aja." Aksara mengangkat tangannya. "Mas! somainya yaa, jangan pake pare." Dirinya beralih pada Chika. "Mau?"

"Boleh."

"Dua porsi Mas!"

Chika tidak tahu kalau ternyata Aksara adalah orang yang menyenangkan saat diajak bicara. Pria itu santai, bisa membawa orang lain ke obrolan yang seru meski hanya soal pekerjaan. Dan itu membuatnya sampai lupa waktu.

"Jadi kamu itu fotografer juga? Apa yang paling sering kamu foto? Model-model cantik?" tanya Chika.

Aksara mengangkat bahunya. "Nggak terlalu sering, gue lebih suka ambil projek fotografi jalanan, kegiatan di berbagai tempat, kayak tempat ini contohnya, gue selalu nemu banyak cerita di setiap perjalanan."

"Oh." Chika mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kayaknya seru."

"Lumayan." Aksara menghabiskan sisa makanan di piringnya. Dirinya sekarang ingat, kapan pernah melihat gadis di hadapannya ini. Bagaimana dia bisa lupa, Chika adalah orang yang mengganggu pikirannya selama berhari-hari setelah malam itu.

Malam dimana dia sedang bekerja untuk memotret seperti biasa, dan tidak sengaja bertemu Chika dengan gaun putih namun agak lusuh. Wajah cantik itu ketakutan, diseret oleh dua orang pria berbadan besar. Belum sempat menolong, Chika suka berhasil berlari, dan yang dirinya tahu, malam itu dia ikut berlari.

Yaa malam itu, untuk pertama kalinya dia menghajar orang lain yang sama sekali tidak dia kenal. Meski tidak tahu apa masalahnya, tapi dia yakin, dua orang itu punya niat jahat pada Chika. Usai menghajar orang-orang itu, dia mencari Chika, ditelusuri banyak tempat hingga menemukan Chika menangis di antara gelapnya taman. Duduk sambil memeluk lutut.

Dari kejauhan, dirinya bisa melihat bahu itu bergetar karena tangis. Tampak rapuh. Dan itu membuatnya terenyuh, kenapa dunia dikelilingi oleh orang yang kejam. Saat itu, dia tidak mendekat, karena merasa gadis ini membutuhkan waktu untuk sendiri, untuk menangis, marah, putus asa. Dan dirinya hanya bisa mengawasi dari kejauhan.

Hari ini, di hadapannya, gadis rapuh itu kembali. Dan hebatnya, bukan seperti malam itu, saat ini wajah cantiknya bersinar, dengan senyum manis. Seperti tidak ada kesedihan, seperti malam itu hanya bagian dari ilusi.

Chika meraba wajahnya sendiri. "Ada ada yang aneh di wajahku?"

"Emm? Bukan," kekeh Aksara, malu sendiri tertangkap sedang menatap terang-terangan wajah itu. "Kamu lagi ngapain di sini?"

"Ehh kenapa kamu jadi aku kamu juga?" tanya Chika geli.

"Yaa abis kamu juga pakai aku kamu, biar nyaman aja." Aksara balas tersenyum. "Jadi, kamu ngapain di sini?"

"Lagi tugas kantor, makanya aku nggak bisa lama-lama." Chika berdiri dari kursinya dan mengeluarkan uang.

"Biar aku yang traktir." Aksara memberikan uang pada pedangan es kelapa dan somai itu. "Anggep aja terima kasih, karena udah nemenin aku ngobrol."

"Yaampun." Chika tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Makasih yaa, kapan-kapan, kalau ketemu lagi, aku janji deh traktir kamu."

"Beneran?" tanya Aksara. Dia langsung mengeluarkan ponselnya dan memberikan benda kotak itu pada Chika. "Minta nomor kamu. Biar gampang nagih janjinya."

🌼🌼🌼

"Kamu nggak perlu sampai nganterin aku tau," kata Chika sambil turun dari motor Aksa. Dia melepaskan helmnya dan menyerahkan pada pria itu. Di hadapannya, Aksa tampak serius menatap gedung di hadapannya.

"Kenapa?" tanya Chika.

Aksa berdeham pelan dan menggelengkan kepala. Senyumnya mengembang tipis. "Tadi kamu bilang apa?"

"Astaga, kamu bengong? Bahaya tau," omel Chika. "Tempat kerja kamu beneran deket sini?"

"Bener, mau ikut? nggak sampai setengah jam sampai," kata Aksa sambil menaik-turunkan alisnya.

"Ngapain?!" Kekeh Chika. "Yaudah, aku masuk dulu yaa. Makasih tumpangannya." Dirinya tersenyum sebelum berbalik untuk masuk ke kantor. Nanti akan dia ceritakan pertemuannya dengan Aksa pada Wulan dan Dita.

Tin tin. Bunyi klakson mobil membuat Chika kaget. Di sana masih ada jalanan luas, tapi dia tetap memilih untuk mengalah, dan berjalan lebih pinggir. Bukannya lewat, mobil itu tetap berjalan di belakangnya.

Chika menoleh kesal, mobil sedan hitam mengkilat yang tampak mewah itu tidak asing. Itu salah satu mobil milik Raka. Dan benar saja, si empunya duduk manis dengan wajah menyebalkan.

Kaca mobil itu terbuka, Lyza meringis tidak enak. "Maaf Chika, dia mengganggumu ya?"

Chika menghela nafas kesal. "Jalan ini masih luas!"

Sisi kaca di samping Raka terbuka sedikit tangan pria itu keluar, dengan isyarat jari, si tuan muda ini menyuruhnya menyingkir. Astaga. Kalau tidak sabar, sudah dia gigit jari menyebalkan itu.

Chika langsung berjalan cepat meninggalkan area parkir. Sambil menunggu lift terbuka, dirinya mengipas wajah. Panas, kesal menjadi satu. Raka itu berhasil mengubah moodnya yang sedang baik karena ngobrol dengan Aksa.

"Kamu darimana?" tanya Lyza dan Raka yang sudah menyusul masuk ke dalam kantor.

"Tugas luar," balas Chika agak cuek karena ada Raka.

Lyza tersenyum tipis, dipukul tangan Raka. "Lihat, kamu itu membuatnya kesal, Abang. Tidak baik, begitu."

"Dia menghalangi jalan."

"Aku udah jalan di pinggir, dan jalanan masih luas," balas Chika. Enak saja, Raka ini kenapa sih jadi super menyebalkan. Ting, lift terbuka. Sebelum Chika masuk, kerah bagian belakangnya ditahan oleh Raka. "Apasih?!"

Beberapa orang di sekitar mereka melirik tertarik. Perdebatan pasangan lagi, ditambah ada Lyza. Beberapa hari ini gosip jadi makin menarik.

"Lyza, naiklah dulu. Aku ada urusan dengan anak ini," kata Raka.

Bibir tipis Chika semakin merengut, kesal. Setelah Lyza masuk ke dalam lift, langsung dirinya melepaskan tangan Raka. "Aku bukan anak kucing. Ada apa sih? aku masih banyak kerjaan."

"Ikut ke ruanganku," jawab Raka sambil menekan lift lain.

Keduanya pergi ke ruangan Raka yang sudah sangat tidak asing lagi bagi Chika. Masuk ke ruangan ini lagi membuat Chika mengingat moment malam itu. Astaga, mengingatnya saja membuat jantungnya bergemuruh. Dilirik Raka yang saat ini sedang mengambil sesuatu di meja kerjanya. Pandangannya jatuh pada bibir Raka.

Chika langsung membalikkan tubuh dan menampar-nampar pelan pipinya sendiri. Gila, apa yang dia pikirkan. Kenapa jadi mesum begini.

Kelakuan itu tidak lepas dari pandangan tajam Raka. Dia hanya bisa menggelengkan kepala, tidak heran lagi. "Besok, jam tujuh."

"Yaa, apa?" tanya Chika. Dirinya kaget dan reflek menangkap undangan yang Raka lempar. Tidak sopan. Dibaca undangan resmi itu. Itu undangan launching produk dari perusahaan lain. "Sama aku?"

"Hm."

Chika mendengus pelan dan menghampiri meja Raka. "Kenapa nggak sama Dita?"

"Kalau kamu lupa, dia harus mengurus pernikahannya." Raka fokus pada ponselnya, entah sedang apa.

"Oh kalau gitu, kamu bisa pergi sama Lyza," kata Chika lagi.

Kali ini ucapan itu membuat Raka menoleh. Pria itu menyeringai, geli, dan itu justru membuat wajahnya makin tampan. "Cemburu lagi?"

"Siapa yang cemburu! Aku cuma ngasih saran. Aku itu sibuk," keluh Chika.

Ponsel Raka berdering, sebelum pria itu menerima panggilan, wajahnya tampak lebih serius. "Jam tujuh, jangan terlambat."

"Tap-,"

Raka sudah sibuk dengan panggilan itu. Lagi-lagi, jemarinya memberi isyarat agar Chika pergi. Kurang ajar sekali. Chika hanya bisa menghentakkan kakinya, kesal. Kalau sudah begini mau bagaimana lagi.

"Dasar seenaknya! Kalau aku ada acara gimana? Memangnya aku orang paling pengangguran, sampai kalau dia ada acara, aku pun harus senggang untuk ikut." Chika terus mengomel sampai ke ruangannya. "Keterlaluan, padahal dia bisa ajak siapapun. Pergi sendiri kan bisa."

"Chikaa!" Panggil Wulan.

"Yaa?"

"Ditunggu Mbak Nimas tuh!" jawab Wulan.

Chika mengerutkan keningnya, dia langsung pergi ke ruangan mbak Nimas. "Siang Mbak, ada apa yaa?"

"Ohh nggak, gimana tadi?"

"Nggak gimana-gimana Mbak. Kayak biasa," jawab Chika. "Besok, jadwalku lagi kan Mbak?"

"Mulai sekarang, kamu nggak akan dapat tugas keluar. Semua jadwal udah di rolling, tugas luar hanya untuk karyawan laki-laki."

"Hah, bisa mendadak begitu Mbak?" tanya Chika kaget.

Mbak Nimas tersenyum tipis dan menepuk pelan tangan Chika yang bertumpu pada meja. Tentu saja bisa. Sangat mudah.

🌼🌼🌼

See you on the next chapter ❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top