BAB 2
Haloooooo
Apa kabar semuaa? Mana suaranya yang nunggu cerita ini?? 😂😂 *ditimpuk readers
Follow ig @indah muladiatin
Happy reading guys!! ❤❤
🌼🌼🌼
Alunan musik yang memekakan telinga sama sekali tidak bisa mengalihkan perhatian Raka dari pikirannya sendiri. Dia abaikan suara cekikikan dua sohibnya itu. Sebenarnya dia malas keluar malam ini, tapi fua orang itu memaksanya.
Jemarinya masih bertaut di atas meja, matanya menatap ke depan. Menerawang, ini sudah lebih dari dua minggu setelah hari pertemuannya dengan gadis itu, kenapa dia masih memikirkannya. Sekacau apapun keadaan gadis itu, jelas itu bukan urusannya sama sekali. Setelah hari itu sebenarnya dia memang datang ke tempat dia bertemu Chika. Namun, kata orang-orang di sana, mereka sama sekali tidak mengenal gadis dengan gaun putih gading yang berlari-lari itu.
"Lo kenapa Ka? dari tadi bengong," tanya Arga.
Raka menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. Matanya menatap sekitar. Lampu warna warni dari beberapa sudut. Orang-orang yang asik dengan dunianya sendiri. Beberapa perempuan yang lewat dan sengaja melirik ke arahnya.
"Nih, minum gue yakin lo nggak akan nyesel," kekeh Sadewa.
Raka mendengus pelan dan menyingkirkan gelas itu. Sejak dulu dia tidak berminat dengan minuman-minuman itu. Meski dua sohibnya sering memperkenalkan wine, vodka dan apa pun itu namanya. Selain dia tidak suka,dia juga tidak ingin ibunya mengamuk.
Tangannya mengambil segelas soda yang dia pesan. Meneguk hingga isinya tandas. Menahan rasa soda yang tidak terlalu nyaman di tenggorokan. "Gimana masalah lo sama Fala?"
"Tau lo, harusnya lo jadi contoh buat gue sama si Raka!" kata Arga.
"Ck masih ngambek, biarin aja. Toh dia mainnya nggak jauh dari rumah sohibnya," jawab Sadewa. Satu-satunya yang sudah menikah diantara mereka bertiga.
Arga Hadiwijaya dan Sadewa Gusti Hussein adalah dua sohibnya sejak kuliah bisnis. Arga akan menikah tahun ini, hanya tinggal Raka yang belum menunjukan gelagat akan memilih pasangan hidup. Masih betah sendiri dan sibuk bekerja.
"Lo sendiri kenapa si? ada masalah kantor?" tanya Dewa.
Raka menimbang akan menceritakan kegundahannya atau tidak. Cerita akan membuat dirinya jadi tertawaan. Tidak pun, dia bingung ingin minta pendapat dari siapa. Meski dua orang ini benar-benar menyebalkan, tapi sarannya selalu bermanfaat hingga dia betah berteman dengan dua orang ini.
Helaan napasnya terdengar berat. "Dua minggu lalu," jawabnya. Mata kecokelatan itu menatap dua orang yang tampak sangat penasaran. Raka menggeleng pelan. "Bukan apa-apa!"
"Aishh! ni orang!" keluh Arga.
"Tentang perempuan?" tanya Dewa. Dia tidak pernah melihat Raka segusar ini. Selama bersahabat dengan Raka, yang dia tahu ekspresi yang dimiliki orang ini hanya datar dan senyum tipis. Senyum pun hanya untuk keluarganya.
Raka terdiam, kemudian mengangguk tanpa ekspresi.
Sadewa tersenyum lega, lain dengan Arga yang masih bingung. "Siapa men? akhirnya ada perempuan yang berhasil bikin ekspresi lo bertambah!"
"Ini serius? Raka? mikirin perempuan selain Tante Fian sama si Caramel?" tanya Arga.
Raka mendengus, tidak menanggapi ucapan Arga. "Bukan seperti yang kalian duga," jawabnya pada Dewa. "Dia cuma teman lama."
"Terus kenapa lo gelisah begitu?" tanya Dewa bingung.
"Entah," jawab Raka sambil menerawang. "Dia kelihatan sangat-" jeda sejenak untuk menggambarkan kondisi Chika saat itu. "Kacau."
Sadewa dan Arga saling tatap dengan wajah bingung. Mereka kembali menatap Raka yang kembali sibuk dengan pikirannya sendiri. "Kenapa nggak cari tahu aja? perlu gue bantu?" tanya Arga.
"Benar, gue sama Arga bisa bantu cari tahu tentang temen lama lo itu. Kalau lo sampai bilang dia kacau, mungkin memang temen lo sedang ada masalah berat," kata Sadewa.
Raka menggelengkan kepala, dia mengeluarkan dompetnya dan meletakan sejumlah uang di meja. "Masalah Chika bukan urusan gue," ucapnya sebelum pergi meninggalkan bar ini. Suara musik semakin hilang di belakang.
"Kalau bukan urusannya kenapa dia kelihatan peduli?" tanya Arga bingung.
Sadewa mengangkat bahunya, tapi menurutnya, Raka sebenarnya ingin tahu kondisi perempuan itu. Siapa namanya tadi, ohh iya Chika. Selama ini dia tidak pernah mendengar nama itu keluar dari mulut Raka.
Saat ini sudah lewat tengah malam, Raka memilih pulang karena ada beberapa pekerjaan untuk besok. Dia juga tidak ingin membuat ibunya khawatir. Diambil kunci di saku kemejanya.
Ponselnya berdering, pesan masuk dari seseorang yang dia beri tugas untuk menetap di London. Satu kalimat yang bisa membuatnya sedikit lega.
Nona Elyza terlihat baik-baik saja, hari ini dia pergi dengan teman-teman kampusnya.
Satu pesan kembali diterima, kali ini disertai foto gadis berambut pirang dengan garis wajah yang tidak jauh berbeda dengan wanita yang sudah dia anggap ibunya sendiri sejak kecil. Mommy Stella.
Raka memejamkan matanya, menyandarkan kepala. Tersenyum tipis, seingatnya dulu gadis itu masih sangat kecil. Menangis dengan kencang dan baru akan diam jika dia ajak bermain. Sekarang, sudah tampak dewasa dengan penampilan yang menarik hati para pria. Waktu benar-benar berjalan sangat cepat.
Matanya kembali terbuka, suara mesin mobil terdengar setelah tangan Raka memutar kunci. Dengan kecepatan cukup tinggi dia mengendarai mobilnya pulang ke rumah.
"Baru pulang Bang?" tanya Rafan. Adik keduanya.
Raka berdeham sebagai jawaban. Mereka sama-sama duduk di pantri sambil menikmati segelas airputih. Rafan memang bekerja sebagai DJ di salah satu club malam. Hal yang sedikit menjadi perdebatan awalnya hingga pada akhirnya adiknya ini diizinkan bekerja dengan syarat-syarat tertentu.
"Kata Bunda, Arkan membuat masalah lagi di sekolah?" tanya Raka.
Rafan menggaruk kepalanya. "Yaa begitu, tapi masalahnya udah selesai. Nggak perlu dipikirin."
Raka mengangguk, tangannya menepuk bahu Rafan sebelum beranjak pergi. "Jangan buat Bunda pusing, ya sudah Abang ingin istirahat."
"Sip Bang!" jawab Rafan.
Raka menaiki anak tangga, tangannya menggulung kemeja yang dia gunakan hingga siku. Sebelum ke kamarnya, dia mampir ke kamar Caramel. Si bungsu yang termanja. Kamar itu tampak gelap, dia masuk dan duduk di sisi ranjang. Mengusap kepala Caramel dan merapihkan selimut yang sudah tertendang hingga kaki.
Keningnya berkerut melihat plaster menempel di lengan adiknya itu. Luka lagi, astaga entah sekarang karena apa. Kenapa setiap hari ada saja plaster yang menempel. Kepalanya menggeleng pelan, dia segera beranjak keluar dan pergi ke kamarnya sendiri.
Kamar dengan nuansa hitam putih yang menenangkan. Bukannya berbaring di ranjang, Raka justru membuka pintu kaca balkon kamarnya. Membiarkan angin malam menyambut tubuhnya.
Menyelesaikan pekerjaan mungkin bisa membuat pikirannya tenang.
🌼🌼🌼
Chika menyalipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Menulusuri jalan setapak yang saat ini menjadi jalan menuju tempat tinggal barunya. Setelah pertemuan dengan ayahnya, dia tidak bisa kembali tingga di panti asuhan. Takut ayahnya akan datang.
Saat itu, entah keajaiban atau apa hingga ayah tidak langsung membunuhnya. Atau mungkin ayah terlalu takut masuk penjara. Tapi dia yakin itu belum akhir, ayah oh bahkan Chika tidak ingin menyebut pria itu sebagai ayahnya lagi. Pria jahat itu belum selesai mengejarnya.
Chika ingat saat itu hujan semakin deras dan pipinya benar-benar nyeri. Pria itu berkata, "Aku menyesal mengizinkan istriku mengangkatmu menjadi anak, dasar tidak tahu diuntung. Anak pembawa sial."
Kalimat itu lebih tajam dari sebuah pisau. Goresannya tepat mengenai perasaannya yang sedang kacau balau. Benar, dirinya memang tidak berguna. Hanya menyusahkan dan membawa sial.
"Mbak Chika?" panggil tetangga di dekat rumah kontrakan Chika.
"Yaa Bu, kenapa?" tanya Chika.
Bu Airin tersenyum. "Tadi ada yang cari, katanya itu Ayahnya Mbak Chika."
Wajah Chika memucat, detak jantungnya meningkat hingga tangannya terasa sangat dingin. Secepat inikah ayahnya biaa menemukannya. Ponselnya berdering.
"Yaa halo Ibu?" Sapa Chika pada Ibu Ayu. Pengurus panti yang juga memberikan uang untuknya menyewa kontrakan dan membeli ponsel.
"Chika! kamu harus hati-hati, Ayahmu-"
Chika menganggukan kepala, dia menghela napas panjang. "Chika tahu Bu, hari ini juga Chika akan pindah."
Secepat mungkin Chika membereskan pakaiannya yang memang sedikit. Dia langsung pergi, entah kemana saja. Setidaknya beberapa hari, sampai pria itu yakin bahwa dirinya sudah pindah. Oh, dia hanya ingin hidup tenang tanpa gangguan.
Chika menundukan kepala, duduk di halte. Sudah beberapa angkutan umum yang lewat, tapi tidak dia tanggapi. Akan kemana sekarang, uang pun dia hanya punya sedikit.
Kepalanya mendongak, langit sudah senja. Sebentar lagi malam, di tengah kegelapan, dia justru semakin ada di dalam bahaya. Pria itu sering membawa teman-temanya yang berbadan kekar.
Satu mobil sport berwarna hitam berhenti di depan halte. Tepat sekali di hadapan Chika, tapi itu tidak membuatnya berhenti memikirkan kemana akan pergi. Matanya masih menerawang jauh, hingga seorang pria dengan tubuh tegapnya berdiri di hadapan Chika.
Chika mendongak, keningnya sedikit berkerut. Apa dia mengenal pria tampan ini, matanya melebar. Dia langsung bangkit dan menarik tasnya untuk berlari. Pasti orang ini adalah salah satu teman ayahnya.
"Tunggu!" kata suara berat itu sambil menarik tangan Chika.
Napas Chika berkejaran. "Lepas!" desisnya. "Jangan bawa aku padanya! aku tidak ingin dijual!"
Pria itu melepas kacamata hitamnya. Menampakan ekspresi datar yang tidak asing untuk Chika. "Apa maksudmu?"
"K-kaka?" tanya Chika kaget. Matanya melebar mematap kedua mata tajam dengan alis tebal itu.
Raka segera mengajak Chika untuk masuk ke dalam mobil. Rencananya untuk bertemu klien tertunda karena tadi melihat gadis yang menyita perhatiannya selama berminggu-minggu ini. Dia menjalankan mobilnya hingga ke jalan yang lumayan sepi. Ditepikannya mobil itu. Dia melirik sedikit. "Kamu ingin kemana?"
"Aku-" jawab Chika. Dia menimbang bisakah dia meminta tolong pada Raka, ini kesempatannya untuk mendapat pertolongan. Dia memang tidak terlalu kenal dengan pria ini. Tapi seingatnya, Raka orang baik. "Aku belum tahu akan kemana."
Hening yang lama di dalam mobil ini. Raka membiarkan Chika sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia pun memilih diam sambil menatap jalanan di depannya.
"Apa kabar? aku beberapa kali melihatmu di berita," tanya Chika untuk memecah kesunyian.
"Baik," jawab Raka.
"Syukurlah," jawab Chika. "Bundamu? aku ingat dulu saat SMA. Beliau benar-benar beda denganmu."
"Bunda sehat."
Chika mengangguk, dia menghela napas panjang. Matanya menatap sekitar, pandangannya jatuh pada beberapa pertokoan. Di depan pertokoan, pria jahat itu sedang berjalan dengan dua temannya. Buru-buru dia menundukan kepala, menyembunyikan diri sebisa mungkin.
"Kaka," bisik Chika. "Tolong jalankan mobilmu menjauh dari tiga pria itu."
Raka mengangguk tanpa bertanya, dia menyalakan mesinnya dan langsung pergi dari sana. "Kamu yakin tidak punya tujuan?" tanyanya setelah mereka jauh.
"Yaa," jawab Chika.
Raka melirik spion kanan mobil untuk memutar arah. Dia tahu akan membawa gadis ini kemana. Mobilnya melaju ke daerah apartemen elit di kota Jakarta. Apartemen miliknya yang selama ini kosong. Meski dia sama sekali tidak tahu masalah Chika, tapi mendengar kata jangan menjualku sudah memberikan sedikit penjelasan. Gadis ini butuh tempat aman.
Mereka tiba di parkiran. Raka langsung turun dari mobil diikuti Chika.
"Kamu ingin membawaku kemana?" tanya Chika.
"Apartemenku," jawab Raka singkat.
Chika hanya memasang wajah bingung tapi tetap mengikuti Raka. Toh pria ini sudah menolongnya tadi. Keduanya menaiki lift, tidak ada obrolan apapun.
Raka membuka pintu apartemennya. Ruangan megah itu membuat Chika kagum. Dia belum pernah melihat tempat semewah ini selain di televisi. "Masuklah."
Chika duduk di sofa sambil menikmati pemandangan ruangan ini. Dia tersenyum saat Raka datang dengan dua gelas air. "Kamu tinggal di sini?"
Raka menggelengkan kepala. "Hanya sesekali datang."
"Hmm, apa semua orang kaya memiliki apartemen semewah ini?" tanya Chika.
"Entah," jawab Raka. "Sepertinya kamu butuh tempat bersembunyi, kupikir ini bisa jadi tempatmu untuk sementara."
Chika terdiam kaget. Dia belum bercerita apa-apa. "Orang yang menggunakan pakaian cokelat tadi adalah Ayahku."
Kali ini Raka yang kaget mendengar fakta itu. Keningnya berkerut, menunggu kelanjutan cerita Chika. Dia tidak ingin menyela cerita itu.
"Ayah tiriku, karena memang sejak kecil aku tinggal di panti asuhan. Sejak Ibu angkat meninggal, sikapnya padaku jadi makin keterlaluan dan puncaknya adalah bulan-bulan ini," kata Chika. Suaranya melirih, airmatanya mulai kembali menetes. "Dia ingin menjualku untuk membayar hutangnya."
Raka tidak habis pikir, dia tahu banyak sekali orang jahat di dunia ini. Tapi, ini tetap membuatnya geram. Nilai kehormatan wanita sangatlah tinggi. Tidak layak diperjual belikan.
Mungkin hari itu Chika juga sedang dikejar ayahnya. Jika sampai saat ini gadis ini masih dikejar, dunia luar akan sangat bahaya untuknya. "Berapa hutang Ayahmu?"
Chika menggelengkan kepala. "Aku tidak pernah bertanya."
"Kalau begitu biar aku temui dia," jawab Rala.
"Untuk apa?" tanya Chika bingung.
"Untuk membayar hutangnya," jawab Raka dengan tenang. Mungkin selama ini dia gelisah karena memang ingin membantu gadis ini.
"Kenapa?" tanya Chika lirih. Maksudnya, mereka memang teman, dan sudah selayaknya saling membantu meski bukan teman dekat, tapi tetap saja, hutang itu pasti tidak kecil. Raka pun tidak punya tanggung jawab apapun untuk melunasi hutang itu.
"Aku tidak suka ada perempuan diperlakukan seperti itu," jawab Raka. Dia memiliki seorang adik perempuan. Bagaimana bisa dia tega.
Mata Chika berkaca-kaca. Tuhan, kenapa dalam kehidupnya tidak ada pria seperti Raka. Dia terisak dan menutup wajahnya sendiri. "Andai semua pria memiliki pemikiran sepertimu," lirihnya. Setelah tangisnya mereda, dia baru melanjutkan ucapannya. "Kamu terlalu baik Kaka, aku hargai tawaran bantuanmu. Tapi itu berlebihan."
"Kalau kamu menolak, aku akan melaporkan kasus ini ke polisi. Ayahmu patut dipidanakan," jawab Raka dengan tenang. Matanya tajam menatap Chika yang wajahnya terlihat ketakutan dan frustasi. Mata itu kelihatan sembab, entah berapa kali menangis untuk hari ini.
Chika menghela napas panjang, tangannya memegang tangan Raka. "Dia memang jahat, tapi dia juga sudah menjadi Ayahku selama bertahun-tahun. Jangan pidanakan dia," lirihnya.
Hening, Raka menatap tangannya yang digenggam oleh tangan dingin itu. "Lalu apa maumu? hidupmu terancam."
"Bisa bantu aku?" tanya Chika sambil melepaskan genggamannya. "Bantu aku sembunyi."
Raka tetap ingin membayar hutang itu tapi sepertinya Chika terlalu lelah dengan perdebatan. Dia akhirnya menganggukan kepala. "Tinggalah di Apartemen ini."
"Tidak," jawab Chika. Matanya mengelilingi tempat ini. "Aku tidak bisa tinggal di tempat sebesar ini. Apa kamu punya rumah kecil di kota lain?"
Tentu saja dia punya rumah di beberapa kota. Bukan rumah yang kecil, karena itu rumah yang biasanya akan ayahnya tempati jika sedang berada di kota lain untuk mengurus anak perusahaan. Menempatkan Chika di tempat yang jauh, bukan ide yang buruk tapi bukan ide yang bagus pula untuknya. Luar kota adalah tempat yang aman untuk Chika, tapi bagaimana dengan psikologis gadis ini.
Chika membutuhkan teman, membutuhkan dukungan. Karena selama ini apa yang sudah dilaluinya cukup berat. Jika itu gadis lain, mungkin sudah ada yang bunuh diri.
"Jawab pertanyaanku," kata Raka tegas. "Apa kamu pernah berpikir untuk mengakhiri hidupmu?"
Chika melebarkan matanya, dia mengerjapkan mata kemudian mengangguk lalu menundukan kepala. Malu terhadap pikirannya itu. Kenapa dia bisa berpikir seperti itu. "Saat itu aku hanya merasa sendiri dan putus asa."
Raka menghela napas panjang, sepertinya dia tahu solusi yang tepat. "Malam ini tidurlah di sini, besok pagi aku akan menjemputmu."
"Kita akan keluar kota?" tanya Chika.
Raka menggelengkan kepala. "Kamu akan tinggal di rumah keluargaku."
Kata-kata itu membuat Chika semakin kaget dan bingung. Keningnya berkerut dalam. "Kenapa?"
Raka tidak menjawab, dia justru bangkit dari sofa dan menggulung kemejanya. "Aku pulang, sebaiknya malam ini kamu cukup tidur. Jangan sampai besok Bundaku salah paham karena membawamu pulang dalam keadaan kacau."
Chika ingin membuka suara tapi Raka sudah meninggalkannya. Dia masih belum percaya dengan ucapan pria itu. Tinggal di rumah keluarga Raka. Kenapa bukan di luar kota. Ditatapnya pintu yang sudah tertutup itu, dia selalu tidak bisa mengerti tentang Raka.
🌼🌼🌼
Holaa mohon maaf yaa lama, karena memang bener-bener padet jadwal dan cerita ini butuh mood yang bener-bener bagus. See you in the next chapter guys! ❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top