Hola gengs.. malem. Kalian lagi pada ngapain nih?
Hmm mohon maaf ya karna aku hilang lama. Karena emang beberapa minggu ini lagi kurang sehat, jadi mau nggak mau rehat dulu.
Oke langsung aja. Follow ig @indahmuladiatin untuk tau info2 ceritaku
Happy reading gengs. Jangan lupa vote dan komentar sebanyak-banyaknya ❤️❤️❤️
🌼🌼🌼
Tidak banyak yang bisa Raka lakukan. Jujur saja, dirinya masih terkejut. Jantungnya berdetak cepat, seperti saat dia baru saja melakukan olahraga ekstra. Tentu saja, gadis di sampingnya ini benar-benar berani. Ini pertama kalinya ada perempuan selain keluarganya, yang berani mencium pipinya.
Kalau ini orang lain, mungkin sudah dia singkirkan orang itu jauh-jauh dari hadapannya. Selama makan malam di rumah besar ini pun, dirinya lebih banyak diam. Dan di sampingnya pun Chika terlihat lebih diam.
Raka dan Chika berpamitan setelah acara makan malam selesai. Di dalam mobil, dirinya sesekali melirik Chika yang saat ini sedang membentur-benturkan pelan kepalanya ke pintu mobil. "Aku-,"
"Stop!" potong Chika. "Jangan komentar apapun!"
Kurang ajar. Baru kali ini ada orang yang berani memotong pembicaraannya. Tapi kenapa dirinya tidak bisa marah, dan justru menurut saja. Menutup mulut rapat-rapat dan fokus pada jalan di hadapannya.
"Kenapa aku begini?" gumam Chika. "Kenapa aku menggali kuburanku sendiri?"
Chika menggelengkan kepalanya dan kembali membenturkan kepalanya. "Bodoh, kenapa aku harus pakai cara tadi?" Kepalanya menoleh pada Raka. "Sekarang kita harus bagaimana?"
Raka hanya mengangkat bahunya, dan mengabaikan Chika yang kembali bicara sendiri. Mau bagaimana lagi kalau sudah begini, tidak ada jalan mundur. Semua sandiwara itu harus berlanjut. Karena Chika sendiri sudah mengumumkannya di depan Opa.
"Ini semua karena kamu!" keluh Chika.
Sudah begini, dia pula yang disalahkan. Ini semua kan berawal dari gosip gila itu. Dan siapa yang membuat ulah dengan seenaknya. Kenapa jadi dia yang bersalah.
"Kenapa kamu diam?" tanya Chika.
"Kamu yang menyuruhku diam." Raka menepikan mobil agar dirinya bisa bicara serius dengan Chika. "Dengar aku."
"Apa? jangan komentar apapun soal caraku tadi. Jangan pikir macam-macam. Aku cuma mencari cara paling cepat agar kamu dan Opa nggak bertengkar. Kalau kamu-,"
Raka menutup mulut Chika dengan telapak tangannya. Dia abaikan tatapan protes itu. Lagipula, kenapa mulut ini bisa berisik sekali. "Bisa diam sebentar?"
"Emm, emm!"
"Diam," ucap Raka lagi. Setelah mendapatkan anggukan kepala dari Chika, tangannya menjauh. "Karena kamu sendiri yang memulai kekacauan ini, kita tidak punya pilihan lain."
"Aku begitu karena menolong kamu tau!" protes Chika.
"Oh ya?" tanya Raka. Telunjuknya mengetuk-ngetuk kepala Chika. "Kamu lupa, aku ada di situasi itu karena ulahmu."
"Aku-," Chika tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Pada intinya memang dia lah yang salah. Dia sendiri yang menggali kuburannya sendiri. Sekarang semua jadi makin kacau, bukan berakhir seperti rencana sebelumnya.
"Apa?" tantang Raka. "Sayangnya, kita tidak punya pilihan lain."
"Jadi? sandiwaranya berlanjut?" tanya Chika.
Raka berdeham pelan. "Kecuali-,"
"Kecuali apa? ada cara lain?" tanya Chika buru-buru.
Terlihat terlalu bersemangat. Raka tersenyum menyeringai, apa seburuk itu berstatus menjadi tunangannya, sampai Chika ingin buru-buru mengakhirinya. "Kecuali kamu ingin kita bertunangan sungguhan."
"Apa?!"
🌼🌼🌼
Raka benar-benar gila. Setelah mengucapkan itu, pria ini justru kembali terlihat santai. Tidak terpengaruh sama sekali, padahal jantungnya sendiri sudah seperti ingin meloncat dari tempatnya.
Tiba di rumah, Chika dan Raka berpapasan dengan Caramel. Lagi-lagi anak itu mengabaikan Raka, tidak seperti biasanya. Yaa Chika paham, anak itu mungkin merasa terasingkan sejak ada Lyza.
"Sepertinya, kamu butuh ngobrol dengan Kara," komentar Chika sebelum masuk lebih dulu ke dalam rumah. Rasanya tidak nyaman kalau harus bersama dengan Raka dalam waktu yang lama.
Semua yang terjadi hari ini benar-benar menyita pikiran Chika. Dimulai dari ide gila dari Arga, yang bisa-bisanya dia setujui, meski sebenarnya itu memang hal yang masuk akal untuk digunakan di situasi sekarang. Lalu Raka yang justru merusak semua hal yang sudah direncanakan, di depan orang-orang di kantor. Dan lebih parahnya lagi, dirinya sendiri justru membuat semua makin porak poranda.
Chika mengacak rambutnya, kesal. Harus bagaimana sekarang. Kalau Lyza datang ke kantor dan menempel pada Raka, apa yang akan dia katakan pada orang-orang jika bertanya. Apa Raka tidak memikirkan itu. Bukankah pria itu cerdas.
Suara ketukan pintu, mengalihkan perhatian Chika. Dihampiri pintu kamarnya. "Yaa?"
"Hey," sapa Lyza dengan senyum manis. Rambut pirangnya digulung dengan asal, dan untuk kesekian kalinya, wajah tanpa polesan make up itu tampak sangat cantik. "Kamu sibuk?"
"Hmm?" Chika menggelengkan kepala, dan balas tersenyum. "Ada apa?"
Lyza menjentikkan jemarinya. "Bagus, temani aku belajar memasak, yaa?"
"Masak?" tanya Chika, memastikan. Masalahnya dia pun tidak terlalu jago dalam hal memasak. Untuk masakan sederhana, yaa lumayan mudah. "Kamu yakin? ada banyak orang yang pintar memasak di sini."
"Ayolah," bujuk Lyza. Di tarik tangan Chika, "aku tidak punya teman di rumah ini, kurasa selain Bunda dan Raka, hanya kamu yang menerimaku di sini."
Astaga, ucapan itu agak menyesakkan, kasihan sekali gadis ini. Yaa Chika sadar, Caramel si bungsu keluarga ini, serta si kembar sepertinya tidak menyukai Lyza. Lebih tepatnya, sikembar tidak menyukai Lyza karena membuat Caramel merasa terasingkan.
Keduanya pergi ke arah dapur, dan beberapa pekerja yang berpapasan dengan mereka menyapa dengan sopan. "Menurutmu, apa yang sebaiknya aku masak?" tanya Lyza.
Beberapa bahan-bahan masakan sudah berjejer di pantri. Lyza berdeham pelan dan keningnya sedikit mengerut, "sepertinya telur dadar lumayan menarik."
"Hah?" itulah yang keluar dari mulut Chika. Ayolah dengan bahan-bahan sebaik ini, Lyza hanya akan memasak telur dadar. Chika meringis kecil dan ikut bergabung, semua bahan ini tampak segar. Sayang sekali. "Kamu baru membeli ini semua?"
"Yap!" Lyza terkekeh pelan dan menyandarkan tubuhnya. "Karena itu hari ini aku tidak jadi pergi ke kantor. Padahal aku ingin lihat tempatnya bekerja."
Tempatnya bekerja, hem, apa maksudnya itu Raka. Chika kembali tersenyum. "Kaka?"
"Tepat! aku ingin melihatnya, tapi kurasa aku tidak bisa datang dengan tangan kosong kan?" tanya Lyza. Ekspresi semangat itu terlihat jelas. "Apa yang bisa kamu masak?"
Kenapa begini saja bisa membuatnya merasak sesak. Chika buru-buru membuang pemikiran anehnya. "Aku bisa memasak makanan yang sederhana."
Dimulai dari membersihkan semua bahan yang akan digunakan. Keduanya bekerja sama, sesekali Chika menjelaskan beberapa hal yang dia tahu soal makanan.
Aroma telur yang hampir matang itu membuat Lyza tersenyum puas. Meski hanya telur dadar, itu masakan pertamanya. Ini cukup membanggakan. "Terima kasih."
"Bukan apa-apa, aku cuma bisa membantu ini," jawab Chika.
"No, bukan hanya untuk ini, tapi juga untuk kamu yang mau menjadi temanku." Lyza kembali tersenyum, menampilkan deretan giginya yang putih dan rapih. Kepalanya mendongak, menatap atap-atap rumah ini. "Kurasa pulang bukan hal yang terlalu buruk."
Yaa Chika pernah mendengar sedikit cerita tentang Lyza, dari bunda. Elyza, gadis ini adalah anak dari sahabat bunda. Sahabat bunda, yang sangat baik. Jadi sudah sewajarnya kalau bunda pun menganggap Lyza seperti anak perempuannya sendiri.
Selama ini, Lyza tinggal di London. Dan sekarang akhirnya gadis ini pulang, tentu saja bunda merasa sangat senang. "Oh ya, apa tinggal di London menyenangkan?"
"Yaa, dan juga menyedihkan." Meski bicara begitu, namun Lyza tetap menampilkan senyumannya. Tidak ada raut sedih di sana, kalau tidak tahu, orang akan mengira ucapan itu bohong. "Kamu tahu, hidup bahagia dan menganggap seolah tidak ada masalah apapun, itu bukan hal yang menyenangkan dan menarik bukan?"
"Yaa, aku paham." Chika menepuk punggung tangan Lyza. Kalau soal itu, dirinya juga merasakannya. "Lyza, kalau kamu perlu apapun, kamu bisa bilang padaku. Yah kalau aku bisa bantu, aku akan bantu kamu."
"Benarkah?" tanya Lyza. Kepalanya mengangguk-angguk. "Aku pegang kata-katamu."
🌼🌼🌼
Chika dan Lyza menikmati makanan yang mereka masak. Tidak butuh waktu lama untuk keduanya jadi semakin akrab. Chika menceritakan sedikit soal kehidupannya sebelum tinggal di rumah ini, dan Lyza pun menceritakan kegiatannya selama di London.
"Apa bekerja di kantor itu menyenangkan?" tanya Lyza.
"Yaa, aku bertemu banyak teman. Kurasa Bunda Fian sengaja membiarkan aku bekerja di kantor agar aku enggak fokus pada masalahku," jawab Chika semangat.
"Oh yaa? Hem menarik," gumam Lyza. Telunjuknya mengusap dagunya sendiri. Wajahnya terlihat berpikir. "Kalau aku bekerja di kantor juga, bagaimana?"
"Eh?" Chika mengerjapkan mata, kaget. Gawat. Bagaimana kalau Lyza benar-benar ingin bekerja di kantor. Gadis ini akan tahu rumor pertunangannya dengan Raka. Apa tidak apa-apa kalau sampai begitu. "Sebelumnya kamu pernah bekerja?"
"Yaa, aku seorang model." Elyza menaik turunkan alisnya. "Tidak terlihat yaa?"
"Terlihat," jawab Chika. "Kamu kan sangat cantik."
"Oh yaa? kamu juga cantik. Dan ini bukan basa-basi. Kamu memang cantik," balas Lyza. "Aku beberapa kali ikut pemotretan majalah. Sayangnya harus sembunyi-sembunyi."
"Kenapa?"
Lyza mengangkat bahunya, cuek. "Mungkin karena mereka masih mengharapkan aku untuk menjadi penerus Mommy."
"Penerus?" tanya Chika, masih bingung.
"Hem, seorang dokter. Mommy itu dokter, dokter yang hebat," jawab Chika. Kedua tangannya digunakan untuk menopang dagu. "Aku tidak mau jadi sepertinya."
"Kenapa? Mommy mu orang yang hebat."
Lyza tersenyum dan menggelengkan kepala, yaa mommy memang orang yang hebat. Beliau sangat cantik, baik, bijaksana. Tapi dia tidak mau menjadi seperti mommy, karena dengan begitu, rasa rindu itu akan semakin kuat.
"Aku ingin jadi diriku sendiri," balas Lyza. "Aku tertarik dengan dunia model, maka aku akan lakukan itu. Karena ini hidupku, aku yang bisa menentukan kemana jalanku."
"Dan itu membuat kamu semakin mirip dengan Mommymu."
Suara itu berasal dari bunda yang baru saja datang. Keduanya menoleh dan tersenyum menyambut. "Kenapa kalian berdua belum tidur?"
"Bunda! aku membuat ini dengan Chika. Bunda mau mencobanya?" tanya Lyza dengan antusias.
Chika memperhatikan interaksi itu. Di dekat bunda, Lyza seperti sangat bersemangat. Terlihat berbeda dibanding tadi. Yaa dia tahu, Lyza sama sepertinya, gadis ini merindukan sosok seorang ibu. Dan seperti biasa, bunda bisa menjadi seorang ibu meski bukan pada anak kandungnya.
"Wah kalian kompak yaa, kenapa nggak sekalian kalian ajak Caramel?" tanya bunda.
"Sepertinya hari ini Kara agak lelah. Next time, aku akan ajak dia," jawab Lyza.
"Hmm oke." Bunda mengusap kepala Chika dan Lyza. "Sekarang kalian tidur, sudah malam."
"Siap Bunda."
🌼🌼🌼
Hari ini Chika tidak bisa tenang bekerja karena orang-orang masih heboh dengan perlakuan Raka kemarin. Seenaknya saja mencium kening oranglain. Di depan banyak orang pula.
Memikirkannya hanya membuat kepala makin pusing. Chika menghela nafas panjang dan merebahkan kepala di meja kerjanya. Sudah hampir jam istirahat, dan dia sudah menyelesaikan pekerjaannya. Jadi setidaknya izinkan dirinya istirahat.
Suara langkah mendekat diabaikan oleh Chika. Kalau bukan Wulan yang pasti rekannya yang lain. Dan itu pasti hanya menanyakan pertanyaan tidak penting. Ditunggu kata apa yang keluar dari mulut orang yang datang itu. Namun, satu menit pertama terlewat.
Chika mengerutkan keningnya. Agak aneh. Kepalanya mendongak dan matanya melebar maksimal melihat sosok gagah di hadapannya. Di belakang rekan kerjanya sudah berbaris rapi memberi sambutan.
"Opa?" hanya itu yang keluar dari mulutnya.
"Masih mengantuk?"
Tentu saja tidak. Chika meringis kecil dan menggelengkan kepalanya. Bagaimana mungkin bisa mengantuk, apalagi sekarang ada seorang pemilik perusahaan di hadapannya.
"Haloo Chika." Sapa oma yang ternyata juga datang. Astaga, dua orang sekaligus. Kepala Chika rasanya benar-benar makin pusing sekarang.
Ini baru pertama kalinya opa dan oma mengunjungi kantor semenjak dirinya bekerja di sini. Apa memang dua orangtua ini sering datang. Tapi kenapa harus menghampirinya, kenapa tidak langsung ke ruangan direktur saja. Atau ke ruang cucu tersayangnya itu.
"Opa dan Oma cari Kaka?" tanya Chika.
"Tentu saja Oma cari kamu," kekeh oma. "Kami sengaja datang mendadak. Apa kamu kelelahan? Apa Raka tidak memberimu istirahat?"
"Oh bukan- bukan, aku bukan kelelahan. Tadi aku cuma sedikit bersantai karena kerjaanku udah selesai." Chika segera berdiri dari kursinya. Jangan sampai oma bicara yang aneh-aneh di sini. Bisa makin sulit posisinya.
Baru saja dipikirkan, hal itu langsung terealisasikan oleh oma, tentu saja. Karena opa sejak tadi hanya diam. "Sayang, bagaimana kalau kita mengadakan makan malam untuk membahas dengan serius soal pernikahanmu dengan Raka?"
Tangan Chika yang awalnya akan meraih tangan oma, hanya mengambang di udara. Pernikahan? Pernikahan apa, pernikahan siapa. Chika menunjukkan cengiran terpaksa, kalau bisa menangis, dia akan menangis sekarang.
"Dia benar," komentar opa. "Lebih cepat lebih baik."
Apanya yang lebih cepat lebih baik. Apa seluruh keluarga Rajendra hobi membuat orang kaget. "Aku, emm aku agak sibuk. Mungkin bisa lain kali? Haha kita punya banyak waktu kan?"
"Oh kamu tidak perlu khawatir, Chika. Nanti pekerjaanmu akan dipegang orang lain." Oma mendekat dan merangkul bahu Chika. "Ayo, kita ke ruangan calon suamimu."
Chika mengggelengkan kepalanya. "Jangan Oma, Kaka sibuk."
"Sesibuk apapun, dia tidak akan menolak kehadiran Kakek dan Neneknya. Tenang saja," kekeh oma.
Chika kembali tertawa, tawa yang kering sekali. Tahu kan bagaimana, intinya dia tidak tahu harus bagaimana. Dia memegang perutnya sendiri. "Duh, Oma maaf. Boleh aku ke toilet sebentar?"
"Kenapa? perutmu sakit? apa perlu panggil dokter?" tanya oma.
"Ohh aku cuma butuh toilet," ringis Chika. "Sebentar, oke?"
Tanpa menunggu jawaban, Chika langsung berlari pergi. Tentu saja bukan ke toilet. Dia pergi menghampiri ruangan Raka. Tadi pagi, Lyza bilang akan ke kantor, setidaknya dia harus memastikan dulu kan apa ada Lyza di sini. Kalau ada jangan sampai bertemu. Tidak singkron kan kalau dirinya kemarin bilang kalau mereka benar-benar punya hubungan spesial tapi hari ini Raka justru dekat dengan perempuan lain.
Selain itu, kalau Lyza tahu soal hubungan pertunangan meski pura-pura itu, dia juga akan merasa tidak enak. Chika mengerem larinya di depan meja kerja Dita.
"Dita!" Chika mengatur nafasnya. "Ka-Kaka ada?"
"Hmm? yaa ada dong. Kalau dia nggak ada, gue pun pasti nggak ada di meja," balas Dita santai sambil menutup agendanya. "Kenapa sih? Nafas dulu, yaampun."
"Kaka sendirian?" tanya Chika lagi.
"Emm nggak sih, ada perempuan bule di dalam sejak satu jam lalu." Dita mengajukan kepalanya. "Siapa sih dia? cantik banget."
Perempuan bule, cantik. Tentu saja itu Lyza. Chika menggigit bibirnya, dan mendekat pada pintu. Dibuka sedikit celah pintu ruangan luas itu. Di sana, dirinya melihat Lyza sedang duduk di kursi yang ditarik agar dekat dengan kursi kerja Raka.
"What?" komentar Dita dengan bisikan. "Apa dia pacar Raka?" Di atasnya, Dita juga ikut mengintip dari celah pintu.
"Cantik kan?" komentar Chika. "Lihat tubuhnya, benar-benar berbentuk."
"Emm iya sih, dibanding kita. Bentuk tubuhnya emang idaman," ringis Dita. Kepalanya menggeleng samar. "Dia siapa sih? lo belum jawab!"
"Dia yang cocok dengan Kaka," balas Chika. Nada itu terdengar sedih.
"Alah, lo minder karena dia cantik sama bodynya bagus? tenang, lo juga cantik. Tapi kalau soal body, lo emang agak lurus depan belakang sih," kekeh Dita.
Chika melirik ke atas dan mendengus kesal. "Jangan terlalu jujur dong!"
"Oh harus jujur dong." Dita meringis. "Duh gue pegel, ehh Chik!! Duh kaki gue!"
"Dita! Kamu berat tau, jangan pegangan ke aku dong!" protes Chika. Sayangnya terlambat. Karena Dita salah menapakkan kaki, jadilah pintu itu terbuka lebar. Chika tersungkur ke lantai, disusul Dita yang menimpa tubuhnya.
"Aduh," ringis Chika.
🌼🌼🌼
Menjelang jam istirahat, Raka menjemput Lyza di depan kantor yang sejak pagi sudah mengabari akan datang. Gadis ini menggerai rambut pirangnya dan dengan make up yang tidak terlalu tebal, aura cantiknya semakin terlihat.
Mata itu bersinar cemerlang, dihiasi softlens berwarna biru kehijauan. "Apa aku terlalu lama?"
Raka tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. Beberapa mata laki-laki melirik takjub pada Lyza. Dan gadis itu merasa risih dengan itu. Dengan sigap, dirangkul pinggang Lyza agar tidak ada orang yang berani melirik padanya. "Langsung ke ruanganku."
"Boleh aku berkunjung ke ruangan Bunda?" tanya Lyza.
"Hmm, tapi dia agak sibuk. Ke ruanganku dulu, oke?" tanya Raka. Anggukan dari Lyza membuatnya tersenyum dan mengusap kepala itu.
"Dita, tolong undur rapat. Sekitar dua jam lagi," ucap Raka tanpa menghentikan langkahnya.
"Oh, oke."
Sebenarnya, agenda hari ini cukup padat karena kemarin dirinya pun sudah disibukkan dengan kegaduhan yang Chika buat. Tapi karena ada Lyza, dia harus sedikit meluangkan waktunya. Tidak apa-apa, toh selama di Indonesia, Lyza tidak punya teman. Dia harus memberikan sedikit waktu itu.
"Apa yang kamu bawa?" tanya Raka.
Lyza mengeluarkan bekal buatannya dengan senyum tertahan. "Aku membuatnya sendiri, dan tolong berikan penilaian yang sejujurnya."
Raka mendengus pelan dan menerimanya. Saat dibuka, aroma masakan itu menggoda penciumannya. Dirinya belum makan sejak pagi, yaa hidup sendirian cukup membuatnya kerepotan. Apalagi setiap malam dia harus berkutat dengan pekerjaan sampai lupa waktu.
Tanpa banyak bicara, Raka langsung memakan makanan itu. Sampai semua isinya habis, dia tidak memberi komentar apapun.
"Enak?" tanya Lyza.
"Hmm."
Lyza memutar bolamatanya. "Hmm itu apa? Enak? Kurang enak? Tidak enak sama sekali?"
"Enak," balas Raka. "Sudah puas?"
"Cih, itu terpaksa kan?" balas Lyza.
Raka tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak suka berbohong. Percaya atau tidak, itu urusanmu."
"Yaaa ya, syukurlah kalau makanan itu enak. Aku sudah berusaha sebisaku," balas Lyza. Dia berdiri dari kursinya dan berjalan memperhatikan setiap sudut ruangan. Di ruang ini, dominansi warna abu-abu, hitam dan putih menjadi hal yang menjadi gambaran dari Raka.
Melalui jendela besar, gedung-gedung dan kemacetan menjadi pemandangan yang tidak terlalu menarik, kecuali kalau malam hari, mungkin. Karena setidaknya ada banyak lampu yang bisa menjadi pemandangan.
"Aku suka tempat ini," komentar Lyza.
"Kenapa?" tanya Raka.
Lyza menghela nafas panjang dan menatap lurus ke depan. "Semakin tinggi suatu tempat, akan semakin dekat dengan langit. Bukankah dulu, katanya Mommy ada di langit. Bersama salah satu dari gugusan bintang."
Yaa, Raka pun pernah mendengar hal itu. Jawaban menghibur dari orangtua setiap ditanya, kemana perginya jiwa-jiwa orang yang telah pergi. "Kamu percaya?"
"Hemm." Lyza menoleh dan tersenyum simpul. "Karena bintang selalu menunjukkan, bahwa aku tidak pernah sedirian, bahkan disaat gelap."
Raka mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia menarik kursi ke sampingnya. "Duduklah."
"Ada apa?" tanya Lyza penasaran. Namun, dia tetap mengikuti perintah Raka. Dirinya duduk di kursi yang sudah ditarik oleh Raka.
Raka mengulurkan tangannya, dihadapkan kursi itu untuk membelakanginya. Tangannya merapihkan rambut Lyza yang tergerai. Memiliki Caramel membuatnya sedikit belajar untuk mengikat rambut perempuan.
Ikat rambut itu memang sengaja dia beli untuk Lyza, dan baru sempat dia berikan sekarang ini. Diikat rambut itu dengan rapih. "Begini lebih baik, setidaknya kamu tidak perlu repot merapihkan rambut terus."
"Oh yaa?" Lyza tertawa dan menolehkan sedikit kepalanya. "Aku cantik?"
"Untuk apa menanyakan yang sudah pasti?"
Keduanya dikejutkan suara jatuh di pintu. Raka mengerutkan keningnya melihat Chika tertimpa oleh Dita. Jadi suara berisik sejak tadi itu dari dua orang ini. Senyumnya tertahan, dasar bodoh.
"Ada apa?" tanya Raka sambil menghampiri kedua orang itu. Diulurkan tangannya.
Sayangnya Chika tidak menanggapi itu dan langsung berdiri sendiri. Dia menempuk-nepuk bajunya. "Maaf, pintunya rapuh. Padahal aku dan Dita cuma bersandar sedikit, iya kan?"
"Yapp!" balas Dita.
Chika menggelengkan kepalanya, miris. "Sepertinya kamu harus ganti pintu."
"Oh ya?" tanya Raka.
Dengan wajah pura-pura percaya seperti itu, Chika justru semakin kesal. Tidak ada waktu untuk bercanda. "Kaka-,"
"Pak," ralat Raka.
"Pak, maaf tapi ada hal penting yang harus didiskusikan," jelas Chika. "Emm Lyza, boleh aku pinjam Bos sebentar?"
"Oh silakan," balas Lyza.
"Terima kasih," balas Chika dengan senyum ramah. Dia langsung menghampiri Raka dan menarik ujung jas pria itu agar mengikutinya.
"Kamu mengajakku ke toilet?" tanya Raka.
Gila, Chika langsung mengubah arah jalannya setelah Raka berkomentar. Dia tidak menjawab pertanyaan pria ini dan memilih diam. Setidaknya sampai ke tempat yang aman. Langkahnya terhenti di depan pintu tangga darurat.
"Ada apa?" tanya Raka langsung.
"Tunggu," balas Chika. Dia membuka pintu tangga darurat dan menarik Raka agar masuk. "Nah di sini aman."
"Kamu ini kenapa?" tanya Raka.
"Oma dan Opa ada di ruanganku," jawab Chika langsung. "Dan coba tebak mereka bilang apa?" Karena tidak ada komentar apapun dari Raka, Chika kembali melanjutkan ucapannya. "Mereka bilang ingin makan malam untuk membahas soal pernikahan."
Ekspresi Raka masih sama datarnya, tidak ada sedikit pun kekagetan.
"Pernikahan Kaka!" ulang Chika. "Pernikahan siapa? Aku sama kamu? Mana mungkin."
"Harusnya kamu sudah tahu konsekuensi itu," balas Raka dengan santai. "Kamu sendiri yang mengumumkan-,"
"Stop! aku minta solusi, bukan ceramah. Sekarang aku harus bagaimana?" tanya Chika. "Mereka mau ke ruanganmu."
"Lalu?"
"Lalu? Di sana ada Lyza, Kaka. Kalau mereka lihat gimana? aku susah payah lari ke sini untuk kamu, tau." Chika bersedekap, kesal.
"Mereka tahu Lyza," balas Raka.
"Tau kalau kamu dan Lyza itu seperti pasangan yang sangat cocok?" tanya Chika. Pertanyaan yang jelas dia tahu jawabannya. Tidak mungkin tahu, kalau iya, opa tidak akan dengan mudah percaya padanya.
"Menurutmu begitu?" tanya Raka geli.
"Memangnya bagaimana?!" balas Chika. "Ah sudahlah, ini bukan soal kamu dan Lyza. Itu urusan kalian berdua, masalahnya adalah aku!" Telunjuknya menunjuk diri sendiri. "Di sini, aku sedang berperan sebagai calon istri kamu. Jadi tolong sedikit kerja sama, setidaknya di depan Opa dan Oma, jangan tunjukkan kemesraan kalian di depan mereka. Oke?"
"Satu lagi," ucap Chika. "Jangan sampai Lyza tau soal pertunangan pura-pura ini. Aku nggak mau dia ngerasa nggak nyaman."
Chika keluar lebih dulu, meninggalkan Raka. Namun saat membuka pintu, dirinya langsung kembali dan mendorong Raka agar tidak keluar. "Gawat!"
Raka yang agak kaget langsung merangkul pinggang Chika yang tadi mendorong tubuhnya, karena tadi gadis ini menggunakan tenaga, kalau tidak dirangkul sudah pasti Chika akan jatuh. Mata bulat itu menatapnya tepat di manik mata. Dan jarak ini terlalu dekat. Membuatnya merasa seperti sulit bernafas.
"Opa dan Oma ada di depan ruanganmu," bisik Chika.
Apa Chika tidak merasa canggung sama sekali. "Menjauh sedikit, kamu membuatku sulit nafas."
"Ehh?" Chika mengerjapkan mata dan langsung mundur. "Maaf." Pasti tadi dorongannya terlalu keras. Kepalanya menoleh ke arah pintu. "Sekarang gimana?"
Raka berdeham pelan dan menghubungi Dita, meminta sekretarisnya itu menahan Lyza di dalam ruangannya. Kenapa dirinya jadi seperti sedang menyembunyikan selingkuhan. Kalau bukan permintaan Chika, mana mau dia repot begini.
"Beres?" tanya Chika.
"Hmm." Raka bersedekap kesal.
Chika meringis kecil dan menyingkir dari hadapan Raka. "Kamu keluar, aku harus turun satu lantai dulu. Nanti aku keluar dari lift."
"Merepotkan," komentar Raka. Dia merapihkan jasnya.
"Sssstt Kaka," bisik Chika saat Raka akan membuka pintu itu.
"Apalagi?!" tanya Raka. Tidak ada habisnya gadis ini. Dia sudah menuruti semua prosedur merepotkan ini. Apalagi sekarang.
"Sabar sebentar," balas Chika sambil menata rambutnya yang acak-acakan karena jatuh tadi. "Ingat yaa, kalau ada ajakan makan sebelum aku sampai, tolak itu. Kita harus kerja sama, oke?"
"Hem."
"Benar yaa!" ucap Chika lagi, memastikan.
Raka menyipitkan matanya, kesal. Satu ide terlintas di otaknya. Yaa kapan lagi kan, dia bisa mengerjai gadis ini. Tangannya mendorong pelan kepala Chika. "Berisik, cepat turun!"
🌼🌼🌼
See you on the next chapter ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top