BAB 17
Holaa semua.. gimana weekendnya?? Tim #dirumahaja atau tim #jalanjalan
Aku punya kabar baik nih.. tbwafs udh kerjasama sama penerbit baru! Yeyyy semoga yg ini bener2 cocok
Follow ig aku untuk tau info2 ceritaku yaa @indahmuladiatin
Ok lanjut aja. Happy reading guys! Jangan lupa vote dan komentar sebanyak-banyaknya..
🌼🌼🌼
Sebelum Lyza datang ke kantor dan menampakan kedekatannya dengan Raka, Chika harus bergegas mencari solusi agar berita tentang pertungannya dengan Raka sudah selesai, tersebar ke seluruh penjuru kantor ini. Tentunya dengan bantuan Wulan dan Dita. Sebelum jam sibuk, Chika mengumpulkan dua sohib barunya ini.
Hari ini, dia baru menceritakan tentang adanya Lyza diantara dia dan Raka. Salah satu alasan kuat dia ingin mengakhiri semuanya. "Intinya, aku nggak mau kalau nanti ada berita Raka selingkuh dengan Lyza."
"Hemm, gimana yaa. Terlalu mepet waktunya, lo mau ngumumin kalau pertunangan lo sama Raka udah selesai, terus kata lo si Lyza itu bakal main ke kantor. Kalau nanti dia gandengan sama Raka yaa pasti semua akan mikir gitu," komentar Dita sambil mencoba berpikir.
"Iya bener tuh. Kenapa nggak bilang dari kemarin-kemarin sih Chik?" tanya Wulan.
Mau bagaimana lagi, dia kan baru siap cerita soal Lyza. "Jadi aku harus gimana?"
"Kalian lagi ngomongin siapa sih?" Arga yang tiba-tiba datang langsung mengagetkan ketiga perempuan yang sedang asik berpikir ini. Melihat wajah-wajah terkejut itu tawa gelinya terdengar renyah.
"Resek banget sih!" keluh Dita. Dia menarik Arga agar duduk di sampingnya. "Daripada kamu ganggu nggak jelas. Mending bantu kita mikir."
"Soal apa?" tanya Arga.
Dita menoleh pada Chika minta persetujuan untuk menceritakan garis besar masalah ini pada Arga. Anggukan dari Chika langsung disambut dengan semangat. Dia menceritakan secara ringkas, jelas, dan tanpa menyinggung perasaan Chika pada Raka sekarang.
"Hmm, menarik."
"Apanya yang menarik?" tanya Dita, kembali kesal pada Arga.
Arga menunjukkan cengiran manisnya. Lesung pipi menghias kedua pipi itu. "Sayang, kamu bisa nggak sih sehari aja nggak galak? Sabar dong, aku kan lagi menilai."
"Cih, terserah. Jadi, gimana menurut kamu? cepet deh, kita nggak punya banyak waktu tau! Perempuan yang namanya Lyza hari ini mau main ke kantor," omel Dita. Makin cepat berita itu disebarkan makin baik. Lagipula dia harus ada di mejanya sebelum Raka datang. Meski dia adalah tunangan Arga, sahabat Raka. Raka tidak suka memberikan toleransi pada ketidakdisiplinan.
"Simple," ucap Arga dengan santai. "Sebarkan aja gosip soal Raka suka laki-laki itu benar."
"Hah?" tanya Chika, Wulan dan Dita bersamaan.
Arga menahan tawa gelinya melihat ekspresi ketiga gadis ini. "Gampang kan?"
"Kamu gila?" tanya Dita.
"Kalau nggak gila, aku nggak akan betah sama kamu sayang." Arga mengedipkan satu matanya. "Btw, nanti malem ke apartemenku yuk?"
"Uuuuu mau ngapain hayo?" tanya Wulan meledek.
"Mau ngajak dia lihat barang-barang di sana. Sebelum dia resmi jadi Nyonya Arga," jawab Arga disusul dengan senyum. "Kalau kamu mau menginap, aku nggak akan menolak yang."
"Mimpi sana!" balas Dita. "Duh, udah deh. Jangan bercanda. Kamu yang bener aja dong, masa pakai cara itu?"
"Dicoba aja," jawab Arga. "Chika, kamu nggak perlu langsung bilang. Setiap ada yang menjurus kesana, kamu hanya perlu diam."
"Begitu yaa?" tanya Chika ragu.
Arga mengangguk dengan wajah serius. "Kamu nggak mau Raka dan Lyza mendapat berita-berita yang buruk kan?"
"Emm, oke deh." Chika merapihkan pakaiannya. "Nggak ada cara lain sekarang, udah jam kerja juga. Gih sana Ta, nanti kena omel Kaka loh."
🌼🌼🌼
Rencana pertama, Wulan dan Chika akan pura-pura ngobrol soal pertunangan itu sudah berakhir. Chika pura-pura sedang curhat, dan dengan suara seperti toa itu, Wulan menanggapi dengan heboh. Perfect.
"Apa?! Lo sama Pak Raka udah nggak tunangan!!" teriak Wulan.
Suara itu langsung membuat orang-orang yang awalnya sibuk langsung mendekat. Tertarik mendengar kelanjutannya, dan bertanya-tanya alasan kenapa bisa berakhir. Sayang sekali melepas begitu saja kesempatan emas menjadi menantu dari keluarga Rajendra.
"Serius Chika? kenapa?"
"Iya emang fatal banget sampai harus selesai? ini kan tunangan bukan pacaran."
"Pak Raka selingkuh yaa?"
"Apa lo Chika, yang selingkuh."
Plak. Si pembuat pertanyaan terakhir langsung terkenal gatakan dari Edgar. "Mana mungkin Chika begitu."
Chika meringis kecil, bingung harus memulai darimana. "Kaka nggak selingkuh ko."
"Ada perempuan lain kan? iya kan? pasti iya."
"Jangan ngaco! Pak Raka kan cuek begitu sama perempuan. Lagian kalau sampai iya, nggak akan dibiarin lah sama Bu Fian. Bisa abis diamuk sama Bu Bos." Wulan berusaha mengompori.
Chika meringin kecil dan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kami cuma ngerasa udah nggak cocok."
"Duh alasan klise banget! Nggak mungkin kalau cuma nggak cocok. Iya kan?"
"Tau nih. Pasti ada yang nggak beres kan?"
"Nggak ada apa-apa, kami cuma sepakat untuk selesai." Chika membuka notenya, pura-pura sibuk bekerja.
"Atau jangan-jangan, kabar soal Pak Raka jeruk makan seruk itu bener?"
Gotcha. Chika melirik Wulan, sekilas. Akhirnya ada yang membahas ini. Chika menghela nafas panjang dan tersenyum. "Udah waktunya kerja, kita nggak harus buang waktu untuk masalah ini kan?"
"Apaa? jadi bener gosipnya?!"
"Wah kacau, kalau itu alasannya sih, yaa wajar kalau semua selesai."
🌼🌼🌼
Gosip itu menyebar dengan cepat. Berawal dari team finance, dan tidak butuh sehari, hingga saat jam istirahat, rata-rata karyawan kantor ini membicarakannya dengan semangat. Raka sudah curiga melihat pandangan orang-orang padanya terlihat aneh.
Semua terjawab, saat dirinya sedang menikmati makan siang, di ruangannya sendiri. Bunda datang langsung dengan wajah marah.
"Raka, coba jelaskan tentang gosip yang saat ini tersebar!" ucap Bunda dengan mata tajam.
Raka menghela nafas panjang, dan mengakhiri makan siangnya. Gosip yang saat ini tersebar, dia tentu tidak tahu. Mana sempat dia mendengar soal itu, sementara di mejanya ada banyak sekali pekerjaan yang sudah menunggu.
"Kenapa diam?"
"Bunda bisa abaikan semua," jawab Raka.
"Enak saja," keluh bunda. "Kamu ini benar-benar, kenapa kamu dan Chika memutuskan untuk menyelesaikan pertunangan kalian?"
Raka mendengus pelan, dan senyum geli itu membuat bunda makin kesal. "Kalau Bunda lupa, ini hanya pertunangan yang Bunda karang secara sepihak."
Bunda makin cemberut kesal. "Yaa karena Bunda yang mengarang, harusnya Bunda ikut disertakan dalam keputusan kalian ini!"
"Yaa ya terserah Bunda," balas Raka.
"Kamu mau tau apa gosip yang sekarang beredar?" tanya bunda.
"Kamu selingkuh dari Chika, dan lebih parahnya lagi, kamu selingkuh bukan dengan perempuan, tapi laki-laki."
🌼🌼🌼
Seharusnya Raka tidak percaya dengan kata-kata Chika yang akan membuat alasan tanpa membuat kegaduhan. Pantas saja seharian ini dirinya menjadi objek mata karyawan-karyawan di sini. Dan mudah sekali ditebak, ini pasti dari gadis itu.
Raka menghela nafas panjang dan memejamkan mata. Berisik sekali suara-suara bisikan di sekitarnya ini. "Chika," geramnya.
Oke gosip memang tidak perlu terlalu dipikirkan. Toh semua akan berakhir nantinya kalau ada berita lebih menghebohkan lagi. Tapi jujur, ini mengganggunya. Entahlah, hanya merasa kesal saja. Jadi di sinilah dia, berjalan menuju ruangan tim finance untuk menghampiri Chika.
Tiba di ruangan ini, Chika terlihat sedang sibuk dikerumuni rekan-rekannya. Bagus. Ini kesempatannya untuk membalas gadis itu. Ditepuk pundak orang yang berdiri paling belakang dari kerumuman.
"Bisa biarkan saya bicara dengan calon istri saya?" tanya Raka.
Suara berat dari Raka memecah kebisingan suara wawancara itu. Kekagetan wajah Chika cukup membuatnya puas. Terlihat dari gesturnya, gadis ini agak takut. Mungkin Chika pikir, masalah ini tidak akan sampai membawanya susah payah datang ke ruangan langsung.
"Kalian sedang bicara apa?" tanya Raka, pura-pura basa-basi.
"Eh, oh nggak Pak. Kami cuma ngobrol soal pekerjaan." Wulan menjelaskan sambil menyenggol tangan Chika.
Raka mengangguk-anggukkan kepala, seperti percaya dengan jawaban itu. Dia tersenyum tipis. Membuat para perempuan di ruangan ini menahan nafas, meski barusan menggosipi Raka menyukai pria, tetap saja pesona Raka sangat kuat.
"Berhenti merajuk," ucap Raka sambil mengusap kepala Chika yang masih duduk dengan wajah kaget.
"Kaka? kamu-,"
Raka menunduk, mendekat wajahnya dan berbisik pelan. "Jadi ini berita yang katamu alasan paling masuk akal?"
"Emm hehe, kita bicarakan nanti. Oke?"
Raka menahan senyumnya. "Hem, mau kubuktikan sesuatu?"
"Buktikan apa?" tanya Chika bingung.
Raka kembali menegakkan punggungnya. Telunjuknya mengarahkan dahu Chika agar gadis ini mendongak. Ditatap wajah cantik yang ekspresinya mudah terbaca ini.
Di sekitar, para penonton gratisan itu menahan nafas, menunggu adegan selanjutnya. Perdebatan antar pasangan yang menghebohkan satu kantor ini memang menarik.
Wajah Raka kembali mendekat, membuat Chika reflek menutup matanya. Saat ujung hidungnya menyentuh hidung Chika, seulas senyum kembali ditunjukkan. "Malam ini, datanglah ke apartemenku. Kita harus bicara, sayang." Sengaja kata-kata itu diucapkan agak keras, agar semua yang ada di ruangan ini mendengar.
Sebelum kembali menjauh, dia mengecup kening Chika. Dan itu kembali sukses, membuat para perempuan hampir menjerit. Gila, kalau begini sih sudah pasti berita Raka itu jeruk makan jeruk itu hoax.
Chika membuka mata, mulutnya terbuka, ingin bicara tidak bisa, ingin bertanya, tidak tahu akan bertanya apa. Sepertinya pikiran ini mendadak jadi berhenti bekerja. Matanya mengerjap beberapa kali, dan di hadapannya, Raka justru menikmati kekagetannya. Menyebalkan bukan.
🌼🌼🌼
Chika baru bisa menggerakkan tubuhnya saat Raka sudah pergi. Dan semua kembali mewawancarainya. Namun, kali ini semua tidak penting. Dia langsung berdiri dari kursi dan mengejar Raka.
Pasti Raka sedang membalasnya. Hanya karena berita itu. Astaga, kenapa harus sampai begitu. Di depan ruangan Raka, Chika bertemu dengan Dita.
"Gimana? sukses?" tanya Dita.
"Sukses apanya?" keluh Chika. "Kaka di dalam kan?"
"Iya, baru masuk tadi. Ada apa sih?"
Bukannya menjawab, Chika langsung masuk ke ruangan itu. Di belakangnya, Dita yang sudah kepo langsung mengikuti dan mengintip dari pintu. Mencuri dengar percakapan pasangan itu.
"Kaka! kamu kenapa sih?" tanya Chika.
Raka bersedekap dan menyandarkan tubuhnya pada meja kerja. Dia sudah tahu kalau Chika akan menyusul. "Membereskan kekacauan yang kamu buat."
"Yaa ta-tapi kan nggak harus begitu. Kalau begini namanya kamu menambah masalah, tau!" keluh Chika.
"Siapa yang duluan menambah masalah?" balas Raka sengit.
"Kamu kan tinggal mengelak, bilang kalau gosip itu nggak benar. Lagipula bukannya semalam kamu bilang apapun alasannya kamu akan terima?" tanya Chika lagi. Masih tidak terima. Sebenarnya melawan Raka adalah yang menakutkan, tapi dia juga tidak bisa diam saja.
"Dan kamu bilang akan membuat alasan yang masuk akal." Raka tersenyum miring. "Maksudmu, berita kalau aku gay adalah alasan paling masuk akal?"
"Tunggu dulu," jawab Chika, yang semakin panik. "Aku nggak pernah bilang itu, mereka yang menyimpulkan sendiri."
"Lalu, apa responmu?" tanya Raka.
Sial, Chika bingung harus menjawab bagaimana. Apa dia salah cara yaa. Otaknya mencoba berpikir cepat. "Aku diam, tapi itu kan untuk kamu juga."
"Untukku?" tanya Raka dengan pandangan tidak percaya. "Untukku, atau untukmu sendiri?"
"Untuk kamu, Kaka. Kalau nanti dalam waktu dekat kamu tampil di depan mereka dengan perempuanmu, mereka nggak akan mikir macam-macam." Chika menghela nafas panjang. "Nanti, pun kalau kamu serius dengan perempuan itu, tolong buat jarak waktu yang nggak terlalu dekat dengan sekarang. Dan kalau orang-orang tanya aku, aku hanya perlu menjawab, aku nggak pernah mengiyakan kalau kamu suka laki-laki."
Raka mengerutkan keningnya. "Memangnya aku akan menggandeng siapa?"
"Yaa siapapun itu." Chika langsung menjawab. Tidak mungkin langsung menyebutkan nama kan.
Ternyata berurusan dengan seorang perempuan memang rumit. Raka hanya memijat keningnya sendiri. Matanya terpejam sebentar. "Ikut aku nanti."
"Kemana? ke apartemenmu?" tanya Chika.
Mata Raka kembali terbuka, kali ini semakin tajam. Kalau bisa, ingin dia cubit pipi itu, saking kesalnya. Membuat ulah dengan seenaknya. "Kamu berharap aku mengajakmu ke apartemenku lagi?"
"Emm? Ma-mana mungkin," elak Chika dengan pipi bersemu merah. "Kamu sendiri yang bilang pada mereka semua, tadi."
Raka mendengus pelan. "Kamu harus bertanggung jawab atas ulahmu sendiri kan?"
"Hah?" Chika mengerjapkan mata, dia menyilangkan tangan di depan tubuhnya dengan wajah takut. "Maksud kamu, kamu bukan mau membuktikan kalau kamu benar-benar pria normal kan?"
"Hm, kita lihat saja nanti."
🌼🌼🌼
Sepulangnya dari kantor, Raka mengajak Chika pergi dengan mobilnya. Meski agak takut, tapi Chika tidak bertanya apa-apa. Daripada salah bicara lagi. Yah harus dia akui, kekisruhan hari ini adalah kesalahannya.
Tapi sebenarnya mereka akan kemana, Raka tidak serius ingin membuktikan kalau dia pria normal kan, iya kan. Kalau memang iya, apa yang akan pria itu lakukan. Raka tidak akan macam-macam kan. Dia kan orang terhormat.
Chika menggelengkan kepala kuat-kuat. Jangan berpikir yang aneh. Raka tidak akan berbuat hal yang tidak terhormat. Tidak akan berani. Jadi mereka akan kemana.
Mobil itu tiba di rumah yang besar. Halamannya luas dengan pagar tinggi. Chika menempelkan wajahnya di jendela, dan bergumam takjub. Astaga, ini bukan istana negara kan.
"Kaka," panggil Chika tanpa mengalihkan pandangannya pada lapangan hijau nan luas itu. "Kamu yakin, di lapangan luas itu nggak ada rusa?"
Pagar terbuka secara otomatis dan mobil Raka melewati sebuah rumah. Seperti pos jaga, karena ada beberapa orang yang berdiri di sana seperti menyambut kedatangan mobil ini. Gila, ini benar-benar menakjubkan. Rumah siapa ini.
Di antara pepohonan dan lapangan hijau itu terlihat bangunan megah, berwarna putih. Mulut Chika terbuka, membentuk huruf o. Benar, ini pasti istana. Raka mengajaknya datang ke istana siapa. Ini bukan istana negara kan, meski tidak terlalu suka pelajaran kewarganegaraan dan lain-lain, dia tidak terlalu bodoh sampai tidak tahu bentuk istana negara.
Jarak rumah itu semakin dekat, dan mobil Raka memutari air mancur yang berbentuk bulat, berada di tengah-tengah halaman utama ini. "Kaka, kamu mengajakku kemana?"
Raka mendengus geli dan bersedekap. "Selamat datang di rumah utama keluarga Rajendra."
Mata Chika reflek melebar, takjub. Sebenarnya seberapa kaya pria ini. Yakinkah kalau Raka bukan salah satu dari beberapa pangeran kerajaan. Kepalanya menoleh pada rumah ini. Sebenarnya di televisi rumah ini sering diliput, hanya dari luar, jadi Chika tidak sadar.
Seorang pria yang mengenakan jas hitam, dan tubuhnya tegap langsung mendekat dan membuka pintu mobil Raka. "Selamat datang Tuan Muda."
"Hm. Apa Opa dan Oma ada di rumah?"
"Yaa, mereka sudah menunggu Anda."
Raka menghela nafas panjang dan menganggukkan kepalanya. Kembali dia menoleh pada Chika. "Sekarang, kamu harus membantuku menjelaskan semuanya."
"Jelaskan soal apa?" tanya Chika.
Raka membuat seatbeltnya dan turun dari mobil. Dihampiri pintu yang berada di sisi Chika. Dia membukakan pintu untuk gadis ini. "Jelaskan pada Oma, dia tidak akan percaya kalau aku yang menjelaskan."
Beberapa perempuan berpakaian rapih berbaris di dekat pintu utama. Mereka menundukkan kepala ketika Raka dan Chika melewati lorong pintu itu. Chika meringis kecil, dan menggelengkan kepala. Apa sekarang dirinya terlihat seperti seorang asisten rumah tangga yang membuntuti seorang pangeran.
"Kaka," bisik Chika. "Apa yang harus aku jelaskan?"
"Apalagi?!" tanya Raka, dari nadanya tentu saja terdengar kesal.
Chika kembali menutup mulutnya dan membuntuti Raka. Mereka melewati beberapa orang yang mengangguk hormat. Di ujung ruangan, ada dua lift. "Ada lift? ini mall atau rumah?"
Seorang perempuan yang sejak tadi berjalan di belakang mereka menanggapi ucapan Chika. "Nona ingin menaiki liftnya?"
"Oh, terima kasih. Aku ikut Kaka aja," jawab Chika dengan senyum ramah. Mereka menaiki anak tangga hingga tiba di lantai dua. Di lantai ini, sama seperti sebelumnya, ada banyak pekerja. Syukurlah, bayangkan betapa lelahnya membersihkan rumah selebar ini.
Rumah ini memiliki dekorasi yang sangat indah. Warna putih yang begitu dominan semakin memperkuat kesan luas di setiap ruangan. Beberapa pajangan guci yang sudah pasti itu mahal, terpampang dengan tegas.
Chika menggelengkan kepalanya. Dia tidak akan mau dekat-dekat dengan guci itu, takut menjatuhkan dengan tidak sengaja, dan langsung dituntut untuk membayar. Bekerja sampai kepala jadi kaki pun dia pasti tidak bisa menggantinya.
"Wah aku pernah liat itu di tv," kata Chika sambil menunjuk lukisan yang saat itu pernah masuk acara lelang. Lukisan dari pelukis luar yang harganya gila-gilaan.
"Yaa, Tuan Karel menghadiahkannya untuk Nyonya besar," jawab ibu di belakangnya.
Mereka tiba di ruangan dengan meja yang panjang. Chika mendekat pada Raka. "Kenapa berhenti?"
"Selamat sore, Oma."
Oma yang saat ini sedang mengurus taman bunga kecil di balkon sisi kiri, menoleh. Senyumnya mengembang hangat. "Akhirnya, kamu datang kemari. Apa gosip itu benar-benar membuatmu khawatir, heh?"
"Hm." Raka memeluk nenek itu dan mengecup pipinya. "Maaf, aku agak sibuk beberapa hari ini."
"Persis seperti Ayahmu." Nenek itu mengalihkan pandangannya pada Chika. "Ini Chika, yang Bundamu ceritakan?"
"Hmm, selamat sore Oma." Chika tersenyum kaku dan menganggukkan kepalanya. Apa dia akan dimarahi habis-habisan karena membuat nama baik cucunya rusak.
"Haha, dia takut denganku?" tanya oma. "Kemari, biar aku lihat siapa perempuan yang menjadi tunangan cucuku ini."
Ragu, Chika mendekat dan wajahnya makin takut. "Oma maaf, aku nggak bermaksud menuduh Kaka itu gay."
Oma menangkup wajah Chika, dan menyipitkan mata. Seperti menilai setiap detail ekspresinya. "Aku jadi ingat, saat pertama Fian datang kemari."
"Bunda Fian?" tanya Chika.
"Yaaa, ekspresi kagummu pada rumah ini. Ekspresi canggung dan agak takut." Oma tersenyum dan mengusap kepala Chika. "Kamu yang meskipun takut, tapi selalu bisa menjawab perkataan Raka. Iya kan?"
Chika menganggukkan kepala, iya benar. Tapi memang sejak dulu dia tidak bisa benar-benar takut pada Raka. Entah, mungkin karena dia yakin, kalau Raka adalah pria yang baik. Meski tentu wajahnya terlihat agak galak. Dan tampan tentu saja.
"Haha benar bukan," ucap oma. "Jadi, kenapa gosip tentangnya selingkuh dengan pria bisa tersebar? Kalian bertengkar?"
"Bukan.. aku nggak bermaksud begitu Oma. Dan Oma tenang aja, Kaka seratus persen bukan gay." Chika mengangkat tangannya. "Aku bisa jamin itu."
"Jamin?" tanya oma. "Memangnya kamu pernah membuktikannya sendiri?" Oma mengedipkan satu matanya, menggoda.
Lagi-lagi pipi Chika bersemu merah, dan oma tidak bisa menahan tawanya. "Tenang saja, aku percaya pada cucuku."
"Raka, Opamu sudah menunggu di ruangan tengah. Bicara padanya, jelaskan semua." Oma kembali mengusap kepala Chika. "Temani dia menghadapi Opanya."
🌼🌼🌼
"Kaka, kamu takut?" tanya Chika saat mereka tiba di depan ruang tengah.
"Aku tidak bersalah," jawab Raka dengan santai. "Bukankah kamu yang seharusnya takut?"
"Huh, oke aku salah. Tapi apa yang aku jelaskan tadi benar kan? Itu untuk keuntunganmu kedepan," jawab Chika, tidak mau kalah. "Ngomong-ngomong, kalau Opamu marah, bantu aku yaa?"
"Hadapi saja sendiri," balas Raka cuek dan langsung masuk lebih dulu.
"Kaka!" rengek Chika.
Di hadapan mereka, ada pria paruh baya dengan rambut yang sudah memutih. Garis wajahnya terlihat tegas. Dan mata itu tajam dengan alis tebal, agak mirip dengan om Karel. Chika menelan saliva karena merasa aura kakek itu yang dominan.
"Apa kesehatan Opa sudah membaik?" tanya Raka.
"Hem. Sebelum berita itu sampai di telingaku." Kakek itu melirik sekilas ke arah Chika. "Untuk kesekian kalinya." Jujur saja, mendengar rumor percintaan membuat dia agak khawatir kalau rumor itu benar. Seperti saat itu, rumor anaknya menjadi selingkuhan dari istri orang ternyata memang benar.
"Kamu tahu, ada banyak orang yang menunggu untuk menyerangmu karena kamu adalah penerus perusahaan Rajendra. Kamu membuat celah besar untuk mereka."
Raka menghela nafas panjang. "Opa tidak perlu khawatir. Itu hanya rumor, sebentar lagi berita itu akan hilang."
"Kalau begitu buktikan." Opa menautkan jemari-jemari yang sudah keriput itu. "Bertunanganlah dengan serius."
Kali ini Raka mendengus pelan. "Ayolah, ini hanya gosip. Aku tidak mungkin bertunangan. Aku bahkan tidak punya pasangan."
"Kalau begitu, bagaimana aku bisa yakin kalau gosip itu tidak benar?"
Chika yang menonton perdebatan itu sambil mengikuti arah bicara, makin panik. Gawat, dia tidak bisa membuat Raka ada dalam situasi seperti sekarang ini. Apalagi ini karena ulahnya.
Decakan pelan keluar dari bibirnya. Tidak ada cara lain. Dia harus membuktikannya di depan opa. Maaf Kaka, batinnya. Chika mendekat dan menyentuh rahang Raka mengarahkan pria itu agar menghadapnya. Di kecup pipi Raka, agak dekat dengan bibir pria itu. Cukup lama, sampai dia kembali menjauhkan wajahnya.
"Ini bukti untuk Opa," ucap Chika dengan yakin. Dia menggenggam tangan Raka, dan tersenyum manis di hadapan pria itu. Meski terlihat agak kaget, Raka bisa kembali menguasai dirinya. "Maaf Opa harus melihat ini, tapi kali ini rumor itu ada karena aku. Aku agak kesal padanya."
Opa menyipitkan matanya. "Kalian benar-benar pasangan?"
"Emm, meskipun tadi Kaka bilang dia nggak punya pasangan." Chika menoleh pada Raka. "Kita harus akui hubungan kita, karena sepertinya, suasana makin runyam karena aku."
🌼🌼🌼
See you on the next chapter guys ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top