BAB 16

Holaa.. happy satnight sobat!

Hari ini para jomblo jangan sedih, karena meskipun di rumah aja, kalian bisa baca MCB 😂

Oke langsung aja. Follow ig @indahmuladiatin untuk info2 ceritaku

Happy reading guys! Jangan lupa vote dan komentar sebanyak-banyaknya untuk dukung cerita ini.

🌼🌼🌼

Kesibukan di kantor serta urusan hukum antar Chika dan ayah tirinya benar-benar menyita waktu. Beruntung, karena itu dirinya tidak punya waktu luang untuk berpikir macam-macam. Meski tetap saja, di rumah dia harus menyaksikan bagaimana perhatian Raka pada Lyza.

Memang bukan masalah sih, lagipula kenapa harus jadi masalah. Itu kan hak mereka. Kalau pun mereka ingin mesra-mesraan, itu jelas bukan urusannya. Kepala Chika menggeleng, tidak, bukankah dirinya tidak ada waktu untuk memikirkan itu.

"Beberapa hari ini ada banyak projek yang lumayan menyita waktu," kata Dita sambil mengaduk makanannya.

Chika memang sedang makan siang di kantin kantor dengan Dita dan Wulan. "Lo kan sekretaris Pak Raka, yaa berarti lo orang kedua tersibuk sekarang. Pak Karel mulai ngasih projek-projek ke Pak Raka kan?"

"Yapp, dan gue ngerasa stress banget, nggak ada waktu untuk diri gue sendiri. Bahkan tengah malem pun, Raka bisa tiba-tiba telefon!" keluh Dita panjang lebar. Jarinya menunjuk mata sendiri. "Lihat! Coba perhatiin, seberapa tebel kantung mata gue?"

"Oh tenang Ta, kan ada banyak iklan penghilang kantung mata di komentar instagram. Lo tinggal buka postingan artis," kekeh Wulan.

"Yee resek lo!" keluh Dita sambil memijat bawah matanya. Dia menoleh pada Chika yang lebih banyak diam beberapa hari ini. "Ssttt." Kakinya menendang kaki Wulan dan melirikan matanya ke Chika.

"Kenapa sih ini anak?" tanya Wulan.

Dita mengangkat bahunya. "Chika! Lo kenapa? ada masalah?"

"Hah? apa? kenapa?" tanya Chika, agak kaget karena Dita mengguncang bahunya.

"Lo mikirin apa?" tanya Dita.

Chika menggelengkan kepalanya. "Nggak mikirin apa-apa." Satu senyum terukir di bibirnya. "Maaf, aku kurang fokus."

"Masih mikirin sidang bokap angkat lo ya?" tanya Wulan hati-hati. Masalah ini agak sensitif. Dia tidak mau membuat Chika tidak nyaman.

"Hem, itu salah satunya." Chika membenarkan posisi duduknya. "Sebentar lagi, Ayahku akan mendapat hukuman. Menurut kalian, apa nggak lebih baik kalau aku keluar dari rumah Rajendra?"

"Kenapa?" tanya Dita.

"Yaa alasanku tinggal di sana kan untuk sembunyi dari ayah angkatku. Aku merasa udah banyak ngerepotin keluarga Kaka." Chika tersenyum sedih. "Gimana menurut kalian?"

"Emm, mungkin lebih aman kalau lo bener-bener nunggu bokap angkat lo masuk sel deh. Setelah itu, lo bisa pikirin lagi. Tapi saran gue, lo obrolin dulu soal ini sama Tante Fian," kata Dita.

Chika menghela nafas panjang dan menganggukkan kepalanya. Yaa, benar. Dia datang ke rumah besar itu baik-baik. Jadi pergi pun harus baik-baik. Nanti dia akan pikirkan lagi.

🌼🌼🌼

Meski berhari-hari berhasil, kali ini Chika tidak bisa menghindar lagi. Di depan lift kantor, Chika tidak sengaja berpapasan dengan Raka. Chika menganggukkan kepala. "Selamat pagi, Pak."

"Hem."

Raka masuk ke dalam lift, tapi Chika memilih untuk tidak masuk. "Ada apa?"

"Emm, silakan duluan. Saya masih menunggu teman," jawab Chika.

Sudah jelas saat ini Chika berusaha menghindar. Raka sadar akan itu, selama di kantor dia jarang sekali melihat gadis ini. Meski itu hal wajar, karena dirinya dan Chika bekerja di bagian yang berbeda, dan lantai yang berbeda. Tapi di rumah, setiap dia datang berkunjung, Chika pun jarang muncul. Entah gadis ini sembunyi dimana.

Akhir-akhir ini yang dia tahu, Chika memang sedang sibuk dengan kerjaannya. Tapi ini agak berlebihan. Bukankah Chika itu suka sekali bicara, bahkan tentang hal yang tidak penting. Apa dia membuat kesalahan, tidak, obrolan terakhirnya dengan Chika tampak baik. Apa dia tidak sengaja mengejek gadis ini.

"Masuk," perintah Raka.

"Tapi Pak, teman saya-,"

"Masuk," potong Raka. Karena Chika tidak juga beranjak, dia jadi gemas dan kesal. Sabar bukan bagian darinya. "Apa aku harus menarikmu?"

"Hah?" Chika mengerjapkan mata. Dia buru-buru masuk, menyusul Raka. Tidak ingin gosip makin bertambah. Akan sulit kalau gosip itu makin kuat. Dia tidak bisa mencari alasan kalau nanti sewaktu-waktu Raka akan bertunangan, yang sesungguhnya tentu saja. Mungkin dengan gadis bule yang sekarang juga tinggal di rumah Rajendra itu.

Chika diam, menundukkan kepala, menatap kakinya sendiri, sesekali melirik kaki Raka yang berdiri di sampingnya.

Ting, lift tiba di lantai tujuannya. Chika baru akan melangkah keluar, namun tangannya ditahan. "Kenapa Pak?"

Raka menekan tombol, agar lift itu kembali tertutup. Dia tidak menjawab pertanyaan Chika dan membawa gadis ini ke ruangannya. Dia harus mendapat jawaban atas kebingungannya.

"Kenapa?" tanya Dita tanpa suara.

Chika menggeleng samar dan mengangkat bahu. Mana dia tahu. Raka itu kan sulit ditebak. Jangan-jangan dia membuat kesalahan lagi. Apa laporan keuangan bulan ini bermasalah. Tapi bukan kah kalau memang begitu, Raka tidak harus turun tangan langsung. Dan tugas menghadap kan urusan mbak Nimas, atasannya.

Hari ini, Chika kembali masuk ke ruangan besar itu. Ruangan yang sudah agak lama tidak dia kunjungi. Raka duduk di kursinya dan menatap tajam Chika yang berdiri dengan canggung. "Ada apa?"

"Hah?" Chika mengerutkan keningnya. "Ada apa, kenapa? tunggu dulu, maksudku, bukannya aku yang harus tanya. Ada apa? apa ini soal laporan keuangan?"

"Kenapa menghindar?" tanya Raka.

"Menghindar?" ulang Chika. Apasih Raka ini, oke memang dirinya menghindar, lalu kenapa. Kenapa harus dibahas, di kantor pula. Ini sangat canggung. Masa dia harus menjawab jujur alasannya. Iya Kaka, aku menghindar, aku cemburu pada gadis bule yang cantik itu, astaga, gila kalau dirinya berani berkata begitu.

"Tunggu dulu, siapa yang menghindar? aku kan akhir-akhir ini sibuk." Chika mencoba membela diri. "Lagipula untuk apa aku menghindar? kamu nggak akan memakan aku hidup-hidup kan?"

Raka tetap memasang wajah datar, mendengar ucapan aneh Chika. Pembohong. Jelas Raka tahu kalau gadis ini berbohong. Kepalanya mengangguk-angguk. "Baiklah."

"Hanya itu? kalau begitu, saya bisa kembali ke tempat saya, Pak Raka?" tanya Chika.

Sembari mulai membuka dokumennya, Raka menghela nafas panjang. "Sebelum menjawab pertanyaanku, jangan harap kamu bisa keluar dari ruangan ini."

Raka benar-benar serius dengan ancamannya. Ocehan Chika sejak tadi tidak didengarkan. Tidak butuh, yang diperlukan sekarang adalah jawaban, selain itu, semuanya tidak penting. Harusnya Chika tahu, kalau Raka tidak suka basa-basi.

Sampai siang, Chika hanya berpindah-pindah tempat duduk. Bernyanyi dengan suara melengking agar diusir, tapi tidak berhasil. Dia menyiptakan suara gaduh, namun Raka tetap tidak beranjak dari tempatnya.

Sebenarnya pintu besar itu tidak dikunci, namun perkaraan Raka sudah cukup berhasil mengunci pintu itu rapat-rapat. Kalau ibaratnya, mendekati pintu itu sama saja mengantarkan nyawa. Chika merengek kecil dan menendang-nendang udara. Kali ini dia benar-benar memikirkan pekerjaannya yang terbengkalai. Alamat malam ini harus lembur lagi.

"Kaka, aku harus pergi!" keluh Chika.

"Silakan," jawab Raka. Diletakkan tab yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya. "Kamu hanya perlu menjawab."

"Aku kan udah jawab tadi, aku sibuk bukan menghindar. Memangnya cuma kamu yang sibuk?" balas Chika sengit. Dia duduk di kursi yang berhadapan dengan meja kerja Raka. "Memangnya apa masalahnya sih? Kalau pun memang aku menghindar, itu bukan masalah kan?"

Telak. Kali ini Raka yang diam. Bukan karena pertanyaannya menyebalkan, tapi karena itu benar. Dia menolong Chika, itu benar. Tapi hidup gadis ini, semua adalah haknya sendiri. Dia tidak berhak mengatur itu.

"Aku tidak mau Bunda salah paham. Dia pikir, aku membuat kesalahan."

"Cuma itu?" tanya Chika, meski Raka tidak menjawab, kepalanya mengangguk mengerti, diam itu berarti benar, bukan. "Oke, kalau itu masalahnya, aku akan bicara langsung pada Bunda. Sekarang aku boleh kembali ke ruanganku?"

"Pulanglah," ucap Raka.

"Kenapa?" tanya Chika.

Raka menghela nafas panjang. "Pekerjaanmu sudah dibereskan. Kamu mendapat izin untuk istirahat hari ini."

"Kaka, bisa tolong berhenti bertindak seenaknya?" tanya Chika. Dia berdiri dan menopangkan tangannya pada meja kerja itu. "Kamu tahu, akan sulit untukku lepas dari status pertungan palsu, kalau kamu begini."

"Lalu?" tanya Raka. Senyum sinisnya mengembang. "Apa status itu menganggumu?"

"Tentu," balas Chika. "Pertama, aku merasa semua orang memperlakukanku dengan berlebihan. Oke, itu terdengar baik, tapi aku benci itu. Kedua, aku tidak mau bohong terus. Dan ketiga-,"

Raka menautkan jemarinya di atas meja kerja. Pandangannya lurus menatap mata Chika, menunggu kelanjutan ucapan gadis ini. Untuk alasan yang ini, sepertinya Chika tampak ragu untuk bicara.

"Ketiga, bukankah semua memang harus cepat berakhir? Kamu dan aku, kita tidak bisa terjebak dalam status pertunangan palsu ini dalam waktu lama bukan?" tanya Chika.

"Kenapa?" tanya Raka.

"Memangnya kamu nggak niat memulai hubungan dengan seorang wanita nantinya?" tanya Chika.

Raka mendengus pelan, lagi, seulas senyum sinis menghias wajah dinginnya. Itu kah alasannya. "Akhiri saja."

"Apa?" tanya Chika.

"Akhiri saja, kalau itu maumu. Kamu bebas berhubungan dengan pria lain." Raka bangkit dari kursinya dan bergegas pergi. Meninggalkan ruangan kerjanya yang terasa sangat sempit sekarang.

"Loh bukan itu maksudku!" ucap Chika panik. Dia berusaha menyusul langkah Raka.

"Dita, siapkan materi rapat siang ini. Kita harus pergi ke perusahaan Soller sekarang." Raka menghentikan langkahnya di depan lift. Dia abaikan Chika yang menyusulnya.

"Kaka bukan itu maksudku," ucap Chika lagi. "Kamu ngerti kan? aku bicara begitu untuk kamu, bukan untukku."

Raka masuk ke dalam lift, sebelum lift itu tertutup, dirinya kembali menatap tajam Chika. "Umumkan, kalau kamu bukan lagi tunanganku. Atau aku sendiri yang harus mengumumkannya."

"Oh emm, maaf. Apa kalian ada masalah?" tanya Dita.

Chika tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. Dia melangkah mundur. "Terima kasih."

🌼🌼🌼

Sore ini, Chika menceritakan percakapannya dengan Raka, pada Wulan dan Dita yang sudah kepo sejak tadi karena melihat aura dingin antar Chika dan Raka. Sambil menceritakan dengan detail, Chika memainkan gelas minumannya yang isinya hanya sisa setengah.

"Kenapa jadi kayak perdebatan antar pasangan yang tunangan beneran ya?" tanya Wulan.

Dita tersenyum dan menepuk punggung tangan Chika. "Kalau udah begini, lo nggak bisa ngelak lagi. Lo jatuh cinta Raka kan? terus kenapa lo mau tunangan bohongan ini selesai?"

"Aku.." Chika mengangkat bahunya. "Aku juga bingung, maksudku, aku senang ada dia. Kamu tau, jantungku berdetak cepat kalau ada dia. Kalau dia pergi jauh aku merasa kalau waktu berjalan sangat lama."

"Itu jatuh cinta, Chika. Yaampun, masa begitu aja nggak ngerti?" kekeh Wulan.

Untuk masalah percintaan, Chika memang tidak berpengalaman, tapi bukan berarti dirinya bodoh. Dia sadar kalau dia tertarik pada Raka. Namun tertarik dalam arti jatuh cinta atau bukan, itu yang belum berani dia putuskan.

"Yaudah, lo tunggu Raka tenang aja deh. Nanti gue coba bilang sama Raka," kata Dita. "Atau gue minta Arga bantu?"

"Oh jangan-jangan! aku malu. Dia dan Dewa pasti meledekku nanti," kata Chika.

"Kalau dia berani ngeledek lo, dia bakal kena hajar. Tenang aja, lagian yang bisa ngomong sama Raka ya duo bobrok itu," kata Dita.

"Hehe, Ta. Inget, yang lo sebut bobrok itu bentar lagi jadi suami lo." Wulan nyengir dengan alis terangkat.

🌼🌼🌼

Di tengah kesibukan para pekerja di rumah ini untuk memasak makan malam, Lyza tampak antusias melihat proses pembuatan telur dadar. Masakan sederhana yang mudah tapi rasanya lumayan enak. Dicatat bahan-bahan itu dalam notenya. Siapa tahu kan, dia ingin membuat makanan enak untuk bunda.

Beberapa minggu tinggal di rumah ini membuat Lyza mulai mengenal karakter dari masing-masing orang yang tinggal di sini. Dia juga bukannya tidak sadar kalau Caramel dan si kembar sepertinya belum bisa menerima. Apalagi Caramel, anak itu tampak kesal padanya, entah kenapa. Sayang sekali, padahal dia antusias untuk dekat dengan bocah itu.

"Nona Lyza, Mas Raka sudah menunggu di depan."

"Oh yaa?" tanya Lyza antusias. Dirinya menutup notenya dan segera berlari menghampiri Raka.

Pria itu duduk dengan satai. Meski begitu, wajahnya terlihat lebih dingin daripada biasanya.  Seperti sedang kesal, atau mungkin memang sedang ada masalah kantor. "Apa aku dipanggil hanya untuk melihat ekspresi ini?"

"Maaf, aku lelah." Raka menggulung kemejanya. "Apa yang sedang kamu lakukan?"

Lyza duduk di samping Raka dan memperhatikan wajah itu dengan serius. Tidak dia tanggapi, pertanyaan basa-basi dari Raka. "Apa ada masalah?"

"Bukan apa-apa, hanya soal pekerjaan." Tidak sepenuhnya bohong, pekerjaan hari ini membuatnya agak kesal. Masalah penggelapan dana itu masih menjadi fokusnya.

"Emm oke. Mau kubuatkan secangkir kopi?" tanya Lyza.

"Kamu bisa?" tanya Raka dengan pandangan tidak percaya.

"Hey Abang Raka yang menyebalkan. Aku tidak bodoh. Dan aku pembuat kopi yang andal. Kamu akan suka dengan kopi buatanku," balas Lyza dengan bangga. Dia bangkit dan langsung kembali ke dapur. Di sana ada perlengkapan yang sangat lengkap. Mesin pembuat kopi berada di dekat pantry.

Raka menyusul Lyza dan duduk di pantry sembari memperhatika gadis ini. Rambut pirangnya dikuncir asal, menyisakan anak rambut di wajah tanpa make up itu. Ternyata tanpa riasan pun, Lyza tampak sangat cantik. Ditambah senyum yang selalu menghiasi wajahnya.

Aroma biji kopi membuat Raka sedikit tenang. Kopi memang minuman favoritnya. Raka memejamkan mata sebentar, sebelum suara gaduh dari Caramel dan Chika mengganggu. Chika, si cerewet yang berhasil membuatnya kesal tadi pagi.

"Hey, kalian darimana?" tanya Lyza.

"Main," jawab Caramel. "Duh haus nih, susu cokelat mana yaa."

"Mau Kakak buatin?" tanya Chika.

"Hehe boleh, minta tolong yaa Kak. Oh iya, nanti Kakak tidur di kamar Kara aja yaa?" Caramel mengambil dua mangkuk besar. "Kita makan sereal sambil minum susu."

"Kamu belum kenyang makan satu porsi sate tadi?" tanya Chika.

"Belum." Caramel terkekeh pelan.

"Chika, aku buat kopi. Kamu mau?" tanya Lyza.

Baru saja akan menolek tapi Caramel langsung menahannya. "Pasti mau lah. Iya kan Kak Chika?" tidak ikhlas kalau abangnya harus berduaan dengan Lyza terus.

"Ehh oh iya." Chika meringis kecil. Gawat, dia kan tidak suka kopi. Pahit. Sayangnya dia tidak bisa menolak ucapan Caramel. Dia mengerti saat ini Caramel sedang ada di situasi merasa tergantikan. Karena sebelumnya perhatian Raka dan bunda Fian selalu tercurah padanya, sekarang, ada Lyza di sini. Dan sepertinya Raka dan bunda Fian memang lebih sering bersama dengan Lyza beberapa minggu ini.

"Yaudah, Kara ke kamar duluan ya Kak. Ini serealnya Kara bawa ke kamar yaa." Caramel mengangkut dua mangkuk itu dan langsung pergi. Meninggalkan Chika yang masih berdiri dengan canggung.

"Duduklah sebentar," kata Lyza.

"Emm yaa," jawab Chika. Dia duduk di kursi yang agak jauh dari Raka. Sesekali dirinya melirik pria yang sejak tadi hanya diam. Rasanya tangan seperti gemetar karena takut pada Raka.

Lyza meletakan satu cangkir kopi di depan Chika. "Silakan, ini untukmu."

"Terima kasih," jawab Chika. Dia menghirup aroma kopi yang menenangkan itu. Ragu, dirinya mencoba minum satu teguk. Meski ada sedikit rasa manis, tetap saja yang dominan rasa pahitnya. Hoek. Dia tidak suka. Kalau bisa, dia ingin sekali langsung lari mencari permen.

"Bagaimana?" tanya Lyza.

Chika menelannya dengan susah payah. "Emm enak. Haha."

Lyza tersenyum geli dan menggelengkan kepala. "Kamu tidak bisa minum kopi yaa?" Ayolah, wajah Chika sekarang terlihat sangat aneh. "Jangan dipaksa."

"Maaf," ucap Chika sambil segera bergegas membuka kulkas mencari minuman apa saja yang manis. Satu kotak susu stroberi menjadi pilihannya. Yaa ini lebih cocok untuknya.

"Dasar anak kecil," ucap Raka pelan. Dan itu hanya di dengar oleh Lyza.

Lyza tersenyum dan mengambil dua cangkir. Untuknya sendiri dan untuk Raka. "Ini, satu cangkir kopi untuk orang yang sedang banyak pikiran."

"Hm, terima kasih." Lyza tidak bohong, gadis ini pandai membuat kopi. Rasanya cukup enak. Raka tersenyum tipis setelah menikmati kopi itu.

"Aku benar kan? kamu pasti menyukainya," kekeh Lyza.

"Lumayan," jawab Raka. Diletakkan kembali cangkir itu. Pandangannya menelusuri wajah Lyza. "Apa kamu bosan di rumah?"

"Emm yaa sedikit, apalagi kalau Bunda di kantor. Boleh aku main ke kantor?" tanya Lyza. Dia ingin sekali jalan-jalan, tapi tidak punya teman. Raka sibuk di kantor, bunda pun begitu. Dia juga belum punya teman di Indonesia.

"Hem, besok minta supir untuk mengantarmu." Raka menepuk lembut puncak kepala Lyza. "Kamu bisa langsung ke ruanganku."

"Siap, aku boleh mengganggu Bunda juga?" tanya Lyza dengan cengirannya.

Chika terbatuk karena tersedak. Ayolah, memangnya dia sekecil apa sampai tidak terlihat oleh dua orang ini. Kalau ingin bersikap manis begitu, bisakah usir dia dulu.

Raka mengambil satu gelas air putih dan menghampiri Chika. "Bodoh." Ditepuk-tepuk punggung Chika yang masih terbatuk. "Minum pelan-pelan."

Chika meminum air putih itu dan mengatur nafasnya. "Terima kasih, tapi kamu nggak perlu ngejek aku bodoh kan?" gerutu Chika.

"Bodoh," ulang Raka masih dengan pandangan datar.

Menyebalkan sekali. Tadi dengan Lyza saja sikapnya sangat manis. Sedangkan padanya, langsung berubah jadi super menyebalkan. Kalau merasa terganggu, kenapa tidak langsung menarik Lyza untuk menjauh. Malah sok menolongnya.

"Duduk!" suruh Raka.

Chika yang kesal hanya menuruti perintah Raka. Dia duduk sambil bersedekap. Wajahnya masih cemberut kesal, alasan utamanya bukan karena dikatai bodoh, tapi karena sikap pria ini.

Raka memberikan tissu paka Chika. "Bersihkan pipimu. Kamu bukan anak kecil yang tidak bisa minum dengan benar, kan?"

Bisa tidak sih, Raka itu kalau bicara tidak ketus begitu. Chika mengusap bibirnya. Tunggu dulu, dia pikir Raka tidak mau bicara sama sekali karena masalah pagi tadi. Apa Raka sudah tidak marah.

"Kamu udah nggak marah?" tanya Chika.

"Soal apa?" tanya Raka.

Chika berdeham pelan dan meringis kecil. Kalau mengingatkan masalah tadi pagi, apa Raka akan kembali marah. "Emm masalah tadi pagi. Aku benar-benar nggak bermaksud begitu, Kaka."

"Sepertinya aku harus kembali ke kamar," sela Lyza. Dia tersenyum dan meletakkan cangkirnya. "Selamat malam semua."

🌼🌼🌼

Raka menunggu Chika melanjutkan kalimatnya. Jujur saja, dia sedikit menikmati wajah takut itu. Bulumata lentik milik Chika tergerak saat gadis ini mengerjapkan mata. Bibirnya terkatup rapat.

"Kamu tau kan? maksudku itu, kalau kebohongan itu dilanjut, kamu yang akan susah." Chika menjentikkan jarinya. "Oh yaa, kalau model yang waktu itu katanya dekat denganmu, mendengar kabar pertunangan kita, hayoo? bahaya kan? nanti dia salah paham."

Model, yang mana lagi maksud Chika. Raka bahkan lupa siapa yang terakhir digosipkan dengannya. Semua hanya gosip, dia menjalankan beberapa bisnis dengan publik figur, dan itu langsung menjadi berita hoax. Meeting di restoran, dianggap dinner diam-diam.

Chika kembali berpikir, mencari banyak alasan agar terdengar masuk akal. Asal tidak terlihat cemburu, karena kehadiran Lyza. "Sekarang si pembully di kantor pun udah pergi. Jadi, nggak ada alasan kan untuk kita terus pura-pura bertunangan?"

Aneh, kenapa tiba-tiba Chika ngotot sekali ingin mengumumkan pada semua orang kalau pertunangan yang sebenarnya hanya pura-pura ini sudah selesai. Meski alasan-alasan itu masuk akal, namun, bukan kah ini agak aneh. "Lakukan apa yang kamu mau."

"Boleh?"

"Itu hakmu," jawab Raka. Dia melangkah mundur.

Chika menahan kemeja Raka. "Bisa bicara sebentar lagi?"

"Hm."

Suasana hening di sekitar, membuat Chika merasa sedikit gugup. "Menurutmu, alasan apa yang bisa aku gunakan kalau ada yang bertanya kenapa kita selesai?"

Raka diam, dia tidak terlalu mengerti soal percintaan. Lebih baik mengurus bisnis. Sesuatu yang pasti, dan tidak bersifat sentimental. "Terserah."

"Kita harus menyamakan jawaban kita kan?" tanya Chika. "Kalau kamu ditanya, apa yang akan kamu jawab?"

"Aku tidak punya waktu menanggapi ocehan tidak penting," balas Raka santai.

Astaga, benar juga. Lagipula siapa yang berani bertanya pada pria galak ini. Otomatis semua pertanyaan akan menyerang dirinya seorang. Harus alasan yang logis, dan tidak merugikan.

"Jawab saja, kamu mencampakanku," ucap Raka lagi.

"Hah kenapa begitu? Kamu mau lihat aku dicekik ya?" Enak saja. Dia bisa langsung kena hajar fans-fans Raka di kantor. Bukannya aman, dia justru akan babak belur. "Gimana kalau dibalik, kamu mencampakan aku? maksudku itu lebih masuk akal kan. Kamu itu kan tampan, kaya, ada banyak perempuan yang mengejarmu. Sedangkan aku cuma perempuan biasa."

"Terima kasih untuk pujianmu," balas Raka. Membuat Chika sadar dan merasa pipinya memanas. "Tapi jangan membuat alasan yang membuatmu terlihat menyedihkan."

"Kenapa?" tanya Chika. Bukankah itu memang alasan yang rasional.

"Karena harga diri seorang perempuan sangat mahal," jawab Raka dengan tegas. Dia berbalik, mengambil jasnya. "Buat alasan apapun, kecuali itu. Aku akan mengiyakan semua."

"Kaka!" panggil Chika.

"Apalagi!" jawab Raka.

Chika meringis kecil dan mengangkat tangannya. "Aku janji akan buat alasan yang paling masuk akal. Dan yang terpenting, itu alasan yang adil untuk kita berdua."

🌼🌼🌼

See you on the next chapter ❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top