BAB 15

Holla gengs!

MCB balik lagi. Semoga alurnya nggak mengecewakan karena udah lama nggak nulis 😂

Langsung aja, jangan lupa follow ig @indahmuladiatin untuk info2 ceritaku

Okee yuk vote dan komentar sebanyak2nya untuk dukung cerita ini! Happy reading gengs...

🌼🌼🌼

Chika pikir, Raka tidak akan ikut dalam pertemuan dengan pengacara sore ini. Sayangnya, pria itu justru sudah menunggu, bahkan sebelum jam kantor usai. Jadi di sini lah mereka, di café dekat kantor. Dirinya dan Raka duduk, berhadapan dengan pengacara yang sudah ditunjuk oleh Raka untuk menangani kasus ayah tirinya.

"Aku harap hukumannya tidak terlalu berat, dia tetap Ayahku," komentar Chika setelah pembicaraan panjang selama beberapa jam itu.

"Kita tunggu saja keputusan hukum nanti, saya akan mengurus pelaporan kasus dan yang lainnya. Nona Chika nanti saya akan kabari secara berkala."

Raka bangkit dari kursinya dan menyalami pengacara itu. "Terimakasih, tolong urus semua, dan pastikan orang itu mendapat hukuman yang setimpal."

"Siap, Anda tidak perlu khawatir. Selama kita benar, mudah-mudahan semua akan dilancarkan."

Chika ikut berdiri dan tersenyum tipis. Kepalanya mengangguk saat pengacara itu pamit untuk pergi. "Jadi, sekarang aku bisa pulang?"

"Ayo."

Keduanya melangkah keluar, langit sudah gelap. Dan kondisi jalan semakin ramai. Ini malam minggu, dan tiba-tiba Chika berpikir untuk mengajak Raka ke tempat yang sejak dulu ingin sekali dia kunjungi. Bukan tempat istimewa, hanya tempat dimana banyak orang suka wisata kuliner karena banyak sekali aneka jajanan yang enak dan unik.

"Kaka, aku lapar. Bisa kita mampir nanti?"

"Hem."

Raka mengikuti petunjuk Chika sampai mereka tiba di tempat ramai itu. Agak sulit menemukan parkiran, maklum, bukan akhir pekan saja ramai, apalagi ini. "Apa tidak ada tempat lain?" Malas sekali harus berdesak-desakan dengan orang banyak hanya untuk makan, dirinya tidak nyaman dengan keramaian.

"Ck di sini makanannya enak-enak. Ayo sebentar. Yaa?" pinta Chika dengan wajah memohon. "Ayoo Kaka, kamu pasti belum pernah ke sini kan? Ayoo."

"Cih." Tangan Raka menutup wajah Chika. "Singkirkan wajah memelasmu itu."

"Ihh Kaka!" protes Chika. "Ayo, dan tolong lepas jasmu. Ini bukan kantor, Tuan Muda."

Raka melepaskan jasnya, dan menggulung lengan kemeja hingga siku. Mau bagaimana lagi, kalau begini, dia hanya bisa meloloskan permintaan Chika. Sebelum membuka pintu mobil, dirinya menghela nafas panjang. Hanya sebentar, setelah itu dia bisa menarik tangan gadis ini untuk segera pulang.

"Astaga, banyak makanan. Ayo Kaka!" Chika sudah berlari duluan karena terlalu antusias.

"Hey! Jangan lari begitu." Raka menyusul dan langsung menggenggam tangan Chika agar gadis cerewet ini berjalan di sampingnya. Melihat kekagetan di wajah cantik itu, senyum sinisnya mengembang. "Aku bukan Ayah yang sedang mengawasi putrinya."

"Enak saja," keluh Chika. Tangannya menjentik. "Daripada Ayah dan Anak, lebih baik kita pura-pura kencan. Jadi Tuan Raka, kamu belum pernah kencan kan? Selamat, temanmu ini akan mengajarimu cara kencan. Malam ini silakan ambil pelajaran yang banyak."

"Memangnya kamu pernah?"

"Belum pernah," kekeh Chika. "Ayo, makin malam, antrian makin panjang."

Ada banyak stan makanan yang Chika dan Raka kunjungi. Chika sangat antusias mencoba makanan-makanan itu. "Kaka ayo coba ini." Dia memberikan makanan itu pada Raka dan pria di sampingnya ini langsung menggelengkan kepala, menolaknya.

"Aneh," komentar Raka.

"Jangan lihat bentuknya, ayo makan!" Chika menyuapi makanan itu. Ditunggu ekspresi Raka. Pria ini tampak fokus mengunyah, kerutan di kening itu membuat wajah tampannya semakin menggemaskan.

"Enak?" tanya Chika.

Raka berdeham. "Saya pesan sepuluh kotak." Pria ini langsung kembali mengambil makanan itu dan memakannya.

"Loh, kenapa kamu pesan sebanyak itu? untuk apa?"

"Ada banyak orang di rumah." Hanya itu, dan selanjutnya, Raka lah yang lebih antusias membeli banyak makanan. Catat. Banyak, jika yang lain membeli satu porsi atau dua porsi. Pria ini membeli beberapa kotak di setiap stand makanan yang dikunjungi.

Chika membuka mulutnya, melihat banyaknya makanan yang Raka beli. "Sekarang coba jelaskan Tuan muda, siapa yang akan membawa kotak-kotak makanan ini?"

Raka mendengus pelan dan menelepon seseorang. Sambil menunggu, Raka dan Chika duduk di kursi salah satu stand makanan. Setengah jam, Chika masih tidak habis pikir untuk apa ini semua.

"Sekarang aku percaya," gumam Chika.

"Apa?"

Chika bertopang dagu dan menatap Raka dengan mata berbinar takjub. "Kamu bisa membeli satu restoran kalau kamu mau."

Belum lama mereka menunggu, beberapa orang datang dengan setelah hitam. Postur besar dan tegap mereka sepertinya menjelaskan siapa orang-orang ini. Raka langsung berdiri di hadapan mereka. "Bawa makanan ini ke panti yang saya kirimkan alamatnya."

"Baik Tuan."

Chika mengerutkan keningnya. "Panti? untuk panti tempatku?"

Raka hanya berdeham, dia membawa beberapa kotak sisanya, untuk orang-orang di rumah. "Ayo, sudah malam."

🌼🌼🌼

Chika tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana perlakuan Raka. Pria itu baik dan selalu perhatian dengan caranya sendiri. Terlepas dari wajah yang galak, dirinya tidak pernah benar-benar bisa takut pada pria itu.

Bagaimanapun, semengelak apapun, dirinya harus mengakui kalau Raka berhasil meruntuhkan pertahanannya. Dan ini sungguh salah. Chika menutup wajahnya, berusaha mengatur nafas, agar dirinya kembali tenang.

Dehaman membuat Chika menoleh, senyumnya mengembang melihat Caramel berdiri di depan pintu. "Lagi banyak pikiran ya Kak?"

"Hmm nggak, Kakak cuma agak pusing."

Caramel berjalan mendekat dengan wajah khawatir. "Kakak sakit? Mau Kara anter berobat?"

"Nggak perlu, Kakak cuma pusing sedikit. Oh iya Ra, Bunda mana?" tanya Chika, berusaha mengalihkan perhatian Caramel.

"Bunda kayaknya lagi sibuk daritadi. Dari wajahnya yang cerah sih, mungkin bulan ini Bunda menang lotre," kekeh Caramel.  Obrolan receh itu berlangsung hingga malam hari. Hal yang benar-benar berhasil mengalihkan perhatian Chika dari Raka.

🌼🌼🌼

Raka melirik jam tangannya, sudah setengah jam dia menunggu di bandara. Seharusnya pesawat yang membawa Lyza sudah mendarat. Sesuai dengan rencana, Lyza akan kembali ke Indonesia.

Sebelum Lyza kembali, Kenneth ternyata sudah lebih dulu ada di Indonesia. Bahkan sudah lama, dan yang lebih mengagetkan anak laki-laki itu dekat dengan Caramel. Kenneth, anak bungsu dari Gavyn dan Stella, orang yang sudah seperti orangtua baginya.

Kenneth Aldebaran, yang berarti bintang. Nama yang memiliki arti yang sama dengan Caramel. Bisakah dirinya percaya pada anak itu untuk menjaga Caramel. Meski anak itu anak dari Mommy Stella.

Hembusan nafasnya terdengar berat. Sudahlah, soal itu, nanti saja dipikirkannya. Raka masih lelah, semalam setelah mengantar Chika, dia harus mempelajari banyak hal tentang perusahaan.

Ponselnya bergetar pelan. Ada pesan masuk dari bunda yang sangat antusias karena putrinya datang. Lyza memang sudah seperti anak untuk bunda. Dulu saat kecil, sebelum Mommy Stella meninggal, Lyza sering sekali main ke rumahnya.

Sayang ingat yaa langsung pulang!

Love you

Raka mendengus pelan, bunda dengan sifat tidak sabaran. Memangnya dia akan membawa putrinya ini kemana. Saat mendongak pandangannya jatuh pada seorang gadis cantik dengan wajah khas wanita yang dia sayangi. Rambutnya pirang dengan bibir merah merona terlihat berlebihan tapi sangat cocok untuk mempertegas kecantikannya.

Gadis itu melangkah mendekat dan menggerutu kecil.

"Elyza Valeria Tiffani," panggil Raka.

Gadis itu menoleh, keningnya berkerut dalam. "Kau memanggil aku?"

Raka mengangguk dan mengulurkan tangannya. "Raka Eldenis Rajendra."

"Raka?" tanya Lyza masih dengan wajah bingung, "oh ya kau yang menjemputku? astaga bagaimana mungkin ada sopir yang tampan sepertimu, yah tapi siapa peduli? bawa koperku, aku mulai kepanasan."

"Jakarta benar-benar panas!"

Raka tersenyum tipis, Lyza sejak dulu tidak pernah berubah selalu apa adanya dan tanpa basa-basi. Gadis ini pasti sudah lupa padanya, karena dulu, Lyza pindah ke London saat berumur lima tahun.

"Ayo Daddy sudah di rumah bersama Bunda," ajak Raka tanpa berniat bicara lebih banyak.

"Oh jadi dia sudah menikah lagi? hebat, pantas dia mengirim kami ke London. Apa kau anak dari istri barunya?" tanya Lyza.

Raka terdiam, ucapan Lyza seolah menjadi jawaban atas pertanyaannya. Tentang bagaimana hubungan antar daddy Gavyn dan kedua anaknya. "Lyza, jaga bicaramu, Daddy bukan orang yang seperti itu."

Bola mata Lyza berputar jengah, dia mengibaskan lengannya. "Ya yaa dia baik dan aku adalah anak durhaka."

Raka menatap mata itu dengan pandangan datar. Gadis di hadapannya ini tampak tangguh, namun rapuh. Ada sakit, di sela kata dalam kalimatnya. Sekilas, dirinya seperti melihat ketangguhan Mommy Stella.

"Maaf," ucap Raka. "Lebih baik kita pergi sekarang."

"Aku bisa pergi sendiri, sampaikan padanya aku lebih baik tinggal dengan Kenneth daripada dengannya." Lyza menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Tujuanku pulang untuk menjemput adikku, bukan untuk kembali padanya."

Raka menahan lengan Lyza hingga gadis itu berbalik menatapnya. Tubuh itu menubruk tubuhnya. Keterkejutan di wajah cantik itu hanya sekilas, sebelum berubah menjadi wajah sinis. "Kamu lupa padaku? Aku Raka, kamu sudah seperti adikku sejak dulu, bahkan sebelum Mom meninggal."

Bisa tepuk tangan, hari ini seorang Raka bisa banyak bicara.

Mata Lyza menyipit, dia memperhatikan wajah Raka dengan lekat. Mencoba menyelami memori lamanya. Nama Raka memang tidak asing baginya, seolah ada ikatan meski dia tidak mengenal pria tampan di hadapannya ini.

Aroma mint yang memabukan dari Raka membuat wajah Lyza bersemu merah karena jarak mereka yang terlalu dekat. Sadar akan jarak yang terlalu dekat, dan canggung ini, Raka melepaskan rangkulannya pada pinggang Lyza.

"Ayo kita bicara di tempat lain."

Dalam perjalanan menuju rumah, Lyza lebih banyak diam. Mungkin antar kesal dan kaget dengan prilaku pria di sampingnya ini. Seenaknya saja.

"Maaf aku tidak menghubungimu selama kamu dan Kenneth di London," ucap Raka sembari fokus menyetir.

Lyza menghela nafas panjang. "Aku tidak ingat kau siapa, dan Bunda? Mommy sudah meninggal dan aku hanya punya satu ibu."

Raka memutuskan untuk mampir ke taman dekat rumah. Setidaknya dia memang harus menjelaskan lagi pada Elyza. "Ayo turun sebentar."

Tanpa banyak bicara, Lyza mengikuti kemana Raka pergi. Mereka duduk di kursi taman. Raka langsung menegluarkan dompetnya. Di sana tersimpan beberapa foto lama. Ada foto bunda sedang bersama dengan Mommy Stella dan Lyza kecil.

"Lihat baik-baik," ucap Raka. "Aku akan membawamu bertemu dengan wanita yang duduk di samping Mom."

Kali ini mata Lyza fokus memperhatikan foto itu. Wajah cantik dan tampak tidak asing. Bunda, sekelabat ingatan akan panggilan itu muncul. Perpisahan saat di Bandara. Saat dimana dia harus berpisah dengan daddy, dan wanita yang dia panggil bunda ini.

Tiba-tiba saja, matanya sudah panas. Dia ingat, sekarang dia ingat. Ini bunda, seorang wanita yang ingin sekali dia temui sejak dulu, dan berujung kecewa. Ratusan surat dirinya tulis dengan tulisan ceker ayamnya saat kecil. Surat yang hanya sampai pada kotak usang di sudut kamarnya.

"Bunda," gumam Lyza.

Raka tersenyum tipis, tangannya mengusap kepala Lyza. "Welcome back."

"Bang Raka?" panggil Lyza dengan ragu. Melihat Raka tersenyum tipis, tangisnya makin pecah. Dia langsung memeluk Raka dengan erat. "Abang!"

"Cengeng!" komentar Raka.

🌼🌼🌼

Tiba di rumah, Raka menggenggam tangan Lyza dan mengajaknya bertemu dengan Bunda yang duduk di samping ayah. Di sana ada daddy Gavyn yang juga sudah menunggu.

Melihat Lyza, bunda langsung bangkit dan menghampiri anak ini. Matanya berkaca-kaca. Jemarinya menyentuh wajah Lyza dengan perlahan. "Lyza, sayang?"

Bunda tidak bisa menahan tangisnya, dipeluk Lyza dengan erat. Diciumi kening dan kedua pipi Lyza. "Sayang, kamu ingat Bunda?"

"Hem." Lyza menganggukkan kepala dan mengusap airmatanya. "Lyza rindu Bunda."

Daddy Gavyn menghampiri keduanya. "Daddy senang kamu bisa bertemu dengan Bundamu lagi."

Sorot mata Lyza berubah lebih datar. "Terima kasih, karena telah mengizinkan aku kembali kemari untuk bertemu dengan Bundaku."

Meski terdengar sinis, daddy Gavyn menghela nafas panjang, dia tetap mencoba untuk tersenyum. "Ajak adikmu, dia pasti senang bertemu Bundanya."

"Apa pedulimu? tanpa kau suruh aku akan mengajaknya. Selama ini memang siapa yang memikirkan dia selain aku?" tanya Lyza lagi.

Suasana haru kembali menjadi canggung. Bunda sudah mendengar permasalahan itu, jadi tidak kaget melihat respon Lyza yang tidak ramah pada daddynya sendiri.

"Sayang jangan begitu dengan Daddymu," ucap bunda pelan. Tidak ingin salah bicara dan membuat Lyza tidak nyaman.

Lyza menggelengkan kepalanya. Lagi-lagi airmatanya menetes. "Dia bukan Daddy kami sejak dia mengirim kami ke London dan melepas kami begitu saja."

Daddy Gavyn tersenyum tipis, dan menghela nafas. Kepalanya mengangguk. "Aku titip Lyza, Fi."

Bunda menganggukkan kepalanya. Diajak Lyza pergi ke kamar yang sudah disediakan. Kamar itu ada di samping kamar Caramel. Kamar yang sudah di design khusus. Raka membantuk membawa koper milik Lyza sampai ke kamarnya.

"Bunda senang Lyza kembali, sejak dulu Bunda yakin kamu akan kembali pada Bunda," kata bunda

"Bunda, Lyza sayang Bunda," lirih Lyza. Kehangatan itu, kasih sayang itu, hal yang sudah lama sekali hilang, kini bisa kembali. Bisakah kalian bayangkan, bahagianya yang dia pikir sudah hilang, ternyata bisa kembali.

"Terima kasih," ucap Lyza pada Raka setelah bunda pergi.

"Hem."

Lyza tersenyum dan menatap keseluruhan kamarnya. "Aku jadi ingat, dulu kamu selalu jadi orang paling panik saat aku menangis. Kupikir sampai sekarang itu belum berubah."

"Ya," jawab Raka tanpa mengelak.

Jawaban itu membuat Lyza langsung menoleh. Dia hanya niat bercanda tadi. Tapi sayangnya, yang didapat adalah wajah serius dari Raka. Rahang itu mempertegas ketampanan pria ini.

"Jadi jangan sampai kamu menangis di hadapanku."

🌼🌼🌼

Chika yang membawa tumpukan baju Caramel menghentikan langkahnya di kamar yang ada di samping kamar Caramel. Di sana ada Raka, dan gadis yang tadi dibawanya. Dari tempatnya berdiri, dia bisa mendengar percakapan itu dengan jelas.

Bukankah harusnya dirinya tidak terpengaruh dengan kata-kata itu. Bukankah apapun hubungan Raka dengan gadis cantik itu bukan urusannya. Tapi kenapa rasanya sakit, entah bagaimana penggambarannya. Ada rasa kecewa, namun kecawa atas apa. Harapan untuk apa sampai ada rasa kecewa.

Chika mengatur nafasnya dan menggelengkan kepalanya. Dia kembali berjalan, dan masuk ke kamar Caramel untuk meletakkan tumpukan pakaian yang tadi disetrika oleh salah satu pekerja di rumah ini. Saat akan keluar dari kamar Caramel, langkahnya terhenti.

Kepalanya mendongak kaget. "Astaga Kaka! Kamu ngagetin aku, tau! Ada apasih?!"

"Hey," sapa seorang di balik tubuh Raka. "Ini siapa?"

"Ini Chika, dia temanku." Raka mengusap kepala Lyza. "Chika, dia Lyza."

"Hallo, aku Chika. Teman Kaka yang menumpang tinggal di sini." Chika tersenyum manis dan mengulurkan tangannya.

"Teman?" tanya Lyza dengan kening berkerut.

"Yap benar." Chika menunjukkan cengirannya. "Astaga! Aku lupa, aku harus pergi sekarang."

Raka menahan tangan Chika. Dia tidak bisa percaya kalau Chika sudah mengatakan akan pergi. Kemana pun tempatnya, gadis ini sering sekali membuatnya khawatir. "Mau kemana kamu?"

"Emm aku ada janji," jawab Chika. Di lepas tangan Raka dari tangannya. "Udah yaa, kasian nanti orangnya nunggu lama."

"Siapa?" tanya Raka lagi.

Raka ini benar-benar. Chika hanya bisa merutuk dalam hati. Kenapa sifat kepo Raka muncul di situasi genting begini. Dia kan hanya ingin cepat-cepat kabur dari sini. Kenapa sih pria ini tidak bersikap acuh seperti hari-hari biasa.

"Duh Kaka, aku tuh buru-buru. Nanti aku cerita ya."

"Siapa?" tuntut Raka. Sebelum menjawab pertanyaanya, dia pastikan Chika tidak akan bisa pergi kemanapun. Dia hanya butuh jawaban pasti. Dan dirinya butuh jawaban itu sekarang.

"Yaa itu loh tukang sol sepatu," jawab Chika. "Sepatu aku jebol. Udah yaa, nanti Abangnya keburu pergi."

Chika buru-buru kabur ke kamarnya. Tidak menduga kalau Raka menyusulnya. "Loh, kamu kenapa ngikutin aku sih?"

"Terlalu percaya diri. Aku hanya ingin lihat sepatumu. Kalau tidak layak, buang saja." Raka dengan cuek, berjalan mendahuluin Chika. Langkahnya terhenti di depan kamar itu.

"Tunggu di sini. Jangan masuk!" ucap Chika. Dia langsung menutup pintu dan mengambil sepatunya. Gawat sekali, dia kan bohong tadi. Dirinya langsung mencari cutter. Terpaksa. Chika berjongkok di dekat rak tempatnya menaruh sepatu.

Beberapa menit matanya menatap sepatu hitam itu dengan pandangan iba. "Maaf sepatu, nanti kita cari orang yang bisa membuatmu cantik lagi. Oke?" Buru-buru dia merusak sepatunya, dengan tidak ikhlas.

Chika membuka pintu kamarnya dan mengangkat tinggi-tinggi sepatu itu di hadapan Raka. "Lihat kan?"

Raka menyingkirkan sepatu itu dari depan wajahnya. Tidak sopan. "Minta temani-,"

"Stop Kaka," potong Chika dengan berani. Sebanarnya, sangat berusaha memberanikan diri. Gila, dia baru saja memotong ucapan orang segalak Raka. "Aku bisa sendiri, oke?"

Chika memasukkan sepatu itu ke dalam paper bag. "Aku janji akan pulang dengan aman tanpa kurang satu pun. Jadi tolong, biarin aku sendiri."

🌼🌼🌼

Menemukan orang yang bisa memperbaiki sepatunya bukan hal utama sekarang. Bagi Chika menghirup udara luar jauh lebih penting. Entah sejak kapan, udara dalam rumah menjadi sangat sesak untuknya.

Menjelang sore, setelah lebih tenang baru dia mencari tempat yang bisa memperbaiki sepatu yang dirusak paksa olehnya sendiri tadi. Karena rusaknya tidak terlalu parah, hanya butuh waktu sebentar agar sepatunya tidak bolong seperti tadi. Ditatap sepatu itu, yaa tidak sesempurna awalnya, tapi lebih baik.

Chika kembali ke rumah keluarga Rajendra dengan berjalan kaki. Beberapa anggota keamanan kompleks yang mengenal Chika menyapa dengan santun. Di depan pagar rumah itu, dia berpapasan dengan Caramel yang baru saja pulang, entah darimana.

"Loh Kakak darimana?" tanya Caramel.

Chika tersenyum dan merangkul bahu Caramel. "Abis cari angin, ayo masuk, Bunda udah nunggu kamu."

"Emang ada apaan Kak?" tanya Caramel.

"Itu, ada anaknya Bunda yang dari London," jawab Chika.

Mereka masuk ke dalam rumah. Semua sedang berkumpul di meja makan. Di sana, Raka duduk di samping perempuan bule yang cantik itu. Jika di lihat dari sini. Keduanya tampak sangat serasi. Seperti seorang putri dan pangeran. Kalau ini sih memang pas, cocok.

"Lyza sayang, berhenti ganggu Abangmu itu," kekeh bunda.

"Haha biar saja, Bunda kenapa dia bisa begitu tampan?" tanya Lyza jujur.

Astaga, gadis ini bisa sejujur itu dengan wajah tenang. Luar biasa. Di sampingnya, Caramel langsung berdeham agar semua perhatian itu beralih padanya.

"Kara pulang!" teriaknya.

Bunda menoleh dia tersenyum. "Kara, sini Bunda kenalin sama Kak Lyza."

Caramel mengangguk, dia mendekat dan mengulurkan tangannya pada Lyza. "Aku Kara adiknya Bang Raka."

Lyza balas tersenyum dengan manis. "Hey aku Lyza, aku juga adiknya Bang Raka."

Caramel mengangguk singkat dan langsung menghampiri ayahnya yang sedang sibuk dengan tabnya. Aneh, seperti bukan Caramel yang biasanya selalu antusias. "Ayah besok Kara berangkat bareng si Umbel yaa? kita udah janjian di halte depan."

"Ya sudah."

"Yes! Yaudah, ayo Kak Chika, kita ke kamar Kara aja," ajak Caramel.

"Loh kamu enggak makan?" tanya bunda.

"Udah kenyang Ndaa," jawab Caramel sembari menarik lengan Chika.

🌼🌼🌼

"Kenapa harus pulang sih? Ini kan rumah Abang?" tanya Lyza saat Raka pamit. Tangannya mengayunkan tangan Raka. Dia masih rindu ngobrol dengan Raka.

Bukankah Chika pernah berkata kalau Raka ini tidak sabaran, kalau belum baiklah, sekarang akan dia sampaikan pada semua orang. Dan sekarang, hari ini, untuk gadis cantik ini, Raka menjadi si penyabar.

Raka mengusap kepala Lyza. "Panjang ceritanya, istirahatlah. Seharian ini kamu belum istirahat kan?" Dan dia jadi banyak bicara.

"Kak Lyza, Bang Raka harus pulang. Ini udah malem kasian kalau Kakak tahan terus!" Komentar Caramel.

Lyza tampak kesal dengan ucapan Caramel barusan. "Yaa ya baiklah, besok jangan lupa datang kemari lagi!"

Raka menganggukan kepala dan kembali mengusap kepala Lyza, akan dia bayar banyak waktu yang sudah terlewati. Dia akan berusaha membuat Lyza bahagia untuk mommy yang dia sayangi. Lyza sama artinya dengan Caramel dia akan berusaha menjaga keduanya dengan sebaik-baiknya.

Lyza tersenyum, dikecup pipi Raka. "Take care."

Pandangan Raka dan Chika bertemu, dan saat itu, Chika langsung mengalihkan pandangannya ke tempat lain. "Raa, masuk yuk. Di luar banyak nyamuk."

"Hmm oke." Caramel menarik tangan Chika masuk ke rumah lebih dulu. "Kakak nggak apa-apa?"

"Memangnya aku kenapa?" tanya Chika.

Caramel tersenyum tipis. "Kakak nggak boleh kalah. Jangan tunjukin sisi lemah Kakak ke Abang. Tunjukin, kalau Kakak nggak akan galau cuma karena itu. Bikin Abang nyesel udah bikin Kakak ngerasa nggak nyaman."

"Kakak nggak apa-apa, Ra." Chika menepuk punggung tangan Caramel. "Makasih yaa, kamu udah baik banget sama Kakak, sampai kamu mau Kakak ngelawan Abangmu sendiri."

"Kak, Kara sayang sama Kak Chika. Kak Chika udah kayak Kakak perempuannya Kara," jawab Caramel. "Kalau ada yang macem-macem sama Kakak, Kara bakal lawan semua."

"Kamu tau?" tanya Chika. "Kayaknya Kakak harus belajar jadi jagoan kayak kamu deh."

"Mau belajar? ayo!" ajak Caramel semangat. Chika tertawa geli dan merangkul bahu anak ini. Sudahlah, tidak perlu memikirkan hal yang hanya membuatnya sedih.

🌼🌼🌼

See you on the next chapter 🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top