BAB 14

Hola geng! Selamat malam. Apa kabar semuanya? Berapa tahun cerita ini nggak di update? 😂😂😂

Follow ig @indahmuladiatin untuk info ceritaku

Oke lah, saya tau kalian mau nimpuk saya rame2. Daripada kena timpuk. Langsung aja. Selamat membaca, dan jangan lupa untuk vote dan komentar sebanyak-banyaknya.

Happy reading!

🌼🌼🌼

Di ruang tamu, bunda menunggu dengan wajah cemas. Sudah hampir jam sembilan malam, tapi Raka belum kembali membawa Chika. Kemana dua orang itu. Jangan-jangan terjadi sesuatu. Putranya itu juga tidak menjawab pesannya sama sekali. Memang minta diberi cubitan anak itu.

"Bunda," panggil Chika.

Bunda mendongak, melihat Chika datang dengan Raka membuatnya bisa kembali bernapas dengan lega. "Oh astaga, akhirnya kalian pulang. Darimana saja kalian?"

"Maaf, tadi Chika ikut Dewa dan Arga," balas Chika, merasa tidak enak karena membuat orang-orang cemas.

"Eh, Dewa sama Arga?" tanya Bunda. Kepalanya menoleh pada Raka dengan pandangan bertanya. "Dua sahabatmu itu ikut kemari? kenapa nggak bilang kalau kamu ngajak mereka kemari? mereka bisa bergabung dengan kita."

Raka duduk di sofa dan menyandarkan tubuhnya. Lelah karena sejak tadi mengelilingi daerah sekitar sini untuk mencari Chika. "Tanpa diundang pun mereka akan tetap datang."

"Ish! Kamu ini!" omel bunda. Menyebalkan sekali sikap anak yang satu ini. Bahkan pada dua sahabat yang sejak dulu bersama-sama pun bisa secuek itu. Kadang bunda sampai heran, kenapa Dewa dan Arga betah bersahabat dengan putranya ini.

Bunda merangkul tangan Chika, wajah kesalnya langsung berubah jadi sangat manis. "Sayang, kamu lapar? Ayo kita makan dulu yaa."

"Iya Bunda," jawab Chika.

Kepala bunda kembali menoleh pada Raka. "Karena kamu berhasil menemukan Chika, jadi jatah makanmu nggak jadi Bunda tahan."

Raka cuma memutar bola matanya, dan langsung pergi menaiki tangga. Membuat Chika bertanya-tanya, sebenarnya pria ini kenapa sih. Sepertinya mood yang selalu buruk itu sekarang sedang lebih buruk.

Hal yang paling Chika tidak bisa pahami adalah semua tentang Raka. Mulai dari sifat, pemikiran, serta emosi pria itu. Mau sedang marah, sedih, senang, wajahnya terlihat sama. Tetap saja begitu. Tidak terbaca.

Memikirkan tentang sifat Raka membuat harapan kecil menyeruak, harapan yang tidak boleh ada, karena dirinya harus tahu posisi. Selama ini, Raka hanya bersimpati, sudah baik pria ini banyak menolongnya. Apalagi yang berani dia harapkan dari seorang Raka, si putra sulung  keluarga Rajendra, salah satu keluarga paling kaya dan berpengaruh di negara ini.

Chika termenung di kamarnya, menatap jauh ke arah luar jendela. Hamparan laut yang dihiasi langit malam penuh bintang. Pemandangan yang harusnya menyejukkan mata. Tapi tidak berpengaruh pada pikirannya yang sedang tidak tentu arah. Seperti angin di luar sana.

Sejak tadi jantungnya berdetak cepat sekali. Tangannya merasakan detak itu, tenang, tidak ada hal yang istimewa dari sifat Raka tadi. Dia hanya khawatir tidak dapat makan malam dari bunda. Chika tersenyum kecut dan menganggukkan kepala, tidak usah pusing memikirkan hal yang tidak perlu.

"Huh, oke." Chika segera bangkit. Jangan-jangan bunda sudah sibuk menyiapkan makanan.

Meja makan yang berada di luar, dekat kolam renang sudah dihias. Ada banyak makanan, dan tidak jauh dari situ, beberapa koki masih sibuk memasak hidangan. Chika tidak bisa menyembunyikan decak kagumnya. Gila, sekaya apa sih Rajendra ini.

"Nah, sudah datang. Ayoo sayang, nikmati makan malamnya," kata bunda.

Chika tersenyum dan menganggukkan kepala. Dirinya mengambil tempat di samping Caramel yang saat ini sedang ngobrol sambil cekikikan dengan Bella. Dua orang itu terlihat asik sekali. Pasti menyenangkan memiliki seorang sahabat. Sejak dulu, dirinya tidak benar-benar memiliki itu. Beruntung di kantor dirinya bertemu dengan Wulan dan Dita.

"Gimana mainnya? seru?" tanya Chika.

"Seru dong. Tadi Kak Chika kemana? Bang Raka khawatir tau," tanya Caramel.

Bella menganggukkan kepalanya. "Iya, kayaknya tadi orang-orangnya Bang Raka nyari Kakak."

"Oh ya? haha." Chika meringis kecil, tidak enak membuat orang-orang khawatir. "Maaf, tadi Kakak cuma jalan-jalan tapi ketemu sahabat-sahabat Abangmu."

"Ohh pada ke Bali juga?" tanya Caramel.

Umur panjang untuk dua pasangan itu, mereka berempat datang. Mungkin tadi langsung dihubungi oleh bunda agar bergabung. Makin banyak orang, makin seru katanya. Yaa mungkin semua menganggap begitu, kecuali Raka. Orang itu sejak kembali ke resort tadi belum menampakkan wajah.

"Nah itu mereka, Kakak ke sana dulu yaa." Chika langsung menghampiri Dita dan Fala yang juga sudah melambaikan tangan. "Aku pikir kalian pesta sendiri."

"Nggak dong, kami kan penasaran. Tadi lo dimarahin gimana sama Raka?" tanya Arga kepo.

Tidak, Raka justru tidak banyak bicara. Lega, tapi agak mengkhawatirkan juga, ingat kan terakhir kali pria itu kesal, dirinya harus dihukum mengerjakan pekerjaan kantor dan terkurung selama berjam-jam di ruangan si dingin itu.

Chika menggelengkan kepala, dan menunjukkan cengirannya. "Aku selamat."

"Nggak ada adegan peluk, cium kening, atau apalah?" tanya Arga lagi.

Kembali, kepala Chika menggeleng. Tentu saja tidak. Untuk apa berpelukan, dan apa tadi, cium kening. Sudah gila. Tidak kena damprat saja sudah syukur. Tapi bukan berarti dirinya berharap untuk dipeluk ya.

"Hem," deham Dita membuat perhatian mereka teralih. "Bener-bener nggak ada kata apa-apa? soalnya tadi dia keliatan khawatir banget loh Chik."

"Yaa, kayaknya dia khawatir karena ancaman Bunda. Aku dengar kalau dia nggak berhasil bawa aku pulang, dia nggak akan dapat jatah makan malam," jawab Chika seadanya. Selain ingin menutup rapat-rapat harapannya. Dia pun harus berpikir rasional.

Kali ini Dita berdecak kesal. "Come on, itu Raka, Chika. R-A-K-A. Raka Eldenis Rajendra. Kalau pun dia nggak dapet makan, dia bisa keluar, terus jalan, cari restoran. Dan pun dia mau, sekalian aja dia beli restoran se isi-isinya."

Fala, Arga, dan Dewa mengganggu setuju dengan Dita. Itu sama sekali bukan alasan rasional. Itu konyol, tidak masuk akal. Alasan yang tentu saja tidak akan pernah Raka gunakan. Jadi mereka yakin, itu kesimpulan sepihak dari seorang Chika.

"Emm, tapi.." ucapan Chika terhenti. Itu benar, tidak bisa ditampik. Lalu apa alasannya. Tuhan, dia sungguh tidak ingin membuka harapan. "Ah, siapa yang peduli alasannya?"

Tangannya merangkul bahu Dita. "Kalian kan tahu, Raka itu sulit ditebak. Apapun alasannya, siapa yang tahu kan?"

"Chika," panggil Fala. "Kamu yakin nggak ngerasain apapun? seperti yang aku bilang waktu itu, Raka itu tipe pria yang minim ekspresi, dan selama aku mengenalnya. Kamu satu-satunya perempuan yang berhasil menambahkan ekspresi di wajah itu."

Stop, tolong hentikan itu. Semua ini justru membuat perasaannya makin tidak karuan. Rasa asing ini, rasa yang belum pernah dirasakan ini. Chika ingin membuangnya jauh-jauh, karena merasa tidak pantas. Tapi semakin menampik, rasa itu justru semakin kuat. Senyumnya mengembang tipis, diantara banyaknya masalah, kenapa dirinya harus terjebak dalam perasaan yang sudah jelas ujungnya akan seperti apa.

"Kalian terlalu berlebihan," ucap Chika pelan. Senyumnya kembali mengembang. "Ayo, ada banyak makanan enak di sana."

🌼🌼🌼

Di antara Fala dan Dita, Chika duduk sembari mengambil piring untuk kedua sahabatnya ini. Andai Wulan di sini, pasti lebih seru. Anak itu mungkin sekarang sedang sibuk dengan kerjaan.

"Koki pribadi keluarga ini emang nggak pernah ngecewain," komentar Arga. Pria itu tanpa ditawari sudah langsung melahap makanan dengan santai.

Dewa mengangguk-anggukkan kepalanya. Setuju sekali dengan hal ini. Dirinya juga beberapa kali diajak untuk berlibur dengan Raka ke Bali. Di rumah utama keluarga Rajendra pun mempekerjakan beberapa koki. Jangan ditanya bagaimana nikmatnya makan di sana.

Fala dan Dita jadi ikut antusias mencoba makanan di depan mereka. Syukurlah, tidak ada yang melanjutkan pembicaraan tentang Raka. Entah mereka sadar kalau itu membuatnya tidak nyaman, atau karena makanan-makanan ini memang berhasil mengalihkan perhatian mereka.

Pria yang sejak tadi menjadi topik pembicaraan akhirnya datang. Dengan kaus berwarna hitam dan celana jeans selutut. Aura dingin di wajah itu masih tetap sama. Diam-diam, Chika memperhatikannya.

"Bang, gimana? udah tenang kan sekarang Kak Chika udah ketemu?" tanya Caramel.

Raka mendengus pelan dan duduk di kursi samping bunda. Pandangannya jatuh pada Chika yang sangat terlihat langsung membuang muka. Keningnya sedikit mengerut, ada apalagi dengan gadis satu ini.

Hingga melewati tengah malam, mereka masih menikmati pemandangan langit. Hanya kelompok anak-anak yang sudah masuk. Tentu saja itu Caramel, Bella, Arkan dan Rafan. Selain sudah malam, mereka terlihat kelelahan karena seharian main di pantai.

Chika menguap sembari mengaduk-aduk minuman yang hanya tinggal setengah. Di sekitarnya, ada bunda dan Om Karel yang sedang menikmati waktu romantis, ada Dewa dan Fala yang tidak jauh berbeda. Dan yang paling menyebalkan lagi, Dita yang biasanya ogah bermanis ria pun sekarang sedang asik bersandar pada tubuh Arga, sembari menikmati pemandangan.

Kalau dipikir-pikir, seharian ini dia hanya bertugas menonton adegan romantis orang lain. Chika lagi-lagi menghela nafas panjang dan bergumam tidak jelas. Apa dia pamit pergi ke dalam saja ya.

"Berhenti menghela nafas begitu," komentar Raka yang sejak tadi sibuk dengan tabnya.

Chika kembali menghela nafas. "Aku bosan. Emm, kamu sedang apasih?"

"Kerja." Raka meletakkan tabnya di atas meja. Pandangannya menelusuri pasangan-pasangan yang sedang asik ngobrol masing-masing. "Masuklah."

"Kaka," panggil Chika pelan. "Boleh aku jalan-jalan sebentar?"

"Tidak," balas Raka tegas.

Chika mengerutkan keningnya. "Sebentar, dua puluh menit." Tidak ada jawaban dari Raka, karena pria di hadapannya ini justru mengeluarkan ponsel karena ada panggilan masuk. Sambil menunggu, Chika kembali memperhatikan Raka.

"Jadi boleh kan?" tanya Chika penuh harap pada Raka yang sudah mematikan panggilan itu.

Raka berdiri dari kursinya. "Cepat."

"Hah? kamu mau kemana?" tanya Chika bingung.

"Dua puluh menit, setelah itu kita kembali. Ini sudah lewat tengah malam," kata Raka lagi.

"Oh maksudku, aku ingin jalan sendiri. Kamu-," ucapan Chika terhenti karena Raka sudah memandangnya dengan aura mengerikan. "Oke, ayo. Dua puluh menit."

🌼🌼🌼

Dibandingkan jalan-jalan, ini sudah seperti perlombaan. Menegangkan sekali. Belum lagi di sampingnya, Raka tidak membuka suara. Seperti pengawas saja. Ingin santai, dan menjernihkan pikiran, sekarang justru semakin tertekan.

Suara ombak memecah sunyi di antara keduanya. Ketika air itu menyentuh kulit kaki, rasa dingin itu membuat Chika sedikit menggigil. Tapi ini lumayan menyenangkan, kakinya menendang-mendang air hingga membuat percikan kecil. Setidaknya lebih baik, dibanding hanya menonton orang bermesraan.

"Bodoh," komentar jahat itu tentu saja berasal dari mulut dingin pria di sampingnya. Raka cuek saja meski mendapat tatapan kesal. Pria ini melangkah lebih dulu.

"Kaka," panggil Chika sambil berusaha mengejar langkah panjang itu. "Aku boleh tanya sesuatu?"

"Dilarang pun kamu akan bertanya," balas Raka.

Chika terkekeh pelan dan menganggukkan kepalanya. "Sebenarnya, aku penasaran soal panti yang kamu rencanakan dengan teman-teman kamu. Kenapa kalian tiba-tiba punya rencana untuk mendirikan panti asuhan?"

Pertanyaan itu tidak langsung dijawab oleh Raka. Langkah panjangnya terhenti. Tubuh itu beralih menghadap hamparan laut di depan. Gelap, dengan riak ombak. Sejauh mata memandang, hamparan langit penuh bintang menjadi pemandangan yang memanjakan mata.

Rencana ingin membuat panti sebenarnya sudah lama sekali dia dan teman-temannya pikirkan. "Kalau ada yang bisa kulakukan lebih dari itu, aku akan lakukan."

"Hem?"

Raka menghela nafas panjang, seulas senyum tipis dia tampilkan untuk pemandangan laut di hadapannya. "Bunda selalu bicara, kalau semua yang aku miliki sekarang bukan sepenuhnya milikku. Ada hak orang-orang yang membutuhkan di sana. Dan kurasa, anak-anak itu berhak atas apa yang aku miliki. Setidaknya, meski aku tidak bisa memberi lebih, aku bisa membantu sedikit."

Jujur saja, menurutnya apa yang istimewa dari memberi saat kita memang mempunyai banyak hal. Itu sudah sewajarnya dilakukan. Bukankah lebih hebat lagi, ketika kita tidak punya apa-apa, tapi kita tetap berusaha untuk memberi. Dan itu yang Chika lakukan. Gadis ini selalu berusaha memberi, meski mungkin sebenarnya dirinya sendiri juga membutuhkan.

Kali ini Chika yang terseyum karena jawaban itu. Betapa beruntungnya Raka, dia lahir dari wanita yang baik sekali. "Kaka."

"Hem."

"Kamu tau? selama ini, aku selalu merasa hidup dalam labirin rumit yang nggak mempunyai ujung." Chika tertawa sendiri dengan kata-katanya. "Terima kasih."

Raka menoleh pada Chika, kerutan di keningnya membuat gadis di sampingnya saat ini semakin tersenyum lebar. Bulu mata panjang dan mata bulat itu semakin cantik saat mengerjap. Kegelapan malam, sama sekali tidak menutupi keindahannya.

"Setelah kenal kamu, aku rasa kamu itu kunci dari labirin yang selama ini mengurungku. Sekarang, kurasa hidup nggak semenyeramkan itu. Setidaknya, meskipun ada puluhan orang jahat, aku akan bertemu dengan ribuan orang baik." Telunjuk Chika menari di depan wajah Raka. "Salah satunya kamu, dan semua keluargamu."

"Oh yaa, terima kasih juga. Aku jadi bisa berlibur ke Bali." Chika menunjukkan cengirannya. "Terima kasih untuk makan malam yang enak. Dan.." saat ucapannya terhenti, matanya dengan berani menatap manik mata Raka. "Terima kasih karena mengkhawatirkan aku."

Hening. Raka masih terpaku melihat mata Chika. Cukup lama, hingga dirinya berdeham pelan dan mengalihkan pandangan ke tempat lain.

Chika juga sama gugupnya, "hem, udah malem. Ayo, takut Bunda khawatir."

❄️❄️❄️

Bali memang tidak pernah habis menunjukkan keindahannya. Beberapa hari ini di sini membuat pikiran Chika terasa lebih segar. Bahkan kalau bisa, dirinya enggan untuk pulang. Kembali pada kota yang banyak memberinya kenangan buruk. Kembali pada kota yang ditempati oleh orang yang saat ini ingin sekali dia hindari, ayah angkatnya.

Hari ini jadwal keberangkatan untuk kembali ke Jakarta. Dirinya sudah siap di ruang tamu, sembari membantu Caramel yang masih sibuk menata tasnya, yang entah kenapa bisa tidak muat, padahal tidak membeli barang-barang tambahan.

"Kamu nata bajunya gimana?" tanya Chika.

"Langsung Kara masuk-masukin aja," kekeh Caramel. "Abis males lipetnya Kak."

"Yah jangan ditanya, dia kan memang begitu," komentar bunda yang sudah menuruni tangga dengan om Karel. "Kalau dia rapih, baru kita semua heran."

"Yee enak aja, Kara bisa rapih tau. Cuma kalau lebih seru acak-acakan aja. Biar Bunda kesel gitu," jawab Caramel pastinya dengan wajah menyebalkan.

Bunda melotot kesal dan langsung menghampiri si bungsu. "Awas ya!"

"Aww Bunda sakit tau!" keluh Caramel karena mendapat cubitan-cubitan. "Ayah, Bunda nih."

Menonton keributan antar bunda dan Caramel memang selalu menyenangkan. Ada saja hal lucu yang membuat Chika tertawa. Keributan itu baru berhenti saat semua sudah berkumpul di ruang tamu.

"Mbel, kita semobil sama Bang Raka sama Kak Chika aja yuk!" ajak Caramel.

"Siap deh."

Di dalam mobil, Raka menyetir dalam diam, di belakang, Caramel dan Bella tampak serius membicarakan entah itu apa. Chika sendiri memilih menikmati pemandangan di luar jendela mobil. Tidak tertarik untuk menguping, apalagi mengajak Raka bicara.

"Ehm, tes, tes. Satu dua tiga." Suara itu berasal dari mulut Caramel. "Halo, spada, permisi, punten." Kepalanya maju ke depan, menatap bergantian pada Raka dan Chika. "Emang sekarang ngobrol itu bayar ya?"

"Hem?" tanya Chika dengan kerutan di keningnya.

"Ini loh, kok diem-dieman? Lagi sariawan? Radang ternggorokan? Panas dalem?" oceh Caramel.

Satu tangan Raka mendorong kepala Caramel untuk mundur. "Duduk yang benar."

"Ihh Abang! Poni Kara rusak tau!" Omel Caramel. "Lagian, diem-diem aja. Ngobrol dong!"

"Bang Raka sama Kak Chika malu kali," kekeh Bella. "Lo sih Ra, cepu. Apa-apa langsung lapor ke Bunda."

"Hehe iya ya, mulut gue nggak bisa dikontrol kalau ngegibah soal Bang Raka," ucap Caramel lagi. "Bang tau nggak sih? Bunda tuh udah sampe mikirin nanti anak Abang mau didandanin apa pas kartinian, terus pas tujuh belas agustus sepedanya mau dihias kayak gimana biar menang."

Chika tertawa dengan ekspresi yang aneh mendengar pemaparan dari Caramel. Entah itu benar atau tidak. Tapi yang jelas, kalau itu bunda, rasanya tidak ada yang tidak mungkin. Mengingat bunda selalu punya pemikiran yang aneh.

"Bunda juga udah memikirkan, acara pemakaman ayam-ayam kamu." Raka bicara tanpa menoleh sedikit pun.

"Ihh Abang! Kenapa sih nggak ada yang sayang sama ayam Kara? Mereka salah apa sih Bang? Mereka kan polos, lugu tanpa dosa." Caramel mengerjapkan matanya beberapa kali. Mengingat aduan dari Meri kemarin. "Eh tapi jangan bilang-bilang Bunda ya Bang, kemarin kata Meri, si Arkan nginjek-nginjek taneman Bunda yang baru itu loh. Duh bisa-bisa si Arkan disembelih, mana dia yang paling montok."

Raka menghela nafas panjang dan menggelengkan kepala. "Maaf, kali ini Abang nggak bisa bantu apapun."

"Yah! Kok gitu Bang?! Lagian si Arkan nih. Nggak ayam, nggak jadi orang sama-sama Bar-bar."

"Eh hehe lo kayaknya harus ngaca deh Ra," komentar Bella.

🌼🌼🌼

Liburan ke Bali selesai, dan sekarang sudah saatnya kembali ke rutinitas kerja yang sangat padat. Pekerjaannya memang sudah di handle oleh beberapa rekan satu team, tapi tetap saja, kurang satu akan membuat semua kewalahan.

Chika jadi merasa tidak enak pada teman-temannya. Meski mereka tentu bilang tidak keberatan, tapi siapa yang tahu hati manusia. Setidaknya dia harus bertanggung jawab dengan membantu semua pekerjaan yang belum beres.

Siang ini, Chika membeli beberapa cup kopi untuk rekan-rekannya. Dibantu oleh Wulan, keduanya membawa kopi-kopi itu ke ruangan. "Coffee time, guys!"

"Asik!"

"Makasih loh, Chik."

"Sama-sama Mbak, hitung-hitung untuk ucapan terima kasih karena udah pegang kerjaan aku," balas Chika dengan cengiran.

Hingar bingar keceriaan karena cup kopi itu terhenti.  Orang-orang dihadapannya tersenyum canggung ke arah belakang Chika dan saat dirinya menoleh, pria dengan wajah dingin tapi sangat tampan itu berdiri menjulang, dengan pandangan yang kalau dia tidak kenal, dia juga akan menganggap kalau Raka itu jahat.

"Loh, Pak. Ada apa?" tanya Chika.

Raka mengulurkan tangannya.

"Apa?" tanya Chika bingung. Di belakangnya ada banyak mata yang kepo, kenapa Raka menghampiri Chika. Risih ditonton, Chika menghela nafas panjang dan menarik tangan Raka agar menjauh. "Ada apa?"

"Handphone," jawab Raka.

"Hpku kenapa? aduh, tolong jangan perkata, Ka-" karena pandangan dingin Raka, Chika langsung meralat panggilannya. "Bapak, tolong jangan perkata. Langsung aja."

"Cek handphone mu."

Chika mengerutkan kening, dan mengeluarkan ponselnya. Ada lima panggilan tak terjawab dari Raka. Dirinya hanya meringis kecil, "oh hmm maaf, tadi aku kerja."

"Buang kalau kamu nggak bisa memanfaatkan fungsi barang itu."

Mulut Chika terbuka, mendengar omelan Raka. Salah lagi. Astaga. Dia mana tahu kalau si dingin ini akan menghubunginya di jam kerja. Raka itu kan tidak suka jam kerjanya diganggu.

"Pulang nanti, kamu bisa bertemu pengacara untuk membahas kasus ayahmu."

"Hem, oke." Dia pikir, setelah pulang kerja, dia bisa langsung merebahkan diri di atas kasur yang nyaman. Ini hari sabtu, dan weekend adalah waktu paling tepat untuk beristirahat.

Ponsel Raka berdering. Pria itu mengangkat panggilan, masih dengan ekspresi yang sama. "Ya besok aku yang akan menjemput Lyza."

Lyza, nama itu sepertinya pernah Chika dengar sebelumnya. Ekspresi bingungnya langsung dia ubah menjadi senyum ramah saat Raka selesai menelepon. "Sudah selesai Pak? saya boleh kembali ke ruangan?"

Raka hanya menghela nafas panjang dan pergi begitu saja. Di belakangnya Chika menirukan gaya bicara Raka saat mengomel tadi, tentunya tanpa suara, kalau bersuara itu namanya berani mati. "Dasar galak."

🌼🌼🌼

See you on the next chapter?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top