BAB 13

Malem semua, Bang Raka balik lagi nih nemenin kalian. Hehe mohon maaf karna sampai sekarang aku belum bisa up rutin. Karena sekarang udah kerja, jadi beneran susah nentuin jadwal buat nulisnya. Tapi aku bakal usaha buat tetep lanjutin cerita-ceritaku.

Follow ig @indahmuladiatin

Happy reading guys! Hope you like this chapter 🤗

🌼🌼🌼

Cukup lama Chika berendam di bath up untuk menenangkan diri. Berkali-kali dia menghela nafas panjang menginat kejadian tadi. Harusnya dia tidak pergi ke tempat terkutuk itu. Bertemu dengan orang-orang jahat itu membuat lukanya kembali menganga setelah dia berusaha keras untuk menyembuhkannya di tempat ini.

Lagi-lagi Chika menenggelamkan dirinya, lama, hingga kehabisan nafas lalu kembali muncul ke permukaan dan mengusap wajah sambil terbatuk. Tangannya memukul permukaan air dengan kasar. Kembali menangis tanpa suara.

Jam makan malam, Chika memilih absen. Dia tidak mau membuat bunda Fian khawatir karena wajah sembabnya. Lagipla dia juga tidak nafsu makan. Besok pun kalau matanya masih begini, dia tidak akan ikut sarapan. Langsung berangkat saja ke kantor.

"Non Chika," panggil suara mbak Meri sambil mengetuk pintu kamar Chika.

"Iya Mbak, masuk aja," kata Chika yang masih merapihkan meja riasnya. "Kenapa Mbak?"

"Dipanggil Nyonya untuk makan malam, ayo Non makan dulu, jangan sampai telat makan nanti sakit," kata mbak Meri.

Chika tersenyum dan duduk di sofa yang ada di kamar luas ini. "Aku tadi udah makan Mbak di luar, tolong bilang sama Bunda ya."

Dehaman dari arah pintu membuat Chika dan mbak Meri menoleh. Raka datang dengan senampan makanan. Pria itu sudah terlihat santai hanya dengan kaus putih polos dan celana sepanjang lutut. "Makanlah sedikit."

"Tapi-,"

"Maaf," potong mbak Meri dengan senyum hangat. "Saya pamit keluar dulu, silahkan ngobrol dengan nyaman."

Chika mengerutkan keningnya melihat senyum itu. Melihat mbak Meri sudah pergi, barulah dia beralih pada Raka. "Aku masih kenyang."

Raka meletakkan nampan itu di samping Chika. Semangkuk sup yang belum pernah Chika lihat disajikan dengan cantik. Aromanya wangi, menggugah selera. "Ini sup matahari, kata Bunda, sup ini selalu ampuh membuat suasana hati menjadi lebih baik."

"Hem?" tanya Chika. Dia menyentuh mangkuk itu. "Apa iya bisa begitu?"

Raka mengangkat bahu. "Coba saja."

Melihat seulas senyum tipis wajah Raka, membuat Chika merasakan sesuatu yang aneh lagi. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Suasana hatinya menenang, bukan hanya karena ada semangkuk sup matahari ini. Tapi karena ada matahari senja bernama Raka yang mengubah kehidupannya.

Chika memakan sup itu secara perlahan, matanya berusaha untu tidak menatap Raka. Terlalu takut jika nanti dia tidak bisa berpaling. "Enak."

"Tentu, lebih enak dari mie instan yang kamu sebut masakan itu," kata Raka.

Senyum Chika mengembang. "Terima kasih untuk sindirannya Tuan Muda." Sambil memakan supnya, dia kembali tersenyum. "Tolong jangan ceritakan masalah tadi pada Bunda, aku takut dia khawatir."

"Hem."

Tidak terasa, sup itu sudah habis. Chika meletakan mangkuk yang sudah kosong itu di nampan. "Terima kasih Kaka."

"Aku hanya mengantar titipan Bunda." Raka mengambil nampan itu.

"Biar aku yang taruh," kata Chika. Dia cukup tahu diri, memangnya Raka pelayan sampai harus membawa mangkuk makanannya.

Raka menggelengkan kepala. "Aku ingin ke bawah, masih ada beberapa kerjaan."

"Kamu menginap?" tanya Chika.

"Hem," jawab Raka sebelum pergi meninggalkan kamar Chika.

Chika tersenyum menatap pintu yang sudah tertutup itu. baguslah kalau Raka menginap di rumah ini. Bunda Fian rindu pada putra sulungnya yang datar itu. Pasti saat ini beliau sedang bersorak girang.

🌼🌼🌼

Sudah lewat jam dua belas malam, Chika tetap berjalan mondar-mandir di kamarnya. Dia tidak bisa tidur. Kakinya sudah gatal ingin turun ke bawah, menyusul Raka. Bukan apa-apa, dia hanya penasaran pekerjaan apa yang Raka sedang kerjakan. Apakah dia bisa membantu. Toh dia juga tidak bisa tidur.

Setelah memberanikan diri, Chika akhirnya turun ke bawah. Sampai di ruang keluarga, langkah kakinya memelan, di balik dinding, dia mengintip. Di sana, Raka sedang duduk sambil menatap layar laptop. Seperti sedang mengetik, entah itu apa. Mata Chika tidak bisa lepas dari wajah Raka yang terlihat serius itu. Alis tebalnya menukik tajam, sesekali kening itu mengerut. Astaga, makhluk macam apa Raka itu, kenapa bisa setampan ini.

"Sampai kapan kamu ingin sembunyi?" tanya Raka tanpa menoleh.

"Eh?" Chika mengusap tengkuknya. Raka ini, apa jangan-jangan mata Raka lebih dari dua. Tadi kelihatannya pria itu sedang fokus pada layar laptop, kenapa bisa tahu kalau dia sedang mengintip di sini. "Hem maaf, aku cuma takut mengganggu."

Raka tidak menjawab karena sudah kembali sibuk dengan kegiatannya. Karena penasaran, Chika duduk di samping Raka untuk melihat apa yang sedang dikerjakan pria ini. Apa sangat penting sampai harus dikerjakan hingga larut. Atau jangan-jangan di apartemen, setiap malam Raka juga begini. Benar-benar workaholic sejati.

"Peluncuran produk kan masih cukup lama," komentar Chika.

Lagi-lagi Raka mengabaikan Chika dan fokus pada pekerjaannya.

"Oh iya soal masalah penggelapan dana kemarin-"

"Tidak perlu memikirkan apapun, aku bisa atasi semuanya," jawab Raka memotong pembicaraan Chika. Benar kan, kalau perangai pria ini benar-benar buruk. Chika cuma bisa tersenyum pura-pura sabar meski kesal.

"Terserah," jawab Chika. "Hem, untuk skarang apa yang bisa aku bantu?" tanya Chika.

"Tidak ada," jawab Raka.

"Ayolah Kaka, aku belum bisa tidur, aku bisa kalau hanya mengetik. Pasti ada yang bisa aku lakukan kan? Iya kan? Sedikit-," lagi-lagi ucapannya terheti karena Raka menoleh dengan wajah kesal. Cengirannya muncul. "Emm ada yang bisa aku bantu kan?"

Raka tidak suka berisik, dan tidak suka diganggu. Karena itu akhirnya dia menyerah dan memberikan beberapa pekerjaan untuk Chika. Setidaknya agar suasana di sini kembali tenang dan dia bisa kembali fokus pada pekerjaannya.

Cukup lama mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing sampai Chika berhasil menyelesaikannya. "Ini selesai, aku kirim ke emailmu sekarang. Oh iya, aku akan tetap ikut campur masalah kemarin. Lagipula aku kan bekerja di bagian finance, setidaknya aku bisa membantu sedikit."

"Aku bisa mengatasinya," kata Raka.

"Kenapa aku tidak bisa ikut campur?" tanya Chika tetap kekeh ingin membantu.

"Aku tidak butuh bantuan," jawab Raka.

"Kenapa?"

Raka mengangkat bahunya. "Ini hanya masalah kecil."

"Kalau begitu aku bisa kan membantu? Kenapa kamu melarangku?" tanya Chika.

"Astaga Chika! berhenti tanya kenapa!" keluh Raka. Berisik sekali gadis satu ini.

Chika mengerutkan keningnya, bingung. "Kenapa?"

"Mengganggu," jawab Raka.

"Kena-," lagi-lagi ucapan Chika terhenti karena Raka mendekatkan wajahnya dengan mata tajam. "Hem, kenapa?"

"Kamu menantangku?" tanya Raka. Jarak itu begitu dekat sampai, dia bisa melihat urat halus di wajah Chika. Gadis ini berhasil membuatnya gemas. Mulut kecil itu selalu tidak bisa diam kalau ada di dekatnya. Tapi jujur, dia lebih suka begini daripada menyaksikan Chika menangis seperti tadi sore.

Suara dehaman membuat keduanya langsung menjaga jarak. Chika langsung menoleh kaget, dan melihat Rafan yang bersedekap sambil bersandar di dinding. Anak itu pasti baru pulang dari klub tempatnya bekerja sebagai DJ. Wajah Chika memerah karena malu.

"Rafan, jangan pikir macam-macam yaa. Jangan salah paham," kata Chika buru-buru. Sementara Raka, justru lanjut mengerjakan pekerjaannya.

Rafan meghela nafas dan mengangkat bahunya. "Silahkan dilanjut, anggap aku nggak lihat apa-apa." Anak itu berlalu menaiki tangga dengan senyum tertahan membuat Chika menenggelamkan wajahnya di sofa. Malu sekali rasanya.

"Kaka! Ini semua salah kamu!"rengek Chika sambil menendang-nendang kaki ke udara. Dia segera kabur menaiki anak tangga tanpa bicara apapun lagi. lebih baik langsung tidur saja. Besok saat bertemu Rafan, dia bisa menjelaskan kesalahpahaman tadi.

🌼🌼🌼

Pagi ini saat Chika sudah siap dengan pakaian formal untuk berangkat ke kantor, dia berpapasan dengan Rafan. "Eh Rafan, tunggu dulu!" tangannya menahan tanga Rafan yang akan menuruni tangga. "Hem, soal kemarin-,"

"Aku nggak akan bilang sama siapapun," jawab Rafan santai.

Chika mengibaskan tangannya. "Bukan itu, maksud Kakak kemarin itu kamu salah paham. Jangan mikir macam-macam."

"Emang apa yang aku pikirin?" tanya Rafan masih dengan ekspresi flatnya.

"Eh?" Chika megerjapkan matanya. Dasar bocah ini, sama saja seperti abangnya yang menyebalkan. Lagi-lagi pipinya memerah. "Pokoknya jangan mikir macam-macam." Dia langsung pergi meninggalkan Rafan sambil menggerutu kecil. Abang dan adik sebelas duabelas. Untung Arkan dan Caramel tidak begitu.

Di meja makan semua sudah menungg dengan pakaian santai. Bunda tersenyum lebar. "Halo sayang, kenapa kamu pakai baju formal untuk liburan?"

"Liburan? Aku kan ke kantor Bunda," jawab Chika bingung.

Bunda bertolak pinggang. "No, hari ini kita semua liburan ke Bali. Termasuk kamu cantik, baju kamu udah disiapin sama Bibi, sekarang sarapan, terus nanti kamu ganti baju. Kita berangkat ke bandara dua jam lagi."

"Apa??" cuma itu respons yang dapat Chika berikan. Sejak sarapan sampai di Bandara pun dia masih bingung, kenapa dia bisa di sini. Bukannya berangkat ke kantor dan keja seperti biasa. Masalahnya pekerjaannya sangat banyak. Dia kan bukan bos yang bisa meninggalkan kantor begitu saja.

Di dekatnya, Raka santai, membaca tab. Pria itu mengenakan kacamata hitam yang terlihat keren sekali. Berbeda dari penampilan biasanya yang formal. Tapi lagi-lagi bukan itu fokus Chika sekarang. Dia mendekat pada Raka dan berbisik pelan. "Kaka, yakin aku ikut liburan? Pekerjaanku bagaimana?"

"Ikuti saja kata Bunda, dia bosnya," jawab Raka dengan santai tanpa menoleh.

"Hah? Kaka, aku serius. Kamu kan bos, wajar kalau tidak masuk, nah aku? aku bahkan belum mengurus cuti. Aku juga belum lama kerja di kantor, astaga, kalau aku dipecat bagaimana?" tanya Chika panik.

Kali ini Raka menoleh, wajahnya terlihat geli. "Kalau kamu lupa, saat ini yang mengajakmu liburan adalah pemilik perusahaan."

"Eh iya tapi-" ucapan Chika terhenti.

"Lagi ngomongin apa sih?" tanya Caramel yang muncul di tengah Raka dan Chika. Sampai membuat Chika mundur karena kaget. "Hehe serius banget? Kara ikutan dong? Lagi nggak bahas urusan Negara kan?"

"Caramel sayang, jangan ganggu Abangmu," kata bunda yang sejak tadi menempel pada om Karel.

"Haha siap Bunda, cuma kepo dikit," kekeh Caramel sambil menghampiri bundanya.

Chika mengeluh pelan. "Astaga, kacau sekali."

🌼🌼🌼

Ini pertama kalinya Chika naik pesawat, setelah tiba di bandara dan naik mobil menuju resort, dia tidak buka suara sama sekali. Masih merinding karena takut ketinggian. Di sampingnya, Raka juga tidak peka sama sekali. Tidak ada kata-kata menenangkan dari pria itu. Raka justru sibuk membaca buku entah itu buku apa, yang jelas buku itu tebal sekali. Bukan tipe buku yang akan dia baca bahkan di saat waktunya sangat senggang.

"Ah aku sudah lama tidak kemari," kata bunda Fian antusias. "Chika, dulu Bunda sama Om Karel sering kemari loh."

"Oh hehe iya," jawab Chika seadanya. Tidak tahu respons apa yang harus dia berikan.

"Maksud Bunda, nanti kalau Kak Chika sama Bang Raka menikah, kalian bulan madu di sini aja," bisik Rafan menjelaskan karena wajah Chika kelihatan bingung.

Chika melotot kesal dan ingin menjitak kepala anak itu karena meledeknya. Meski pendiam, Rafan cukup jahil dengan wajah datarnya. Anak itu menggodanya karena kejadian semalam. Iya, pasti itu. Ini semua karena Raka. Si pelaku malah santai, tidak membantu sama sekali.

Caramel melempar tasnya. "Mbel ayo langsung main! Oh iya Kak Chika mau ikut nggak? Kita cari bule kece di pantai."

"Yoi Kak, bosen nggak sih di sini liatnya modelan Bang Raka, Bang Rafan sama Bang Arkan?" susul Bella.

Rafan menjitak kepala Bella. "Gue nggak minta lo liat gue."

"Ya Bang Rafan kan seliweran kayak laler, gimana mata gue nggak liat?" tanya Bella sambil geleng-geleng kepala. "Udah ayo Ra!"

"Kuy!" balas Caramel.

Chika tertawa dan mengibaskan tangan. "Kalian aja deh, Kakak mau istirahat dulu."

"Oke deh, bye Kak.. jangan nyesel yaa," kekeh Caramel.

Melihat dua anak itu semnagat skali, membuat senyumnya hadir. Mengingat masa SMA nya dulu yang juga sama cerianya. Meski tidak ada liburan mewah. Kadang makan di pinggir jalan dengan teman-teman saja sudah menjadi kebahagiaan yang manis untuk dikenang. Apalagi untuknya yang hanya punya sedikit moment manis karena banyaknya masalah.

"Chika sini sayang, Bunda tunjukin kamar kamu," kata bunda Fian sambil menarik tangan Chika.

Mereka menaiki tangga kayu yang menambah kesan elegan resort ini. Bunda Fian membawa Chik ke kamar yang berhadapan langsung dengan bibir pantai. Ini kamar yang sangat cantik. Benar-benar indah sekali pemandangannya. Chika tidak pernah menyangka akan bisa tidur di kamar semewah ini.

"Gimana? kamu suka?" tanya bunda Fian.

Chika menganggukan kepala dengan antusias dan membuka pintu kaca itu. membiarkan udara segar masuk ke kamar ini. "Bagus banget Bunda, aku suka."

"Untunglah, tapi kamar kamu jauh ya dari Raka," kekeh bunda.

"Bunda, Chika sama Kaka cuma teman," balas Chika.

Bunda Fian memutar bola matanya dan duduk di sofa yang menghadap jendela. "Yaa ya, awal dari semua adalah pertemanan, tapi Bunda akan dukung kamu untuk sama Raka. Yaa ampun, Bunda beneran udah sayang banget sama kamu."

Chika tertawa dan duduk di samping bunda. "Makasih Bunda, Chika juga sayang sama Bunda. Menurut Chika, Bunda adalah salah satu dari pengertian Malaikat tak bersayap."

"Emm, sini peluk bunda," kata bunda dengan mata berkaca-kaca. "Bunda bener-bener berharap kebahagiaan untuk kamu, sayang. Kamu pantas untuk bahagia setelah semua yang kamu hadapi selama ini."

"Terima kasih Bunda, mengenal keluarga Rajendra adalah kebahagiaan untuk Chika," jawab Chika.

"Oh yaa?" bunda melepaskan pelukannya. "Kalau begitu jadilah bagian dari Rajendra."

"Bunda," rengek Chika mendengar ledekan bunda.

🌼🌼🌼

Bukan Raka Eldenis Rajendra namanya kalau tidak ditemani dengan laptop dan buku di dekatnya. Pria itu sibuk bekerja di ruang tamu, mengabaikan ocehan bunda tentang apa arti liburan kalau masih ditemani dengan kerjaan. Saking kesalnya, bunda rasanya ingin menggigit bantal. Apalagi melihat wajah datar Raka yang tetap sibuk tanpa buka suara.

Bagi Raka, menanggapi bunda tidak akan ada habisnya. Pada akhirnya dia akan kalah, dan menuruti semua permintaan wanita yang paling dia sayangi itu. Jadi selama bunda tidak merengek, lebih baik diam dan pura-pura tidak mendengar. Ada lebih banyak hal yang harus dipikirkan. Cotohnya adalah pekerjaan kantor yang menumpuk ini.

Sore ini bunda masih ngoceh panjang lebar. Suaranya pun makin nyaring. Ayah memilih menyumpal telinganya dengan tissu. Bahkan kabur ke kolam renang. Perlu diingat, bunda itu ceriwis sekali.

Raka pasrah, mau kabur tidak bisa, mau menutup telinga apalagi. Nanti yang ada bunda akan makin meledak. Omelannya makin panjang. Dan dia juga yang akan kesusahan.

"Sana ajak Chika jalan-jalan!" suruh bunda.

Raka melipat kedua tangannya, masih dengan ekspresi datar. "Chika sejak tadi sudah keluar."

"Hah? Apa iya? Kenapa Bunda enggak lihat?" tanya bunda bingung.

"Bunda sibuk mengomel," komentar Raka pelan.

"Apa? Jadi Bunda yang salah?" tanya bunda sinis. "Sudah lah, sana mandi! Setelah itu susul Chika, dia kan belum tahu daerah sini. Kalau sampai ada apa-apa, malam ini kamu nggak akan dapat jatah makan malam."

Raka memandang bunda dengan takjub. Tidak habis pikir, bagaimana bunda bisa sebegitunya dengan Chika. Dia langsung menutup laptopnya dan pergi ke kamar untuk mandi. Sepertinya pekerjaan ini tidak akan bisa selesai.

🌼🌼🌼

Chika berjalan di pinggir pantai. Melewati beberapa orang yang sedang asik dengan aktivitasnya masing-masing. Matanya menatap sekitar dengan pandangan kagum. Akhirnya dia bisa berlibur.

Senyumnya mengembang, menikmati pemandangan langit biru yang cerah dan hamparan laut yang luas di hadapannya. Sayang dia tidak membawa kamera. Pemandangan indah seperti ini, harus diabadikan. Dia kan tidak tahu kapan lagi bisa berlibur kemari.

Langkah kaki Chika terhenti, matanya menyipit. Meyakinkan diri dengan apa yang dia lihat. Beberapa kali dia mengerjapkan mata, tapi pandangannya tetap sama. Di sana ada Dewa, Fala, Arga, dan Dita yang sedang asik berjemur.

Mulutnya terbuka, bingung melihat empat orang itu bisa ada di Bali. Apa mereka janjian. Ragu dia mendekat, masih dengan pandangan bingung.

Arga membuka kacamata hitamnya dan melambaikan tangan. "Eh Chika, kebetulan ya ketemu?"

"Kebetulan?!" tanya Chika kaget. Matanya menyipit curiga. "Kalian mengikuti Kaka?"

"Ah haha," Arga tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Kami cuma mau ikut liburan."

Fala mengibaskan tangannya. "Mereka penasaran, apa yang akan kamu dan Raka lakukan di sini, di Bali. Di salah satu tempat romantis ini. Mereka itu kekanak-kanakan."

"Sayang! ayolah, kita kan bisa sekalian berlibur," bisik Dewa dengan mesra.

"Kalau aku dan Dita memang sekalian ingin survei tempat bulan madu," susul Arga.

Chika memutar bolamatanya dan bersedekap. "Sekarang kalian sudah lihat kan? Tidak ada yang bisa kalian buktikan. Aku bahkan jalan sendirian, tanpa Kaka."

"Oh belum, di luar kalian masing-masing. Bagaimana kalau di dalam resort?" tanya Arga sambil menaik turunkan alisnya. "Hemm, Raka itu laki-laki normal. Kamu harus hati-hati dengan modusannya."

"Bodoh! Raka tidak akan mau bunuh diri, memangnya dia siap digantung ibunya?" tanya Dita.

"Jangan dengarkan mereka," kata Fala. Dia menepuk tempat di sampingnya. "Ayo kemari. Kita bisa menikmati sinar matahari ini. Yah lumayan, aku sudah lama tidak berlibur."

Chika duduk di samping Fala, tapi dia masih memasang wajah super bete pada Dewa dan Arga. Dua orang ini masih getol sekali mencari bukti kalau dirinya bukan hanya sekedar teman. Padahal sudah jelas dia dan Raka tidak terlalu dekat.

"Dimana Raka?" tanya Dewa.

"Kerja," jawab Chika.

"Apa?!" tanya Arga dengan pandangan ngeri. "Oh merinding, dia bahkan kerja di saat liburan."

"Dia memang cinta pekerjaannya," balas Dita. "Memangnya kamu, kamu harusnya bisa lebih serius menjalankan pekerjaanmu. Kalau begini terus, kamu bisa dipecat dari anggota keluargamu."

Arga cemberut kesal dan menyandarkan kepalanya dibahu Dita. "Kalau aku dipecat dan jadi miskin, kamu tetap mau denganku kan?"

"Enak saja! Aku akan cari pria kaya yang lain," balas Dita asal.

Arga merengek manja dan memeluk Dita dengan erat. Membuat Fala, Dewa, dan Chika memandang kedua orang itu dengan pandangan ngeri. Dasar pasangan aneh.

"Aish! Enyah sana!" protes Dewa sambil melempari pasir pada Arga.

"Kasihan sekali Raka harus punya sahabat seperti Dewa dan Arga," gumam Fala.

Chika mau tidak mau jadi tersenyum geli karena kekonyolan para sahabat Raka itu. Justru Raka butuh teman-teman yang konyol seperti Dewa dan Arga. Bayangkan kalau sahabat Raka itu sejenis dengan pria itu. Sunyi sekali dunianya.

"Chika, kamu mau ikut ke resort kami? Nanti malam kami mau membuat acara makan-makan," ajak Fala.

"Boleh?" tanya Chika.

Fala tertawa dan menganggukan kepalanya. "Tentu boleh, kamu sahabat Dita kan? Kalau begitu kamu jadi sahabatku juga ya? Jangan sungkan kalau ada apapun. Aku akan membantu sebisaku."

"Oh manisnya istriku," puji Dewa.

"Tentu," balas Fala sambil mengangkat dagunya. Membuat Dewa terkekeh geli dan mengecup bibir istrinya itu karena gemas.

Chika langsung menutup matanya. "Kalian ini! Ayolah, apa kalian mau membuat aku menonton adegan romatis kalian terus?"

"Haha, benar cuma Chika yang tidak punya pasangan," kekeh Arga.

🌼🌼🌼

Raka menelepon Chika untuk kesekian kalinya meski tidak ada jawaban. Ponsel itu masih tidak aktif. Dia sejak tadi menelusuri area pantai untuk mencari gadis itu. Tapi sejak tadi dia tidak berhasil menemukannya.

Bagaimana kalau ada pria yang macam-macam dengan Chika. Chika punya trauma tersendiri. Dia mengacak rambutnya, kesal. Harusnya tadi dia langsung menemani Chika keluar. Sekarang dia harus bagaimana.

Buru-buru Raka menelepon orang-orang suruhannya untuk datang kemari. Ini bukan tentang ancaman tidak dapat makan malam dari bunda. Dia murni khawatir pada gadis itu. Karena dia sudah berjanji untuk menjaganya.

Raka duduk di lobby hotel, sembari mengusap keningnya sendiri. Beberapa orang yang ditunggu akhirnya datang. Dengan setelah serba hitam dan tubuh tegap, lima orang itu menunduk hormat padanya.

"Cari gadis yang menggunakan dress bunga-bunga, rambutnya panjang, namanya Chika," kata Raka.

Lima orang dihadapannya saling lirik. "Maaf Tuan, apa ada foto yang lebih menjelaskan perempuan yang harus kami cari?"

Jelas saja tidak. Raka tidak menyimpan foto Chika sama sekali. Kepalanya menggeleng. "Cari sesuai dengan apa yang aku gambarkan."

"Em baik Tuan, bagaimana wajahnya?" tanya salah satu dari mereka.

Raka berdeham pelan. "Dia cantik."

"Kalau kalian berhasil menemukannya, jangan membuat dia takut. Bilang padanya kalau kalian adalah orang-orang suruhanku. Mengerti?"

Hanya itu yang bisa Raka berikan. Jelas ini membuat pekerjaan kelima orang itu makin sulit. Pertama, banyak sekali gadis canti di sini. Rambut panjang pun banyak. Gaun bunga-bunga pun hampir di setiap sudut ada yang memakainya.

Sampai malam hari mereka tetap tidak berhasil menemukan Chika. Mereka langsung kembali pada Raka dan memberikan laporan. Jelas saja itu makin membuat pria itu gusar.

Raka kembali mencoba menghubungi ponsel Chika. Tetap saja tidak aktif. Dia menautkan jemarinya sambil memejamkan mata. Mencoba berpikir, apa yang harus dia lakukan sekarang ini. Lapor polisikah, tapi ini belum genap 24 jam.

Sejak tadi ponselnya dibombardir pesan dari bunda. Pasti sekarang di resort, bunda juga sedang khawatir. Dia belum bisa memberi kabar ini pada bunda.

"Cari seluruh data tentang Chika, panggil lebih banyak orang. Sebelum jam 12 malam, dia harus ditemukan!" perintah Raka dengan tegas.

Lima orang itu langsung menganggukan kepala. "Baik Tuan."

Panggilan telepon dari Dewa mengalihkan perhatian Raka. "Yaa?"

"Woy! Gue sama Arga lagi di Bali, sini ke resort kita biasa," sapa Dewa.

Raka mengerutkan keningnya. "Di Bali?"

"Yapp, Chika juga ada di sini. Mau lo jemput, atau nanti gue aja yang anter ke resort keluarga lo?" tanya Dewa lagi.

"Chika di sana?" tanya Raka lagi. "Sial," umpatnya. "Suruh dia tunggu di sana! Jangan biarkan dia kabur."

🌼🌼🌼

Chika menatap penasaran karena melihat wajah Dewa yang meringis ngeri. Dia langsung mendekat. "Kenapa? Dia sudah selesai kerja?"

"Chika," panggil Dewa. "Kamu dalam bahaya."

Dewa menceritakan jawaban Raka saat ditelepon tadi. Chika melebarkan matanya dan langsung buru-buru mengecek ponsel. Apa dia punya salah pada Raka sampai membuat pria itu marah.

Puluhan panggilan masuk dan pesan dari Raka masuk secara beruntun. Chika meringis ngeri. Jadi sejak tadi Raka mencarinya. Gawat. Lagi-lagi dia membuat Raka marah. Bagaimana kalau nanti dia kena amukan pria itu.

"Haaa, aku harus bagaimana sekarang?!" rengek Chika.

Dewa dan Arga meringis kecil dan menggelengkan kepala. Tidak memberi solusi sama sekali. Mereka kan juga tidak mau kena damprat Raka. Lebih baik cari aman saja.

Mendengar suara mobil terparkir di luar. Membuat Chika reflek berlari kabur dan sembunyi di kolong meja makan. Dia tidak siap terkena amukan Raka.

"Dimana Chika?!" tanya Raka langsung setelah masuk ke dalam.

Dewa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Eh hehe dia, emm."

Raka memutar bola matanya. "Keluar sekarang, kita harus pulang." Suruhnya tanpa harus susah payah mencari. Dia yakin Chika akan keluar dengan sendirinya.

Chika merangkak dari kolong meja makan dan meringis kecil. "Eh hemm hay, haha maaf tadi aku lupa mengecek ponselku."

Fala dan Dita terkikik geli di dapur melihat wajah takut Chika dan wajah datar dari Raka. Ini benar-benar adegan yang lucu. Apalagi melihat Raka sudah seperti seorang ayah yang marah pada anak perempuannya yang nakal.

Raka melangkah mendekat dan menarik tangan Chika. "Kita pulang sekarang."

"Eh tapi-"

"Kamu membuat aku hampir memanggil orang-orang tambahan dari Jakarta untuk mencarimu," kata Raka tanpa menoleh.

Chika mengerjapkan matanya. "Kenapa?"

Sampai di dekat mobil, Raka baru melepaskan genggaman tangannya. Dia mengeluarkan ponsel dan mengarahkan kamera ke wajah Chika. Membuat Chika makin bingung.

"Untuk apa fotoku?" tanya Chika.

Raka kembali memasukan ponselnya ke dalam saku. "Untuk mencarimu kalau kamu tiba-tiba hilang dariku."

Chika terdiam mendengar jawaban dari Raka. Irama jantungnya menjadi tidak beraturan. Ada rasa panas yang menjalar ke pipinya. "Maaf, kalau aku membuat kamu khawatir."

"Hem."

🌼🌼🌼

See you on the next chapter ❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top