BAB 12
Hola, aku ngejar banget biar bisa up malem ini. Akhirnya up tapi tengah malem. Hehe nggak apa-apa yaa.
Follow ig @indahmuladiatin untuk info cerita-ceritaku.
Jangan lupa vote dan komentar untuk dukung cerita ini ^^
Happy reading guys! 😀
🌼🌼🌼
Kecanggungan antar Chika dan raka tidak berlangsung lama, mereka sempat membahas masalah keuangan perusahaan saat tadi sarapan. Beruntungnya Chika karena Raka tidak membahas masalah pagi tadi. Kalau sampai pria itu membahasnya. Entahlah, mungkin dia akan memilih tenggelam dalam tanah saking malunya. Tadi setelah sampai di kantor, Chika langsung turun dari mobil dan berlari ke dalam, meninggalkan Raka.
"Lari dari apa sih Chik? Heboh amat?" tanya Wulan penasaran. Kepalanya melongok ke belakang. Tidak ada siapa-siapa di sana.
Chika mengatur nafasnya, dia duduk sambil meluruskan kaki. "Lari dari kenyataan."
Plak, tangannya langsung dihadiahi pukulan oleh Wulan. "Serius gue, lo nggak dikejar-kejar debt collector kan?"
"Sejenis itu sih, seram kan?" tanya Chika serius.
"Uhh emang serem kalo itu," balas Wulan. "Eh btw, besok gue sama Dita mau jalan ke mall abis ngantor. Sekalian nonton, mau ikut nggak?"
"Nonton? Hemm boleh, aku belum pernah nonton di bioskop," kata Chika dengan cengirannya.
"Demi apa woy! gila manusia abad ke berapa lo?" tanya Wulan.
"Apa? kenapa? Gue denger kalian mau nonton, boleh ikut nggak?" tanya Edgar. Kedua alis tebalnya terangkat. "Ayo dong ajak gue, besok gue free nih."
"Lo bukannya tiap hari free?" tanya Wulan sambil menunjuk Edgar. "Lo kan jomblo abadi."
Edgar tersenyum manis. "Makanya, gue butuh jalan biar dapet cewek. Mau gimana lagi, Chika udah taken."
"Nah makanya, udah tau Chika punya Pak Bos, lo masih aja godain, niat perang?" tanya Wulan geli.
Chika memutar bola matanya dan langsung meninggalkan dua rekannya ini. Terserah mereka mau bicara apa. menjelaskan apapun sekarang juga tidak ada gunanya. Pasti ucapan bunda Fian lebih dipercaya.
Sampai siang hari Chika berkutat dengan laporan keuangan. Siang ini dia harus keluar untuk survey tempat yang katanya akan dijadikan panti, jadi pekerjaannya harus segera selesai. Bicara tentang panti, apa nanti dia mengajukan diri untuk mengurusnya saja yaa. sepertinya pekerjaan mengurus panti lebih menarik.
"Ssstt Chika," bisik Wulan.
"Hemm?" Chika bergumam tanpa menoleh.
Kaki Wulan menyenggol meja kerja Chika. "Itu Bu Fian kayaknya nyari lo."
"Hah?" Chika melongok ke depan. Benar, bunda Fian sedang berada di depan ruangan. Apa iya belau sedang mencarinya. Ada masalah apa. Jadi sekarang dia harus menghampiri bunda Fian atau tidak usah.
"Ck masih duduk? Udah sana sapa dulu!" suruh Wulan.
Chika meringis kecil dan menganggukan kepala. Dia menghampiri bunda Fian yang saat ini sedang bicara dengan atasannya di divisi ini. "Hem, selamat siang Bu Fian."
"Ah ini dia," kata bunda Fian dengan senyum cerah. "Bisa bicara sebentar sama Bunda?"
"Oh emm bisa," jawab Chika.
Bunda Fian mengajak Chika berjalan ke ruangan Om Karel. "Katanya nanti kamu akan survey lokasi panti ya? Sekalian mau mampir ke panti tempatmu nggak?"
"Mungkin sekalian," kata Chika. Lagipula arahnya tidak jauh dari pantiya dulu. Sekalian jalan saja. Toh makin cepat makin baik. "Kenapa Bunda?"
"Oh Bunda sama Om Karel ada titipan untuk anak-anak di sana." Bunda menarik tangan Chika dengan semangat. "Mudah-mudahan anak-anak senang, Bunda tadi sempat bingung mau membeli apa untuk mereka."
Di ruangan ini bunda mengajak Chika melihat beberapa kardus-kardus besar entah itu isinya apa. Chika menyentuk kardus itu. "Ini apa Nda?"
"Ada buku-buku, yang ini baju, nah yang ini ada selimut dan seprai," jawab bunda. "Sebenarnya bunda masih mau menitipkan banyak untuk anak-anak itu, tapi Bunda bingung apa yang mereka perlukan. Jadi tolong yaa nanti tanyakan pada ibu panti, apa yang yang mereka perlukan."
Chika tersenyum dan menganggukan kepala dengan semangat. "Pasti Bunda."
Melihat pemberian dari bunda, tentu saja Chika senang. Adik-adiknya di panti pasti sangat senang nanti. Dia jadi tidak sabar melihat ekspresi bahagia mereka. Sekarang masih siang, masih ada beberapa jam lagi.
Saat berjalan menuju ruangannya, dia berpapasan dengan Raka yang seperti biasa, berjalan dengan Dita. Mungkin baru dari ruang rapat. "Selamat siang Pak." Chika menundukkan kepala memberikan salam.
"Duh formalnya padahal sama calon suami," kekeh Dita.
Chika melotot kesal dan menyubit lengan sahabatnya ini. "Awas yaa."
Raka cuma mendengus samar dan pergi menuju lift. Baguslah, gara-gara kejadian pagi tadi, dia jadi agak malu untuk bicara dengan Raka. Kecuali itu benar-benar masalah pekerjaan. Ah lagipula kenapa dia bodoh sekali. Rasanya ingin menggetok kepalanya sendiri.
"Kenapa sih? Muka lo suram begitu," kata Dita penasaran.
Chika mencebikan bibirnya. "Dita, tolong buat aku tenggelam."
"Hah?" tanya Dita bingung.
🌼🌼🌼
Untungnya siang Chika tidak hanya berdua dengan Raka saja saat mendatangi tempat yang akan dijadikan panti. Ternyata Dita, Arga, dan Dewa ikut. Sayangnya Fala tidak bisa ikut karena masih ada kerjaan di rumah sakit.
"Bagus, nyaman sekali. Jaraknya juga dekat dari jalanan besar. Aku rasa nanti anak-anak tidak akan kesulitan kalau pun sekolahnya jauh," kata Chika sambil memperhatikan rumah besar di hadapannya.
"Nah kan," kata Arga.
Raka menghela nafas panjang dan melirik jam tangannya. "Kalau begitu aku dan Chika akan ke panti sekarang. Kalian langsung pulang?"
"Nggak, kita mau liat-liat dulu," kata Dewa.
Raka menganggukan kepala. "Ayo, ini sudah sore."
Di mobil, Chika hanya membuka mulutnya untuk menunjukan arah pada Raka. Panti tempatnya memang memiliki akses yang cukup sulit. Banyak tikungan yang harus dilewati karena ada di salah satu perkampungan. Untungnya jalanannya mampu menampung satu mobil. Yaa agak susah kalau berpapasan dengan mobil lain. Apalagi mobil Raka itu besar.
"Nah itu yang catnya putih," kata Chika sambil menunjuk pantinya.
Raka memarkirkan mobilnya. "Masuk duluan, biar aku yang bawa titipan Bunda."
"Kardus itu kan besar-besar, aku bisa bantu," kata Chika. Dia turun dari mobil. "Oh iya, ada Pak Min juga. Biar aku panggil."
Chika meninggalkan Raka dan masuk duluan ke panti. Pagar besi yang sudah agak berkarat itu di buka. Dia memencet bel dan menunggu pintu itu dibuka. Mungkin bu Ayu sedang memasak makan malam di belakang.
Pintu itu terbuka, menampilhak wajah Sarah. Si kecil yang imut sekali. "Kak Chika?"
"Sarah?" sapa Chika sambil berjongkok untuk mensejajarkan tingginya. "Hai, kamu pasti disuruh kakak-kakak buat buka pintu yaa?"
Sarah cemberut kesal dan memeluk Chika. "Mereka nakal Kak."
"Emm iya nanti biar Kakak yang bilangin mereka, oh iya Pak Min ada di dalem nggak?" tanya Chika.
"Lagi keluar sebentar Kak, katanya beli mi di warung Kakek," jawab Saran sambil menatap keluar. "Itu siapa Kak?"
"Temen Kakak," jawab Chika. "Ayo Kakak kenalin sama dia."
Raka sibuk mengeluarkan kardus titipan bunda, sampai kemejanya ditarik-tarik. Kepalanya tertunduk melihat seorang anak kecil yang manis sekali sedang menatapnya dengan pandangan polosnya. Senyumnya tidak bisa ditahan. "Hey cantik, siapa namamu?"
Chika terpesona melihat senyum dan wajah hangat itu. Apa ini Raka yang bersamanya tadi, kenapa berbeda sekali. Wajah itu benar-benar makin terlihat tampan. Chika mengusap kepala Sarah yang kelihatan malu-malu. "Ini Sarah, dia salah satu anak di panti ini."
"Hem," jawab Raka. Tangannya terulur, "boleh kita kenalan? Aku Raka."
"Kakak temennya Kak Chika?" tanya Sarah dengan suara yang imut sekali.
Raka menganggukan kepala. "Kamu suka mainan? Kakak bawa beberapa mainan. Mau?"
"Mau!!" teriak Sarah.
"Hem kalau mainan aja cepet, yaudah Sarah masuk dulu yaa panggil temen-temen. Ajak ke ruang tamu," kata Chika.
Sarah menganggukan kepala dan langsung berlari ke dalam mengabari teman-temannya. Point di rumah ini adalah berbagi. Mereka sudah sangat mengerti tentang itu, jadi tidak ada keegoisan satu sama lain. Iya kadang mereka berebut mainan, tapi hanya sebentar lalu aka nada yang mengalah.
Chika membawa satu kardus. "Pak Min lagi ke warung, biar aku bantu bawa ke dalam. Ayo silahkan masuk ke panti kami."
🌼🌼🌼
Melihat anak-anak yang menyambutnya dengan ceria membuat hati Raka menghangat. Ternyata bahagia bisa sesederhana ini maknanya. Dia tidak tahu datang ke sini adalah sebuah hiburan. Melihat wajah senang anak-anak ini. Celotehan lucu mereka.
Raka duduk memangku Sarah yang langsung akrab dengannya. "Sarah udah sekolah?"
"Udah, masih TK," jawabnya sambil memainkan boneka beruang. "Bonekanya bagus yaa? Makasih Kak."
"Emm," jawab Raka. Dia sedang duduk di ruang tamu. Sedangkan Chika sibuk di dapur dengan Bu Ayu. "Kapan-kapan mau pergi ke rumah Kakak? Di sana Kakak punya adik perempuan, dia punya banyak mainan. Pasti dia suka main sama Sarah."
"Boleh?" tanya Sarah.
Raka menganggukan kepala dan mengusap pipi bulat itu. "Boleh."
"Asik!!" teriaknya.
Chika tersenyum dan meletakkan nampan di atas meja. "Sarah, itu Kak Rakanya kasian dong mangku kamu terus."
"Ihh nggak apa-apa, kan Sarah enteng," balas Sarah.
"Eh kata siapa? Berat tau," ledek Chika.
"Sudah-sudah," kata bu Ayu. "Nak Raka, silahkan dinikmati hidangannya. Maaf seadanya."
"Terima kasih Bu," jawab Raka sambil mengambil cangkir yang berisi teh hangat itu. Satu tegukan cukup membasahi tenggorokannya yang kering. Dia kembali meletakan gelas itu di atas meja.
"Sarah main dulu yaa sama yang lain, Ibu mau bicara sama Kak Raka," kata bu Ayu. Sarah mengangguk dan turun dari pangkuan Raka. Anak itu pintar sekali.
Raka tersenyum gemas melihat anak itu. "Dia lucu sekali." Benar-benar mengingatkannya apda Caramel kecil.
"Yapp, aku setuju," balas Chika.
Bu Ayu tersenyum hangat. "Chika sudah cerita tentang Nak Raka dan niatan untuk membuat panti asuhan. Ibu senang sekali mendengarnya."
"Yaa, saya ke sini untuk membicarakan itu. Saya ingin minta tolong pada Ibu untuk mengurus manajemen panti nanti," ucap Raka.
"Dengan senang hati, Ibu akan bantu semampunya. Terima kasih karena kamu dan teman-temanmu mau peduli dengan anak-anak yang memang membutuhkan," kata bu Ayu.
Pembicaraan tentang semua rincian sudah selesai. Chika kembali sibuk dengan anak-anak dan Raka masih ngobrol dengan bu Ayu. Benar kata Chika, Bu Ayu itu baik sekali. Tutur katanya lembut, keibuan. Beliau pandai membuat orang di sekitarnya nyaman.
"Terima kasih karena kamu membantu Chika," kata Bu Ayu.
Raka mengerutkna keningnya. "Saya hanya sedikit membantu."
"Kamu pasti orang yang baik, keluargamu juga. Selama ini hidup Chika itu kacau, dia sering bertemu dengan orang-orang jahat dalam hidupnya. Melihat dia sekarang bersama dengan kamu dan keluargamu, Ibu lega sekali," ucap bu Ayu.
"Selama saya bisa membantu, saya akan membantu dia sebisanya," jawab Raka sambil memandang Chika yang sedang tertawa dengan anak-anak. Senyumnya mengembang, sepertinya Chika sangat bahagia ada di tengah anak-anak itu.
🌼🌼🌼
Sore ini setelah semua pekerjaan beres, Chika langsung buru-buru pulang ke rumah. Kata bunda, Caramel baru saja membuat masalah. Anak itu katanya dikeroyok preman. Sudah gila, masa preman dengan badan kekar tidak malu menghadapi Caramel yang sekecil itu, pakai keroyokan pula.
Ternyata benar kata si kembar, jangan percaya dengan wajah lugu Caramel. Anak itu bisa membanting orang dengan mudah. Jadi sekarang siapa yang kondisinya parah. Semoga bukan Caramel.
Untung Raka sedang tugas di Jerman, dan Caramel meminta semua untuk tidak memberi tahu Raka. Bisa bayangkan bagaimana paniknya pria itu saat tahu adik kesayangannya dikeroyok preman. Yaa mungkin memang lebih baik Raka tahu saat sudah pulang ke Indonesia saja.
Di rumah, Chika menyiapkan tas untuk menyiapkan keperluan Caramel selama dirawat di rumah sakit. Setelah semua siap baru dia ke sana menyusul bunda Fian, om Karel dan si kembar. Mungkin malam ini dia akan menginap saja di rumah sakit, menemani Caramel.
"Hai Kak," sapa Caramel dengan santai.
Chika menghembuskan nafas, lega melihat kondisi Caramel yang sepertinya baik-baik saja. Hanya ada luka lebam di beberapa bagian tubuh dan perban di lengan. Sepertinya yang habis adalah musuh anak ini. Pasti si kembar akan membela Caramel habis-habisan.
"Gimana kondisi kamu?" tanya Chika.
Caramel merentangkan tangannya. "Yah biasa aja, Kara kan jagoan."
"Ckck sekarang Kakak percaya kamu emang jagoan," kekeh Chika.
Sepertinya biasa, Caramel heboh menceritakan aksinya yang heroik itu. Chika geleng-geleng kepala. Percaya dan tidak percaya anak ini bisa seberani itu menghadapi orang-orang yang dari badan saja sudah pasti bukan tandingannya lagi.
"Kara tonjok wajahnya Kak! Terus perutnya! Bug! Tepar deh," kata Caramel. "Terus ada si botak yang ngeselin, marah-marah di depan wajah Kara, bukan masalah omelannya, kuahnya itu loh! Dia ngomong sampe ludahnya muncrat. Kena muka Kara lagi, yaudah Kara tonjok aja."
Chika meringis ngeri. "Pasti sakit."
"Emm nggak tau, dia langsung pingsan," kekeh Caramel.
Niat Chika untuk menginap batal karena bunda melarang. Katanya biar si kembar saja. Karena Rafan dan Arkan menyanggupi, jadi dia menurut dan pulang ke rumah. Besok pagi dia harus kembali bekerja seperti biasa. Dan harus dia ingat, Raka menitipkan pekerjaan penting untuknya.
Raka, apa kabarnya pria itu. Selama di Jerman dia tidak tahu kabar Raka sama sekali. Tapi ini kan baru beberapa hari. Yah, pokoknya semoga Raka selalu sehat dimanapun pria itu berada.
🌼🌼🌼
Selama beberapa hari Chika rutin berkunjung ke rumah sakit. Raka juga sudah pulang. Dia kesal karena tidak ada yang mengabari kondisi Caramel dirawat di rumah sakit. Padahal Chika yakin, Caramel dirawat karena permintaan om Karel.
"Astaga Kaka kamu masih kesal?" tanya Chika.
Raka bersedekap dengan tatapan elangnya. "Kamu sekongkol dengan yang lain."
"Hey, aku kan cuma berpikir logis. Lagipula Caramel baik-baik aja, dia nggak mau kamu mendadak pulang padahal ada pekerjaan penting," jelas Chika sambil menyiapkan makanan karena semua sedang di rumah sakit sekarang.
Chika duduk di hadapan Raka dan melipat tangannya di atas meja. "Oh iya aku ada kabar baru tentang kasus kemarin." Dia berdeham pelan. "Sepertinya ini bukan cuma melibatkan salah satu karyawan divisi finance."
"Aku sudah duga itu," jawab Raka.
Mata Chika membulat. "Oh yaa? lalu sekarang kita harus apa?"
"Diam," jawab Raka santai. Jarinya mengetuk meja, ada seulas senyum di bibirnya. Senyum yang sepertinya menyimpan banyak makna. "Tidak ada musuh yang paling berbahaya selain musuh yang diam dan tenang."
"Eh? Maksudnya?" tanya Chika.
"Diam," kata Raka lagi. "Sampai membuat musuhmu berada di atas angin dan tidak waspada. Setelah mereka merasa menang baru beri serangan, ratakan mereka semua."
"Hemm?" tanya Chika lagi. Tangannya mengibas. "Ah aku pusing." Dia tidak akan mnegerti dengan rumitnya pemikiran Raka. Mungkin semua pengusaha punya pikiran serumit itu. Bayangkan betapa susah hidupnya.
"Aku tidak heran," balas Raka cuek.
Chika menyipitkan matanya. "Apa maksudnya itu? kamu mengataiku bodoh ya?"
Raka mendengus samar dan mengangkat bahunya, memilih untuk makan makanan di hadapannya.
🌼🌼🌼
Chika menyusun berkas yang akan dia berikan pada Mbak Nimas siang ini. Setelah jam istirahat dia dan Wulan memang ditugaskan di luar untuk ke bank. Untung saja itu Wulan, kalau yang lain, entah rasa canggungnya seerti apa. Karena mereka masih saja mengistimewakannya. Andai mereka semua tahu kalau dia bukan tunangan Raka.
"Eh abis dari bank kita mampir beli bakso yuk!" ajak Wulan.
"Emm boleh, aku udah lama nggak makan bakso," jawab Chika.
Bank hari ini cukup ramai. Hampir dua jam dia mengurus semuanya dengan Wulan. Setelah beres baru mereka keluar dan menyetop taksi yang lewat. Katanya Wulan tahu bakso yang enak di daerah sekitar sini.
Di dekat pasar, mereka turun dari taksi. Chika menatap sekitar. Ini pasar yang juga sering dia kunjungi. Tempat yang tidak jauh dari rumahnya dulu. Wajah Chika mengeruh, ingat semua hal pahit yang dia alami.
"Lo kenapa?" tanya Wulan.
Chika menggelengkan kepala. "Ayo, kita kan juga harus cepat-cepat balik ke kantor."
Chika dan Wulan memesan bakso paket lengkap. Selama makan, Chika lebih banyak diam. Padahal tadi dia bersemangat. Sekarang, bahkan nafsu makannya sudah hilang. Bakso menggiurkan ini jadi tidak menarik.
"Lo beneran nggak apa-apa?" tanya Wulan khawatir.
"Hemm? Oh aku ngerasa nggak enak badan aja tiba-tiba," elak Chika.
"Duh, kita balik ke kantor sekarang aja yaa? apa lo mau langsung pulang?"
Keduanya mendongak karena dehaman suara berat di dekat mereka. Chika melebarkan matanya melihat dua orang yang dia kenal adalah teman ayah angkatnya. Tangannya gemetar, tapi dia berusaha untuk tetap terlihat berani.
"Mau apa kalian?!" tanya Chika tajam.
"Nah benar kan, ini anak angkatnya yang cantik itu," kata salah satu orang itu sambil menjawil dagu Chika.
Chika mengusap dagunya dengan kasar. "Jangan sentuh saya sembarangan! pergi kalian dari sini!"
"Hey bukannya kamu sudah biasa disentuh? Ingat kan kamu sudah pernah dijual ayahmu?" ledek pria berambut panjang. "Berlagak seperti perempuan suci. Haha."
Orang-orang di sekitar mulai melirik dengan pandangan yang menyakitkan sekali untuk Chika. Tidak, dia bukan wanita seperti itu. "Wulan ayo kita pergi dari sini." Chika langsung berlalu meninggalkan tempat itu disusul Wulan.
Selama dalam perjalanan pulang, Chika hanya tertunduk, diam. Dia malu sekali, bahkan pada Wulan meski sejak tadi sahabat barunya ini tidak mengatakan apa-apa. Mungkin setelah ini Wulan tidak mau lagi beteman dengannya.
"Chika, lo nggak apa-apa kan?" tanya Wulan.
Chika mulai terisak dan menganggukan kepala. "Aku mau ke kantor sebentar."
"Iya, gue juga mau balik ke kantor dulu. Mau ambil charger, udah yaa jangan nangis. Mereka cuma orang yang mulutnya kayak sampah," kata Wulan.
"Kamu masih mau temenan sama aku?" tanya Chika.
Wulan tertawa pelan dan merangkul bahu Chika. "Gue percaya lo orang baik, kalau nggak, nggak mungkin lo jadi kesayangannya Bu Fian."
🌼🌼🌼
Raka dan Dita sedang berjalan keluar dari ruang rapat. Pekerjaan hari ini akhirnya selesai. Dita menghentikan langkahnya karena ada telepon dari Wulan. Wajah Dita yang berubah khawatir membuat Raka mengerutkan kening.
"Raka, sepertinya Chika baru mendapat masalah," kata Dita.
"Masalah?" ulang Raka. Dia langsung berbalik menuju ruang divisi finance. Sekarang apalagi yang terjadi pada gadis itu. Kenapa di sekitar Chika selalu ada masalah.
"Dimana dia?" tanya Raka pada Wulan.
Wulan menunjuk mesin foto copy di sudut ruangan.
Raka terdiam melihat Chika duduk di sana sambil memeluk lutut. Tangan kecil itu gemetar, seperti ketakutan. Kenapa kondisinya bisa kembali begini. Raka jadi ingat saat pertama bertemu gadis ini lagi.
Perlahan langkah Raka mendekat, agar tidak membuat Chika takut. "Chika."
Chika mendongak, mata itu sembab, dengan raut wajah takut yang jelas. Kondisi Chika membuat Raka marah. Siapa yang berani membuat gadis ini begini.
"Kaka?" lirih Chika.
Raka mencoba untuk tersenyum. Tangannya terulur. "Ayo bangun, kamu bisa pegal kalau duduk lama di situ."
Chika menatap tangan Raka dan menerimanya dengan ragu. Dia kembali terisak dan memeluk Raka. "Aku takut, aku nggak mau bertemu mereka lagi. Mereka jahat, Kaka."
"Hem," jawab Raka sambil mengusap kepala Chika. Membiarkan gadis ini menangis di pelukannya. "Mereka yang jahat kepadamu akan mendapat balasannya. Aku janji."
🌼🌼🌼
See you on the next chapter ❤❤❤
Raka Eldenis Rajendra
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top