BAB 10
Holaaa selamat malam, hehe aku balik lagi sama cerita Raka dkk.
Karena kemarin ukom jadilah ngandet lagi. Alhamdulillah udah selesai, doain hasilnya baik yaa.
Jangan lupa vote dan coment untuk cerita ini sebagai dukungan dari kalian. Follow ig @indahmuladiatin biar kalian nghak ketinggalan info cerita-ceritaku.
Happy Reading guys! Hope you like this chapter 🤗🤗🤗
🌼🌼🌼
Chika mendata ulang laporan keuangan minggu ini. Matanya menatap dokumen dan layar komputernya secara bergantian. Sejak pagi, dia memang sudah sibuk karena hari ini dia harus melaporkan pekerjaannya pada bu Nimas sebelum laporan itu dilihat oleh para atasan. Di dekatnya, Wulan juga tidak kalah sibuk. Mereka bahkan tidak ada waktu untuk sekedar bercanda seperti biasa karena harus fokus.
"Sudah berapa persen Chika?" tanya bu Nimas dibalik bilik mejanya.
Chika menghentikan kerjanya. "Udah tujuh puluh persen bu."
"Oke lanjut yaa," kata bu Nimas.
Kegiatan kerja mereka terhenti karena ada Gracia dan kawan-kawannya datang dan langsung menghampiri Chika. Membuat mereka penasaran karena ini kan jam kerja, meski bagian pemasaran memang sedang bersantai. Chika cuma mengerutkan kening dan bersedekap menunggu apa yang akan Gracia katakana padanya.
"Pembohong," kata Gracia.
Chika berdiri dan tersenyum ramah. "Apa maksudnya? maaf ini jam kerja."
"Hah masih berani berlaga? Rajendra palsu!" kata Gracia dengan senyum sinis.
Kata-kata itu membuat semua terbelalak kaget, kecuali Wulan yang memang sudah tahu semua sejak awal. Chika menghela nafas panjang, menetralisir rasa kagetnya. Tidak, meski lemah dia tidak bisa memperlihatkannya pada orang lain. "Kalau aku Rajendra palsu memang apa urusanmu?"
"Ohh ternyata orang sekecil lo bisa berani juga, akuin ke semua kalau lo itu cuma benalu yang ditolong Pak Raka tapi dengan nggak tahu dirinya ngaku-ngaku keluarga!" seru Gracia dengan suara yang suka naik satu oktaf. Mengabaikan pandangan disekitar yang makin penasaran. Bahkan dari divisi lain pun ikut menonton dari luar.
Chika maju untuk menghadapi Gracia. "Bisa bahas masalah ini nanti?"
"Nggak," kata Gracia. Tanpa diduga Gracia menampar pipi Chika. Beberapa yang menonton cuma bisa terpekik kaget. Gracia memang sudah gila. Tamparan itu keras hingga pipi Chika memerah. "Kalau tau diri, pergi sana!"
Chika mengusap pipinya dan tersenyum tipis. "Apa udah banyak yang kamu labrak begini?
"Apa?" tanya Gracia.
Senyuman Chika mengembang sinis. "Kalau memang Kaka milik kamu, untuk apa kamu susah payah melabrak aku? yaa aku kan cuma benalu, tapi kenapa si benalu ini bisa buat seorang ratu kayak kamu khawatir? Apa sekarang ratu kalah sama benalu?"
"Hahh? kurang ajar!" seru Gracia sambil mejambak keras rambu Chika. Kali ini Chika tidak tinggal diam. Keduanya semakin jadi tontonan. Banyak yang mendukung Chika karena jengah dengan gaya sok berkuasa Gracia. Padahal Raka sama sekali tidak mengkonfirmasi hubungan keduanya. Memang Gracia saja yang kepedean dan sok cantik.
"Beraninya orang kayak lo ngehina gue!" bentak Gracia.
"Kamu yang duluan menghinaku. Aku berhak membalas!" jawab Chika.
Diam-diam Wulan mengabari keadaan genting ini pada Dita. Sohibnya itu pasti akan menyampaikan ini pada Raka. Dia yakin calon bos perusahaan ini akan datang untuk meolong Chika.
🌼🌼🌼
Dita tersenyum setelah menyelesaikan laporan yang akan dicek oleh Raka. Dia buru-buru membereskan map itu karena Raka tipe orang yang tidak suka dengan pekerjaan yang tidak rapih. Semua harus serba sempurna. Meski dirinya adalah calon istri dari sahabat Raka, tapi tetap saja tidak ada keringanan.
"Apa jadwalku nanti siang?" tanya Raka yang baru saja keluar dari ruangannya.
"Rapat dengan beberapa direksi, nanti jam dua jadwal untuk survei dibeberapa tempat penjualan," kata Dita.
Raka menghela nafas panjang dan menganggukan kepala. "Oke. Tolong siapkan dokumen yang kemarin kuminta. Sampaikan pada bagian finance, laporan ditunggu sore ini."
"Siap," kata Dita. Ponselnya berdering. "Oh maaf sebentar Pak."
"Yaa," sapa Dita setelah menjawab teleponnya.
"Dita! Gawat.. Chika lagi berantem sama Gracia!"
Dita melebarkan matanya. "Apa?" buru-buru dia menutup teleponnya dan menatap Raka.
"Ada apa?" tanya Raka.
Dita meringis kecil dan berdeham pelan. "Mmm Pak, Chika dilabrak Gracia."
Raka terdiam, dia sudah menduka kalau itu akan terjadi, tapi tidak secepat ini. Langsung dia menghampiri ruangan tempat Chika bekerja. Dibelakangnya, Dita juga mengikuti dengan wajah cemas. Jangan sampai ada keributan. Selama ini Raka diam setiap mendengar pelabrakan karena mungkin hanya konflik antar sesama wanita. Kali ini yang diusik adalah Chika.
Diruangan ini suasana kacau. Chika dan Gracia sama-sama berantakan. Saling menjambak dan Raka melihat Gracia menampar keras pipi Chika hingga pipi gadis itu memerah. "Apa ini? Apa kantor ini ring tinju?"
Suara menggelegar itu membuat semua menoleh kaget. Raka melangkah mendekat dengan wajah datar. Matanya tajam menatap Gracia dan gerombolannya. "Apa ini sudah jam istirahat? Kenapa kalian kemari?"
"Maaf Pak, saya mau memberi pelajaran sama orang yang memanfaat Bapak," kata Gracia.
Raka mendengus pelan. "Dita, apa aku punya waktu luang selama dua puluh menit kedepan?"
"Setengah jam lagi Pak Arga dan Pak Sadewa yang akan datang untuk membahas rencana donasi perusahaan. Jadi selama dua puluh menit kedepan Anda bisa memberikan sedikit pelajaran Pak," jawab Dita dengan senyum cerah.
Raka menganggukan kepala. "Kalian dengar? Saya tunggu di ruangan."
"Yapp ingat waktu Bos itu terbatas," tambah Dita.
Raka langsung pergi meninggalkan pandangan kagum dari orang-orang. Baru kali ini calon penerus perusahaan Rajendra itu turun langsung. Gadis yang menjadi alasan kejadian langka itu sudah pasti adalah Chika. Mereka juga bingung kenapa waktu itu Raka mau bergabung diacara makan divisi finance. Kalau bukan sepupu, siapakah Chika.
Diruangannya Raka duduk sambil memandang Gracia dan gerombolannya. Para perempuan yang sudah sering membuat onar. Selama lima menit, dia hanya mengintimidasi orang-rang ini dengan tatapan. Yaa buat musuhmu takut dengan diam. Karena keterdiaman lebih mencekam daripada marah yang meluap-luap.
Gracia dan teman-temannya hanya menundukan kepala. Mengeluh dalam hati karena tidak ada kata yang keluar dari mulut bosnya itu. Membuat mereka makin merasa terancam karena takut dan menebak-nebak apa yang akan dibicarakan. Jarum jam yang berdetak seperti semakin menegangkan.
"Kami cuma memberi dia sedikit pelajaran," kata Gracia pelan setelah memberanikan diri untuk buka suara.
Raka menautkan jemarinya di atas meja, kepalanya mengangguk dengan eksresi paham. "Kalau begitu giliran saya yang memberikan sedikit pelajaran." Dia menekan telepon yang menghubungkan langsung pada Dita. "Siapkan lima surat pemberhentian kerja."
Kelima orang itu kaget dan langsung saling menyenggol satu sama lain. "Pak kami mohon maaf, kami tidak akan mengganggu Chika lagi."
"Ini bukan tentangnya, perusahaan tidak butuh orang yang tidak beretika," balas Raka santai. Ekspresi sedih itu tidak membuat keputusannya goyah. "Silahkan keluar, pelajaran kalian selesai."
"Pak kami mohon, pekerjaan kami bagus. Kenapa kami dikeluarkan?" pinta Gracia.
"Bukankah kalian sudah pernah mendapat SP? Saya rasa saya berhak memberhentikan kalian." Raka menatap jam tangannya. Dua puluh menit tepat. Dia langsung bangkit dan merapihkan jasnya. "Keluar, kalian mengotori oksigen di ruang ini."
Gracia membuka mulutnya, terperengah mendengar ucapan Raka yang sadis itu. Ketika melihat pria itu sudah meninggalkan ruangan. Dia cuma bisa terduduk lemas. Bagaimana ini, dia sudah kehilangan pekerjaannya. "Gua akan lapor ke Bu Fian, pasti dia bantu kita."
🌼🌼🌼
Chika membasuh wajahnya dengan iar berkali-kali. Kenapa tadi dia bisa tersulut emosi, harusnya dia biarkna saja perempuan macam Gracia, tapi kata-katanya itu menyakitkan. Benalu, serendah itukah dirinya. Yaa benar, dia meminta pertolongan pada Raka. Benar juga dengan tidak tahu diriya dia mengatakan bahwa dia adalah sepupu pria itu. Tapi isakah kata-kata menyakitkan itu tidak keluar.
Jarinya mengusap airmata dengan kasar. Lagi-lagi dia membasuh wajahnya. Tidak boleh kelihatan baru menangis. Matanya menatap pantulan wajahnya sendiri. "Tenang Chika, kamu bahkan pernah dihina lebih dari itu."
Senyumnya mengembang. "Huhh yaa, pekerjaanku banyak. Abaikan orang-orang itu."
Chika kembali ke ruangannya. Mengabaikan tatapan orang-orang yang sepertinya penasaran akan insiden tadi. Beberapa orang berbisik sambil meliriknya. Dia hanya menghela nafas panjang dan mengabaikan semua. Besok pasti semua akan berjalan seperti biasa.
"Chika?" panggil bunda Fian yang sepertinya sudah menunggu kedatangannya.
"Bunda, emm maaf Bu Fian. Ada apa?" tanya Chika dengan senyum ramah.
Bunda Fian mendekat dan tangannya mengusap pipi Chika yang masih memerah. "Kamu enggak apa-apa?"
"Hah? emm aku baik," jawab Chika.
Keduanya menoleh karena Gracia datang dengan teman-temannya. "Bu Fian, kami ingin bicara."
"Kenapa lagi kalian?" tanya bunda Fian dengan kesal.
"Tolong kami Bu, Pak Raka memberi surat pemberhentian kerja. Ibu tahu kan kinerja kami selama ini? Bahkan sebelum Pak Raka bekerja di sini?" tanya Gracia.
Bunda Fian memasang senyum lebar, tangannya bersedekap. "Yaa kinerja kalian memang bagus. Sayang etika kalian tidak ada, saya sudah mendapat banyak laporan dari tingkah laku kalian. Kali ini kalian salah sasaran."
"Maksud Bu Fian?"
Percakapan itu kembali mengundang penonton. Entah kenapa seisi kantor menjadi manusia kepo padahal biasanya mereka tidak peduli pada hal selain pekerjaan. Mungkin karena ini berkaitan langsung dengan direktur.
Bunda Fian merangkul tangan Chika. "Yaa benar dia memang bukan sepupu Raka, tapi bukan berarti dia tidak akan punya nama Rajendra kan?"
Chika mengerutkan keningnya. Dia menunggu apa yang dimaksud oleh bunda Fian. Apa dia akan diangkat anak. Ah terlalu berharap, seperti ini saja dia sudah sangat berterima kasih. Lagipula dia juga tidak pernah bermimpi dipanggil Rajendra.
Keterdiaman Gracia membuat bunda Fian tersenyum cerah. "Ahh terpaksa harus dibeberkan. Maaf sayang rahasia kamu dan Raka harus Bunda buka."
"Hah?" tanya Chika. Apa rahasianya dengan Raka.
"Kalian semua tolong dengar, Chika bukan sepupu Raka. Gadis cantik ini adalah calon menantu Rajendra. Yaa dia tunangan Raka putra saya."
Chika berdiri tidak seimbang, hampir jatuh tapi karena tangannya dipegang oleh bunda jadinya dia bisa berdiri dengan sempurna. Astaga apa lagi ini. "B-bunda?"
Bunda Fian mengedipkan satu matanya dan tersenyum jenaka. Seperti ucapannya barusan tidak ada pengaruh sama sekali. Chika meringis kecil dan menggelengkan kepala. Tidak, dia tidak mau kena masalah lagi. Ayolah ini saja sudah rumit.
Keheningan di sekitar membuat Chika makin takut menatap sekitar. Harus ada yang menghentikan bunda Fian. Kalau tidak semua akan makin kacau. Dia sendiri sudah terlalu lemas untuk buka suara.
"Mereka berdua sengaja menutupi semua karena tidak mau ada yang membuat masalah pada Chika khususnya kalian ini," kata bunda Fian lagi. "Keputusan Raka sudah tepat, silahkan pergi dengan baik-baik atau harus keamanan yang membawa kalian."
"Bu Fian," lirih Gracia.
Bunda mengajak Chika kembali ke tempat kerja dan mengabaikan panggilan itu, "Kamu bisa kembali bekeja dengan tenang sekarang." Tenang apanya, saat ini Chika merasa kepalanya akan meledak saking pusingnya.
🌼🌼🌼
Raka membicarakan rencana tindak lanjut pembangunan panti dengan sua sahabatnya hingga jam istirahat tiba. Para karyawan yang terus melirik sambil berbisik membuatnya mengerutkan kening. Apalagi sekarang, apa karena tadi dia datang ke ruangan Chika.
"Ada apa lagi?" tanya Dewa yang juga merasa ada yang aneh.
Raka menghela nafas panjang. "Abaikan."
Arga menghabiskan minumannya. "Silahkan lanjut, gue harus jenguk permaisuri."
Langkah kaki Arga memelan karena mendengar obrolan beberapa karyawan yang menyebut nama Raka. Sengaja dia menguping untuk tahu gosip lebih lanjut. Lumayan untuk meledek Raka nanti.
"Yaa Bu Fian kan udah kasih pernyataan berarti bukan rumor kayak si Gracia."
"Wah pantes waktu itu pernah denger Pak Raka ikut makan bareng anak-anak finance. Ternyata Pak Raka sama Chika tunangan."
"Kali ini Gracia bener-bener sial."
Arga mengerutkan keningnya. Niat awal ingin menghampiri Dita jadi batal. Dia memutuskan untuk kembali pada Raka dan Sadewa. Pasti sohibnya itu belum dengar berita ini. "Rak, ada rumor baru."
Satu alis Raka terangkat, tap tidak ada respons. Justru Raka lanjut memakan makanannya yang baru saja datang. Rumor tentangnya sangat banyak. Kalau memperdulikan hal sekecil itu, apa pekerjaannya di kantor ini harus diabaikan dan sibuk mendengar gosip seharian.
"Nyokap lo ngumumin kalau lo sama Chika tunangan."
Garpu yang dia pegang terpeleset. Kepalanya menoleh pada Arga. "Hah?" melihat wajah serius Arga, Raka tahu ini serius. Tangannya terkepal. "Bunda," geramnya.
🌼🌼🌼
Raka pergi ke ruang ayahnya. Yaa bunda pasti sedang di sana. Sekarang apalagi maksud bunda. Selalu saja membuat ulah. Membuat kepalanya pusing. Tiba di ruangan, sapaan dari sekretaris yang membantu bunda tidak dia gubris.
"Bunda!" panggil Raka.
Bunda yang akan menyuap makanan langsung menoleh. Baru saja membuka mulut. Dengan mata polos tanpa dosa bunda mengerjapkan mata. "Yaa kenapa?"
"Apa yang Bunda lakukan?" tanya Raka sambil melangkah mendekat.
Ayah hanya makan sambil menyimak. Seolah tahu kalau reaksi Raka seperti ini pasti istrinya habis membuat ulah. Entah apa yang diperbuat sekarang.
"Oh Bunda sedang makan," jawab bunda dengan cengiran. "Raka mau?"
Raka duduk di samping bunda dan menyipitkan mata. Jelas bukan itu maksudnya. "Apa maksud Bunda kalau aku dan Chika tunangan?"
"Ohh itu, yaa tentu untuk Chika. Bunda kan kesal kalau ada yang mengganggunya," jawab bunda enteng. Tidak tahu kalau Raka sedang kesal sekarang.
"Astaga! kenapa Bunda selalu membuat masalah?" geram Raka.
Plak, tangan Raka langsung dipukul kencang oleh bunda sampai Raka meringis kesakitan. Jangan salah, dalam hal memukul kekuatan bunda itu besar. Ayah saja akan langsung diam.
"Memangnya Bundamu ini pengacau?" omel bunda. Wajah penuh senyum itu langsung berubah kesal. "Kamu ini kan udah biasa jadi bahan gosip. Lagipula ini kan gosip yang bagus, kamu tahu ada yang lebih parah? kamu pernah digosipkan suka laki-laki karena cuek, kamu digosipkan pacaran dengan Gracia, ahh pokoknya banyak sekali."
"Bun-"
"Diam! Bunda belum selesai," potong bunda. "Gosip separah apapun kamu biasanya cuek, kenapa sekarang harus jadi masalah?"
Raka memijat kening. Gemas sekali rasanya. "Kali ini Bunda sendiri yang menyebarkan, itu masalah utamanya Bunda."
Bunda mengibaskan tangannya. Tidak peduli dengan ucapan Raka. "Kalau ada yang membicarakanmu yaa sudah jangan didengar. Nanti juga gosipnya akan reda. Tenanglah."
"Sudahlah, kamu tahu sendiri bagaimana Bundamu ini," kata ayah menengahi perdebatan.
"Hemm? apa maksudnya? aku bagaimana?" tanya bunda bingung.
Raka menghela nafas panjang dan langsung pergi meninggalkan ruangan milik ayahnya ini. Sudah cukup, percuma dia berdebat dengan bunda. Tidak akan pernah ada ujungnya. Lebih baik mengalah sebelum lelah.
"Siang Pak Raka."
Raka mengangguk singkat tanpa menoleh. Matanya fokus ke depan, mengabaikan pandangan-pandangan menyebalkan itu. Helanaan nafasnya berat, fokus pada rapat direksi. Selain hal penting, semua itu tidak perlu dipikirkan.
🌼🌼🌼
Chika terus memijat keningnya. Dia mengabaikan sapaan ramah orang lain. Bukan karena tidak sopan, dia hanya masih terlalu kaget pada pernyataan bunda Fian tadi. Tunangan apanya. Gawat, jangan-jangan nanti Raka mengamuk padanya.
"Hii," kata Chika jadi merinding sendiri. Pokoknya tidak boleh bertemu Raka. Kalau pria itu sedang pulang, dia akan bersembunyi di kamar saja. Rasanya tidak punya muka untuk bertatapan langsung dengan Raka.
"Chika lo mau minum nggak? mau nitip?"
"Iyaa apa mau makan lagi? laper nggak? laporan ada yang mau dibantu?"
Chika mengerutkan keningnya, kenapa orang-orang ini. "Nggak, terima kasih."
Senyumnya terasa canggung. Chika langsung buru-buru fokus melanjutkan pekerjaannya. Gawat, karena tadi ada insiden tak terduga sebanyak dua kali, dia jadi tidak fokus. Padahal sore ini laporan harus sudah siap.
Dengan sisa konsentrasinya yang sudah terpecah, Chika berusaha menyelesaikan pekerjaannya. Tinggal tiga puluh persen. Matanya mencoba untuk fokus pada layar komputer di depannya.
"Chika ma-"
Chika mengangkat tangan, dia tidak ada waktu untuk menanggapi tawaran-tawaran aneh itu. Beruntung, dia bisa mengerjakan laporannya sebelum jam pulang. Setidaknya hari ini dia tidak perlu lembur.
"Hahh akhirnya," kata Chika sambil meregangkan tangannya.
"Capek yaa? mau gue pijit?" tanya Friska.
Chika menggeram kesal dan mengetuk pena ke meja. "Kalian ini kenapa sih?"
"Ohh nggak, kami berusaha jadi rekan kerja yang baik," jawab salah satu dari mereka.
Chika menyipitkan mata, mana mungkin begitu. Padahal biasanya mereka tidak sebegitunya. Di tempatnya, Wulan cuma terkikik geli dan menonton saja. Bukannya membela, dasar menyebalkan.
Seperti belum lengkap penderitaannya hari ini, saat pulang pun Chika harus berpapasan dengan Dewa dan Arga. Buru-buru dia bersembunyi di balik dinding. Takut karena biasanya duo itu akan selalu ada di sekitar Raka. Sudah dia bilang kan kalau dia tidak mau menghadapi Raka.
Kelihatannya Arga dan Dewa sedang asik ngobrol, tidak ada tanda-tanda Raka di sana. Chika menatap ragu, dia kan harun naik lift. Kalau menuruni tangga sampai bawah bisa-bisa pingsan ditengah-tengah perjalanan.
Chika memberanikan diri untuk menghampiri keduanya yang juga menunggu lift. Kepala menoleh ke kanan dan kiri, memastikan lagi kalau area ini aman dari Raka. Harus begitu kan, jaga-jaga saja.
"Chika?" sapa Arga.
Chika meringis kecil dan mengangkat tangannya. "Hai, kalian nunggu lift?"
Pertanyaan bodoh itu membuat Dewa dan Arga tersenyum geli. Tentu saja menunggu lift. Untuk apa mereka berdiri di sini kalau bukan menunggu. Apa mau bergosip.
"Dimana Kaka?" tanya Chika berbisik.
"Hmm kenapa? ohh kamu kan tunangannya, harusnya kamu lebih tahu," ledek Arga.
Chika mendengus kesal dan mengibaskan tangannya. "Itu cuma rumor yang Bunda Fian sebar. Kalian kan tahu aku dan Kaka cuma teman."
"Hemm yaa tapi kami curiga, jangan-jangan apa yang Tante Fian katakan benar. Raka itu kan misterius," kata Dewa miris.
Chika buru-buru menggelengkan kepala. "Bukan! aku bisa jamin seratus persen itu bohong! yah gara-gara ini aku jadi takut bertemu dia."
"Kenapa?" tanya Arga.
"Bisa-bisa aku diamuk. Kalian itu belum tahu kan cool begitu, hobinya itu membentak orang lain. Aku sering kena omel bahkan cuma karena aku bertanya," kata Chika sambil geleng-geleng kepala.
Arga dan Dewa menahan senyum mereka.
"Huhh kalau dipikir-pikir dia itu memang tampan tapi perangainya buruk. Aku jadi kasihan pada pasangannya nanti, dia harus bersikap manis sedikit, kan tidak semua perempuan tahu sikap manisnya pada Bunda dan Caramel," kata Chika lagi.
"Perangai buruk? ohh itu aku setuju," kekeh Arga.
Chika menganggukan kepala. "Iya kan? ohh aku merinding. Sebaiknya aku cepat-cepat kabur, sebelum dia menemukan aku."
"Oh kamu terlambat Chika," balas Dewa dramatis.
Chika mengerutkan keningnya. Apa yang terlambat. Selama belum bertemu dengan Raka, bisa dikatakan hari ini dia selamat. Wajahnya makin bingung karena Arga mengangkat tangannya.
"Hai Rak," sapa Arga dengan cengiran.
Chika membuka mulutnya syok, dia berbali ke belakang. Matanya melebar melihat Raka berdiri dengan tenang, bersedekap sambil bersandar pada salah satu pilar. "Ohh Kaka?"
"Sepertinya Chika yang dulu belum benar-benar hilang," gumam Raka. Kepalanya mengangguk dramatis. "Terima kasih untuk penilaianmu."
"Ah emm haha aku cuma bercanda tadi, haha yaa kamu tahu kan hari ini cukup berat. Aku butuh-" ucapannya terhenti karena Raka berjalan melewatinya. Masuk ke dalam lift dengan Dewa dan Arga.
Chika terdiam di depan. Bingung akan ikut atau tidak.
"Masuk," perintah Raka.
Seperti reflek, Chika langsung mengikuti perintah itu. Dia masuk dan mengambil tempat yang jauh dari Raka. Astaga, suasana macam apa ini. Chika terus menundukan kepala.
"Gue sama Arga langsung balik," kata Dewa. Raka cuma berdeham.
Lantai satu, Dewa dan Arga keluar. Chika langsung buru-buru ikut sayangnya tangannya ditahan Raka. "Oh ada apa Pak? s-saya harus pulang."
"Tadi ada beberapa laporan keuangan yang tidak jelas," kata Raka. "Sayang sekali, hari ini silahkan lembur dan selesaikan laporan itu."
"Hah?" tanya Chika.
"Oh karena perangaiku buruk, selesaikan dengan sempurna. Jangan buat kesalahan," balas Raka.
Chika terbelalak kaget. "Kaka? kamu dendam?"
"Tentu," balas Raka dengan santai sambil menahan senyum. Dia menekan lantai dimana ruangannya berada.
🌼🌼🌼
See you in the next chapter 😄😄😄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top