8 - Penawaran Khusus

Setiap kesalahan butuh pertanggungjawaban, dan setiap pertanggungjawaban butuh kebesaran hati.

---

Nolan bersedekap ketika Kania tiba di seberang meja di depannya. Arlan dan Tama bersitatap. Segila-gilanya cewek-cewek pada Nolan, selama ini tidak ada yang berani menghampiri meja mereka. Sudah jadi rahasia umum jika aslinya Nolan tidak semanis tampilannya di dunia maya. Ia cenderung ketus setiap kali ada cewek yang berusaha mendekatinya. Anehnya, mereka tetap aja mendewakan cowok bertubuh tegap 180 cm itu.

"Setelah gue pikir-pikir, rasanya nggak adil kalau gue harus ganti kacamata lo."

"Kenapa? Kaget, ya, setelah tahu harganya? Makanya, jangan sok!"

Kuping Kania seperti terbakar mendengar kalimat itu.

"Untung pas banget gue pakai yang paling murah. Biasanya juga gue pakai yang harganya dua kali lipat. Tadi pagi kayak ada feeling gitu. Tahu-tahu kacamatanya bakal dirusak sama lo."

Kania harus sabar. Menghadapi cowok ini memang harus ekstra hati-hati.

"Itu murni kecelakaan. Lo dan gue sama-sama nggak hati-hati."

Melihat ekspresi Kania yang tampak tidak gentar menantang tatapan Nolan, Arlan dan Tama melongo. Cewek ini seperti bukan makhluk bumi.

"Tapi bagian lo nginjak, itu murni ketidakhati-hatian lo!"

Dengan gerakan cepat Kania menyelipkan rambut ke belakang telinga. Berhadapan dengan Mr. Black membuatnya gerah.

Nolan berdiri, kemudian menarik ujung tudung hoodienya hingga nyaris menutupi matanya. "Gue punya penawaran khusus buat lo."

Kania pura-pura acuh dengan menatap ke arah lain, tapi ia menyimak dengan baik.

"Lo nggak harus ganti kacamata itu, lagian gue punya banyak di rumah. Tapi ... lo harus tetap ganti rugi."

Nah, ini. Kania seolah menemukan setitik harapan.

"Gini aja, lo bantu-bantu gue ngurusin produk-produk yang harus gue endors, kebetulan udah numpuk banget di rumah."

Kania langsung menjatuhkan tatapan tajamnya tepat di manik cokelat Nolan. "Lo nyuruh gue jadi babu lo?"

"Bahasa kerennya asisten," enteng Nolan. Senyum sinis tersungging tipis di bibirnya.

"Nggak akan!" timpal Kania serupa bentakan. "Mending gue beli sepuluh kacamata buat lo!"

"Oke. Tapi satu aja cukup, kok. Dan barangnya harus gue terima paling lambat tiga hari dari sekarang."

Kedua tangan Kania mengepal kuat-kuat. Dadanya naik turun penuh emosi. Gagal menemukan kalimat yang tepat untuk diucapkan, akhirnya ia berlalu begitu saja. Kakinya mengentak kuat-kuat, menimbulkan suara ketukan alas sepatu yang langsung jadi pusat perhatian.

***

Setelah jam istirahat, pelajaran di kelas Nolan kosong. Guru fisika mereka mendadak harus pulang setelah menerima telepon dari ART-nya. Anaknya yang masih balita tiba-tiba terserang panas dan harus dilarikan ke rumah sakit. Seorang guru piket barusan masuk untuk menyampaikan kabar itu dan membagikan buku paket baru. Katanya, mereka diminta membaca bab satu dan diwajibkan membuat minimal lima pertanyaan yang akan didiskusikan di pertemuan selanjutnya.

Lantas, kelas XII IPA 3 langsung tenang saking khusyuknya murid-murid membaca buku paket baru mereka? Tidak! Ada yang ngegosip, nge-game, live di Instagram, main truth or dare, bikin video tik-tok, dan beragam aktivitas khas jam kosong lainnya. Yang benar-benar mengerjakan tugas itu hanya segelintir. Mereka itu yang biasanya selalu nangkring di peringkat sepuluh besar.

Kali ini Nolan tidak berbuat macam-macam, tapi tugas itu tidak juga dikerjakannya. Nanti saja di rumah. Baginya gampang, kok. Lagian otaknya bakal lebih encer kalau suasananya lebih kondusif.

"Woe, ngelamun aja. Lagi datang bulan, ya?" Tama menepuk pundak Nolan, yang sedari tadi larut dalam tatapan kosong sambil memainkan pulpen di tangannya.

Nolan hanya melenguh, kemudian memperbaiki posisi duduknya yang semakin merosot. Ia juga tidak paham, kenapa sikap Kania di kantin tadi harus membuatnya kepikiran sampai sekarang. Secara teknis seharusnya Nolan jengkel, bukan malah beranggapan lucu hingga timbul keinginan untuk lebih sering berhadapan dengan cewek itu.

Arlan dan Tama sibuk dengan oleh-olehnya. Karena mereka terus mendesak, sepulang dari kantin tadi Nolan menyerahkan kunci mobilnya, membiarkan kedua sahabatnya itu mengambilnya sendiri. Kini mereka masing-masing punya satu pack jumbo Honey Butter Almond. Nolan yakin, cita rasa perpaduan antara kacang almond gurih dengan mentega Prancis dan madu akasia akan membuat mereka ketagihan. Selain praktis, oleh-oleh itu memang cocok untuk Arlan dan Tama yang doyan ngemil.

"Eh, jadi tadi pagi lo pingsan gara-gara tabrakan sama Kania?" Tanpa dijelaskan pun, dari nada percakapan Nolan dengan Kania di kantin tadi, Tama bisa menyimpulkan.

Nolan langsung membekap mulut cowok berambut ikal itu. "Pelan-pelan ngomongnya," desisnya.

"Ada yang pingsan lagi?" Arlan menyela sambil membuka kemasan Honey Butter Almond-nya.

"Ini lagi." Nolan langsung melayangkan jitakan, tapi Arlan berhasil menghindar.

"Jadi benar?" Tama kembali ke topik, ingin memperjelas. Sementara Arlan lebih memilih menikmati camilan di tangannya. Semoga almond tidak ikut berkontribusi membuat tubuhnya semakin melar.

Nolan diam saja.

"Gue anggap diam lo itu sebagai pembenaran."

Nolan membuang pandang ke sembarang arah.

"Eh, tapi, kok, aneh, ya? Masa tabrakan gitu aja langsung pingsan, sih?" Tak ingin mulutnya kembali dibekap, Tama sengaja memelankan suara sambil agak condong ke arah lawan bicaranya.

Nolan tidak menggubris.

"Jangan bilang kalau lo anti bersentuhan dengan cewek, makanya selama ini lo susah banget dimodusin."

"Bangke lo!" Nolan mendelik tajam. Padahal Tama tidak sungguh-sungguh dengan hipotesis barusan, cuma ingin memancing.

"Ya, terus apa, dong?" Rasa penasaran bercampur rasa peduli Tama sebagai sahabat telanjur tersita. Tapi Nolan memang selalu seperti itu. Ada hal-hal yang tidak ingin ia bagi. "Lo nggak mungkin pingsan tanpa sebab, kan?" lanjutnya dengan suara lebih pelan. Ia paham, sahabatnya ini tidak ingin insiden tadi pagi tersebar luas.

"Diam, atau oleh-olehnya gue ambil lagi!"

Tama langsung mendekap pack Honey Butter Almond-nya, yang tadinya diletakkan di meja. "Jangan, dong. Ini jauh-jauh diterbangkan dari negaranya Jennie Blackpink." Ia mempersembahkan cengiran perdamaian.

"Woe ... warga +62 yang pengin nyobain camilan khas Korea, segera merapat," teriak Arlan sambil membuka bungkusan keduanya.

Situasi selanjutnya bisa ditebak seperti apa. Rusuh, tapi belum sebrutal demo penolakan kenaikan BBM.

Salah satu yang Nolan suka dari kedua sahabatnya ini adalah suka berbagi. Setidaknya perilaku terpuji itu menunjukkan kalau mereka benar-benar manusia. Karena jika jailnya kumat, Nolan bisa ampun-ampunan. Sebenarnya dua pack jumbo Honey Butter Almond itu memang untuk satu kelas, tapi Nolan sengaja menyerahkan semuanya ke Arlan dan Tama, karena percaya mereka akan membaginya seperti yang sedang berlangsung.

"Gue tahu kalian belum pernah makan ginian, tapi tetap budayakan antre, dong!" protes Arlan melihat kerumunan di depannya. Ia mendekap pack Honey Butter Almond-nya, tidak akan dibagikan sebelum tertib.

"Yang mau ngerjain tugas fisika gue, dapet dua," teriak Tama.

Nolan hanya menggeleng geli. Kemudian ia kembali terdiam, menancapkan tatapan kosongnya ke satu arah. Tahu-tahu senyum simpulnya terbit, hanya karena kembali terbayang wajah galak Kania. Cewek itu benar-benar unik.

Proses berbagi camilan sudah selesai. Sekarang suasana kelas XII IPA 3 jauh lebih tenang.

"Wah, gokil parah!" Tiba-tiba Arlan ngegas. Ia menarik lengan Tama agar bertukar tempat duduk. Ia ingin bersebelahan langsung dengan Nolan. "Lihat, deh." Ia menunjukkan layar ponselnya.

Mau tidak mau Nolan melihat tampilan video yang sedang terputar. Di video itu Arlan sedang akustikan tanpa nyanyian. Tentu saja, suaranya tidak akan cocok untuk jenis lagu apa pun. Bahkan lagu Balonku sekalipun.

"Ini apa istimewanya ditunjukin ke gue? Kan, gue udah sering lihat lo akustikan. Bahkan live."

"Lihat view-nya deh."

Nolan mengalihkan fokus ke bagian bawah video. "100 ribu apa bagusnya?" Nolan mengernyit, kemudian mengenyahkan ponsel itu dari hadapannya.

"Astaga, Olan." Arlan jadi geregetan sendiri. "Ini video pertama gue yang nembus 100 ribu view," papar cowok berlemak itu berapi-api, seolah hal itu benar-benar pencapaian luar biasa untuknya. "Sebelumnya paling cuma seribu, dua ribu. Pokoknya angkanya kek harga gorengan gitu."

"Bisa nyampe segitu palingan juga karena ada gue."

Arlan dan Tama juga punya channel YouTube masing-masing, tapi belum sesukses Nolan. Lagian mereka memang tidak serius merawatnya. Kontennya juga masih acak-acakan. Tapi traffic-nya lumayan naik berkat beberapa video yang menampilkan Nolan. Salah satunya video yang saat ini bikin Arlan heboh. Video itu diambil di rumah Arlan. Saat ia sedang fokus akustikan, Nolan yang sedang asyik nge-game di belakangnya ikutan terekam. Jadi sama sekali tanpa perencanaan.

"Padahal sepanjang video lo cuma nunduk, ya, tapi tetap aja mampu menarik perhatian," ucap Arlan sambil masih menekuri deretan komentar yang memang 99% memuji Nolan. Dibilang cute-lah, gemesin-lah, dan lah lah lainnya. Hanya satu dua yang mengomentari permainan akustik si pemilik video. Itu pun mungkin khilaf.

"Gue gantengnya sampai ke ujung rambut, sih. Jadi, ya, gitu." Nolan berkata begitu sambil menarik ujung kerah seragamnya dengan dagu agak terangkat, gesture khas kalau sedang memuji diri sendiri.

"Iya, iya. Tuh, gantengnya sampai tumpah ke mana-mana." Arlan menunjuk lantai asal-asalan. "Puas?" imbuhnya dengan mata mendelik, membuat pipi tembamnya terlihat lebih mengembang.

"Gimana rasanya menemukan fakta bahwa tamu lebih menarik daripada tuan rumah?" Nolan nyatanya belum puas. Tawanya tertahan.

Arlan hanya bisa meringis. Itu memang fakta yang tidak terelakkan.

"Tenang, gue nggak akan minta bayaran, kok. Anggap aja kegantengan gue sedekah buat channel lo." Kali ini tawa Nolan benar-benar lepas.

Arlan hanya geleng-geleng. Untung yang banyak bacot ini memang benar-benar ganteng. Kalau tidak, sudah ia ulek kepalanya dari tadi.

"Eh, kapan-kapan lo tampil lagi, ya, di video gue. Tapi lebih diniatin. Lo nyanyi, kek. Say hai, kek. Atau minimal senyum ke kamera. Ingat, sedekah itu nggak boleh tanggung-tanggung."

"Wah, kalau dikonsepin gitu namanya bukan sedekah, dong. Lagian gue nggak bisa senyum ke kamera kalau argonya nggak dinyalain."

"Jujur, ya, kadang gue masih bingung. Punya sahabat kayak lo anugerah atau musibah, ya?"

"Kalau gue 50:50." Tama menyela. Meski tampak sibuk dengan camilannya, ternyata dari tadi ia menyimak.

Sekali lagi tawa Nolan pecah. Kalau ia sendiri, Arlan dan Tama adalah anugerah. Hanya bersama mereka ia bisa tertawa selepas ini. Hanya bersama mereka ia bebas jadi selebgram yang sok ramah atau cowok tertutup yang ketus.

***

[Bersambung]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top