5 - Apakah Dia Marah?
Gelombang takdir memang tidak menentu. Kita yang berada di dalamnya harus selalu siap.
---
Sepasang mata itu, meski sedang tertutup rapat, entah kenapa Kania betah memandangnya lama-lama. Meski enggan, kali ini Kania harus menepikan ego, mengakui salah satu faktor kuat Mr. Black diidolakan banyak orang. Karena cowok ini memang berkarisma. Kania jongkok untuk memastikan keadaannya.
"Oi, bangun." Kania mencolek lengannya. "Lo pura-pura, kan?" Kali ini Kania memberanikan diri menepuk pipinya. Mr. Black tetap tidak bergerak.
Beneran mati, ya? Kania mulai cemas. Ia melintangkan jari telunjuk di depan hidung Mr. Black, yang lebih mancung dari hidungnya. Astaga, sempat-sempatnya Kania iri dengan hidung itu. Kania lega saat embusan napas pelan dan hangat menyentuh telunjuknya. Untunglah, Mr. Black cuma pingsan.
Kania memindai keadaan sekitar, tidak ada siapa-siapa yang bisa dimintai tolong. Kania tahu, Mr. Black harus segera dibawa ke UKS, tapi ia tidak mungkin menggendong tubuh sejangkung itu. Diseret pun tidak akan berhasil. Akhirnya Kania memutuskan untuk melaporkan masalah ini ke Pak Eko.
Tak!
Baru selangkah, Kania merasakan kakinya menginjak sesuatu dan menimbulkan bunyi yang mengindikasikan kerusakan. Pemilik bibir tipis itu memindahkan pijakannya, lalu memastikan benda apa itu. Kania meringis mendapati benda pusaka Mr. Black yang tak lagi semulus sebelumnya. Pemiliknya pasti akan murka, pikir Kania sambil memungut kacamata itu dan mengantonginya. Urusan kacamata belakangan. Memindahkan Mr. Black dari koridor ini jauh lebih penting.
Setibanya di pos satpam, tanpa penjelasan apa-apa, Kania langsung menarik tangan Pak Eko yang tadinya sedang mengaduk kopi.
"Ada maling?" tentu saja Pak Eko keheranan, tapi ia tidak keberatan diajak lari. Meski setelah shalat Subuh tadi ia sudah menghabiskan 30 menit untuk jogging keliling kompleks.
"Ini lebih gawat dari maling, Pak. Mr. Black pingsan."
"Mr. Black? Siapa?" Pak Eko mengernyit. Ia tetap berusaha mengimbangi ayunan kaki Kania. Anak itu belum melepas tangannya.
"Nanti juga Bapak tahu," papar Kania susah payah. Ia mulai ngos-ngosan. Padahal di ramalan bintangnya hari ini tidak ada acara lari.
***
"Untung ada Bapak." Kania bernapas lega. "Tadi saya bingung banget harus ngapain." Kania dan Pak Eko beriringan keluar dari UKS. Mr. Black sudah ditangani seorang perawat di dalam sana.
"Gimana ceritanya dia tiba-tiba pingsan?"
Kania hanya mengendikkan bahu. Ia tidak harus menceritakan kejadian sebenarnya, kan?
"Ya sudah, Bapak kembali ke pos, ya."
"Baik, Pak. Saya juga harus kembali ke kelas. Sekali lagi makasih, Pak." Kania tidak melupakan kain taplak yang didekapnya. Tentu saja ia harus mengembalikannya sebelum ke kelas.
Pak Eko menyunggingkan sebaris senyum kemudian mengambil arah berlawanan.
Kania berlari-lari kecil menuju ruang penyimpanan. Sebenarnya ada kecamuk dalam kepalanya. Kenapa Mr. Black tiba-tiba pingsan? Ia tidak mungkin mengalami gangguan pernapasan hanya karena tubuhnya ditindih cewek mungil beberapa saat, kan? Bagaimana reaksi cowok itu saat siuman nanti? Akan mencari tahu cewek yang tabrakan dengannya atau memilih melupakannya saja? Oh ya, jangan lupakan soal kacamatanya yang retak di bawah kaki Kania. Meski Kania sudah menitipkan benda itu ke perawat tadi, firasatnya berkata, hidupnya tidak akan baik-baik saja setelah ini.
***
Bu Yusi sepertinya sedang semangat-semangatnya mengajar di hari pertama ini, sampai-sampai tidak sadar Kania keluar cukup lama untuk ukuran sekadar mengembalikan kain taplak. Kania merasa cukup beruntung langsung diperbolehkan duduk tanpa interogasi khusus.
Baru saja duduk, Kania merasakan tepukan di pundaknya. Ia langsung menoleh ke belakang, menatap si pelaku dengan mimik bertanya, kenapa?
"Kok, lama banget? Belok ke kantin, ya?" tuduh Melda dengan nada setengah berbisik. Ekspresi jailnya terpampang nyata.
Sungguh tidak penting untuk ditanggapi! Kania mengembalikan fokusnya ke depan, berusaha menyimak penjelasan Bu Yusi tentang perbedaan fakta dan opini. Tapi otaknya sedang tidak bisa diajak konsentrasi. Kejadian beberapa saat lalu masih menyita ruang cukup banyak. Entah kenapa ia harus bersinggungan dengan Mr. Black sepagi ini, dengan momen yang bikin jantungan pula.
Bersinggungan? Momen yang tak biasa? Tunggu .... Punggung Kania seketika menegak setelah menyadari sesuatu. Diam-diam ia mengeluarkan ponselnya, langsung membuka situs horoskop langganannya. Setelah memastikan tindakannya tidak mengundang curiga Bu Yusi, ia mulai membaca ulang ramalan bintangnya hari ini. Kania menggeleng samar. Mr. Black bukan cowok yang dimaksud ramalannya, kan?
Dua puluh menit berlalu. Kania berkubang gelisah. Saat ini mungkin Mr. Black sudah siuman dan mulai bertanya-tanya siapa cewek yang tabrakan dengannya. Lebih parah dari itu, ia sudah menyadari kacamatanya rusak. Kania membayangkan Mr. Black sedang murka. Ia jadi khawatir cowok itu tiba-tiba datang ke kelas ini mencarinya. Tipe murid kayak Mr. Black tidak perlu berpikir dua kali untuk melakukannya.
Tapi tenang, selama Pak Eko tutup mulut, Mr. Black tidak akan tahu dengan siapa ia tabrakan. Detik selanjutnya Kania terkesiap, matanya setengah melotot. Ia lupa meminta Pak Eko untuk tidak bilang ke siapa-siapa.
Duh, gimana, nih? Kegelisahan Kania makin membengkak. Tanpa sadar jemarinya bergerak-gerak tak beraturan, menimbulkan suara ketukan pelan di permukaan meja. Tak ingin buang-buang waktu, Kania segera mengacungkan tangan, lagi-lagi menginterupsi materi yang disampaikan Bu Yusi.
"Ada apa, Kania?" Guru berlipstik merah cabe itu mengernyit tidak suka.
"Saya izin ke toilet, Bu," pinta Kania ragu. Pasalnya, di awal pelajaran tadi ia sudah izin keluar. Sementara ia tahu, Bu Yusi paling tidak senang jika penjelasannya dipotong-potong.
"Jangan lama-lama!"
"Baik, Bu." Kania segera bangkit dari duduknya begitu mendapati kesempatan itu.
Kania berjalan tergesa-gesa. Tujuannya jelas bukan toilet, tapi pos satpam. Semoga belum terlambat, gumamnya sambil mempercepat ayunan kakinya.
Pak Eko berdiri di luar pos menyambut Kania. Tadinya ia ingin berpatroli, tapi urung karena melihat Kania mendatanginya dengan ekspresi tidak terbaca untuk kedua kalinya.
"Ada yang pingsan lagi?" tanya satpam berbadan kekar itu dengan serius.
"Bukan, Pak, tapi anu ...." Sejenak Kania bingung sendiri bagaimana harus menyampaikan maksudnya. Lebih tepatnya meminta kerjasama.
"Kalau Mr. Black nanya ke Bapak siapa yang nemuin dia pingsan, jangan bilang saya, ya, Pak."
"Mr. Black itu Nolan, kan?" Pak Eko merasa perlu memastikan.
Kania mengangguk cepat.
"Yah, telat. Barusan orangnya ke sini."
"Ha?" Kania memekik. "Terus, Bapak bilang ke dia kalau saya yang laporin dia pingsan?"
Pak Eko mengangguk mantap. "Emangnya belum ketemu, ya? Tadi kayaknya dia langsung nyariin kamu, deh. Mau bilang makasih, mungkin."
Kania tepuk jidat. Berarti cowok tadi beneran dia? Di depan perpustakaan tadi, Kania berpapasan dengan cowok yang mirip Mr. Black. Tapi jalan sambil menunduk seolah sedang menyembunyikan wajahnya bukan Mr. Black banget. Jadi Kania pikir bukan dia. Lagian Kania masa bodo, buru-buru ingin ketemu Pak Eko.
Kania meringis sambil berbalik meninggalkan Pak Eko yang tampak kebingungan. Ia menggigit bibir bawahnya dalam upaya berpikir keras. Entah apa yang harus dikatakannya jika ketemu cowok berkulit putih bersih itu. Semoga ia tidak bertanya atau meminta yang macam-macam.
Kania masih saja terus berpikir, hingga tidak terasa ia sudah tiba di depan kelas. Harusnya ia langsung masuk, tapi tubuhnya mendadak kaku begitu menerima tatapan itu.
"Mr. Black?" lirih Kania, yang bahkan nyaris tidak sampai ke telinganya sendiri.
Sepasang manik cokelat itu ... entah kenapa Kania seolah ingin menyelaminya. Nggak! Tersadar, Kania menggeleng samar kemudian menunduk. Mr. Black pasti datang dengan amarah.
***
[Bersambung]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top