4 - Ternyata Dia
Masing-masing orang punya kelemahan. Ingin diratapi atau diubah jadi kekuatan, kamu yang menentukan.
---
Nolan membuka mata perlahan-lahan, kepalanya agak berdentang. Mendapati ruangan serba putih, ia langsung tahu sedang berada di mana. Hanya saja, ia tidak mengerti kenapa harus berada di ruangan beraroma obat-obatan itu sepagi ini. Seharusnya ia di lapangan mengikuti pelajaran olahraga, bukan malah terbaring di sini. Pemandangan yang ditangkap mata Nolan selanjutnya adalah wajah kedua sahabatnya, Arlan dan Tama.
"Lo nggak jadi mati, kan?" tanya Arlan dengan nada khawatir yang dibuat-buat.
Merasa lelucon itu kurang pas, Tama menyentil telinga Arlan. Si pemilik telinga hanya mengaduh tanpa suara.
Nolan tidak berselera menanggapi omongan Arlan. Tapi tiba-tiba ia bangun dalam gerakan cepat ketika menyadari sesuatu, ia tidak mengenakan kacamata. Cowok beralis tebal itu gelagapan mencarinya. Meraba di sekitar bantal, merogoh saku seragamnya, menoleh ke atas nakas, tapi tidak ada.
"Nih." Tama menyodorkan benda yang dicari.
Tapi kelegaan Nolan beralih jadi geram saat akan mengenakan kacamata itu dan mendapati sebelah lensanya retak. "Sial!" umpatnya sambil mengembuskan napas kesal.
"Emang nggak bisa banget ya sehari aja lo nggak pakai kacamata?" tanya Tama ragu-ragu. Sebagai sahabat, ini bukan kali pertama ia mengajukan pertanyaan itu, tapi Nolan tidak pernah memberikan jawaban yang sesungguhnya.
"Gue kenapa di sini?" Nolan malah balik bertanya, sempurna mengabaikan pertanyaan Tama.
"Lo pingsan."
Mata Nolan seketika membola. Ia lantas teringat insiden kecil sebelum pingsan. Cowok terpopuler di Galaxy pingsan setelah tabrakan dengan cewek? Ini sungguh memalukan! Bagaimana jika cewek itu menyebarkan gosip yang tidak-tidak? Bagaimana jika netizen salah mengambil kesimpulan dan menganggapnya cowok lemah? Nolan menggeleng cepat, berusaha menepis kemungkinan-kemungkinan buruk yang bercokol di benaknya. Ia harus menemukan cewek itu, memastikannya tidak akan menceritakan insiden itu ke siapa pun.
"Siapa yang bawa gue ke sini?" tanya Nolan buru-buru.
"Pak Eko." Yang dimaksud Tama adalah satpam sekolah.
"Ada lagi?" Rasanya memang tidak mungkin cewek itu yang menggendongnya ke sini, tapi Nolan berharap minimal kedua sahabatnya ini sempat ketemu atau paling tidak melihat sepintas seseorang yang membersamai Pak Eko.
Tama menggeleng.
"Masa nggak ada cewek yang bawa kain warna ...." Nolan tercekat. Ia menelan ludah yang terasa mengandung duri. Tiba-tiba saja bulu kuduknya meremang hanya karena teringat kain itu.
"Cewek? Bawa kain? Siapa, sih, maksud lo?" Kali ini Arlan yang menanggapi, dengan tampang sempurna memetakan kebingungan.
Jadi dia ninggalin gue gitu aja? Sialan!
"Jangan-jangan ... lo pingsan karena ketemu penunggu sekolah ini ya?" imbuh Tama sambil bergidik ngeri.
"Ih ...." Arlan ikut-ikutan bergidik sambil merengkuh pundaknya.
Nolan memutar bola mata malas. "Ngaco lo pada!"
Arlan dan Tama malah lanjut mengungkit mitos-mitos di sekolah itu. Nolan tidak menggubrisnya. Ia terpaku menatap kacamata di tangannya, yang tidak bisa lagi dipakai gara-gara cewek itu.
"Lo masih mau di sini atau gabung ke lapangan?" Tama berucap sambil menepuk pelan pundak Nolan.
Nolan melirik jam tangannya. Pelajaran olahraga masih lama, tapi ia tidak mungkin ke lapangan dalam kondisi cuaca secerah ini tanpa kacamata. "Kalian duluan aja. Tolong bilangin ke Pak Wira, gue masih butuh istirahat."
"Sip, Bro." Arlan mengacungkan kedua jempolnya. "Yang penting ntar jangan lupa oleh-oleh dari Korea-nya, ya," imbuhnya sambil menaik-turunkan kedua alisnya.
Nolan hanya mengangguk lemah sambil tersenyum geli.
Sepeninggal kedua sahabatnya, Nolan langsung menelepon Bi Arum, ART di rumahnya. Ia meminta perempuan paruh baya itu masuk ke kamarnya untuk mengambil kacamata. Di rumah, Nolan memang punya puluhan koleksi kacamata branded. Kebanyakan ia dapatkan cuma-cuma dari brand yang pernah memakai jasanya.
Beberapa saat kemudian Bi Arum menelepon balik, hanya menyampaikan bahwa pintu kamar Nolan terkunci. Dalam hati Nolan mengumpati dirinya sendiri. Tentu saja pintu kamarnya selalu terkunci. Saking gelisahnya ia jadi lupa.
Nolan belum menyerah. Ia memutar otak, bagaimana caranya mendapatkan kacamata hitam secepatnya. Seingatnya di sekitar sekolah tidak ada toko kacamata. Beli online juga tidak mungkin, kan? Percuma! Nolan mengacak frustrasi rambutnya. Sekarang ia mondar-mandir sambil terus berpikir. Isi kepalanya semakin kacau saat teringat cewek itu lagi. Mungkin ia sudah cerita ke satu orang, lalu satu orang ini akan cerita ke satu kelas, dan dalam waktu singkat satu sekolah akan tahu.
Capek mondar-mandir, Nolan duduk di tepi ranjang. Ia memijit keningnya, merasakan kepalanya kembali berdentang. Nolan hanya tidak ingin dianggap lemah, tapi kejadian tidak terduga di pertigaan koridor tadi sungguh berpotensi menimbulkan berbagai spekulasi negatif.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba punggung Nolan menegak, matanya setengah melotot saat tahu ke mana ia harus mencari tahu cewek itu.
***
Nolan berjalan lurus sambil menunduk dalam. Hanya sesekali ia mengangkat pandangannya untuk melihat jalan di depannya. Setibanya di ujung koridor, Nolan berhenti sejenak. Ia menarik napas dan menyakinkan diri. Nggak akan terjadi apa-apa, bisiknya dalam hati, kemudian kembali menarik napas yang agak panjang kali ini. Ia butuh oksigen lebih untuk meredam sesuatu yang bergemuruh di dadanya. Sebelum mulai melangkah, Nolan mengangkat sedikit pandangannya, memindai sekilas pos satpam di depan sana yang merupakan tujuannya. Jaraknya mungkin sekitar 30 meter, karena harus melintasi pelataran beton yang di kedua sisinya berjejer pot-pot besar berisi aneka tanaman hias.
Ini nggak akan sulit, cukup terus menunduk sampai tiba di sana. Nolan meyakinkan diri sekali lagi. Setelahnya, ia mulai melangkah panjang-panjang sambil memayungi wajahnya dengan telapak tangan. Jika ada yang melihat, mungkin akan mengira Nolan takut terpapar sinar matahari karena tidak ingin kulit wajahnya kusam. Tapi sungguh, bukan karena itu.
Nolan tiba di pos satpam dengan napas terengah. Ia langsung menyelonong hingga mengagetkan Pak Eko, yang tadinya khusyuk baca koran. Sambil melipat korannya, Pak Eko mengernyit menatap Nolan. Wajar, Nolan tanpa kacamata hitam memang terlihat asing. Hal ini diperparah dengan tingkah lakunya yang keseringan menunduk, sangat timpang dengan Nolan berkacamata yang selalu pede jadi pusat perhatian.
"Kamu Nolan, kan?" tanya Pak Eko akhirnya. Tatapannya masih sangsi.
"Iya, Pak." Nolan sengaja mengangkat wajahnya, membiarkan Pak Eko mengenalinya.
"Wah, kamu makin ganteng tanpa kacamata."
"Ah, Bapak bisa aja." Nolan terkekeh pelan.
"Udah sehat lagi?" Tentu saja Pak Eko masih ingat, sekitar 30 menit yang lalu ia menggendong anak ini ke UKS.
Nolan mengangguk ringan. "Makasih udah ditolongin, Pak."
"Itu memang tugas Bapak, kok." Pak Eko tersenyum lebar. "Tadi kenapa sampai pingsan? Belum sarapan? Bapak punya roti kalau kamu mau."
"Nggak usah, Pak. Makasih." Nolan memutuskan untuk langsung ke tujuannya, sebelum Pak Eko membuka topik baru yang berpotensi melebar ke mana-mana. "Mmm ...." Ia tampak berpikir sejenak. "Bapak tahu dari mana saya pingsan di koridor?"
"Oh, itu, dikasih tahu sama Kania. Katanya dia lihat kamu terbaring di koridor dan nggak ada siapa-siapa yang bisa dimintai tolong."
Jadi namanya Kania? Tapi .... "Kania yang mana, ya, Pak? Bapak tahu, nggak, dia kelas berapa?"
"Wah, kalau kelasnya Bapak kurang tahu." Pak Eko tampak berpikir sejenak. "Tapi itu loh, yang jago melukis, yang tahun kemarin mewakili sekolah kita dan menang di tingkat nasional." Pak Eko heboh sendiri, seolah baru saja berhasil memberikan informasi yang sangat penting untuk kelangsungan hidup seluruh umat.
"Dia rupanya," gumam Nolan sambil mengangguk samar. Sekarang ia tahu di mana bisa menemukan cewek itu. Nolan langsung pamit.
***
Meski populer dan dengan mudah bisa menemukan teman, nyatanya Nolan bukan tipe orang yang gampang bergaul. Ia seolah sengaja memberi batasan, dengan alasan tidak mudah menemukan kecocokan dengan orang baru. Nolan juga bukan tipe orang yang gampang terpancing oleh gosip-gosip yang beredar di sekolah. Jadi sekali pun orang itu penuh sensasi, potensi Nolan tidak mengenalnya masih besar. Di kelasnya saja, ia hanya dekat dengan Arlan dan Tama. Bukan berarti sama yang lain musuhan, tapi hanya kepada dua orang itu ia merasa nyaman berbagi apa pun.
Namun, untuk seorang Kania Adena yang pernah mengharumkan nama baik Galaxy, Nolan cukup tahu. Meski sebatas tahu ia ketua klub lukis dan jurusan IPA. Seingat Nolan, meski di kelas XI kemarin kelasnya dengan kelas Kania hanya diantarai lab Kimia, mereka tidak pernah berinteraksi. Selain Nolan memang cuek, cewek itu berbeda dari kebanyakan. Kalau berpapasan dengan Nolan, ia biasa saja, tidak salting atau tiba-tiba sibuk memperbaiki tatanan rambut seperti cewek-cewek lainnya. Tahu-tahu Nolan jadi penasaran. Apa benar cewek itu tidak mengidolakannya?
Setibanya di depan kelas XII IPA 1, Nolan langsung mengetuk pintu sambil mengucap salam dengan sopan.
Penjelasan Bu Yusi tentang perbedaan fakta dan opini, terjeda. Guru bahasa Indonesia itu menoleh ke arah pintu. Ia mengernyit. Bukannya tidak mengenali Nolan, tapi ... ke mana kacamatanya?
"Nolan?"
Nolan melangkah masuk. Bisa dipastikan bagaimana suasana kelas saat itu.
"Aaaa ...." Cewek-cewek histeris. Seolah tidak peduli dengan Bu Yusi lagi, tanpa ragu mereka mengeluarkan ponsel, berlomba-lomba mengabadikan wajah tampan Nolan tanpa dihalang-halangi benda hitam yang selalu bertengger di hidungnya selama ini.
"Diam!" Bu Yusi memukul papan tulis sebagai peringatan. Sesaat kemudian suasana kelas kembali kondusif, meski pekikan tertahan masih terdengar samar-samar.
"Ada apa? Jam pelajaran, kok, malah keluyuran?" Bu Yusi kembali fokus ke Nolan yang gerak-geriknya tampak aneh pagi ini.
"Maaf, Bu, saya ada perlu sebentar dengan Kania."
Melda yang diam-diam masih sibuk mengambil foto Nolan, melongo mendengar nama sahabatnya terlontar dari mulut sang idola. Sejak kapan mereka punya urusan? Pikirnya dengan mulut setengah terbuka.
Bu Yusi menoleh sekilas ke arah meja Kania. "Kania lagi keluar, tadi izin ke toilet," terang Bu Yusi dengan gesture yang seolah menyuruh Nolan untuk segera pergi.
Nolan memutuskan untuk menunggu di luar. Tapi saat ia berbalik hendak keluar, Kania datang. Langkah cewek itu tercekat begitu tatapan mereka terpaut.
***
[Bersambung]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top