Bagian 8 ~ Curhatan Raya ~

Sudah dua minggu berlalu, hubungan Raya dan Faren sedikit merenggang sejak pertemuannya dengan Luna. Hal inilah yang membuat Raya pernah ingin membuang perasaannya terhadap Faren. Ia sadar, mau bagaimana pun perasaan Faren tetaplah untuk Luna. Dua minggu ini pula Raya yang memutuskan untuk menjaga jarak dengan pria itu, menyibukkan diri dengan pekerjaannya.

“Kamu baik-baik aja, Ray?” tanya Aditya yang tiba-tiba membawakannya sekaleng minuman soda yang dingin.

“Makasih.”

“Hei, aku tanya, kamu baik-baik aja?”

Raya tersenyum kecut, “Aku baik, kok. Memangnya ada apa?”

“Akhir-akhir ini kamu sedikit aneh. Kemarin saat pria itu datang mencari, tumben gak mau ketemu dan malah bersembunyi. Kalian lagi ada masalah, ya?”

Raya hanya mengembuskan napas, senyumnya begitu datar.

“Aku gak ada maksud buat ikut campur, kok.” Aditya jadi canggung sendiri.

“Gak masalah, memang lagi ada ‘problem’ aja. Sedikit,” ucap Raya santai.

Aditya sudah mengetahui hubungan Raya dan Faren seperti apa, itu pun berkat dirinya yang secara halus mencari informasi secara langsung dari Raya.

“Kamu suka, ya, sama Faren?” tanya Aditya tiba-tiba, membuat Raya terkejut. Namun, wanita itu tak bisa mengelak, karena apa yang dikatakan Aditya itu benar adanya.

“Kalau memang suka, kenapa harus jaga jarak? Kejar, dong sampai semua perasaan itu jelas. Urusan terbalas apa enggak, itu bisa nanti, yang penting perasaan kita sudah terjawab,” lanjut Aditya panjang lebar.

Mereka hanya saling menatap, Aditya merasa sedikit lancang mencampuri urusan Raya dengan Faren. Meski mereka juga akrab, tetapi Aditya pun juga menjaga batasannya terhadap Raya. Namun, untuk saat ini, entah mengapa ia merasa terganggu dengan sikap Raya yang tak biasanya. Wanita yang penuh ambisius dalam segala hal, tetapi saat ini seakan semangatnya menghilang.

“Jalan kamu masih panjang, Ray. Hidup kamu, keputusan kamu. Begitu pun dengan perasaanmu,” ucap Aditya lagi.

Embusan napas berat terdengar dari mulut Raya, wanita itu menyandarkan punggungnya pada kursi.

“Aku pun juga bingung, Dit, sama perasaan aku.” Akhirnya Raya membuka suara. “Aku dan Faren memang sejak SMP sudah bersama. Banyak kenangan yang kulalui bersamanya. Dia teman dan sahabat yang bisa nerima aku apa adanya. Bahkan dia orang yang bisa perlahan membuatku terbuka kembali sama lingkungan sekitar. Aku seperti punya kakak yang selalu menjaga dan memperhatikanku. Saat ibuku sedang tidak ada di rumah, aku seperti sangat dan sangat membutuhkannya. Keluarganya juga baik, sampai kami akhirnya berpisah selama empat tahun pun, hubungan kami juga baik-baik saja seperti biasa,” oceh Raya panjang lebar.

“Tapi ... memang ada satu hal yang harus aku pastikan,” sambungnya lagi. Aditya dengan sabar menunggu dan mendengarkan semua cerita Raya. Setidaknya ia bisa jadi pendengar yang baik.

“Sejak kenal dengan wanita itu, aku melihat sosok lain dari Faren. Entah kenapa rasanya sakit lihat dia juga perhatian ke orang lain yang bahkan baru dikenal. Tapi, aku juga berpikir, apa mungkin perasaanku terlalu egois. Bisa saja, kan, Faren memang baik ke semua orang dengan caranya.”

“Kamu cemburu?” tanya Aditya sambil tersenyum.

“Cemburu? Enggak, ya. Cuma gak suka aja sikap Faren seperti itu,” tegas Raya.

“Itu namanya cemburu, Ray. Ya, wajar, sih. Karna kalian memang sudah sedekat itu. Tapi, gak ada salahnya juga, kalau kamu siap, lebih baik kamu mastiin lagi perasaanmu ke Faren sekarang gimana.”

Lagi-lagi Raya hanya bisa mengembuskan napas gusarnya. Inilah yang tak disukainya, perasaan yang tak menentu yang membuat persahabatan mereka dipertaruhkan. Tidak ada yang salah, tetapi kalau sudah seperti ini jalannya hanya ada langkah, memastikan kembali dan menerima kenyataan, atau memilih diam dan perlahan membuangnya dengan perasaan tak karuan.

Aditya menatap Raya dengan senyuman, meski tak dipungkiri hatinya juga ingin melakukan hal yang sama, yaitu memastikan perasaannya kembali terhadap Raya. Walau sudah tahu apa jawabannya, setidaknya ia sudah mengungkapkan, bukan?

“Ray, andai saja. Kalau Faren gak sejalan dengan perasaanmu, apa kamu mau membuka hati untuk yang lain?” tanya Aditya memberanikan diri.

“Entah, sih. Tapi sebenarnya itu yang ingin kulakukan. Move on dari perasaanku untuk Faren dengan membuka hati untuk yang lain.”

Tanpa Rata tahu, Aditya tersenyum di balik kalimat itu, yang berarti masih ada secercah harapan untuk bisa meluluhkan hati Raya. Tak apa jika awalnya hanya dijadikan pelampiasan untuk melupakan sosok Faren dalam hatinya. Dengan penuh keyakinan, Aditya berpikir jika dirinya bahkan lebih bisa membuat Raya bahagia.

Pria itu memaklumi perasaan Raya untuk Faren saat ini, jika itu terbalas, maka hatinya juga harus siap menerima kenyataan. Ya, namanya hidup pasti akan mengalir terus, bukan? Gagal itu biasa, selama ia masih bisa melihat Raya tersenyum.

Jam istirahat mereka sudah habis, Aditya pun kembali ke dapur restoran untuk bekerja. Ada kelegaan bagi Raya membagi sedikit apa yang ia rasakan saat ini pada Aditya. Bagi wanita itu, sosok Aditya memang sedikit berbeda dengan Faren.

“Andai aku bisa suka sama kamu ya, Dit. Pasti rasanya gak sesakit aku menyukai Faren bertahun-tahun. Maaf, dan terima kasih, Dit,” ucap Raya pelan saat Aditya mengilang dari pintu ruangannya.

Senyuman tipis dari bibir Raya terukir, wanita itu kini benar-benar dilema. Namun, beberapa masukan dari Aditya tak ada salahnya, mungkin nanti akan ia coba ketika hatinya sudah benar-benar siap.







Thank for reading!
(Story by: Riqha Mey)

Balikpapan, 13 April 2023
(Follow my IG: @_riqhamey02)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top