Bagian 7 ~ Terjebak Hati ~

Di tengah keramaian kafe, wanita berambut panjang duduk dengan tenang sambil menikmati secangkir kopi hangat khas kafe tersebut. Menantikan seseorang yang sedari tadi ia tunggu-tunggu. Senyum sendu dan hangat begitu terpancar. Akan ada banyak pembahasan yang bersarang di kepalanya, begitu sangat ingin ia luapkan nanti. Mengingat keduanya kini sudah kembali bertemu.

Tak lama kemudian, tatapannya menangkap sosok pria yang baru saja masuk ke kafe, dengan semangat ia melambaikan tangan agar pria tersebut melihatnya. Setelah kedua tatapan mereka bertemu, pria itu lantas menghampiri.

“Sudah lama, ya, nunggunya?” tanya pria itu dengan lembut.

“Enggak, kok, barusan juga sampai. Kamu mau minum kopi?”

“Boleh, deh.”

Wanita itu tak lain adalah Luna, dan pria yang ia temui sekarang adalah Faren, teman masa SMA-nya dulu. Tanpa siapa pun mengetahui, jika keduanya bahkan saling menyukai, hanya saja tak pernah diungkapkan satu sama lain. Entah apa alasannya, sebuah perasaan itu tertunda.

“Kamu makin cantik aja sekarang,” puji Faren tanpa sungkan.

“Kamu masih sama aja, ya. Tukang gombal. Sudah berapa banyak mantan yang kamu punya sekarang?” Luna terkekeh sendiri.

“Jangankan mantan, pacar aja gak punya.”

“Oh, jadi masih setia sama Raya, nih?” goda Luna.

Faren sedikit terkejut, ternyata Luna sampai saat ini masih menganggap jika dirinya dan Raya mempunyai hubungan spesial.

“Kamu masih mikir begitu? Aku sama Raya cuma sahabatan, Lun.”

Luna tertawa kecil, “Yakin Cuma sahabatan? Gadis itu bahkan selalu menempel denganmu.”

Faren hanya bisa menggaruk bagian kepalanya yang tak gatal. Ia tak bisa berkilah, karena memang benar, dirinya dan Raya selalu terlihat bersama. Bahkan, kalau dipikir-pikir kembali, kedekatan mereka yang membuat Faren susah mendapatkan pacar. Raya cukup galak jika ada gadis yang mendekati Faren, membuat semua gadis itu takut dan tak berani mendekati Faren.

Keduanya saling bertukar kabar setelah beberapa tahun tak bertemu. Banyak obrolan yang dibahas, termasuk mengingat masa-masa SMA mereka. Senyum dan tawa dari keduanya terlihat begitu akrab, tak ada kecanggungan satu sama lain.

Faren tak bisa membohongi isi hatinya, bahkan sampai saat ini perasaan itu untuk Luna masih ada. Rasanya sayang jika sekarang dilewatkan begitu saja, Luna memang sedari dulu terkenal di kalangan angkatan mereka. Gadis cantik, dengan tubuh ramping dan semampainya, seta senyuman manis yang mampu menghipnotis siapa saja.

“Kamu udah punya pacar?” tanya Faren tiba-tiba.

Luna hampir tersedak mendengarnya, ia tak menyangka jika Faren akan bertanya demikian.

“Ah, aku? Emh, belum, sih. Aku malah gak mikir ke sana,” jawab Luna seadanya.

Faren jadi canggung, ia juga merasa bersalah sudah menanyakan hal tersebut. Meski perasaannya tak bisa berbohong, jujur saja dirinya belum siap untuk mengungkapkan hal tersebut. Tak lain ia takut kecewa karena ditolak. Karena satu hal yang Faren tak lupa, meski Luna dulunya begitu terkenal, banyak teman-temannya yang merasakan patah hati berjamaah, lantaran Luna selalu menolak ajakan pacaran dari siapa pun.

“Kamu sama Raya gimana sekarang? Pasti saling kangen ya udah lama gak ketemu,” tanya Luna tiba-tiba.

Faren hanya bisa tertawa kecil, “Ya begitulah,” jawabnya singkat.

Faren merasa situasinya dengan Luna terasa canggung, demi mengubah suasana, Faren pun membahas hal lain. Obrolan keduanya kembali mengalir, dengan isi hati dan pikiran masing-masing.

Sedang asyiknya menghabiskan waktu berdua, ponsel Faren berdering tanda sebuah pesan masuk. Ia langsung membuka dan membaca pesan tersebut, seketika kedua sudut bibirnya terangkat. Hal itu membuat Luna jadi bertanya-tanya, tetapi saat ini ia lebih memilih diam tak mau ikut campur.

“Ah, ada-ada aja, sih, nih orang,” ucap Faren tiba-tiba. Namun, tak ada ekspresi kesal dari wajah pria itu.

“Ada apa?”

“Oh, ini si Raya. Katanya dia lagi demam dan sendirian di rumah. Ibunya lagi pergi ke luar kota.” Faren menjelaskan.

“Raya sakit?”

“Sepertinya. Kayaknya obrolan kita sampai sini dulu, ya. Aku hatus liqt Raya sekarang, kasian dia.”

Luna hanya mengangguk, tetapi rasa penasarannya tak tertahan.

“Boleh ikut gak?”

Faren tampak bingung, tetapi ia menyetujuinya. Akhirnya mereka berdua sepakat menemui Raya yang sedang sakit.

Sesampainya di rumah Raya, Luna tampak ragu. Namun, ia tetap melangkah masuk mengikuti Faren. Tanpa sungkan, Faren pun langsung menuju kamar Raya yang ada di lantai dua.

“Ray ...,” panggil Faren ketika membuka pintu kamar Raya.

Terlihat sosok yang tengah meringkuk lemas sambil memeluk guling. Perlahan Raya membuka mata dan mengulas senyum kecil. Ia tahu jika Faren pasti akan datang menemuinya. Faren pun mendekati tempat tidur Raya, begitu juga dengan Luna yang mengekor di belakang.

“Kok, bisa sampai seperti ini, sih, Ray?” Tangan besar Faren mengelus kening Raya yang terasa panas.

“Jangan banyak tanya, aku cuma mau kamu di sini temenin aku.”

Pria itu tersenyum, ia menyelimuti Raya dengan lembut. Perlakuan Faren membuatnya sedikit lebih nyaman. Pemandangan itu pun juga tak lepas dari Luna yang tanpa Raya sadari kehadirannya.

“Hai, Ray. Cepat sehat, ya.”

Suara Luna mengalihkan isi kepala Raya, menatap Luna yang tengah berdiri tak jauh dari tempat tidurnya.

“Kamu? Ngapain kamu di sini?” Raya tampak terkejut, ia pun bergantian menatap Faren meminta penjelasan.

“Tadi, aku lagi ketemuan sama Luna di kafe. Makanya dia sekalian ikut ke sini pas tau kamu lagi sakit sendirian di rumah,” jelas Faren.

Raya tak ingin ambil pusing, ia tak mau peduli apa pun tentang Luna. Bagi Raya, selama Faren masih peduli padanya itu sudah cukup. Sedikit lega karena Faren memilih datang di tengah pertemuannya dengan Luna.

“Kalau gitu, aku langsung pamit aja, ya. Lain kali kita ngumpul bareng lagi kalau Raya udah sembuh,” ucap Luna yang ingin pamit. Jujur saja ia canggung berada di antara keduanya. Belum lagi tatapan tak suka dari Raya begitu kentara.

“Aku antar, ya,” ucap Faren yang segera ingin berdiri. Namun dengan cepat ditolak halus oleh Luna.

“Gak usah, Ren. Kamu jagain Raya aja. Aku udah pesen taksi onlen buat jemput.”

Faren mengembuskan napas pasrah, ia ingin sekali mengantar Luna pulang, tetapi saat ini Raya juga butuh dirinya. Pria itu merasa sedang terjebak dengan isi hati dan pikirannya sendiri.

“Kamu di sini aja, ya, Ren. Dia, kan, bisa pulang sendiri,” ucap Raya memelas.

“Yaudah, aku antar Luna sampai depan aja, ya. Kamu tunggu di sini, sekalian aku buatin makanan untuk kamu.” Raya mengangguk pasrah. Diam-diam ia menatap sinis ke arah Luna.

Setelah mengantar Luna, Faren menuju dapur rumah Raya. Ia memeriksa kulkas dan lemari penyimpanan. Cukup lengkap, dan itu memudahkan Faren untuk membuat satu menu makanan yang bisa Raya konsumsi.

Setelah masakannya selesai, Faren membawa sebuah nampan ke kamar Raya. Terlihat Raya kini tengah bersandar pada dinding tempat tidur sambil menatap ke luar jendela.

“Makan, ya, Ray.”

Raya hanya diam dan menoleh sekilas, lalu kembali lagi menatap ke luar jendela. Hal itu membuat Faren mengembuskan napas beratnya.

“Kamu masih gak suka sama Luna?” tanya Faren tiba-tiba.

Raya menatap Faren dengan raut wajah tak suka, tetapi tak ada sahutan apa pun dari bibirnya.

“Begitu-begitu, kan, dia teman seangkatan kita juga, Ray.”

Raya masih bergeming. Faren meletakkan nampan itu di atas nakas, lalu ia duduk di tepi tempat tidur.

“Dan kamu masih suka, kan, sama dia?” tanya Raya tiba-tiba. “Kamu masih gak percaya, ya, sama apa yang aku pernah bilang ke kamu. Luna itu gak sebaik yang kamu pikirkan, Faren,” lanjutnya lagi.

“Kamu apa-apaan, sih, Ray!” Faren tak suka mendengar ucapan Raya. Hal itu membuat Raya sangat terkejut, bahkan sampai kedua alisnya mengerut mendengar suara Faren.

“Loh, apa? Kok jadi marah-marah, sih!” balas Raya tak suka.

Faren mengembuskan napas gusarnya, ia harus mengontrol emosinya sekarang, mengingat keadaan Raya yang kurang sehat. Ada rasa bersalah pada diri sendiri, tetapi ia tak suka, ternyata Raya masih menyimpan pikiran seperti itu terhadap Luna.

Dada Raya terasa sesak, genggaman tangannya begitu kuat hingga berkeringat. Sebuah memori masa lalu yang kembali muncul dalam pikiran. Raya tak menyangka, saat bertemu Luna kembali hal itu justru semakin membuat hatinya sesak tak karuan.

“Kamu pulang aja, Ren. Aku pengin sendiri sekarang. Makasih makanannya,” ucap Raya tanpa menatap Faren.

“Tapi, Ray ....”

Sikap Raya semakin kentara jika ia ingin sekali Faren pergi. Tak bisa berbuat apa-apa, Faren pun pasrah dan perlahan meninggalkan Raya di kamar. Saat ini perasaan keduanya tak menentu, mereka terjebak dengan perasaan masing-masing akibat memori masa lalu itu.

•••

“Masa lalu memang tak mudah untuk dilupakan. Oleh sebab itu, di masa depan aku hanya ingin kamu melihatku saja. Tanpa harus melihat yang lain, atau bahkan kembali melihat ke masa lalu.” – Raya Radisty.

•••






Thank for reading!
(Story by: Riqha Mey)

Balikpapan, 12 April 2023
(Follow my IG: @_riqhamey02)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top