Bagian 6 ~ Luna? ~
Suasana toko buku yang tenang, kini Raya tengah menemani Faren. Pria itu ingin mencari buku kesukaannya. Raya yang tak paham soal buku hanya bisa melihat-lihat, berbeda dengan Faren yang sangat antusias.
“Sudah ketemu, Ren, bukunya?”
“Belum, Ray, aku coba cari ke sana dulu, ya.”
Raya mengangguk, ia cukup lelah mengikuti Faren berkeliling di toko buku tersebut dan memilih menunggu di kursi pengunjung yang disediakan.
Faren tak menyerah, ia berharap masih ada sedikit harapan untuk mendapatkan buku tersebut. Saat sedang telitinya menatap susunan rak tersebut, konsentrasinya terganggu pada sosok wanita semampai yang tengah berjinjit kesusahan mengambil sesuatu. Bahan saat wanita itu berdecap kesal pun, refleks membuat kedua sudut bibir Faren terangkat. Ia pun mendekati wanita tersebut.
“Yang ini, ya? Nih!”
Faren mengambilkan buku tersebut dan ingin memberikannya. Namun, saat melihat sampul buku yang ia ambil, Faren terkejut karena buku itu yang ia cari.
“Wah, akhirnya ketemu!” Faren bersorak gembira.
“Kamu juga lagi nyari buku itu, ya?” tanya wanita di sampingnya, membuat Faren terkejut.
“Eh, iya. Kamu juga nyari buku ini, ya? Loh, Luna, kan?” Faren makin terkejut ketika benar-benar melihat sosok wanita tersebut.
“Faren? Hei, apa kabar?” balas wanita yang dipanggil Luna itu dengan ramah.
Namanya Luna Andriyani, teman Faren dan Raya saat masih duduk di bangku SMA. Ketiganya memang tak sekelas, tetapi Faren memang cukup populer di sekolahnya.
“Aku baik, Nih, bukunya.” Faren memberikan buku tersebut.
“Buat kamu aja, deh. Kayaknya kamu nyari-nyari banget sama buku itu.”
“Buat kamu aja, deh. Kan, kamu duluan yang mau ambil buku ini,” tolak Faren.
“Uah, gakpapa, buku ini terbatas tau, dan baru akan keluar lagi bulan depan cetakannya.”
Faren berpikir sejenak, ia memang sangat menyukai buku ini. Namun, harga dirinya sebagai seorang pria sedikit merasa terancam jika tidak mau mengalah dengan seorang wanita.
“Enggak usah, deh. Buat kamu aja.” Faren masih berusaha.
Luna tertawa kecil. “Atau gini aja. Kamu beli aja buku itu, nanti aku pinjem, deh, setelah kamu udah selesai baca. Gimana?” ia memberikan penawaran. Wanita itu tahu jika Faren pasti merasa tak nyaman.
Faren pun berpikir sejenak, kali saja ini bisa menjadi alasan untuk mereka bertemu lagi. Akhirnya ia mengangguk setuju dan mengambil kesempatan untuk bertukar nomor pada Luna. Kedua tampak begitu akrab.
Faren akui, Luna memang cantik sedari dulu. Tak ada yang berubah, rambut lurus panjangnya yang masih dipertahankan, pipi chabi-nya yang menggemaskan, serta kulitnya yang putih dan terlihat mulus.
“Kalau gitu, aku duluan. Sampai ketemu lagi, Ren.”
Keduanya pun berpisah arah. Pria itu tampak semringah, kebahagiaan menyentil hatinya yang kini tengah berdebar. Tak disangka ia bisa bertemu dengan Luna kembali, wanita yang sempat menjadi incarannya saat di SMA dulu. Faren pun kembali menemui Raya yang sedang duduk menunggu.
“Yuk, Ray. Udah dapat, nih!”
Akhirnya Raya bisa bernapas lega. Mereka pun keluar dari toko setelah membayar buku tersebut.
“Tadi aku ketemu Luna, loh,” ucap Faren dengan semangat.
Langkah Raya sempat terhenti. “Luna? Luna teman SMA kita?”
Faren mengangguk, “Dia makin cantik ternyata.”
Tiba-tiba Raya merasa hatinya tidak tenang, seperti ada yang mengusik dan membuat perasaannya berubah. Namun, ia mencoba mengalihkannya.
“Jadi sempat ngobrol, dong, tadi? Pantesan lama banget.” Hanya kalimat itu yang bisa Raya ucapkan.
Faren pun menceritakan pertemuannya dengan Luna, dengan wajah penuh senyum. Itu sangat terlihat jelas oleh Raya. Namun, semakin Faren menceritakannya demikian, saat itu juga hati Raya semakin terusik. Belum lagi fakta keduanya bahkan sempat bertukar nomor ponsel.
Empat tahun berlalu, bahkan Faren masih bisa memuji Luna dengan cara yang sama. Tak dipungkiri jika keduanya pasti masih bisa bertemu kembali.
Di perjalanan pulang pun, tak ada habisnya Faren menceritakan tentang Luna dan masa-masa SMA mereka. Membuat Raya risi, tetapi oa tak bisa berkomentar apa pun. Bibirnya terasa kelu untuk berucap atau bahkan membalas obrolan, Raya memilih diam, menjadi pendengar yang baik, meski sebenarnya ia tak ingin.
Setelah sampai di depan rumah pun, Raya memilih masuk ke rumahnya dengan cepat. Perubahan sikap Raya itu sedikiti membingungkan Faren.
“Kok, langsung pulang?”
“Aku lupa kalau ada hal yang harus dikerjakan. Barusan juga Aditya nge-chat, kalau di resto ada trubble. Jadi aku mau ke resto buat ngecek.”
“Tapi, Ray ....”
Raya mengabaikan ucapan Faren. Pria itu pun hanya berdecap kesal, tetapi mau bagaimana lagi, ia tak bisa menahan Raya. Terlebih wanita itu terlihat begitu buru-buru. Sedangkan, Faren sendiri juga mempunyai urusan setelah ini dengan ayahnya.
Raya masuk ke rumah dan langsung menuju kamar. Ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan hatinya yang saat ini merasa gelisah. Rumit, Raya sangat ingin membuang apa yang ada di hatinya, tetapi justru semakin sakit jika perasaan itu di buang.
“Mereka ketemu lagi itu bukan hal yang mustahil, kan.”
Rasa lelah menghantui, Raya membaringkan asal tubuhnya pada tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang mendominasi warna putih. Tiba-tiba matanya terasa panas, tanpa aba-aba cairan bening mengalir dari kedua sudutnya. Raya membiarkan itu terjadi, berharap setelah ini hatinya bisa tenang kembali.
•••
“Antara persahabatan dan cinta, keduanya memiliki makna yang berbeda, tetapi dengan rasa yang sama.” – Raya Radisty.
•••
Thank for reading!
(Story by: Riqha Mey)
Balikpapan, 8 April 2023
(Follow my IG: @_riqhamey02)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top