Bagian 3 ~ Raya dan Faren ~

Hari Minggu, memang menjadi hari paling bahagia bagi Raya. Libur dari pekerjaannya yang terkadang melelahkan dan menyenangkan jadi satu. Membuat wanita bermata bulat itu bisa bangun sedikit siang. Meski ia sudah menjadwalkan apa saja yang akan ia lakukan di rumah. Terlebih sang ibu belum pulang dari rumah bibi karena suatu urusan.

Jam sudah menunjukkan angka delapan pagi. Ya, bagi Raya itu sudah sedikit kesiangan. Akan tetapi tak apa, selama kegiatannya sudah terjadwal selama di hari libur, mulai dari bersih-bersih, mencuci, merapikan laporan yang tersisa, bahkan jadwal janji dengan Aditya untuk pergi menonton pun sudah diatur. Karena bagi wanita itu, membuat jadwal kegiatan seperti ini membantunya untuk lebih teratur dalam mengatur waktu.

Raya kembali memeriksa ponselnya, sudah dua hari ia tak mendapat kabar lagi dari Faren. Raya ingat kalau dalam minggu ini Faren akan pulang, tetapi ia tak tahu pasti di hari apa. Tak biasanya Faren seperti ini, pria itu tak pernah absen memberi kabar. Hal itu membuat Raya khawatir, ditambah nomor ponsel Faren sulit dihubungi. Perbedaan waktu memang sangat menyulitkan.

“Hah! Di sana bukannya masih malam, ya? Tapi gak biasanya nih anak begini. Faren, kamu ngapain, sih?” ucap Raya sedikit kesal.

Usaha Raya menghubungi Faren berujung pasrah, dengan rasa kesalnya, Raya bahkan berjanji jika pria itu kembali menghubungi, ia akan pura-pura tidak peduli atau bahkan juga pura-pura menghilang. Kekanak-kanakan memang, tapi itulah Raya jika berhubungan dengan Faren.

“Lebih baik aku melanjutkan kegiatan hari ini. Masih banyak yang harus kukerjakan.”

Raya pun bangkit dari tempat tidur, ia mulai beraktivitas seperti biasa. Sampai tak terasa jam sudah menunjukkan angka dua belas. Waktunya untuk makan siang, setelah itu ia akan pergi menonton dengan Aditya.

Ponsel Ray kembali berdering tanda sebuah panggilan masuk, terdapat nomor tak dikenal pada layar. Membuat wanita itu mengerutkan alis, bertanya-tanya siapa yang menghubunginya kali ini. Setelah menghela napas, ia pun menggeser tombol hijau pada layar. Belum sempat menyapa, suara tak asing membuatnya makin bertanya-tanya.

“Ray, coba deh, kamu buka jendela kamar.”

Raya masih menduga-duga. Namun, ia tetap mengikuti perkataan tersebut, dengan cepat ia naik ke lantai atas menuju kamar dan langsung membuka jendela kamar dengan cepat.

“Faren!”

Raya sangat terkejut bukan main, ia melihat sosok Faren berada di seberang jendela, sedang berdiri juga di depan jendela kamarnya sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Ya, kamar Faren dan Raya memiliki jendela yang berhadapan.

“Kapan kau pulang, hah!”

Rasa kesal dan senang jadi satu di hati Raya. Kesal karena tak memberi kabar apa pun, senang karena rasanya seperti mimpi melihat Faren berdiri sambil tersenyum di depan jendela.

“Baru saja aku sampai, memangnya gak denger tadi ada suara mobil?”

“Ih, mana denger, lagi di dapur.” Raya sedikit merajuk.

Faren juga merindukan sosok wanita itu, ia yakin Raya bertingkah kekanak-kanakan hanya di depannya. Wajah cemberut Raya sangat lucu membuatnya gemas.

“Ya udah, gimana kalau kita langsung jalan-jalan? Aku pengin ke danau.”

“Kan kamu baru sampai, aku ke rumah aja, ya. Minta oleh-oleh.”

Faren tertawa, membuat hati Raya berdebar. Setelah empat tahun, akhirnya ia bisa melihat langsung wajah yang dirindukannya.

Sambungan telepon pun dimatikan. Raya bergegas keluar kamar, langkahnya semakin cepat saat menuruni tangga. Bahkan ia sampai tak memedulikan penampilannya sekarang. Hanya mengenakan kaos kebesaran dan celana pendek, serta sendal yang sedikit kebesaran. Beberapa langkah saja, kini ia sudah berada di rumah Faren.

“Sini, Ray. Faren bawakan cokelat terenak di dunia,” ucap ibunya Faren dengan senang.

Seperti anak sendiri, bahkan ibunya Faren langsung menyuapi Raya.

“Padahal yang anak kandung aku, tapi kenapa berasa seperti anak tiri, baru pulang, loh, aku ini,” celetuk Faren yang pura-pura merajuk. Semua tertawa melihat tingkah Faren.

“Udah makan cokelatnya, nanti kamu gendut. Mending temanin aku ke danau, yuk.” Faren menarik lembut tangan Raya.

“Ih, aku, kan masih mau makan cokelat ini sama Tante.”

Faren menatap ibunya seperti memberi kode yang langsung dipahami. Ibunya Faren pun langsung membujuk Raya.

“Mending kamu temenin dia dulu, deh. Daripada entar ngambek lagi. Nanti Tante simpankan cokelatnya untuk kamu.”

“Tapi, Tan ....”

Belum sempat mengelak, ibunya Faren sudah memaksanya berdiri dan mengikuti Faren. Raya hanya bisa pasrah, sedangkan sang ibu terlihat begitu senang, melihat kedua anaknya kembali bersama.

“Kita ngapain, sih, ke danau?”

“Udah ikut aja, ada yang mau aku kasih ke kamu.”

“Kan bisa di rumah aja ngasihnya.”

“Gak bisa, ini spesial, dan harus dikasih di tempat yang spesial juga.”

“Sok misterius, ih.”

“Biarin.”

“Entar kalau aku ge-er, gimana? Aku sudah halu, loh.”

“Halu aja, gakpapa. Toh, itu tentang aku juga, kan?”

“Ih, kok jadi kamu yang ke pe-de-an.”

Faren hanya tertawa kecil. Mereka menuju danau menaiki sepeda, dengan Faren yang mengendarai, dan Raya yang berdiri di belakang sepeda.

“Pegangan yang bener, Ray. Nanti kamu jatuh.”

Kalau saat masih SMP dulu, Raya tak akan sungkan langsung memeluk Faren. Namun sekarang rasanya sedikit berbeda, Raya tampak ragu hanya sekedar memegang pundak kokoh milik Faren.

“Raya ....”

Raya refleks langsung memegang pundak Faren. Pria itu tersenyum dan langsung mengayuh pedal. Perasaan rindu, senang, bahagia, terlihat di wajah keduanya, bahkan senyuman pun tak pernah luntur. Sepanjang jalan menuju danau, Raya yang berdiri berpegangan di belakang, mengagumi perubahan tubuh Faren yang menurutnya begitu kokoh. Seakan bahu itu menjadi tempat ternyaman untuk bersandar.

Tiba-tiba Faren yang tak sengaja menabrak sebuah batu kecil, membuat Raya terkejut dan refleks memeluk Faren. Pria itu hanya tersenyum manis. Lain halnya dengan Raya yang kini pipinya merona karena terkejut. Belum lagi detak jantungnya yang tiba-tiba berdebar.

Ah, aku malu! Faren denger gak, ya detak jantungku? batin Raya yang tengah gugup.

Akhirnya mereka pun sampai di sebuah danau buatan yang tak jauh dari perumahan kompleks. Danau ini memang dibuat khusus untuk para penghuni kompleks menikmati keindahan saat berjalan-jalan. Karena tak hanya danau, di sini juga terdapat taman luas yang biasa di penuhi penghuni kompleks untuk beraktivitas seperti lari pagi atau jalan-jalan sore.

“Masih, sama ya, seperti empat tahun lalu,” ucap Faren yang memandang luas ke arah danau.

“Cuma empat tahun, apa yang mau berubah,” celetuk Raya.

Faren tertawa, wanita itu memang selalu bisa membuatnya tertawa dengan hal kecil.

“Kamu inget, gak? Aku pernah kecebur di danau ini,” ucap Faren lagi.

“Dan konyolnya, danau ini, tuh gak dalem, tapi kamu seakan tenggelam gak bisa diselamatkan!”

Kali ini Faren tertawa kencang. Hal itu memang konyol kalau diingat-ingat.

“Tapi kamu tetap nyelamatin aku, kan?”

“Gimana gak nyelamatin, udah keburu panik, dan gak tau kalau danaunya dangkal!”

Faren benar-benar tak bisa menahan tawanya. Ditambah melihat ekspresi wajah kesal Raya ketika mengingat hal konyol tersebut.

Embusan napas terdengar mengakhiri tawa riuh tersebut, seketika menjadi hening dan terasa serius. Faren menatap luas le arah danau, mata hitam pekatnya seakan mengarungi setiap sudut tempat di danau ini.

“Udah punya pacar belum?” tanya Faren tiba-tiba.

“Belum, kenapa? Kamu mau jadi pacar aku?”

Jawaban spontan itu membuat Faren tertawa kecil. Raya tidak pernah berubah sama sekali.

“Gak, ah, males. Pacaran sama kamu ribet,” celetuk Faren.

Raya berdecap kesal, padahal jantungnya nyaris melompat keluar. Raya lupa akan status mereka selama ini. Tak dipungkiri celetukan Faren membuat hatinya sedikit teriris.

“Ray, lihat deh di sebrang danau itu.”

Faren mengganti topik pembicaraan mereka. Raya pun refleks menatap ke arah yang ditunjuk Faren. Wanita itu tampak begitu serius.

“Emangnya ada apa, sih?”

“Ray ....”

Raya menoleh, dan saat itu juga sebuah kotak kecil berada tepat di depan wajahnya. Terpaku sejenak, matanya bergantian menatap Faren dan kotak kecil tersebut.

“Selamat ulang tahun, ya, Ray,” ucap Faren sambil membuka dan memperlihatkan isi kotak kecil tersebut. Sebuah kalung dengan liontin kecil yang manis.

“Ulang tahun aku, kan, udah lewat.” Sambil menampakkan senyuman malu-malu.

“Gakpapa, toh Cuma udah lewat beberapa hari.”

Faren langsung memakaikan kalung itu pada Raya. “Cantik,” ucapnya kemudian sambil tersenyum manis. Sontak kalimat itu membuat Raya semakin tersipu malu.

“Sok romantis!” celetuk Raya mengalihkan apa yang ia rasakan.

Keduanya tersenyum manis, menikmati perasaan masing-masing. Danau yang tenang menjadi saksi pertemuan mereka setelah empat tahun terpisah jarak dan waktu. Tempat di mana keduanya pernah menghabiskan waktu bersama saat masih duduk di bangku sekolah.


•••

“Aku berharap momen bersama orang tersayang akan terus di genggaman. Garis senyum dan tatapan hangat yang begitu dirindukan. Apakah waktu bisa terhenti sampai di sini? Biar aku tetap bisa menikmati kerinduan ini bersamanya.” – Raya Radisty.

•••




Thank for reading!
(Story by: Riqha Mey)

Balikpapan, 6 April 2023
(Follow my IG: @_riqhamey02)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top