Bagian 2 ~ Hati Raya ~
Pagi seperti biasa, Raya menjalani aktivitas di tempat kerja yang cukup padat. Rumah makan tradisional yang cukup terkenal di kota. Jika menjelang akhir pekan akan padat oleh pesanan masal dan juga pengunjung yang meningkat. Sudah lebih dari empat tahun Raya bekerja di sini setelah lulus sekolah. Meniti karier dari yang awalnya pelayan, hingga bisa menjadi manajer karena kegigihan dan kedisiplinannya.
Empat tahun lebih, mungkin termasuk waktu yang singkat untuk meniti karier dalam dunia kerja. Namun, itulah Raya, ia dipercaya atas tanggung jawab tersebut. Bagi wanita berambut sebahu itu, apa pun pekerjaannya, selama dijalani dengan ikhlas dan tekun, pasti akan ada hasil yang baik.
“Oh, ya, Bu. Ini ada pesan dari salah satu pelanggan, katanya pesanan dia untuk dibagi-bagikan. Jadi dia minta tolong kalau pembagiannya dari pihak kita langsung. Untuk biaya tambahannya juga sudah di transfer,” ucap salah satu staf kasir pada Raya.
Terkadang ada saja pelanggan yang pesan untuk dijadikan sedekah. Untuk hal ini Raya benar-benar bersyukur dan ikut senang.
“Oke, kalau gitu nanti biar saya yang antar langsung. Semoga rezeki ibu itu melimpah ruah,” ucap Raya yang diamini beberapa staf yang mendengarnya.
“Ayok, semua semangat, ya. Jika bulan ini target kita tercapai kalian semua pasti akan dapat bonus.” Raya kembali menyemangati semua stafnya.
Semua tampak sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Dengan jumlah karyawan yang terbilang tak cukup banyak itu, mau tidak mau mereka memang harus bekerja lebih ekstra lagi. Oleh sebab itu Raya terkadang ikut membantu mereka sambil memantau keadaan.
“Ray, minggu kamu ada acara, gak?” Tiba-tiba Aditya bertanya pada Raya yang sibuk mengemasi pesanan.
“Enggak, sih. Paling tidur di rumah karena hari libur,” Raya menjawab sambil tertawa kecil, tapi tangannya tetap bekerja mengemasi pesanan.
“Gimana kalau kita nonton? Ada film bagus.”
Wanita bermata cokelat itu mengerutkan alisnya. Sedikit bingung dengan ajakan Aditya. Pria berbadan tegap itu sudah sering kali mengajaknya jalan bersama saat di luar pekerjaan, tapi Raya selalu menolak dengan halus.
“Oke, aku sudah tau jawabannya.” Aditya menunjukkan wajah cemberutnya.
Raya tersenyum kecil, entah pikiran apa kali ini rasanya ia ingin menerima ajakan pria tersebut.
“Oke, kali ini kita nonton bareng,” jawab Raya dengan santai.
Aditya menahan rasa senangnya, membalas dengan senyuman khas yang membuat wajah tampannya bertambah. Kalau saja ini bukan di dapur restoran yang di penuhi karyawan, ia bisa saja sampai melompat kegirangan. Bahkan, kharismanya sebagai kepala koki bisa hilang seketika.
“Tapi, kalau aku gak ada acara lain, ya.”
Ucapan Raya seketika membuat wajah Aditya berubah suram.
“Kebiasaan, deh, kata-katanya. Ibarat dikasih madu manis dan racun bersamaan, ya gini.”
Raya tertawa kecil mendengar penuturan Aditya. Ya, ia cukup senang juga menjaili pria tersebut. Namun, wanita berkulit putih tersebut tak sadar jika karyawan lain memperhatikannya yang tertawa manis seperti itu hanya ketika bersama Aditya.
Di tempat lain, tepatnya di belahan benua yang jauh di sana. Perbedaan waktu yang membuat seorang pria berambut hitam pekat sedang sibuk dengan ponselnya. Bingung dengan pikirannya sendiri, apakah ia harus memberitahu jika besok jadwal penerbangannya dan meminta dijemput, atau ia akan datang tiba-tiba memberi kejutan?
Faren memang sudah memberitahu Raya jika akan pulang. Namun, hari dan jam penerbangannya belum tahu pasti. Semua disesuaikan dengan jadwal Faren di kota itu, jika semua sudah beres, barulah ia bisa memesan tiket pastinya untuk pulang.
Pria dengan rahang tegasnya itu tersenyum, saat layar ponselnya kembali ke layar utama. Sebuah foto gadis cantik dengan rambut hitam panjang dan poni yang menutupi kening. Sungguh manis, dengan bola mata besar yang berbinar dan pipi tembamnya yang menggemaskan. Lalu, pandangannya beralih pada sebuah kotak kecil dengan pita manis berwarna merah jambu. Ia mendapatkan jawaban untuk kegundahannya sesaat.
Faren mengembuskan napasnya dengan lembut. “Ah, aku sudah gak sabar pengin pulang.” Sambil menatap jauh keluar jendela kaca yang begitu besar. Pemandangan yang dihiasi gedung-gedung tinggi dan bersejarah. Mata hitamnya seakan ikut tersenyum mengiri perasaan sang pemilik tubuh.
**
“Ray, mau pulang bareng gak?” tawar Aditya saat bertemu Raya tepat di depan gedung restoran.
“Enggak, deh, aku pulang naik ojol aja. Udah pesen soalnya.”
“Udah, batalin aja. Mending aku anter, lebih aman.”
“Tapi driver-nya sudah otw, Dit.” Sambil memperlihatkan aplikasi ojek online pada Aditya.
Pria bermata cokelat itu hanya bisa mengembuskan napas berat. Kali ini ia gagal lagi dan kalah cepat dengan si abang ojol. Jika ia memaksakan diri, itu sama saja akan membuat Raya tidak nyaman, yang ada dirinya akan semakin susah untuk mendekati Raya. Akhirnya pria itu memilih pasrah.
“Ya sudah, kalau gitu aku ikut anterin kamu dari belakang aja. Biar bisa pastiin kamu aman sampai rumah.” Keputusan Aditya sudah bulat.
Kali ini Raya yang mengembuskan napas, bukan pertama kali Aditya bersikap seperti ini.
“Terserah kamu aja, lah.” Raya pasrah dan tidak peduli.
Bagi wanita itu, sikap Aditya memang sedikit berlebihan, kadang rasa takut pun juga sering muncul. Namun, Raya percaya jika Aditya adalah laki-laki baik. Hanya saja, hatinyalah yang belum bisa terbuka untuk pria tersebut. Selama tidak melewati batas, Raya rasa tidak apa-apa.
Mereka pun pulang bersamaan, saat ojek yang Raya pesan sudah tiba. Sepanjang jalan, terbesit sebuah pikiran dalam otak Raya mengenai pria seperti Aditya yang sedang membuntutinya di belakang. Mengingat perasaannya dengan Faren selama ini, apakah dengan kehadiran Aditya dalam hidupnya bisa membantu menghilangkan perasaannya terhadap Faren yang belum pasti?
Ah, aku gak boleh mikir gitu. Itu sama aja aku jadikan dia pelarian perasaanku dari Faren, ucap Raya dalam hati sambil menggeleng.
Sekilas ia melihat ke arah Aditya yang dibalas dengan senyuman manis yang memikat.
Ini terlalu gila! Tambahnya lagi.
Dengan segera Raya membuang pikiran itu dengan cepat, biarkan apa yang ia rasakan saat ini mengalir sesuai arus, jika sudah sampai tempatnya, maka arus itu akan berhenti, bukan? Mungkin suatu saat nanti ia bisa melakukannya.
Ah, aku jadi rindu Faren. Kenapa sampai sekarang belum ada kabar lagi?
Tak terasa sampailah Raya di depan rumah, tetapi suara sapaan tiba-tiba mengejutkannya.
“Sudah pulang, Ray?” tanya wanita paruh baya yang baru saja membuka gerbang rumahnya tepat di sebelah rumah Raya.
“Eh, Tante. Sudah, Tan,” jawab Raya seadanya dengan sopan.
“Oh, ya. Tante baru ingat, ibu kamu katanya ada urusan di tempat bibimu, jadi dia nitip kamu buat tinggal di sini aja bareng kami sementara.”
“Gak usah repot-repot, Tan. Aku kan udah besar, jadi bisa, lah, sendirian di rumah,” tolak Raya dengan halus.
Wanita paruh baya itu adalah ibunya Faren. Sudah seperti ibu sendiri bagi Raya. Beliau sangat lembut dan penyayang. Raya ingat, dulu bahkan ibunya Faren lebih sering mengutamakan Raya, membuat Faren cemburu dengan tingkah yang menggemaskannya.
“Ha, Tante jadi kangen sama kamu yang masih sering ketakutan kalau sendirian di rumah.”
Raya tertawa kecil, “Itu karena ulah Faren, Tan. Sekarang, kan, Raya udah paham.” Ibunya Faren ikut tertawa, mengingat tingkah mereka saat masih bocah dulu.
Raya pun masuk ke rumah setelah mengakhiri obrolan singkat itu. Namun, ia teringat dengan Aditya yang tadi mengikutinya sampai rumah. “Ke mana perginya anak itu? Apa dia sudah kembali?” gumamnya.
Sebuah pesan masuk dari ponsel Raya. Isinya membuat Raya lega karena pesan itu dari Aditya yang mengabari jika dirinya juga sudah berada di rumah setelah melihat Raya sampai dengan selamat. Semoga Aditya tidak melakukan hal yang lebih dari ini, itulah harapan Raya.
•••
“Jika hati itu untuk kita, pasti akan ada jalan yang baik. Atau bahkan jika bukan untuk kita, pasti juga ada jalan yang terbaik.” – Raya Radisty.
•••
Thank for reading!
(Story by: Riqha Mey)
Balikpapan, 5 April 2023
(Follow my IG: @_riqhamey02)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top