Tujuh

Rin sibuk menyiapkan koper kecilnya. Ia berencana hunting ke makassar. Bersama Amara tentunya.

" Nona Rin? Ada yang menunggu di luar." ujar Bibi Nin yang merawat Rin sejak kecil.

Rin menoleh. Ia mengerutkan keningnya. Biasanya Amara langsung menerobos ke kamarnya. Lagipula bukankah semalam Amara bilang untuk ketemuan saja di bandara?

" Suruh langsung ke kamarku saja, Bibi. Lagipula dia biasa keluar masuk kamarku sesuka hati." jawab Rin.

Bibi Nin mengernyit heran.

" Nona?"

" Tidak apa-apa, Bibi Nin."

Bibi Nin mengangguk lalu bergegas menuruni anak tangga. Tak berapa lama seseorang bersandar santai di pintu. Dan Rin tak menyadari itu.

" Hmm... Apa kau selalu memasukkan tamumu tak peduli pria atau wanita ke kamarmu?"

Rin yang sedang telungkup tiduran di kasurnya, terlonjak kaget.

" Sein!!!!!!" pekik Rin kaget.

Rin melotot, bersimpuh di kasurnya. Sein menyeringai lebar tetap berada pada posisinya.

" Apa aku boleh masuk?"

" Noway!!"

" Kenapa? Bahkan kau sudah masuk ke kamarku." ujar Sein santai.

" Tetap saja tidak boleh kau memasuki kamar seorang perempuan."

" Aku dulu sering tidur di kamar Paris."

" Seiiinnn!!! Stop it!" geram Rin.

Sein tertawa kecil. Ia malah menggoda Rin untuk lebih kesal lagi, dengan mendekati Rin.

" Seinn!!"

" Bukankah kau sekarang pacarku?"

Rin tersentak. Ia menatap Sein tajam. Aku melupakan satu momment!!

Rin menyembunyikan senyumnya dengan telapak tangan. Pekan kemarin adalah tepat satu bulan Rin mengenal pria itu. Dan ia menerima uluran tangan Sein untuk menyambut cintanya. Rin berdiri di atas kasurnya dan menghambur memeluk Sein sambil tertawa.

" Tetap saja tidak boleh!!" ucap Rin di sela tawanya.

Sein memeluk erat pinggang Rin. Wajah itu kini tepat di depan wajah Sein. Dekat sekali hingga tercium harum nafas gadis itu. Sein menatap intens manik mata indah itu. Bibirnya menggodanya untuk melumatnya habis.

" I wanna you, Baby." desah Sein menggesekkan hidungnya pada hidung Rin.

" Ya. Kau bisa menginginkanku kapan saja setelah berjanji di hadapan Tuhan." celoteh Rin seraya menjauhkan wajahnya dari wajah Sein.

" Ahh!!"

Rin tertawa melepas pelukan Sein dan meninggalkan kecupan sekilas di ujung bibir pria itu.

" Sein, bukankah kau harus berangkat ke Jerman?"

" Nanti malam. Aku ingin mengantarmu ke Bandara. Kau jadi trip ke Makassar kan?"

" Hm. Lihat saja koper kecilku sudah siap."

" Jam berapa kau akan flight?"

" Jam tiga sore."

Sein melirik jam di tangannya. Saat ini pukul 12.00.

" Berangkat sekarang?"

" Aku bisa naik taxi, Sein."

" Tak akan kuijinkan selama masih ada aku." ujarnya seraya meraih koper Rin.

" Pria posesif!"

" Itu lebih baik daripada pria masa bodoh. Aku harus memastikan kalau kekasihku baik-baik saja karena itu akan membuatku tenang menjalani aktifitasku."

Rin memutar bola matanya lalu beranjak menyelipkan tangannya pada lengan Sein.

***

Rin membelalakkan matanya ketika melihat Amara bersandar di dinding area Bandara, merangkul rapat leher Larry yang memagut lembut bibir Amara.

" No!!!" desis Rin tak percaya.

" Kau menginginkannya?!" goda Sein melirik gadisnya.

" Tidak!!! Memalukan!!" jawab Rin keras.

Sein tertawa lalu mendaratkan kecupan ringan di kepala Rin.

" Biarkan. Mereka sedang mabuk cinta." bisik Sein.

" Tetap saja memalukan!!" bantah Rin.

" Sshhh..."

Rin bersiap mengoceh lagi saat telapak tangan Sein buru-buru membungkam mulut berisik gadisnya. Rin melotot kesal pada Sein. Tapi agaknya pria itu tak peduli.

" Kau lama sekali. Aku sudah daritadi menunggumu." sungut Amara sambil duduk di samping Rin.

" Hey, kami menunggumu daritadi kapan kalian mengakhiri ciuman memalukan itu." sahut Rin kesal.

" Hah?!! Kau melihatnya?" tanya Amara kaget.

" Kami menikmatinya." sindir Rin.

Rin segera beranjak meraih kopernya.

" Sayang, apa kau tidak berniat berpamitan dengan kekasihmu?" panggil Sein saat Rin beranjak tanpa dosa.

" Tidak!!" jawab Rin kesal.

" Baiklah kalau gitu aku yang berpamitan. Bye, Rin."

Apa-apaan pria itu? Rin menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya. Sein menyeringai, melambaikan tangannya sambil tetap duduk bersandar.

" Pria menyebalkan!!" umpat Rin menghampiri Sein kembali.

Langkahnya sengaja sedikit dihentakkan ke lantai. Ia masih setengah kesal dengan dua sejoli yang masih bergelayut manja. Sein menarik tangan kekasihnya yang kini berdiri merengut di hadapannya hingga jatuh ke dadanya.

" Sein!!" teriak Rin.

Rin memberontak. Tapi percuma saja, tangan kanan Sein menekan kuat punggungnya dan tangan kirinya menekan kuat belakang kepala Rin. Bibirnya melumat lembut bibir Rin yang masih sedikit memberontak. Sementara Amara tertawa kencang dalam pelukan erat Larry.

" Aaa.. kenapa kau menggigit bibirku?" teriak Sein melepas ciumannya.

" Karena kau menyebalkan!!!" umpat Rin kesal.

Sein hanya menyeringai lebar. Rin segera berdiri dari tubuh Sein lalu kembali menarik kopernya meninggalkan Sein dengan umpatan tak jelasnya.

***

Makassar pukul 20.00WITA. Rin bersenandung kecil memasuki sebuah hotel bintang tiga. Rin menghempaskan tubuhnya ke ranjang serba putih itu.

" Rin, bagaimana bisa kau menerima pria asing itu?" goda Amara.

" Lalu bagaimana bisa kau menerima pria asing bernama Larry?"

" Hm.." Amara mengatupkan mulutnya. Ia terlihat seperti tengah mencari jawaban yang membuat Rin menutup mulutnya.

" Kurasa kau benar, Ra. Aku harus move on dari Araz." sahut Rin.

Saat menyebut kembali nama laki-laki itu, Rin merasa ada yang hilang dari kepingan hatinya. Bagaimanapun juga ia masih sangat merindukan mozaik cintanya. Rin menatap sederet alamat yang ia simpan di draft ponselnya. Alamat yang pernah Araz beri tiga bulan lalu sebelum menuju ke Makassar.

Aku akan menemuimu, Araz. Tak peduli kita telah berakhir. Setidaknya untuk melepas beban rinduku padamu. batin Rin sendu.

" Rin.."

Suara Amara menyadarkannya dari sosok Araz.

" Aku tau masih ada Araz di hatimu, Rin. Jangan kecewakan orang yang mengharapkanmu. Ingat, Rin."

" Aku mengerti. Aku hanya butuh waktu." sahut Rin getir.

***

Pagi menjelang. Rin sudah rapi dengan kaos putih lengan pendek dan rompi rajut biru pucatnya. Ia meninggalkan Amara yang masih terlelap. Tekadnya bulat menemui pria keras kepala itu.

Sebelumnya ia mengisi perutnya di sebuah kedai kecil tak jauh dari hotel. Ia melirik jam yang melingkar di tangannya. Pukul 07.00. Rin melambaikan tangannya pada sebuah taxi, menyebutkan satu deret alamat yang ia hafalkan semalaman.

Sebuah Rumah sakit swasta yang terbaik di kota ini. Rin menghela nafasnya menatap gerbang rumah sakit, meyakinkan keputusannya. Rin berdiri mematung di pintu masuk. Ia melihat punggung pria keras kepala itu tengah berbincang dengan beberapa assisten dokter di depan Lobby. Rin memejamkan matanya. Ia memanggil pria itu dengan hati. Tanpa suara. Sesaat ia membuka matanya, melihat pria itu menoleh ke arahnya. Pria itu mengerjabkan matanya.

" Rin?" desisnya tak percaya.

Perlu beberapa detik untuk mengusir bayangan Rin di matanya. Tapi semakin ia berusaha, sosok Rin tampak jelas di matanya. Berdiri tak bergeming di pintu masuk.

" Sayang?!!!!!!!" pekik Araz berlari memeluk erat Rin hingga gadis itu kesulitan bernapas.

Semuanya menoleh menatap tak percaya, dokter muda yang terkenal dingin irit bicara kini berteriak histeris menyebut sayang seorang wanita.

" Aku merindukanmu teramat sangat." bisik Araz sendu, menenggelamkan wajahnya pada leher Rin.

Rin memejamkan matanya. Setetes air hangat mengalir dari sudut matanya. Suara sendu Araz telah menggetarkan hatinya.

" Apa kau merindukanku?" tanya Araz melepas pelukannya, merangkum wajah Rin dengan kedua tangannya.

" Apa kita benar-benar sudah berakhir?" tanya Rin lirih.

" Kita akan kembali. Itu karena kemarin aku kesal dan tak mampu menahan rinduku padamu." bisiknya.

Rin tersenyum getir. Beberapa pasang mata menatap ke arahnya.

" Hey, this is my girl." teriaknya pada sekerumunan orang yang ia tinggal tadi.

Mereka mengangguk mengerti. Araz kembali menatap gadisnya.

" Kau tak mengabariku kalau akan kemari?"

" Aku bersama Amara. Ia masih tidur di hotel. Tadinya kami hanya ingin hunting. Tapi aku mengingatmu."

" Berapa hari di sini?"

" Dua hari."

" Apa?! Apa tidak bisa lebih lama lagi? Aku masih merindukanmu, Rin."

" Aku harus kembali bekerja, Araz."

" Baiklah. Nanti selepas jam kerja aku akan menemuimu untuk bersenang-senang."

Rin mengangguk. Satu kecupan lembut di kening Rin dari Araz saat Rin beranjak pulang.

Rin menatap kosong di dalam taxi, kembali ke hotel. Ia bingung dengan perasaannya sendiri. Ia ingin melepas cintanya yang tak pernah berujung. Ia ingin berlabuh pada pria asing yang selalu menganggunya, membuatnya lumer dengan sikap lembutnya. Tapi ahhh! ia tak mampu menutup pintunya saat Araz kembali mengetuknya.

Rin terkesiap saat ponsel di saku celananya bergetar tanpa henti. Sein?! Ah, pria asing itu?

" Ya, Sein."

" Kapan kau akan memanggilku 'sayang', hm?" tanya Sein sambil terkekeh.

Rin terdiam. Kalimat Sein membuatnya sedikit sesak.

" Apa kau sudah di Jerman?"

" Dalam perjalanan, Baby. Aku sedang transit. Kira-kira setengah jam lagi aku kembali flight."

" Hm, hati-hati, Sein."

" Rin..."

" Ya?"

" I love you more. Jaga hatimu untukku."

" Bye." Rin mengakhiri obrolannya.

Ia berlari menaiki tangga menuju ke kamarnya. Amara masih terlelap rupanya. Rin menghela nafas sesaknya. Sein? Araz? Rin menggelengkan kepalanya.

***

" Araz menunggumu, Rin." ujar Amara menunjuk ke arah pintu masuk hotel dengan dagunya.

Rin yang tengah menitipkan kunci hotel pada receptionist segera menoleh. Pria itu memakai kemeja gelap lengan pendek dan celana hitam. Rin bergegas menghampiri pria itu. Tapi Amara menahan lengan Rin.

" Bagaimana ia bisa tau kau ada di sini?" tanya Amara meminta penjelasan.

Rin terdiam menatap Amara dengan tatapan yang sulit diartikan.

" Aku mengerti. Kau masih mencintainya, bukan? Temui ia dan kembali padanya. Rin, kau akan kehilangan pria yang membuatmu lumer." desis Amara sambil bergegas pergi.

Rin diam tak bergeming. Hatinya terguncang. Apa ia masih mencintai Araz? Apa ia mulai mencintai Sein?

" Hay, Raz." sapa Amara pendek tanpa menghentikan langkahnya.

Araz hanya tersenyum lalu menghampiri Rin yang masih tak bergeming.

" Rin?! Kau baik-baik saja?" tanya Araz lembut.

" Hm, aku baik-baik saja." ucap Rin gugup.

Rin menarik paksa sebuah senyuman. Matanya menatap Araz dalam-dalam.

" Ayo, saatnya kita bersenang-senang."

Rin tersenyum tipis saat Araz membawanya dengan mobil dinasnya. Ia bingung. Bingung dengan hatinya sendiri.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: