Tiga Belas

Hari yang paling membahagiakan bagi Rin. Adalah saat Sein mengucap sumpah di hadapan Tuhan disaksikan para tamu dan keluarga yang mengelilinginya.

" Kau milikku, Rin." bisik Sein saat menyematkan cincin pernikahan di jari manis Rin.

Ia terlihat tak bisa menyembunyikan bahagianya yang teramat sangat. Rin tersenyum, mata indahnya tak bisa menampung air mata bahagianya.

" Kau bahagia?" tanya Sein.

" Tentu saja."

" Bisakah kau menciumnya?!!" seru Paris dalam genggaman suaminya.

Rin menegang. Sein hanya mengulum senyum.

" Come on, kalian sudah sah." timpal Dany terkekeh menghindari cubitan dari istrinya.

" Biar aku saja yang mewakili." seloroh Larry.

" Ehem! Ada aku di sini." tegur Amara.

Beberapa para tamu tertawa mendengarnya.

" Kau bersedia?"

Rin memejamkan matanya. Setengah gugup Sein mengecup kening Rin. Padahal ia biasa melakukannya.

" Hey, bisakah kau menciumnya di bibirnya?"

Sein melirik tajam pada Paris yang seenaknya saja bercuap. Paris hanya cekikikan. Sementara yang lain hanya mengulum senyum. Tapi tatapan mereka seolah menanti apa yang akan terjadi.

" Rin.." Sein terlihat bingung dan gugup kali ini.

" I'm yours, my Man." bisik Rin.

Rin terlihat tengah menggodanya. Perlahan Sein menyentuh dagu Rin, mengangkat sedikit lalu mendekatkan wajahnya pada Rin. Sesaat terdengar seseruan dari mereka. Sein melirik sekilas. Bibirnya perlahan mendarat pada bibir lembut Rin. Tangannya secara alami bergerak menarik pinggang Rin merapat erat padanya. Mulanya hanya mencium lalu kini berubah melumat semakin dalam saat Rin membalas lumatan lembut bibir Sein. Rin sedikit memiringkan wajahnya tanpa melepas ciumannya.

" Enough.." desah Sein melepas pagutannya.

Rin menyembunyikan wajah merahnya di balik jas hitam Sein.

" Come on, mereka menanti kita untuk bersalaman." bisik Sein.

" Kalian sangat HOT." ucap Larry saat menyalami Sein.

Sein hanya tertawa. Sementara Rin hanya mengulum senyum.

" Wait me, aku akan menemui beberapa teman kerjaku." ucap Rin.

" Hm, jangan lama-lama."

Rin mengangguk lalu menarik tangan Amara untuk ikut dengannya. Sesaat Rin berbaur dengan teman- temannya.

" Rin, aku ambil minum sebentar ya." ucap Amara.

Rin mengangguk. Ia kembali berbincang dengan temannya. Ia bahkan tak menyadari kehadiran seseorang tepat di belakangnya. Rin menjerit kecil saat orang itu menariknya tanpa kata.

" Hey!!" pekik Rin.

Pria itu membawa cepat Rin ke belakang gedung. Tak ada siapa-siapa. Rin sedikit bergetar.

" Tenang saja aku tak akan menyakiti wanita yang sangat ku cintai."

" Apa maumu, Araz."

" Aku hanya ingin kau mengingat kembali tentang kita. Cinta kita yang pernah ada sejak tiga tahun lalu."

Rin terdiam. Tatapan itu sendu. Araz seakan mengingat kembali apa yang pernah mereka lewati. Araz bersandar pada tembok gedung itu.

" Tak ada lagi tentang kita, Araz."

" Aku yakin kau masih mencintaiku. Rin, tak bisakah kau memberiku kesempatan satu kali lagi? Aku akan berubah demi cinta kita. Aku bukan apa-apa tanpamu, Rin."

Suaranya kini bergetar. Rin ikut sedikit sesak. Bagaimanapun juga ia masih mencintai pria itu.

" Lupakan aku. Seperti aku yang telah melupakanmu, Araz."

" Rin, maafkan kebodohanku yang tak akan pernah mampu merelakanmu."

Rin mengerjabkan matanya. Sesaknya tak dapat lagi ia tahan. Araz mendekat, menatap teduh Rin yang terisak dalam diam. Tangannya bergetar mengusap air mata Rin.

" Kau cantik. Jangan menangis. Aku hanya mengungkapkan perasaanku."

Rin semakin bergetar. Ia tertunduk. Airmatanya sukses berjatuhan di lantai. Nyatanya Ia tak mampu menepis hadirnya kembali cinta itu saat Araz ada di hadapannya.

" Aku.. Aku masih di sini, Araz." bisik Rin patah-patah.

" Rin, maafkan kesalahanku yang pernah membuatmu sakit. Kau benar, Laire tulus mencintaiku, sabar menghadapi keras kepalaku."

Laire? Mendengar namanya semakin membuat Rin sesak. Ia menegakkan wajahnya, menatap Araz samar.

" Boleh aku memelukmu? Sekali ini saja. Untuk yang terakhir kali. Setelah itu aku akan berusaha melupakanmu dan menerima Laire meski itu sangat sulit."

Rin tak menjawab. Ia hanya membuka tangannya lalu membiarkan Araz memeluknya erat. Rin menumpahkan airmatanya di dada pria itu. Araz memejamkan matanya, mendekap erat gadis yang ia cintai untuk yang terakhir kalinya. Ini sangat menyakitkan.

" Berjanjilah kau akan bahagia bersama suamimu." bisik Araz.

" Ya.."

" Aku tak akan menyakitinya demi wanita yang sangat ku cintai. Hanya kamu. Sampai kapanpun. Aku akan menikahinya, belajar menerima Laire. Tapi cinta ini tetap untukmu, Rin."

" Waktu akan membuatmu mencintainya, Araz."

" Tak akan kubiarkan."

" Kau sangat keras kepala."

" Kau yang membuatnya."

" Lepaskan aku.."

" Sekali ini saja, Rin. Aku ingin memelukmu lebih lama."

***

Sein mengedarkan pandangannya mencari sosok Rin di tengah ribuan para tamu undangan.

" Hey, apa yang kau cari?" tegur Larry.

" I lost my girl."

" Konyol sekali, huh? Suami macam apa yang kehilangan istrinya di pesta pernikahannya sendiri."

" Aku serius!!" jawab Sein frustasi.

Ini genap satu jam Rin menghilang dari pandangannya.

" Rin mana?" tanya Paris.

" Aku sedang mencarinya, Paris."

" Hm, rupanya Rin tetap saja konyol. Coba kau lihat di sana. Ia tengah menunggui stan kue melahapnya tanpa malu-malu." ujar Dany yang berada di belakang Larry.

Sein menggeram. Ia segera bergegas menghampiri Rin yang asik melahap satu potong pie kecil.

" Aku mencarimu, Baby." ujar Sein langsung memeluk erat Rin dari belakang.

" Hey, apa yang kau lakukan?"

" Kau kemana saja, hm?"

Rin tersedak mendengar pertanyaan dari Sein. Sein buru-buru menyerobot minuman dari seorang waiter yang melintas. Rin meminum beberapa teguk lalu mengatur nafasnya.

" Apa aku mengagetkanmu?"

Rin menggeleng.

" Hm, kalau gitu katakan kau darimana saja? Aku mencemaskanmu."

" Apa kau akan marah jika aku mengatakan ini?"

" Tergantung."

" Baik. Kalau gitu sebaiknya aku tidak mengatakannya."

Sein melotot. Rin meringis lebar.

" Ya. Aku janji."

" Apa kau akan kecewa padaku?"

Sein menggeleng cepat," cepat katakan atau aku akan mencupang lehermu di sini."

" Pria mesum!!" umpat Rin.

" Kau menggodaku untuk berbuat mesum." bisik Sein dengan nada menggoda.

" Sein!!"

" Ayolah, katakan."

" Araz menemuiku."

Araz?! Sein mengatupkan rahang kerasnya. Tanpa disadari tangannya mengeratkan pelukannya. Rin cekikikan, memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Sein.

" Hey, ia hanya mengucapkan selamat sekalian memberitahu kalau ia akan menikahi Laire akhir tahun ini."

" Benarkah?"

Rin mengangguk meyakinkan Sein.

" Kau milikku?"

Rin mendelik," hey, menurutmu ini apa, hm?" Rin menunjuk cincin di jari manisnya dengan lirikan matanya.

Sein terkekeh. Ia menggesekkan hidungnya pada hidung mungil Rin. Ia tak bisa membayangkan bagaimana rasanya, bahagianya sekarang mendapatkan gadis yang ia cintai.

" Hey, rupanya kalian sangat bahagia."

Suara lembut itu pernah mengisi hari-hari Sein. Sein terkejut. Ia segera menegakkan kepalanya.

" Happy wedding, Sein."

" Meiva.."

Rin tau ia harus menyingkir sebentar karena sepertinya Meiva ingin mengatakan sesuatu pada Sein. Namun pelukan Sein menahannya kuat-kuat.

" Stay awake, Baby." bisik Sein.

" Hey, Meiv.." sapa Sein melebarkan senyumnya.

" Kau sangat mencintainya?"

" Tentu saja. Oya, bagaimana Erland? Apa kau sudah.."

Meiva menggeleng. Ia memaksakan sebuah senyuman.

" Erland sangat sibuk. Aku datang sendiri."

" Bagaimana.."

" Aku mendengar kabar dari kolega Erland kalau kau akan menikah." potong Meiva.

" Terimakasih kau telah datang di hari bahagiaku."

Meiva tersenyum tipis. Ada setitik sesak saat melihat Sein memeluk possesif Rin. Rin beruntung memilikinya.

" Kau harus merelakannya, Meiv." ucap Larry yang tiba-tiba hadir di antara Sein, Rin dan Meiva.

Meiva tersentak.

" Sein telah menemukan bahagianya. Kuharap kau merelakan ia bahagia setelah tiga tahun menderita karenamu." jelas Larry.

Sein memilih beranjak membawa Rin. Baginya ini bukan urusannya lagi. Ia telah menghapus habis nama Meiva di hidupnya.

" Jauh dalam hatiku aku masih mencintainya."

" Meiv, kau sudah memiliki Erland, bukan?"

" Ya. Aku akan belajar merelakannya."

" Good."

Larry meninggalkan Meiva dalam kediamannya. Dalam penyesalannya lebih tepatnya.

" Untuk apa Meiva datang, huh?" tanya Paris tak suka saat melihat sosok Meiva yang berdiri mematung sepeninggal Larry.

" Hey, dia hanya mengucapkan selamat, Paris." Sein menenangkan kakaknya.

" Dia mirip sekali dengan Rin." gumam ibu Rin mengometari sikap Paris.

" Kurasa mereka cocok." sahut Amara.

Ibu Rin terkekeh. Ia sangat bahagia melihat Rin menemukan keluarga baru yang hangat.

" Kapan kau akan menyusul Rin, Ara?" goda ibu Rin.

" Ih, Tante. Pengen, tapi kakak Ara belum menikah jadi kami harus menunggu."

" Bersabarlah, Nak. Waktu akan membawamu padanya."

Amara tersenyum memeluk ibu Rin yang sudah seperti orang tuanya sendiri.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: