Tiga

Sein mengerutkan keningnya saat telfonnya terputus. Gadis aneh! Ia menggelengkan kepalanya.

" Sein, bagaimana? Apa kau sudah menemukan gadis yang tepat untuk mendampingimu saat ke pesta pernikahannya mantanmu, Meiva?" tanya seseorang sambil merebahkan tubuhnya ke ranjang empuk hotel itu.

" Sudah. Tapi agaknya ia gadis yang cukup sulit ditaklukkan." gumam Sein kemudian menghela nafasnya.

Paris, kakak perempuan Sein menatapnya penasaran.

" Maksudmu?"

" Dia selalu mematikan telfonku. Bahkan sekarang ponselnya tak aktif."

" Oya? Omong-omong siapa gadis itu? Apa aku mengenalnya? Dia relasi bisnis kamu? Atau teman lamamu di Perancis?"

" Aku baru mengenalnya. Namanya Rin. Ia gadis yang manis."

Paris membuka mulutnya lebar-lebar. Apa-apaan adiknya ini?

" Kapan kau mengenalnya?"

" Tadi siang." jawabnya kalem.

Sein mulai menceritakan bagaimana awalnya ia bisa mengenal gadis itu. Paris tertawa kencang begitu Sein mengakhiri ceritanya.

" Kau yakin akan menggandeng seorang gadis konyol ke pesta pernikahan Meiva? Kurasa kau hanya akan membuat dirimu sendiri diperolok oleh seluruh tamu undangan. Terlebih Meiva. Wanita itu akan menertawakan kebodohanmu." ujar Paris seraya menatap Sein tak percaya.

" Aku yakin ia akan terlihat mempesona dengan gaun pestanya. Kuharap kau bisa make over dia."

" Apa? Kau sendiri belum berhasil menghubunginya." cibir Paris.

" Ck, itu masalah gampang, Paris."

Paris memutar bola matanya. Yaa, ia paham dan mengakui kalau adiknya, Sein mampu memikat hampir seluruh wanita yang melihatnya.

" Acara Meiva tinggal dua minggu lagi, Sein." ujar Paris mengingatkan.

" Bukan masalah yang besar, Paris. Percayalah. Dalam waktu dekat aku akan berhasil membawanya."

" Kita lihat nanti saja, Sein."

***

Rin membuka matanya. Ia bangun lalu merentangkan tangannya lebar-lebar. Tangannya meraih ponselnya dan mengaktifkannya kembali. Tak ada pesan dari Araz. Rin menelan ludah kecewa. Rupanya pria itu benar-benar kesal padanya. Ia mencoba mengalah, menelpon Araz.

" Diabaikan?!!" pekik Rin saat telfonnya untuk ketiga kalinya tak direspon sedikitpun oleh Araz.

" Pria egois!!" umpat Rin.

Ia mencoba menelpon Araz sekali lagi.

" Untuk apa kau menelponku?!" sebuah suara kesal terdengar di seberang.

Rin menjauhkan ponselnya sesaat dari telinganya.

" Jadi kau masih marah padaku?" Rin mencoba tetap tenang.

" Kau pikir? Aku lelah denganmu yang tak pernah peduli terhadapku. Rin, aku ini kekasihmu atau teman jauhmu atau malah bukan siapa-siapamu?!" berondong Araz dengan segenap kekesalannya.

" Hey, kau seperti perempuan yang sedang datang bulan." cela Rin.

" Aku sedang tidak becanda, Rin."

" Jadi kau mau aku harus gimana?"

" We're done!!" ucap Araz dengan penuh tekanan lalu mematikan telfon Rin begitu saja.

Rin melongo. Araz kembali memutuskan hubungannya untuk yang kelima kalinya? Ia tak mengerti dengan cara pikir Araz.

" Dasar pria labil!!" umpat Rin seraya melempar ponselnya.

" Kenapa, Rin?" tanya Amara yang baru keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk di kepalanya.

" Araz kembali memutuskan hubungan kami." jawab Rin setengah kesal seraya meraih handuknya.

" Mungkin sepertinya kau harus benar-benar mencari penggantinya."

" Ide yang bagus. Tapi aku masih sangat mencintainya."

" Hey, kenapa kau tidak membuka pintu lebar-lebar untuk Sein. Kau bilang pria itu terlalu ganteng untuk dilewatkan." seloroh Amara.

" Sein?"

Rin menghentikan langkahnya yang sudah berada tepat di depan pintu kamar mandi. Ia membalikkan tubuhnya, menatap Amara yang mengerlingkan matanya.

" Kulihat ia pria baik-baik."

" Pria asing itu?! Noway!!" ucap Rin seraya menutup pintu kamar mandi.

Terdengar suara tawa Amara. Rin terdiam, duduk di closet memikirkan gurauan Amara.

Sein? Ide yang cukup bagus. Lagipula Araz sering membuatnya kesal dengan hal yang tak jelas. Rin tersenyum miring.

***

Tujuan terakhir dari sisa liburan akhir pekannya adalah mengunjungi kawasan Braga. Ia cukup penasaran dengan seniman lukis jalanan yang berderet di sepanjang jalan itu. Rin pikir itu adalah objek yang sangat sayang untuk dilewatkan.

" Kau sudah siap?" tanya Amara seraya menyelempangkan tas kecilnya di pundaknya.

Rin mengangguk mantap di sela kegiatannya menali sepatu.

" Let's go." ucap Rin semangat.

Rin cukup manis dengan penampilannya. Sweater coklat pastel, celana jeans dan sepatu boot rendah berbahan bludru berwarna coklat pekat. Lalu make up tipis dan rambut hitamnya ia cepol asal membuat beberapa anak rambut terjuntai. Amara tak jauh beda dengan Rin. Keduanya punya selera fashion yang hampir sama.

Terdengar dering ponsel dari saku celana Rin. Ia menghentikan langkahnya sesaat untuk mengeluarkan ponselnya. Sein?! Pria asing itu kembali menghubunginya. Rin gelagapan. Bagaimana kalau pria itu kembali menagihnya untuk meminta bantuan? Rin menyodorkan ponselnya pada Amara.

" Kenapa harus aku?" Amara melotot.

" Ra, please.."

" Noway!!" jawab Amara tegas sambil mempercepat langkahnya.

Rin cemberut. Ia menghembuskan nafasnya pelan.

" Ya, Sein?"

" Rin, kau di mana? Bisa ketemu? Tenang saja aku pria baik-baik."

" Mana ada pria asing baik-baik langsung meminta bantuan." cibir Rin.

Pria itu tertawa.

" Kenapa tidak? Aku sungguh-sungguh butuh bantuanmu. Tenang saja aku bukan mengajakmu berbuat mesum."

Rin mendengus.

" Jadi bisa kita ketemu?"

" Aku sibuk."

" Atau aku akan mencarimu dengan caraku sendiri. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti aku akan membawamu kabur."

" Jadi kau mengancamku?"

" Emm, tergantung.."

" Kriminal!!!"

" Kalau kau menghendaki itu terjadi. Apapun bisa kulakukan."

" Noway!!" teriak Rin sebelum mematikan telfon Sein.

Rin melangkah cepat menyusul Amara yang berada beberapa meter di depannya. Bibirnya lancip mengerucut.

" Ada apa dengan pria itu?" tanya Amara.

" Mengajak ketemuan. Dia bilang dia butuh bantuan."

Amara membuka mulutnya lebar.

" Rin! Kau bodoh! Kenapa kau tidak menurutinya? Ini kesempatanmu. Kau dan Araz.."

" Tapi tidak secepat itu!!! Aku baru tadi pagi putus dengannya. Dan sekarang aku welcome sama Sein? Oh, God! Aku tak mau orang-orang menge-capku playgirl." seru Rin seraya memutar bola matanya.

" Apa salahnya kau memulai semuanya dengan teman terlebih dahulu?"

" Bagaimana kalau pria itu hanya sekedar iseng padaku?"

" Kurasa kau lebih iseng dari pria itu."

" Amara!!!"

Amara hanya tertawa saat Rin mendelik kesal. Ia segera menyusul Rin yang sudah masuk ke dalam sebuah taxi.

***

Rin mendengus kesal melirik ponselnya yang tak berhenti berkedip-kedip. Pria itu masih saja terus menelponnya meski tak satupun yang Rin jawab. Kalau dihitung mungkin ini sudah yang kesepuluh kalinya.

" Ya!!!" ketus Rin seraya mendengus kesal.

" Tebak aku dimana?" ujar pria itu dengan jenaka.

" Tidak penting!!"

" Oya? Bagaimana kalau aku sekarang ada di belakangmu?"

" Mana mungkin!!"

" Coba kau balikkan badanmu."

Rin menggeram. Tapi rasa penasarannya memaksanya untuk membalikkan badannya. Sejenak ia berdiri kaku. Matanya melolot mendapati pria asing itu melambaikan tangannya lalu berlari kecil menghampirinya. Pria itu cukup membuatnya menelan air liurnya dengan susah payah. Ia terlihat sangat WOW dengan rambut coklat cepaknya, T-shirt hijau army lengan panjang yang sengaja ia sisingkan sebatas siku. Oh, God!! Seperti Malaikat Tuhan.

" Sein?!" ucap Rin terbata.

Sein tersenyum. Senyumnya menjamin semua yang melihatnya akan meleleh seperti margarin di penggorengan.

" B..Bagaimana kau bisa tau aku ada di sini?" tanya Rin gugup.

" GPSmu aktif, Rin. Jadi aku bisa dengan mudah melacakmu." Sein tersenyum simpul.

Rin mundur beberapa langkah bersiap untuk melarikan diri dari Sein.

" Kau sendiri sekarang. Lihat saja temanmu sedang asyik berkenalan dengan temanku, Larry." ujar Sein santai.

" Jadi aku harus bagaimana?" gumam Rin tak jelas ditengah kepanikannya.

" Kau punya utang padaku?"

" Utang?! Berapa?!!" pekik Rin kaget.

Kapan ia berhutang dengan pria asing ini? Rin menatap Sein bingung.

" Iya. Kau kemarin mencuri gambarku, kan? Kurasa kau belum pikun benar." Sein mengingatkan.

Rin ternganga. Ia segera menyadari kebodohannya.

" Oh, lalu kau mau apa?" tanya Rin berlagak sok tenang.

" Sudah kubilang, aku butuh bantuanmu."

" Baik, sebutkan. Apa yang bisa kubantu?"

" Mendampingiku ke pesta pernikahan." ucap Sein tanpa basa-basi.

" Apa?!!!" pekik Rin.

Hanya itu?! Rin tertawa keras. Baginya ini hal konyol. Sein mendengus kesal. Ia segera membungkam mulut Rin.

" Okey, kenapa kau tidak mengajak pacarmu saja?" tanya Rin disela tawanya.

" Masalahnya ini pernikahan mantanku. Aku belum memiliki penggantinya. Padahal kami berakhir sudah tiga tahun lalu. Hampir semua orang menatapku sinis. Pria kesepian. Pria tak laku-laku. Lebih parahnya lagi mantanku menantangku untuk membawa ya minimal teman dekat ke pestanya nanti." jelas Sein tanpa malu-malu.

" Oh, sungguh miris sekali nasibmu, Sein."

" Hey, aku bukan pria yang gagal move-on. Aku hanya belum menemukan yang aku inginkan." tekan Sein.

" Whatever!" Rin kembali tertawa.

" Jadi bagaimana?"

" Okey, baiklah. Apa salahnya membuat orang bahagia."

Rin kembali mengingat ucapan Amara. Kenapa kau tidak membuka pintu untuk Sein? Mulailah dengan berteman. Rin menyunggingkan senyumnya. Kenapa tidak?

" Thanks alot, Rin. Oya, acaranya dua minggu lagi. Nanti Kakak perempuanku akan make over dirimu."

" Hm.." ucap Rin sambil kembali meraih kameranya yang tergantung di leher.

" Kau suka fotography?"

" Ya, meskipun hasilnya tidak bagus."

" Okey, sebagai rasa terimakasihku, aku akan menemanimu seharian. Biar temanmu bersama Larry." ujar Sein.

Rin menoleh. Amara? Kemana gadis itu? Rin mengedarkan tatapannya.

" Ia sudah menghilang sejak tadi. Tenang saja temanku bukan penjahat."

Rin membulatkan mulutnya. Ia segera mengerti. Amara memang tak bisa melihat pria WOW sedikit. Karena dalam sedetik ia pasti akan meleleh karena terpana.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: