Sepuluh
" Jadi benar Sein.."
Pertanyaan Rin dipotong dengan anggukan kepala dari sang ibu dan Dany. Rin membelalakkan matanya menatap dua orang yang tengah melahap snack ringan di restoran keluarganya.
" Bagaimana bisa?" pekik Rin.
" Hey, tak baik seorang anak gadis teriak-teriak tak jelas. Berlaku lembutlah sedikit, Rin." tegur Dany.
Ibu membenarkan dengan anggukan kepalanya. Rin terdiam. Ia merajuk pada ibunya.
" Ibu..."
" Jadi sebenarnya kau memilih siapa? Kau masih mencintai Araz-mu tapi kau juga menerima Sein, pria asing yang baik hati itu." ujar sang Ibu menghela nafas panjangnya.
" Rin, untuk apa kau masih mengharapkan orang yang dengan gampang memutuskan pergi lalu kembali lagi? Kau bukan barang, Rin? Umurmu mendekati 24 tahun." Dany mengingatkan adiknya.
" Aku mencintai El Safaraz."
" Hm. Akan ku pastikan aku takkan memberikan dana bulananmu kalau kau berani kembali padanya."
" Rin, kali ini saja. Pikirkan baik-baik. Jangan mempermainkan pria asing itu demi egomu sendiri." Kini ibu angkat bicara.
Rin termenung. Araz yang yang tak mampu ia hapus dengan mudah. Lalu Sein yang datang tiba-tiba bagai candu buatnya. Rin memasukkan cemilan dengan asal ke mulutnya. Ibu dan Dany hanya mengulum senyum.
Rrttttt... Rrtrrtt
Rin mengeluarkan ponselnya dari tas kecilnya. Araz!!
" Ya, Araz."
" Rin! Aku akan pulang sebulan lagi!!" Suara di seberang terlihat sangat gembira.
Rin menelan ludah susah payah. Bulan depan Ibu meminta Sein melangsungkan pernikahannya dengan Rin. Dan Sein menyanggupi itu.
" Hey, Rin. Kau dengar aku?"
" Ya, aku masih di sini."
" Rin, aku merindukanmu."
" Araz, bukankah kita telah berakhir? Kau bahkan tak bertanya padaku sebelumnya apa aku mau kembali atau tidak."
" Apa itu perlu? Kita saling mencintai bukan?"
" Raz, aku bukan barang. Aku bukan tempat singgah yang bisa kau datangi dan kau tinggalkan semaumu."
" Rin, dengar aku.."
" Kau, Raz. Kamu yang harus mendengarkan aku sekarang. Aku lelah, Raz. Aku lelah menuruti semua sikapmu yang keras kepala."
" Rin.."
" Kita sama-sama keras kepala, Araz. Bukankah di sana kau sudah menemukan teman dekat? Suster Laire yang lemah lembut? Jangan kira aku tak tau, Raz. Araz, lupakan apa yang pernah terjadi di antara kita." ucap Rin lirih.
" Rin, Suster Laire.."
" Aku melihatnya, Raz. Bahkan ada beberapa pesan di ponselmu. kau memanggilnya 'Love', bukan? Aku tau, Raz."
Rin memejamkan matanya saat mengatakan apa yang ia simpan. Tapi entah kenapa Rin tak mampu menjadikan semua itu alasannya untuk melupakan Araz. Tak semudah itu melupakan Araz meski sering membuatnya mengumpat kata-kata tak jelas.
" Rin, aku bisa menjelaskan semuanya."
" Apa yang akan kau jelaskan? Bukankah semua sudah jelas?"
" Tak bisakah kau memperbaiki semuanya?"
Rin beranjak meninggalkan Ibu dan Dany yang memperhatikannya dan mempertajam pendengarannya.
Rin menghempaskan pantatnya di closet. Air mata yang ia sendiri tak tau untuk apa, sudah meluncur deras sejak tadi.
" Rin.."
" Araz, aku rasa cukup sampai di sini saja. Kita sudahi permainan konyol ini. Aku ingin menjalani semuanya dengan lebih serius, Raz. Raz, aku akan menikah bulan depan."
" Kau mencintai pria lain?" tanya Araz tercekat.
Suaranya terdengar bergetar.
" Aku harus melakukannya meski itu sulit. Tak mudah untukku memulai semua itu, Raz."
Terlebih dengan bayang-bayang Araz yang selalu mengikat pikirannya erat-erat. Rin kembali mengingat wajah Suster Laire. Wanita itu lemah lembut berbalut jilbabnya. Senyumnya manis. Ia tak sengaja mendengarnya sedang mengobrol dengan suster lainnya saat Rin memasuki area rumah sakit itu.
" Dokter Araz yang dari Jakarta itu? kau sungguh beruntung mendapatkan dokter ganteng itu. Tapi kelihatannya Dokter Araz orang yang kaku." ujar temannya
" Ia pria yang cukup tanggungjawab. Itu sebabnya aku menerimanya." jawab suster Laire lembut.
Laire, nama yang cantik. Bagaimana Rin bisa tau kalau suster itu bernama Laire? Rin sempat melirik jelas tulisan di baju yang dikenakan gadis itu.
Rin kembali tersadar. Ia mengusap air matanya. Mematikan telfon dari Araz kala menyadari ia tak mampu lagi menahan sesaknya. Rin beranjak, memutar keran wastafel. Tangannya membasuh pelan wajahnya dengan air, membersihkan sisa-sisa tangisnya. Ia tak mau ibu dan Dany melihatnya menangis. Ia harus terlihat baik-baik saja.
" Rin, kau baik-baik saja?" tanya ibu saat Rin kembali.
" Rin baik-baik saja, bu. Bu, Rin pulang dulu, ya." ucap Rin tersenyum lebar.
" Hm, hati-hati, Nak. Sein tidak kelihatan hari ini?"
" Sein ada ketemu sama clien-nya, bu. Mungkin besok dia baru sempat." ujar Rin sambil mencium pipi ibu dan beralih pada Dany.
***
Rin turun dari sebuah taxi. Ia memasuki gerbang kos. Tiba di depan sebuah kamar, Rin mengetuk pelan pintu itu. Tak ada jawaban.
" Cari Ara?" tanya seorang wanita dari kamar sebelah.
" Iya. Amara ada?"
" Ara baru saja pergi bersama pacarnya."
Pasti Larry. Rin kembali dengan langkah gontai. Tadinya ia ingin membagi sesaknya pada Amara. Lalu sekarang ia harus membaginya dengan siapa?
Rin kembali menyetop sebuah taxi. Tanpa sadar lidahnya mengucap sebuah alamat.
" Sudah sampai, mbak."
Rin terkesiap. Ia telah lumayan lama tenggelam dalam pikirannya. Rin tersenyum mengangsurkan sejumlah uang. Langkahnya sedikit ragu memasuki bangunan apartemen mewah itu. Ia sendiri tak mengerti kenapa ia memutuskan untuk ke tempat ini. Rin berdiri termangu.
" Hay, Baby. Kau di sini? Maaf aku baru saja selesai bertemu clien."
Rin menegakkan wajahnya menatap sesosok pria yang kini ada di hadapannya. Rambutnya sedikit acak-acakan. Lengan kemerja yang tergulung asal-asalan. Lalu tas kerja yang menangkring di bahu kirinya. Rin tersenyum.
" Aku pulang saja." ucap Rin lirih ketika melihat wajah Sein yang cukup lelah.
" Noway! Ayo masuk."
" Sein.."
Sein menggeleng, tangannya menarik lembut tangan Rin. Pintu lift terbuka, Sein kembali melangkah menuju ke kamarnya. Sementara Rin masih di genggamannya.
" Tunggu sebentar, aku akan ke kamar mandi." ujar Sein.
Rin hanya mengangguk lalu duduk malas di sofa hitam. Tak berapa lama Sein kembali dengan dua kaleng pepsi di tangannya.
" You okay?" tanya Sein.
" Aku tak tau."
" Bagaimana bisa?" Sein tertawa lalu mendekatkan wajahnya pada wajah Rin, menatap intens mata itu.
" Kau bisa ceritakan padaku, Baby."
Rin menatap balik Sein. Matanya berkaca-kaca.
" Apa kau benar-benar mencintaiku?"
" Apa aku kurang meyakinkan?"
" Kenapa?"
Sein menghela nafasnya. Tangannya menyentuh dagu Rin lembut.
" Karena kau mampu membuatku lupa dengan semua kesakitanku. Bahkan hilang begitu saja setelah tiga tahun lamanya aku berusaha keras untuk melupakan itu."
" Apa setelah aku pergi nanti kau akan mengingatnya kembali?"
" Bukan mengingatnya. Mungkin aku akan gila karenamu."
" Sein.."
" Aku bukan pria kuat yang berkata aku baik-baik saja tanpa wanita yang kucintai. Aku membutuhkannya, menginginkannya dan merindukannya. Aku bukan tipe orang yang gampang mencari pengganti."
" Berarti kau pria lemah."
" Bisa dikatakan begitu. Aku tak bisa jauh dari radarku. Seperti sebuah robot yang akan kehilangan fungsinya saat jauh dari remote radarnya."
" Kenapa harus aku?"
" Kenapa kau harus memotretku diam-diam waktu itu?"
" Kau menarik."
" Like this, Baby."
Rin menatap dalam-dalam mata hijau itu. Aku mencintainya. Iya, aku mencintainya sejak pertemuan konyol itu. Maafkan aku, Araz. Aku mencintainya.
" Are you ready to marry me?" tanya Sein lembut.
Rin terperangah.
" Iman kita.."
" Sama, Rin. Aku mencintai dan memeluk imanku sejak tiga tahun lalu saat Paris memutuskan menikah dan menyesuaikan imannya dengan suaminya."
" Apa?"
" Ya, sama dengan mayoritas orang indonesia. Apalagi yang kau ragukan?"
" Kau terlalu baik padaku.."
" Karna kau wanitaku."
Sein mengecup lembut kening Rin, menghirup dalam-dalam wangi citrus yang membuatnya semangat menjalani aktifitasnya.
***
Rin sedang mematut diri di cermin ketika Bibi Nin mengetuk pintu kamarnya.
" Ya, Bibi Nin."
" Ada yang menunggu di teras depan, Nona Rin."
" Siapa?" Rin membuka pintu kamarnya.
" Kejutan katanya."
" Hm, makasih, bibi Nin."
Rin segera menuruni anak tangga. Kejutan? Bukankah dia sedang tidak ulang tahun? Sein? Pria itu sedang sibuk dengan tugasnya. Amara? Jangan tanya lagi tentang Amara. Ia sibuk memadu kasih dengan Larry Fidelyo Osh. Rin membuka kenop pintu.
" Hay, sayang.."
Rin tersentak. Matanya membulat, mulutnya terbuka lebar. Tak mungkin pria itu ada di sini. Rin mundur beberapa langkah saat pria itu mendekatinya.
" Hay, ini aku."
Rin menggelengkan kepalanya. Ia tak ingin pria itu ada di sini. Ia tak ingin berhubungan dengan pria itu lagi. Ia lelah.
" Untuk apa kau di sini?"
" Aku ingin menjemput kembali cintaku."
" Araz, please. Kita sudah berakhir."
" Kita tak akan berakhir, Rin. Aku masih mencintaimu teramat sangat."
Araz telah kembali. Rin tak menyangka Araz akan kembali secepat ini. Bukankah kemarin dia bilang tiga bulan lagi? kenapa sore ini ia muncul di depan rumah Rin.
" Bagaimana bisa kau ada di sini."
" Ku harap ucapanmu semalam hanya ancaman semata. Kau akan menikah denganku bukan dengan pria lain. Kau milikku, Rin."
" Tidak. Aku lelah, Raz."
" Aku akan berubah, Rin. Aku tidak akan keras kepala lagi."
Rin menggeleng," tak akan bisa. Itu sudah watakmu, Araz."
" Aku akan membuat keluarga kecil kita bahagia. Aku janji, Rin."
" We're done, Araz. Kau harus belajar menerima itu."
" Rin.."
" Cukup, Raz. Jangan kau sakiti Laire. Cukup aku."
" Laire pelarianku karena kekesalanku padamu."
" Kembalilah pada Laire. Kau akan bahagia dengan wanita lemah lembut itu."
" Tapi aku mencintaimu, Rin Dianna!!" ucap Araz keras.
" Lupakan!!!" teriak Rin.
" Aku akan membawamu kabur dari pernikahanmu, Rin."
" Kau sinting! Egois!!"
" Karena aku mencintaimu. Aku kembali mengambil hakku."
" Hak yang mana, Raz?! Aku bukan hakmu, bukan kewajibanmu dan bukan barang yang bisa kau ambil dan kau buang semaumu." Suara Rin kini bergetar.
" Kau milikku dan aku akan mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku."
" Dia sudah menjadi milikku."
Suara berat itu terdengar santai. Ia mendekat.
" Maaf, perasaanku tak enak. Makanya aku buru-buru menyelesaikan pekerjaanku dan langsung ke sini." ujar Sein mendaratkan kecupan di pelipis Rin.
" Jadi pria ini yang membuatmu memilih pergi dariku?" tanya Araz sarkatis.
" Araz, kenapa kau berubah menyebalkan sekali, huh?" pekik Rin dengan kesal.
" Kau akan menyesal berurusan denganku, pria asing." ancam Araz tajam.
Sein hanya menyunggingkan senyum miringnya.
" Kau tak apa?" tanya Sein saat Araz telah berlalu.
" Dia mengancammu, Sein."
" Aku akan baik-baik saja. Percaya padaku."
" Araz pria yang sangat keras kepala."
" I know. Bahkan aku bisa lebih keras kepala darinya kalau kau mau."
" Sein,,"
" Come on! Kau tau tidak? Paris sudah sibuk dengan idenya untuk menyulapmu saat pernikahan kita nanti."
Rin tertawa mengingat Paris, kakak Sein. Ia melupakan kesalnya pada Araz dalam sekejab. Sein mulai membicarakan konsep pernikahannya nanti. Dan entah kenapa Rin menjadi begitu sangat antusias.
" Hey, kenapa kau mendadak senyum-senyum?" Sein memicingkan matanya.
Rin cekikikan lalu membisikkan sesuatu tepat di telinga Sein. Dan ia kembali tertawa kali ini lebih keras saat melihat Sein yang menegang karena bisikan Rin.
" Kau serius?" tanya Sein.
" Ya, Tuan Sein Oceano Seanberg."
" Terimakasih, Baby. Aku juga tak sabar menunggu bulan depan."
Sein menarik Rin dalam pelukannya. Mencium ringan kepala Rin.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top