Sembilan

Pagi-pagi Sein meluncurkan mobilnya ke rumah Rin. Sein tampak sedikit kacau. Ia tak bisa tidur semalaman karena memikirkan gadis konyol itu. Beruntung Bibi Nin membukakan pintu untuknya. Ia tahu Rin sendiri. Ibunya hanya pulang sebulan sekali meski masih sama-sama di Jakarta.

" Rin.."

" Masuk saja, Tuan."

Sein mengangguk terima kasih. Ia segera menaiki anak tangga menuju ke kamar Rin. Pintunya terbuka sedikit.

" Rin, ini aku Sein." ucap Sein mengetuk kamar Rin.

Tak ada jawaban. Sein menguak pintu itu. Ada Rin yang masih meringkuk di tengah kasur besarnya. Sein mendekat pelan, tangannya terulur menyingkap anak rambut yang menutupi wajah Rin. Ia tersenyum lega melihat Rin baik-baik saja dan tengah terlelap dalam tidurnya.

Kau sangat cantik, Rin. Gumam Sein diantara senyumnya.

Rin menggeliat kala merasakan ada yang menyentuh lembut wajahnya.

" Bibi Nin, Rin masih ingin tidur." sahutnya manja dengan mata masih terpejam.

Sein terkekeh. Rin sangat menggemaskan pagi ini.

" Hey, wake up, Baby." bisik Sein menjawil hidung kecilnya.

" Aargh! Kak Dan. Kau menyebalkan." geram Rin.

" Come on, wake up!" bisik Sein lagi, menahan geli.

Rin mengerjabkan matanya. Ia bersiap menyemprot siapa saja yang berani mengganggu tidurnya. Namun Rin hanya terbengong ketika matanya menangkap sosok pria asing tengah menatap gemas padanya. Rin mengerjabkan matanya sekali lagi.

" This is me, Sein, Baby."

" Sein?!!!"

Rin terlonjak bangun dari tidurnya. Matanya membulat, mulutnya yang terbuka lebar tertutup separuhnya dengan ketiga jarinya. Sein melebarkan senyumnya.

" Sein, kau nampak kacau sekali." ucap Rin mengamati wajah Sein.

Tangannya menyentuh dagu Sein lembut.

" Hey, kau baik-baik saja?"

Rin mengangguk. Ia bergeser ke tepi ranjang, memeluk hangat Sein.

" Araz akan pulang dalam waktu dekat. Ia akan melamarku."

Sejenak Sein memejamkan matanya, meyakinkan hatinya kalau saat ini hatinya baik-baik saja.

" Bisa kau ulangi sekali lagi?" pinta Sein lirih.

" Ia akan melamarku, Sein."

" Kau akan menerimanya? Oh, aku salah. Tentu saja kau akan menerimanya. Karena kau sangat mencintainya, bukan?"

Rin terdiam. Ia menatap pria yang tengah tertawa lirih tak jelas. Sein menertawakan dirinya sendiri.

" Jika aku tak menerimanya apa kau akan menikahiku?"

Sein terpaku. Pertanyaan Rin membuat tubuhnya sedikit menegang.

Tentu saja, Rin. Karena aku mencintaimu, menginginkanmu. Takkan kubiarkan ada pria lain yang memilikimu apalagi dekat denganmu.

" Sein.."

" Apa itu berarti kau siap menerimaku?" tanya Sein sendu.

Rin mengangguk.

" Aku tau aku hanya pelarianmu saja."

" Sein, aku sudah bilang, bantu aku."

" Bagaimana bisa aku membantumu sedang kamu masih berhubungan dengannya, Rin?"

" Apa aku perlu mengganti nomer telponku?"

" Tidak perlu." Sein menggeleng.

Rin mendesah. Ia tak tau harus bagaimana lagi. Rin menarik diri dari tubuh Sein.

" Jadi aku harus bagaimana?" tanya Rin frustasi.

" Kalau memang kau menerimaku, kau akan tau harus bagaimana saat dia menghubungimu, Rin."

Gadis ini cukup keras kepala. Sein mengusap pelan kepala Rin. Rin menatap Sein dengan tatapan yang sulit diartikan.

" Apa aku bisa?"

" Kau pasti bisa, Rin. Lekas mandi, aku lapar sekali. Aku akan mengajakmu sarapan."

Rin cekikikan melihat wajah Sein yang cukup kacau. Rambut coklatnya yang agak berantakan. Sorot matanya yang tampak lelah seperti orang tak tidur semalaman. Tapi Sein masih menyisakan ketampanannya. Huh! Pria itu masih saja membuat Rin tak ingin melewatkannya sedikitpun.

" Apa kau belum tidur semalaman?"

" Ya. itu gara-gara ada seorang gadis menelpon tengah malam.."

" Itu aku." potong Rin menyeringai lebar.

" Maafkan aku, my Man. Sudah membuatmu sekacau ini." lanjut Rin.

Rin beranjak ke kamar mandi. Tapi sebelumnya ia mendaratkan kecupan ringan di sudut bibir pria itu.

***

Rin sedang menikmati sepotong cake dessertnya saat nama Araz berkedip-kedip di ponselnya. Rin menghentikan kunyahannya, menatap Sein yang sedang menyesap moccacinno-nya. Tapi agaknya Sein tak peduli dengan tatapan Rin. Rin kembali mengabaikan telpon dari Araz.

Sein meletakkan cangkir moccacinonya lalu menarik tangan Rin yang tengah memegang sendok kecil. Sein melahap potongan cake tanpa mempedulikan Rin yang sedikit menegang.

" Angkat saja." ujar Sein santai.

Rin menggeleng.

" Kenapa? Aku takkan marah, Rin."

" Bagaimana bisa aku move-on sementara aku masih membiarkannya memasuki pintu itu?"

Sein tersenyum.

" Hm, aku tak mau gadisku terus bersedih. Waktunya bersenang-senang. Aku pasti akan membuatmu melupakannya tanpa kau sadari."

" Apa yang akan kau lakukan?"

" Membuatmu jadi milikku seutuhnya tentu saja."

" Sein!!"

" Jadi kau tak mau?"

Rin mengerucutkan bibirnya.

" Akan kupastikan tak ada wanita lain selain aku tentunya."

Sein terperangah mendengar jawaban Rin. Gadis ini menantangnya untuk segera mengikatnya. I'll do it, Baby.

***

" Senang bisa mengenal nak Sein dan nak Paris. Ibu menghargai dan merestui niat nak Sein. Terima kasih atas kedatangan kalian ke resto ibu." ucap wanita paruh baya itu.

Sein tersenyum mengangguk hormat.

" Ah, Sein. Aku harap kau bisa meluluhkan Rin yang sangat keras kepala itu." ujar Dany seraya geleng-geleng kepala membuat tiga orang yang mengelilingi meja itu tertawa mengingat Rin.

" Tentu saja, Dany." ucap Sein kalem di sela tawanya.

" Rupanya kau harus memberinya kejutan siang ini ke kantornya." ujar Paris mengingatkan.

" Ah, Ya. Kau benar. Baiklah, Tante, Dany, saya pamit dulu."

Mereka tersenyum mengangguk. Sein sengaja menemui orang tua Rin tanpa sepengetahuan Rin untuk menyatakan keseriusannya pada gadis itu. Ia tak mau ada pria lain yang mendahuluinya. Baginya Rin adalah miliknya. Untung saja Sein pernah beberapa kali bertatap muka dan mengobrol sebentar dengan ibu dan kakak Rin.

" Aku percaya padamu, Sein. Aku sempat meragukan apa ada yang bisa membawanya pergi dari Araz. Aku tak ingin Rin diperlakukan seperti itu. Rin bukan barang."

Ucapan Dany seakan meyakinkannya untuk membuat Rin lebur dalam jangkauannya.

Sein membelokkan mobilnya ke dalam sebuah kantor. Jam 12.00 tepat. Saatnya makan siang.

" Hey, Rin ada di pantry. Come on!" panggil seseorang.

Sein melempar senyum pada gadis yang melambaikan tangannya. Ia tadi menelpon Amara saat dalam perjalanan untuk memastikan Rin berada dimana. Ia kemudian mengekor langkah Amara.

Beberapa pasang mata menatap terpana pada Sein. Terdengar kasak kusuk yang tak jelas. Rin tak peduli. Ia menopang dagu seraya mengaduk-aduk minumannya, menunggu pesanan makanannya.

" Dia sangat tampan!!" desis seorang wanita sambil duduk di samping Rin.

" Kau benar. Oh, Tuhan! Dia berjalan ke sini." ucap yang lainnya.

" Hey, kelihatannya aku melewatkan sesuatu." sahut Rin sekenanya.

" Ya. Kau melewatkan sesuatu. Oh, come on!! aku bisa pingsan kehilangan nafas saat menatapnya."

" Kau berlebihan!!" cibir Rin.

Sesaat Rin menegang. Harum parfum polosport itu. Reflek Rin memejamkan matanya, menghirup dalam-dalam membiarkan wangi itu memenuhi rongga dadanya. Tiba-tiba Rin merindukan pria asing itu.

" Hay, Baby."

Suara itu??? Rin membuka matanya. Teman-teman wanitanya terlihat menegang, lumer. Kalau saja suara detak jantung bisa terdengar, mungkin saat ini sudah ada orkestra detak jantung dari pada gadis itu.

" Rin.." panggil Amara dari belakang saat Rin tak kunjung menolehkan kepalanya.

Rin kembali tersadar. Tak mungkin Sein ada di sini, batinnya menepis.

" Kau terlalu lama memberesi berkasmu. Aku tak bisa menahan lapar!!" sahut Rin keras tanpa menoleh.

" Apa kau tak mau bergabung denganku di sini?" tanya Amara lagi.

" Ara, kau saja yang ke sini."

" Rin,.." rajuk Amara.

Rin menggeram kesal. Ia bergidik geli mendengar suara manja Amara. Sejak kapan Amara jadi begini.

" Uhhh!!! Kau menye-balkan." geram Rin beranjak membawa piring dan gelasnya.

Sesaat Rin seperti terpatri di tempat. Sein? Ia mendapati Sein cekikikan bersama Amara, menertawakan dirinya yang tak bisa berkata apa-apa.

" Oh, come on. Katakan ini hanya hayalanku. Pria itu tak benar-benar ada di sini." desis Rin lemas.

" Kau mengenalnya?"

Entah siapa yang menanyakan itu padanya yang pasti pertanyaan itu menyadarkannya bahwa ini semua nyata. Sein benar-benar ada di kantornya, menertawakan kebodohannya.

" Sein?!!! Untuk apa kau kemari!!" semprot Rin seraya mendekat.

Sein tersentak. Gadis itu mendekatinya dengan segenap geramnya. Ia bukan membuat Sein takut tapi malah membuatnya terlihat menggemaskan di mata Sein.

" Aku ingin makan siang bersamamu."

" Tidak bisa!!" Rin menghempaskan pantatnya di kursi plastik depan Sein.

" Hey, kenapa?"

Rin menggeleng keras.

" Aku akan memaksamu." goda Sein.

Rin mendelik. Apa dia kata? Seenaknya saja berbicara, huh?

" Sebentar lagi kau milikku."

Apalagi ini?!!

" Apa katamu?!!" pekik Rin.

" Hey, bagaimana kalau bulan depan kita menikah?"

" Sinting."

" Berhentilah mengumpat, Rin. Atau aku akan mengunci mulutmu dengan bibirku."

Amara cekikikan melihat wajah Rin yang mulai memerah. Sein hanya mengulum senyum. Ia senang menggoda Rin untuk marah-marah.

" Sein kau menyebalkan!!"

" Come on, Baby. Kau mau tau tidak?"

" Tidak!!"

" Tentang kita?"

" Tidak ada lagi tentang kita setelah kau membuatku kesal."

Sein tertawa, " Aku melamarmu tadi pagi. Mereka merestuinya." bisik Sein.

" What the hell are you talking about?!!" pekik Rin tak percaya.

Sein mengangkat bahunya. Ia kembali santai menyendok nasi goreng dari piring Rin.

" Kau!! ini makananku!!" seru Rin tak terima.

" Pelit! Tenang saja sepulang dari kantor aku akan mentraktirmu makan sepuasnya."

" Perutku masih cukup untuk menampung semuanya meski aku sudah melahap habis makan siangku!"

" Hey, makanmu banyak sekali."

" Bukan masalah yang besar, Sein." Rin memutar bola matanya.

" Hey, aku serius sudah melamarmu tadi pagi."

" Jadi aku harus bagaimana?!"

" Rin!!!!" geram Sein.

Bagaimana mungkin Sein bisa jatuh cinta pada gadis konyol seperti Rin? Sein mengacak rambut coklatnya, menatap Rin geram.

" Berhenti menatapku seolah aku badut kecil yang siap kau remas."

" Aku akan berhenti kalau kau bersikap manis padaku."

" Tidak. Selama kau menggodaku."

" Well, kau menang hari ini."

Rin meringis memamerkan deretan gigi putihnya.

" I love you, my man."

" Ehem!! Ada aku di sini." Suara Amara menyadarkan keduanya.

Rin cekikikan. Ia malah menggoda Amara dengan meraih tangan Sein dan meletakkannya di pipi kirinya.

" Rin!! Kau menyebalkan sekali, huh?!" pekik Amara.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: