Lima
Rin menatap bayangan dirinya di cermin. Ia tersenyum, cukup manis, gumamnya mengomentari penampilannya sendiri. Tanktop putih, baju rajut warna salem dengan potongan leher lebar lalu celana biru donker sepuluh senti di bawah lutut. Rambut hitamnya ia kuncir ekor kuda. Tak lupa ia mengenakan flatshoes-nya yang baru ia beli beberapa hari lalu.
" Rapi sekali, Rin." komentar sang ibu menyembulkan kepalanya pada pintu kamar Rin yang sedikit terbuka.
" Ibu? Kapan pulang?" Rin terlonjak kaget.
" Baru saja. Diantar kakakmu."
" Hm.. Ya, Rin paham. Wanita karir." canda Rin seraya menghampiri ibunya lalu memeluknya hangat.
" Kau pun sibuk tak jelas dengan kameramu." balas sang ibu sambil tertawa.
" Hey, adik kecilku rapi sekali." sapa Dany.
" Hey, apa itu masalah buatmu?" Rin menjulurkan lidahnya.
" Biar kutebak. Kau mau kencan ya? Ku dengar Araz sedang di luar kota. Kau punya teman baru lagi?"
" Bu, tolong nasihatin Dany, jangan suka sok tau sama urusan orang." sungut Rin.
Ibunya hanya tertawa seraya mengusap lembut bahu Rin. Sementara Dany tertawa lebih keras. Rin merengut.
" Ken Ardany!!!!" geram Rin.
" Ya, aku paham. Kau belikan aku ice cream special satu cone baru aku akan tutup mulut. Aku jamin mulutku takkan tergoda untuk melapor pada Araz kalau kau punya teman baru lagi."
" Hey, hey. Sudah, sudah. Kau suka sekali menggoda adikmu, hm?" ujar sang ibu melerai.
" Noway!! Dengar, aku dan Araz sudah putus. PUTUS, okay?"
Rin segera mencium pipi sang ibu lalu bergegas pergi sebelum Dany meledeknya lebih parah lagi.
***
Numero Restaurant. Rin memasuki restaurant khas itali yang cukup terkenal ramai oleh kalangan menengah atas. Ia mengedarkan tatapannya mencari seseorang. Ia memang ada janji bertemu dengan seseorang di sini. Tak lama Rin kembali melangkah menuju sebuah meja saat melihat seseorang melambaikan tangan ke arahnya.
" Hey, Rin. Duduklah." sapa pria itu gembira.
" Terimakasih." Rin tersenyum lalu duduk.
" Kau sendiri? Katamu kau bersama kakakmu, mana?" lanjut Rin.
" Sedang ke toilet. Kau mau pesan apa?"
" Hot cappucinno."
" Original apa flavour?"
" Original."
Pria itu melambaikan tangannya pada seorang waitress untuk memesan minuman Rin.
" You look so nice, Rin." puji pria itu tanpa melepas tatapannya pada Rin.
Rin terkekeh. Satu minggu kenal dengan pria itu cukup membuat Rin menilai bahwa pria itu menyenangkan. Tak lama seorang wanita dengan rambut pendeknya dan dress hitam selutut lalu sepatu boot rendah berwarna hitam datang menghampiri sambil tersenyum lebar. Wow, cantik! ucap Rin dalam hati.
" Hey,.." sapa wanita itu.
" Rin, ini Paris, kakakku." ujar pria itu mengenalkan.
" Hey, Kak. Saya Rin." Rin tersenyum, mengulurkan tangannya.
" Nice girl! Saya Paris. Kau manis, cantik. Aku menyukaimu."
Rin mengerutkan keningnya. Paris tertawa. Giginya putih rapi kontras dengan bibirnya yang merah merekah.
" Maksudku aku senang mengenalmu. Apalagi kalau kau bersedia menjadi adik iparku. Aku pasti akan selalu mengajakmu berkeliling restaurant karena hobiku berburu makanan." jelas Paris panjang lebar.
Rin tersenyum lebar, mengangguk paham.
" Well, pilihanmu selalu tepat, Sein. Rin memiliki daya tarik yang luar biasa dengan kepolosannya." celoteh Paris.
Sein terkekeh. Ia tak mampu menyembunyikan ketertarikannya pada gadis konyol ini. Rin sendiri rupanya tak peduli dengan tatapan intens Sein.
" Oya, omong-omong dimana acaranya?" tanya Paris.
" Ballroom Grand City. Rin, akhir pekan besok kau bisa 'kan?" ujar Sein.
" Tenang saja, Sein. Aku cukup ingat dengan janjiku."
" Good. Okay, kalian berdua aku tinggal ya. Suamiku sudah menjemputku. Selamat bersenang-senang." ucap Paris sambil mencium kedua pipi Rin lalu beralih pada Sein.
Sejenak keduanya terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
" Rin.."
Rin menegakkan wajahnya menatap pria itu yang kini menatapnya dalam-dalam.
" Ya?"
" Aku ingin mengenalmu lebih dekat. Boleh?"
Rin tergagap. Secepat itukah, Sein?
" Kau keberatan?" tanya Sein sedikit kecewa.
" Kita berteman, kan? kenapa kau masih bertanya lagi?"
Sein terkekeh. Ia paham, gadis itu tak mau buru-buru. Ia akan bermain santai.
" Well, setelah ini kau mau kemana?" Sein mengganti topik pembicaraannya.
" Kau sendiri?"
" Tak tau. Aku baru saja selesai presentasi."
" Oya? Memang apa pekerjaanmu? Jangan-jangan kau seorang bos." gurau Rin.
Sein tertawa.
" Bukan. Aku web programer. Tugasku membuatkan program. Biasanya pangsaku adalah perusahaan besar."
" Wow, keren sekali."
Sein tersenyum.
" Aku bisa berpindah-pindah negara. Tapi aku memilih menetap di sini."
" Oya?"
" Hm, Indonesia berhasil membuatku jatuh cinta dengan keramahannya. Ya meskipun aku harus rela mondar-mandir jika ada clien luar negri yang membutuhkan programku."
Rin berdecak kagum. Ia tau pria itu bukan bermaksud sok pamer. Hanya sedang menjelaskan bahwa pria itu jelas keberadaannya dan benar-benar pria baik-baik.
" Kebetulan sekali kakakku juga ikut menetap di sini. Suaminya pengusaha home industri, ia asli Indonesia." lanjutnya.
" Kau tinggal dimana?" tanya Rin.
" Aku ada apartemen di jakarta. Lalu tempat istirahat di Bandung."
" Rumah maksudmu?"
" Ya begitulah."
Rin menatap takjub pria yang ada di hadapannya.
" Aku pernah dekat dengan wanita indonesia asli. Ia gadis makassar. Seorang pramugari kelas eksekutif. Cantik. bernama Meiva. Aku pernah mencintainya. Tapi ia meninggalkanku dengan alasan orang tuanya tak suka dengan pria asing. Minggu depan ia akan menikah dengan pemilik Cakra Corps." jelas Sein.
Cakra corps? Bukankah itu perusahaan property yang lumayan berpengaruh di negara ini? Rin paham kenapa Meiva lebih memilih menikahi pebisnis property itu. Tunggu!! Gadis makassar? Rin kembali teringat Araz yang sampai saat ini tak lagi menghubunginya. Mungkin pria itu serius memutuskan hubungannya.
" Hey, ada masalah?"
Rin tergagap. Ia segera menarik senyumnya.
" Tidak. Aku sedang membayangkan kota makasaar seindah apa? Bulan depan ada libur nasional di tengah pekan jadi otomatis aku bisa libur panjang. Dan aku merencanakan untuk hunting ke makassar."
" Oya? Menarik sekali. Tapi sayang aku harus ke Jerman untuk beberapa pekan. Ada clien yang ingin meng-upgrade sistem komputernya."
" Tenang saja nanti aku akan ceritakan bagaimana serunya perjalananku."
" Hm, tak perlu. Kau hanya akan membuatku pingsan penasaran dengan serunya ceritamu."
Rin tertawa.
***
Araz, kau serius memutuskan hubungan kita?
Rin mengirim pesan. Ia terdiam sedikit tak sabar menunggu balasan dari Araz. 10 menit. 20 menit. 1 jam. Rin menguap. Tak ada balasan dari Araz. Ia merebahkan tubuhnya ke kasur kesayangannya.
" Kelihatannya kau serius dengan ucapanmu, Araz." gumam Rin dengan mata terpejam.
Hingga pagi menjelang. Rin membuka matanya. Hal pertama yang ia lakukan adalah mengecek ponselnya. Oh, No!! Araz benar-benar tak berniat membalas pesan messenger-nya.
" Hm, baik kalau itu maumu! Awas saja kalau kau memohon-mohon untuk kembali." umpat Rin.
***
" Hey, Rin." sapa Larry saat Rin keluar dari kantor.
Rin mengerjabkan matanya menatap pria hangat yang sedang bersandar di mobil sedannya.
" Larry?" desis Rin tak percaya.
" Rin, aku duluan. Larry sudah menjemputku." ujar Amara mendahului langkah Rin yang terdiam mematung.
" Hey, Amara?!!" panggil Rin.
" Sebentar lagi Sein ada untukmu. Bye!!!" teriak Amara ceria.
Hey, mereka semakin dekat sekali?! Oh, No! jangan bilang sebentar lagi mereka in a relation ship. Ini terlalu cepat. Kau belum tau siapa Larry sesungguhnya, batin Rin seraya menatap kepergian Amara.
Tin!!!!
Rin terlonjak kaget saat sebuah mobil meng-klakson dan berhenti tepat di depannya.
" Mobil sialan!!" umpat Rin kesal.
Sejenak ia terbungkam saat melihat seorang pria WOW dengan kemeja hitamnya keluar dari mobil itu menghampirinya.
" Hey, apa Larry sudah bilang kalau aku akan menjemputmu tapi agak telat." sapanya dengan senyum mautnya.
Rin tak bisa berkata apa-apa. Pria itu membuatnya meleleh apalagi saat tercium harum tubuh pria itu. Stoppp!!! Jangan mendekat lagi. Aku bisa mati kehilangan nafasku! batin Rin.
" Hey,,"
Sein melambaikan tangannya di depan wajah Rin yang tengah diam tak bergeming, matanya membulat menatap Sein.
" Rin, ayo kita pulang." ucap Sein menarik lembut tangannya.
" Hey!!!" Rin tersentak, tersadar dari keterpanaannya.
" Kenapa?!" tanya Sein kaget.
" Kenapa kau menjemputku? Aku bisa pulang sendiri, Sein."
" Hey, bukankah kau berjanji akan memilih gaunmu bersama Paris untuk acara akhir pekan kita nanti?"
Janji? Rin menatap Sein penuh tanya.
" Kapan aku berjanji?"
Sein berdecak. Gadis itu membuat kesabarannya habis. Ia menggeram.
" Kau membuatku ingin mencium habis bibirmu sampai kau kesulitan bernapas." gerutu Sein dengan lirih.
" Apa katamu?" Rin mendelik.
" Tidak. Ayo masuk." ujar Sein seraya mendorong Rin ke dalam mobil.
" Sein,.."
" Bukankah semalam kau membalas pesan messengerku?" Sein mengingatkan.
Oowh! Rin menepuk jidatnya. Lalu ia menyeringai lebar pada Sein yang tengah menghela nafasnya dibalik kemudi.
" Ya, aku tau kau agak pelupa. Amara menjelaskan semuanya padaku. Termasuk tentang mantan pacarmu yang keras kepala."
" Apa??!!!!" pekik Rin.
Ia membungkam mulutnya yang ternganga dengan ketiga jarinya. Amara keterlaluan!!!! Gadis itu tetap tak berubah sejak dulu. Ia tetap tak bisa menjaga mulut usilnya.
" Bagaimana kalau aku menggantikan mantan pacarmu?" goda Sein, padahal ia sedang menyatakan perasaannya pada Rin.
Rin telah membuatnya jatuh cinta sejak pertama ia melihatnya.
" Noway!!"
" Kenapa? Amara benar, Rin. Kau tak bisa mengharapkan sesuatu yang tak jelas kemana arahnya."
" Hey, sebaiknya kau berkonsentrasi pada mobilmu dan acara akhir pekanmu."
" Bersamamu tentunya."
" Sein!!!" geram Rin.
Sein terkekeh. Dalam hati Rin gusar apa Sein serius atau hanya main-main. Tapi jika Sein benar-benar serius ia akan mempertimbangkan untuk move on. Tanpa sadar Rin tertawa kecil.
" Rin, kau kenapa?"
" Tak apa, Sein." Rin tersenyum misterius.
***
" Warna silver membuatmu terlihat sangat dewasa, Rin. Lebih baik hitam saja." komentar Sein ketika Rin menerima satu gaun yang ditawarkan seorang pelayan butik.
" Jangan menjuntai hingga ke lantai. Kau akan terlihat seperti seorang wanita berumur tiga puluh."
Rin memutar bola matanya. Pria ini bawel sekali! Mr. Perfect!!
" Hey, putih gading ini sepertinya cocok untukmu." ujar Sein menunjuk pada sebuah gaun.
Simple tanpa banyak rumbai, tanpa payet. Hanya ada satu bunga putih di samping pinggul agak ke depan. Rin mengamati gaun selutut itu. Nice!!
" Bagus, Sein."
" Ya, kau tinggal menambah wedges coklat pastel mu agar tampak awesome. Kau tak perlu menyanggul rambutmu ku kira."
" Kau tau sekali dandanan perempuan."
" Ya, aku sering mengamati Paris saat berdandan. Ia selalu natural tapi tetap terlihat seksi."
" Jangan-jangan kau menginginkan wanita seperti Paris."
" Tidak juga. Aku ingin wanita sepertimu."
" Eewww..."
" Bagaimana kalau aku serius?"
" Lupakan, Sein. Lebih baik kau memikirkan acaramu ini."
Sein menggeram. Ia tau Rin berusaha menghindari pembicaraan yang mengarah serius. Well, I promise you'll be mine, Rin.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top