Empat
Malam menjelang, Rin segera berkemas karena sebentar lagi travel yang akan ia tumpangi menjemputnya. Ia sibuk memasukkan barang-barangnya saat Sein menelponnya.
" Ponselmu berdering, Rin. Sein menelponmu." ucap Amara yang berada di dekat ponsel Rin yang tergeletak di meja rias.
" Abaikan saja. Aku sedang sibuk memberesi barangku." jawab Rin sekenanya.
Amara hanya mengangkat bahu sambil menarik resleting tas ranselnya.
" Sein menelponmu lagi." ujar Amara selang beberapa menit.
Rin menghela nafasnya begitu selesai menarik resleting tas ranselnya.
" Yaaa.." sahut Rin seraya memutar bola matanya.
" Akhirnya kau takluk juga sama pria asing itu.." celoteh Amara tanpa mengalihkan tatapannya dari ponselnya.
" Eww, sepertinya ada yang sedang gembira membalas pesan dari kenalan baru." balas Rin.
Amara mengatupkan mulutnya. Wajahnya bersemu merah.
" Jangan lupa kau kenalkan Larry padaku." goda Rin lagi.
" Bagaimana kau bisa tau?"
Rin tersenyum misterius. Ia segera meraih ponselnya.
" Ya, Sein?"
" Susah sekali aku menelponmu." sungut Sein.
" Aku sedang mengemasi barangku, Sein. Jadi maafkan aku."
" Berkemas?"
" Ya, malam ini aku akan kembali ke kotaku."
" Dimana?"
" Apa itu penting?"
" Hey, jelas penting. Ini berhubungan dengan janjimu."
" Aku bisa kapan saja datang kemari. Jadi tak usah khawatir dengan janjiku."
" Tak apa. Biar aku nanti ke kotamu. Sebutkan dimana?"
" Jakarta."
" Really?"
" Ya, Sein."
" Baik. Nanti aku hubungi kamu kalau aku ke sana."
" Hm.."
Rin memasukkan ponselnya lalu meraih tas ranselnya saat terdengar deru mobil memasuki pelataran villa.
" Tak ada yang tertinggal 'kan?" ujar Amara memastikan.
Rin mengangguk mengikuti langkah Amara seraya menyematkan handfree ke telinganya, mendengarkan lagu-lagu favoritnya lewat playlist di ponselnya. Sesaat Rin terdiam saat melihat seseorang bersandar manis di mobil yang ia kira travel pesanannya. Ia juga melihat Amara tengah berbincang akrab dengan seorang pria. Apa itu Larry? Oh, Ra. Secepat itukah kau welcome dengan orang asing?!
" Hey, kenapa kau masih bengong di situ?" tegur seseorang itu.
" Sein?" desis Rin tak percaya.
Rin kembali mengingat-ingat kapan ia memberikan alamat pada pria itu. Rasanya tak pernah. Tadi sore ia pulang naik transbandung. Ia menolak diantar pria itu.
" Bagaimana kau bisa tau villaku di sini?" tanya Rin seraya mendekat.
" Rupanya temanmu sangat welcome dengan orang asing. Berbeda denganmu."
" Amara?!"
" Ya. Larry mengajakku untuk kemari. Dia bilang kalian tidak kebagian travel untuk pemberangkatan malam ini."
" Yakin? Amara mengatakan ada travel untuk kami malam ini."
" Ya. Itu karena ia tau kamu pasti akan mencak-mencak kalau ia bilang kami akan mengantar kalian."
Rin memutar bola matanya. Amara!!! geramnya dalam hati. Dengan sangat terpaksa Rin masuk ke dalam mobil itu karena besok Rin harus kembali bekerja. Amara ternyata sudah masuk sejak tadi.
" Lalu untuk apa tadi kau bertanya saat ditelpon?" tanya Rin saat Sein men-starter mobilnya.
Sein menoleh. Menyeringai lebar. Rin menatapnya tajam. Gadis konyol ini benar-benar membuat Sein ingin menaklukkannya.
" Hanya basa-basi, Rin." Jawab Sein santai.
Rin mendengus kesal. Apa katanya? Hanya basa-basi?! Rin mengalihkan tatapan tajamnya pada Amara yang tepat berada di sampingnya.
" Kita bicarakan nanti sesampainya di Jakarta. Kau terlalu welcome jadi perempuan, Ra." geram Rin.
" Setidaknya kita bisa hemat sekian juta, Rin." seringai Amara.
Rin mendelik. Amara!! Perempuan ini kalau sudah berbicara uang ia pasti akan berada paling depan. Rin mengusap mukanya pelan.
" Hey, ada masalah?" tanya Sein.
" Tidak, Sein. Gadis incaranmu hanya sedikit butuh penjelasan." sahut Amara blak-blakan.
Rin mengerang. Ia melotot kesal pada Amara. Terkadang mulut sahabatnya tidak bisa menfilter kata-kata dengan baik.
" Amaraaa!!!" pekik Rin kesal.
Dua pria di depan langsung menoleh mendengar teriakan Rin yang cukup histeris. Terlihat Amara menutup kedua telinganya rapat-rapat. Sein mengulum senyum. Baginya ini lucu! Apa? Lucu?!!
" Jadi dia gadis yang kau ceritakan padaku?" tanya pria itu pada Sein.
Sein mengangguk mantap. Senyumnya merekah dengan bangga.
" Nice. Hey, aku Larry." ucap pria itu ramah seraya menjulurkan tangannya.
" Hey, Rin." balas Rin sambil tersenyum ramah.
Sein mengerutkan keningnya. Kenapa gadis itu bisa bersikap ramah pada Larry sementara pada Sein tidak?
" Predikat WOW masih ada padamu, Sein. Tapi dewi fortuna memihak padaku." ledek Larry saat menyadari Sein sedikit kesal dengan sikap Rin yang ramah pada sahabatnya.
" Menyebalkan!!" umpat Sein.
Ia melirik Rin. Sepertinya gadis itu tak peduli dengannya. Rin malah sibuk bermain dengan gadget-nya.
***
Rin mengerjabkan matanya saat mendengar jam weaker-nya berbunyi nyaring. Ia menggeliat lalu menutup mulutnya yang menguap lebar dengan punggung tangannya. Rutinitas yang cukup monoton baginya. Bangun pagi, mandi, sarapan sebentar kalau sempat lalu berangkat bekerja. Eh, tunggu!! Bukankah semalam ia tengah dalam perjalanan pulang? Rin mencoba mengingat semuanya.
" Tidurmu seperti orang mati. Susah sekali dibangunin." celetuk Amara yang sudah rapi dengan baju kerjanya saat Rin melintas di ruang makan.
" Oh, kau tidur di sini semalam?"
Amara mengangguk. Rin tinggal sendiri di rumah yang cukup besar ini. Ibunya cukup sibuk dengan bisnis restoran dan cateringnya. Ibunya lebih sering menginap di rumah kakak Rin yang sudah berkeluarga. Rumah kakak Rin memang sangat dekat dengan restoran sang ibu.
Rin kembali membalikkan badannya dengan cepat. Ia mengingat sesuatu.
" Bagaimana aku bisa sampai ke kamarku kalau aku dalam keadaan terlelap?" tanya Rin panik.
" Tentu saja Sein yang menggendongmu." jawab Amara santai seraya menuang sebotol susu ke dalam gelas.
" Sein? Pria asing itu?!!" pekik Rin.
" Ssh..kecilkan suaramu, Rin. Tak baik seorang gadis pagi-pagi berteriak histeris."
" Hm. Kau becanda 'kan?" tanya Rin mengambil duduk di meja makan.
Amara bergidik.
" Kenapa kau mengijinkan pria itu menggendongku?"
" Hey, kau pikir aku wonder women yang bisa dengan gampang mengangkat tubuhmu?" Amara memutar bola matanya.
" Whatever! Kenapa semalam aku kacau sekali, hh!" gerutu Rin lirih.
" Rin?"
Rin tak menjawab. Ia segera bergegas ke kamarnya sambil menggerutu tak jelas.
" Pria macam apa yang tertarik dengan gadis konyol sepertimu, Rin." gumam Amara menatap punggung Rin yang menghilang di balik pintu.
***
" Araz keterlaluan!!! Ia tak lagi menghubungiku!"ucap Rin kesal sambil duduk kembali di meja makan.
Kali ini ia sudah rapi dengan baju kerjanya. Amara yang sedang mengoleskan selai kacang di rotinya, menatap Rin heran.
" Jelas saja ia tak pernah lagi menghubungimu. Bukankah ia memutuskanmu saat liburan akhir pekan?! Ku rasa kau belum pikun benar."
Amara geleng-geleng kepala. Mendengar penjelasan Amara, Rin membulatkan matanya.
" Bagaimana bisa?"
" Mana ku tau, Rin. Itu masalahmu berdua."
" Maksudku bagaimana bisa aku tak menyadarinya? Lalu aku harus bagaimana?"
Rin menggigit bibir bawahnya.
" Kau patah hati?" tanya Amara hati-hati.
Rin menggeleng. Baginya itu sudah biasa. Sebentar lagi juga Araz meminta kembali.
" Lalu?"
" Jadi aku harus bagaimana?" tanya Rin lirih.
Amara menghela nafas panjang.
" Kau terlalu sering putus-nyambung. Ada baiknya kau mencari lagi pria lain yang serius denganmu."
" Tapi aku mencintainya."
" Tapi kau harus memikirkan masa depanmu, Rin. Masa iya saat kau berumahtangga nanti akan putus-nyambung?"
" Jadi aku harus mencari pengganti Araz?" desis Rin.
" Kurasa begitu."
" Apa ada?"
" Rin!!! kau membuatku geram dengan masalahmu." umpat Amara.
Rin terkekeh. Ia memang sengaja membuat Amara berteriak kesal pagi-pagi.
***
Rin termenung. Mencari pengganti Araz? Apa bisa? Apa ada yang mau berbaik hati mencintai Rin dengan tulus? Mengingat Rin yang cukup egois, lebih mementingkan kesibukannya. Rin tersenyum kecut. Baginya hanya Araz yang bisa menerima Rin meski mereka berdua sering berselisih.
" Untuk apa kau memikirkan Araz. Belum tentu ia memikirkan dirimu, Rin."
Rin tersentak. Ia menyeringai lebar. Tangannya mengaduk-aduk asal mie gorengnya.
" Kurasa tak akan ada yang bisa menggantikan Araz. Aku mencintai pria keras kepala itu." ucap Rin lirih.
Amara menghela nafas panjang.
" Itu karena kau sudah terjebak dalam zona nyaman, Rin. Sampai-sampai kau menutup mata tentang masa depanmu."
Rin terdiam. Ia menatap Amara yang tengah melahap nasi gorengnya.
" Ternyata sepiring nasi goreng mampu membuat Amara yang terkenal tulalit menjadi seperti seorang profesor." ledek Rin.
" Daripada dirimu. Dimana-mana orang menyebutmu gadis konyol. Kau terlalu konyol sampai terkadang tak tau apa itu membahayakanmu atau tidak." balas Amara.
" Ra, menurutmu Sein.."
" Kenapa Sein? Kurasa ia pria baik-baik. Berteman baiklah dulu dengannya." potong Amara.
" Kurasa Larry cocok buatku."
Amara mendelik.
" Hey, Larry gebetanku!! Jangan kau otak-atik pria handsomeku!" seru Amara sedikit tak terima.
Rin tertawa. Seorang Larry mampu membuat Amara sewot padanya. Padahal pria itu baru dikenalnya.
" O ow, kau menyukainya?"
" Eww, seperti Sein yang menyukaimu tentunya. Dan kau juga menyukai Sein kalau kulihat. Hanya saja kau sok jual mahal padanya." cibir Amara.
" Sok tau! Aku hanya mencoba menikmati kesendirianku. Kurasa itu akan lebih baik. Toh aku baru saja putus. Jangan terlalu buru-buru, Amara."
" Ya, aku sedikit setuju padamu." sahut Amara.
" Oya, nanti sore kita tak jadi hang-out karena Larry akan menjemputku." lanjutnya setelah menyedot habis minumannya.
" Ha?!!"
Rin melongo, menatap Amara yang segera bergegas pergi. Apa Rin tidak salah dengar? Secepat itukah? Oh, God!
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top