Dua Belas
Rin mematut diri di cermin. Gaun putih panjang ramping melebar di bagian lutut ke bawah membuat Rin lebih anggun dari biasanya.
" Yeah!! perfect!! Aku suka sekali. Kau terlihat lebih sexy!" seru Sein saat menemani Rin fitting gaun pengantin bersama Paris.
" Kau bukan lagi terlihat seperti gadis konyol. Like a queen!" seru Paris tak mau kalah.
" Ayolah, berhenti mengatakan itu. Karena buatku itu menggelikan." ucap Rin dengan wajah memelas.
Sein dan Paris tertawa seketika.
" Aku punya kejutan untukmu." ujar Sein.
" Hm, apa itu?" tanya Rin penasaran.
" Come on. Setelah ini kita makan malam."
Paris berjalan lebih dulu memasuki restoran western bergaya klasik itu. Sein menggandeng hangat tangan Rin. Rin mengerutkan keningnya. Ibu? Kak Dany? Lalu dua orang paruh baya sedang berbincang asyik dengan ibu dan Dany.
" Mereka orang tuaku. ibuku Jana Soeprapto dan ayahku Keanu Seanberg." bisik Sein tepat di telinga Rin.
Rin menahan tangan Sein yang menggenggamnya. Seketika tubuhnya menegang. Ia mendelik pada Sein yang meringis lebar.
" Hey, kau berniat membuatku berakhir dengan serangan jantung?" pekik Rin tertahan.
" Tenanglah, Love. Lihat ibu dan kakakmu sedang asyik berbincang. Orang tuaku tidak menyeramkan, bukan?"
Rin memutar bola matanya. Sein mengusap tengkuknya. Ia melepas genggaman pada tangan Rin, beralih merangkul ketat pinggang Rin. Dan itu semakin membuat Rin menegang.
" Come on!" bisik Sein meyakinkan.
" Hey, calon mempelai apa yang kalian sedang diskusikan, hm? Aku sudah lapar. Come on!" seru Paris yang sudah duduk manis di samping Jana Soeprapto.
" Ssh, Paris. Kau tak pernah berubah meski sudah berumah tangga. Maafkan anak perempuan kami, Ibu Arianna." ucap Keanu Seanberg dengan bahasa indonesia fasihnya namun ada sedikit logat asingnya, pada ibu Rin.
Ibu Rin hanya tersenyum lebar, memaklumi.
" Paris sudah seperti anak saya sendiri." ujar Ibu Rin ramah.
" Dengar, kan, Pap?" sahut Paris mengerling.
" Selamat malam semuanya.." sapa Sein.
" Hay, ini? O my Godness, so beautifull." Keanu berdecak begitu juga Jana.
Rin tersenyum hormat, mengulurkan tangannya, mencium punggung tangan Keanu dan Jana bergantian.
" Nice. Aku ayahnya Sein, Keanu Seanberg." ucap laki-laki separuh baya itu ramah.
" Cantik, Sein. Siapa namamu, nak?" ujar Jana.
" Rin Dianna, Tante."
" Nama yang cantik. Rin, saya Jana Soeprapto. Panggil kami papa dan mama. Jangan Tante. Kami menyukaimu." ujar Jana lembut.
Rin mengangguk hormat. Ia kemudian mengambil duduk di samping Sein satu-satunya kursi yang tersisa.
" Baik, kita mulai saja makan malam ini. Makan malam yang luar biasa hangat." ucap Keanu terkekeh mengundang tawa seluruh orang yang berada di meja panjang itu.
***
" Kenapa tidak bilang kalau orang tuamu datang, Sein?" tanya Rin begitu sampai di depan rumah.
" Ya. Aku pikir Paris becanda. Papa orangnya sibuk mengurus perusahaannya."
" Hm, kenapa kau tak membantu papamu saja mengelola perusahaan?"
" Well, mungkin nanti. Papa pernah menawarkan itu tapi kalau kau bersedia kubawa menetap di Paris mungkin aku bisa mempertimbangkan semua itu."
" Hey, aku mau ke Paris kalau hanya untuk sekedar liburan. Selebihnya tidak. Karena aku suka tinggal di sini."
" Like me."
" Sein, umm.."
" Hm?"
" I'm yours forever.."
Sein terkesiap. Ia menatap Rin tak percaya.
" If you promise be mine forever." lanjut Rin.
Ini adalah kata-kata Rin terindah yang pernah ia dengar. Sein merangkum wajah Rin dengan lembut.
" I promise. I love you, I wanna you and I waiting on you." bisik Sein lalu mengecup lembut bibir manis Rin.
" I waiting on you. Tiga minggu lagi." ucap Sein lagi.
" Of course, my Man."
" Istirahatlah. Besok pagi aku akan menjemputmu."
" Bye, take care." Rin kemudian masuk ke dalam rumah.
Rin setengah terlelap ketika ponselnya bergetar. Rin memicingkan matanya. Ia melirik jam weakernya. Pukul 23.00. Tangannya bergerak meraih ponselnya. Pria itu lagi. Rin mengabaikan telfonnya. Ia kembali terlelap.
***
" Hay, Babe. Kau sudah siap?" sapa Sein saat menemukan Rin tengah meminum susunya di meja makan.
" Ya. Kau santai sekali?"
Rin menatap Sein yang hanya mengenakan kemeja putih yang dibalut sweater warna abu-abu gelap V-neck. Kancing kemejanya yang terbuka dua. Lalu lengan sweater yang disingsingkan 15cm di atas pergelangan tangannya. Rambutnya yang selalu sedikit diacak.
" Hm, but you look so good." lanjut Rin.
" Aku hanya bertemu dengan dua perusahaan hari ini. Jadi, aku akan memiliki banyak waktu luang sebelum nanti aku benar-benar mengosongkan jadwalku selama sebulan penuh."
" Sebulan penuh?"
" Ya, aku ingin menikmati kebersamaan kita."
" Hah?"
" Ya. Aku serius, Rin."
Sein tertawa saat melihat perubahan mimik muka Rin yang cukup lucu. Apalagi dengan wajah Rin yang mulai memerah.
" Kau terlihat sexy saat tersipu malu." goda Sein.
" Sein!!!" pekik Rin kesal.
Sein tertawa. Ia melingkarkan tangannya di pinggang Rin lalu membawa Rin melangkah.
" Bye, my Baby. Nanti aku jemput." ucap Sein begitu sampai di depan kantor Rin.
Rin melambaikan tangannya sebelum akhirnya masuk ke dalam kantornya.
" Kapan kau cuti, Rin?" tanya Amara begitu Rin datang.
" Nanti akhir pekan."
" Hm, aku pasti akan merindukanmu. Oya, omong-omong aku jadi pengen cepat-cepat menikah."
" Apa kau yakin dengan Larry?"
" Ya. Aku menerimanya sekarang tak peduli dengan masa lalunya. Semua orang berhak mendapatkan yang terbaik bukan?"
" Ya. Kau benar. Semoga kau cepat menyusul."
" Oya, aku kemarin tak sengaja bertemu Araz."
Araz? Rin menatap Amara kaget.
" Ia merindukanmu. Menginginkanmu untuk kembali."
Rin terdiam. Ia berharap jangan sampai Araz memohon kepadanya untuk kembali. Karena itu pasti akan sulit untuk menolaknya. Rin belum benar-benar melupakannya. Rasa itu akan kembali ada jika ia berhadapan dengan Araz.
" Aku sudah melupakannya." ucap Rin lirih.
" Aku turut bersyukur kalau kau memang benar-benar telah melupakannya. Kau bukan tempat singgah."
Rin tersenyum tipis. Ia duduk di mejanya lalu menyalakan komputer. Rin memilih menenggelamkan dirinya dalam berkasnya, menepis jauh-jauh bayangan Araz.
***
Untuk yang kesekian kalinya Rin menoleh ke belakang. Ia merasa ada seseorang yang mengikutinya. Jantungnya terasa berdegub lebih kencang. Ia bersiap mengeluarkan seluruh umpatannya pada Sein yang terlalu lama ke toilet.
Rin memutuskan untuk kembali memesan fruitpunch lalu menghela nafas panjangnya. Ia mengedarkan tatapannya ke seluruh foodcourt tempatnya bersantai. Tak lama Sein datang.
" Maaf, lama."
Rin memicingkan matanya saat Sein mengusap sudut bibirnya.
" You okay, my Man?" tanya Rin hati-hati.
" Hm, I'm okay, Love."
" Bisa kau jelaskan kenapa kau lama ke toilet?"
Sein terdiam. Menatap Rin dengan tatapan yang sulit untuk Rin artikan. Rin tau pasti ada sesuatu dengan pria di hadapannya. Rin meraih tangan Sein, menggenggamnya lembut. Matanya menatap Sein meminta penjelasan.
" Rin, aku tau kau masih mencintainya. Aku bisa melepaskanmu untuknya. Aku juga tau dia sangat mencintaimu dibalik sikap keras kepalanya." ucap Sein lirih.
" Apa itu artinya kau melepasku? Kau tak ingin lagi melanjutkan harapanmu?" Rin mulai merasa sesak.
" Apapun itu asal kau bahagia menjalani hidupmu. Aku akan baik-baik saja meski aku pasti butuh waktu mungkin lebih lama dari yang sebelumnya."
" Apa yang akan kau lakukan jika aku memilih tetap bersamamu?"
" Aku tak bisa menjanjikan apa-apa seperti yang pria itu janjikan. Membuatmu bahagia. Aku tak bisa menjanjikan untuk selalu membuatmu bahagia seperti pria itu."
Rin memejamkan matanya agar air matanya tak luruh di hadapan Sein. Kenapa Sein jadi selemah ini?
" Apa kau bertemu dengannya?"
Sein terdiam. Rin menatap Sein berkaca-kaca. Ada sedikit lebam di sudut bibirnya.
" Apa ini perbuatannya?" tanya Rin menyentuh pelan ujung bibir itu.
" Rin.."
" Aku akan melanjutkan pernikahan kita. Aku takkan meninggalkanmu seperti yang pernah wanita itu lakukan padamu."
" Untuk apa?"
" Untuk harapan kita. Sein, apa kau tau kau telah mengajariku bagaimana untuk melupakannya dan mulai mencintaimu?"
Sein terkesiap. Ia menatap gadis yang sangat ia cintai. Mata itu bersungguh-sungguh menerima Sein. Mencintai Sein meski belum sepenuhnya.
" Kau benar-benar menerimaku? Bukan hanya mulutmu tapi juga hatimu?"
Rin mengangguk meyakinkan Sein.
" Jadi?"
" Tak ku pedulikan ia yang akan merebutmu dariku. Kau milikku, Rin Dianna Seanberg."
Rin tertawa lirih di tengah air matanya yang tak dapat ia tahan. Ini lebih dari indah.
" Apa yang Araz lakukan padamu?"
" Hm, tak penting."
" Tapi ia memukulmu."
" Ya, itu karena aku menantangnya bagaimana kalau aku tak mau melepas Rin?"
" Bagaimana kalau aku ingin meninggalkanmu?" goda Rin.
" Rin.."
" Ahahaha.. Sein, itu takkan terjadi."
Sein tertunduk malu begitu menyadari Rin berani menggodanya.
" Nyonya Sein, kau milikku. Jadi jangan harap kau bisa meninggalkanku."
" Hm, baiklah, Tuan Sein." sahut Rin di sela tawanya.
Aku akan memastikan kau berada dalam jangkauanku. Jangan sampai pria itu membawamu kabur dari pernikahan kita seperti yang tadi pria itu katakan. Janji Sein dalam hati.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top