Dua
Rin menghentikan larinya. Nafasnya sudah satu dua. Ia terduduk lemas di warung tenda yang cukup ramai. Amara tak kalah ngos-ngosannya dengan Rin.
" Ulahmu membuatku lelah harus berlari seperti dikejar seekor anjing." protes Amara setelah meneguk habis satu botol air minum yang baru saja Rin ambil dari lemari pendingin di warung tenda itu.
" Jadi kau menyalahkanku?"
Rin tak terima. Amara menjawab dengan anggukan kepala. Keduanya terdiam mengatur napas.
" Ra, untuk apa kita lari?"
Amara mendelik. Rin bertanya untuk apa? Bukankah tadi dia yang menjerit histeris dengan paniknya menyuruh untuk segera berlari dari pria asing itu?
" Kau kenapa menyuruhku?" sungut Amara.
" Pria itu terlalu ganteng untuk kita lewatkan! Oh, God. Bodoh! Kenapa tadi aku berteriak menyuruhmu untuk berlari?" gumam Rin menyesali keputusannya.
" Hey, hanya karena pria asing itu ganteng terus kau menyesali perbuatanmu? Rin. Oh, God! Rasanya aku perlu melapor pada Araz."
" Kau mau tidak?" tanya Rin menggoda Amara dengan kedipan matanya.
" Sinting!" umpat Amara.
Rin terkekeh. Sekilas ia melihat Amara tersenyum tak jelas. Ia tau sahabatnya mulai tergoda. Rin memang suka menggoda Amara untuk hal yang cukup tidak baik. Cowok!! Bukan yang lain.
" Akhirnya aku menemukan kalian."
Rin tersentak. Pria asing nan handsome itu!!! Ia berdiri tepat di belakang Rin. Rin menegang saat pria itu mengambil duduk di sampingnya. Pria itu mengulum senyum melihat ketakutan dan kepanikan yang melanda gadis itu.
" Kau tak berniat untuk meminta maaf padaku?" tanya pria asing itu menjengitkan alisnya.
Rin menggeleng cepat.
" Baik. Aku akan membawa paksa kameramu..."
" Jangan!!" potong Rin cepat.
" Berarti.."
" Okey, aku minta maaf sudah mengambil gambarmu tanpa ijin." ucap Rin cepat.
Rin menundukkan kepalanya. Kakinya sengaja menyenggol kaki Amara yang sedari tadi hanya diam terpana menatap pria asing itu.
" Aku pasti memaafkanmu tapi tidak semudah itu."
Rin mendelik. Apa yang akan pria itu lakukan padanya? Jangan-jangan dia akan memaksa Rin untuk kencan semalam dengannya. Tidak! Tidak! Atau bisa saja pria itu meminta uang ganti rugi sekian juta. Tunggu!! ganti rugi? Kenapa pria itu merasa dirugikan? Tidak ada yang berkurang dari tubuh pria itu, bukan? Rin bergidik ngeri membayangkan hal-hal buruk yang akan pria itu lakukan padanya.
" Aku bukan pria mesum seperti yang sedang kau bayangkan!!"
Rin menoleh cepat menatap pria itu. Bagaimana ia bisa tau kalau Rin sedang berpikir yang tidak-tidak tentang pria itu.
" Wajahmu mengatakan semuanya." ujar pria itu santai.
" Jadi..."
" Siapa namamu?" tanya pria itu.
" Amara!!"
" Rin!" celetuk Amara tak terima.
Pria itu mengerutkan keningnya menatap kedua gadis itu yang saling melotot.
" Jadi Amara atau Rin sebenarnya?"
" Rin." ucap Amara cepat.
Rin mengerucutkan bibirnya sambil mengumpat tak jelas. Sekali lagi ia mendelik ke arah Amara yang menjulurkan lidahnya.
" Dan kau Amara? Baik, Rin. Aku kabari nanti malam."
" Kau.." pekik Rin saat pria itu meraih ponselnya seperti terlihat sedang mengetikkan sebuah nomor.
Rin segera merebut ponselnya. Tapi sayang, pria itu menaikkan tangannya tinggi-tinggi.
" Aku kembalikan. Nomormu sudah ada di daftar panggilan masukku." ucap pria itu sambil bersiap untuk pergi.
Pria yang aneh!! umpat Rin.
" Hey, siapa namamu?!!" teriak Rin saat menyadari pria itu sudah melangkah beberapa meter.
" Sein."
Sein? Rin memicingkan matanya. Nama yang aneh. Menggambarkan orangnya.
" Pria asing itu.. So cool, so handsome. Matanya hijau pekat. Kurasa ia pakai softlens. Tapi tak mungkin! Perawakannya menandakan kalau ia ada gen dari luar.." gumam Amara.
" Blasteran maksudmu?"
" Ya!"
Rin memutar bola matanya saat menyadari Amara sangat terpana dengan pria asing menyebalkan itu.
***
Rin menghempaskan tubuhnya ke ranjang begitu sampai di Villa. Jam di tangannya menunjukkan pukul delapan malam. Ia baru saja pulang berkeliling Bandung.
" Oh, God! Aku melupakan Araz!!" pekik Rin saat menatap ponselnya ada sepuluh pesan dan lima belas panggilan tak terjawab.
" Kenapa, Rin?"
" Araz pazti mencak-mencak." gumam Rin panik seraya menelpon balik Araz.
Amara hanya ber-hm menanggapi Rin. Ia sudah hafal dengan sifat Rin yang pelupa.
" Araz, maafkan kehilafanku. Aku sungguh-sungguhlupa!" cerocos Rin begitu telfonnya terjawab.
" Araz? Hey, ini Sein."
Rin tersentak. Mulutnya terbuka lebar. Bagaimana bisa ia menelpon pria asing itu? Ia segera mematikan telfonnya. Matanya sibuk mencari nama Araz di daftar kontaknya.
" Hallo, Araz?"
" Aku memang tak penting buatmu!!" suara ditelfon terdengar sangat kesal.
" Maafkan aku, Araz. Seharian aku ke kawah putih. Di sana tidak ada jaringan."
" Buktinya aku bisa menelponmu." ucapnya ketus.
" Iya itu tadi saat aku dalam perjalanan pulang. Aku naik angkutan umum. Jadi aku tak mau ambil resiko. Bagaimana kalau ponselku diserobot orang iseng saat menjawab telfonmu?"
" Setidaknya kau berusaha mencari signal untuk sekedar mengirim pesan padaku." Araz bersikeras.
" Araz!!!! kau sangat keras kepala.." geram Rin.
" Kau yang membuatku begini. Aku tak mungkin kesal kalau kau tidak membuatku kesal."
" Kau selalu menyalahkanku!!"
" Memang kau yang salah."
" Aku lelah. Kita lanjutkan debat ini besok lagi!"
" Kau selalu mematikan telfonku tanpa pernah menyelesaikan persoalanmu!" ucap Araz sinis.
" Jadi apa maumu?" Rin menahan geramnya.
" Ubah kebiasaan burukmu!!"
Klik. Rin melotot kesal saat Araz mematikan telfonnya. Apa-apaan pria ini? Pria egois! Pemarah!! Selalu ingin menang sendiri!!
Selang beberapa menit ponselnya kembali berdering. Rin menggeram kesal. Apa sih maunya pria ini, huh?!
" Apa lagi, hah?!" sentak Rin kesal.
" Apa salahku?" gumam suara di seberang, kaget.
Rin terkejut lalu menatap kembali layar ponselnya. Oh, Sein?!
" Hey, Sein. Maafkan aku.." ucapnya lirih ketika menyadari kesalahannya.
" No matter. Rin, kau harus membantuku."
Rin mengerutkan keningnya. Sein, pria asing yang baru dikenalnya meminta bantuan? Rin mulai membayangkan yang tidak-tidak. Jangan bilang pria itu akan memintanya untuk menjadi pacar atau tunangan pura-pura? Lalu ia akan membuat Rin jatuh cinta kepadanya dan akhirnya mereka benar-benar saling mencintai. Rin bergidik. Oh, Rin! Come on jangan terlalu berlebihan!! Rin memarahi dirinya sendiri.
" Rin!!!"
Tanpa banyak kata Rin mematikan ponselnya. Ia tak peduli dengan Araz yang semakin kesal jika nanti pria itu ingin berbaikan dengannya. Ia hanya ingin menghindari pria asing itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top