Delapan
Sein mengatupkan rahangnya keras. Ia menginginkan Rin kembali di dekatnya. Memastikan tak ada pria lain di hidup Rin selain dirinya. Sein mengerang frustasi. Nyatanya gadis itu menemui mantan kekasihnya. Jika memang Rin butuh waktu untuk melupakan mantannya, kenapa Rin mengijinkan Ia masuk dalam hidupnya.
Sein segera menyelesaikan tugasnya yang dijadwalkan memakan waktu empat hari. Sein rencana setelah dari Jerman ia akan singgah ke Prancis sejenak beristirahat di rumah orang tuanya. Tapi ia melupakan itu. Ia ingin segera kembali ke Indonesia menemui Rin, mendekap erat gadis itu selamanya.
Kalau saja Amara tak menelponnya mungkin ia masih pada rencana pertamanya. Ya, tanpa sepengetahuan Rin, Amara menitipkan pada Sein untuk menjaga hati Rin. Ia lelah melihat Rin yang terperdaya oleh Araz. Ia ingin Rin melanjutkan cerita hidupnya normal seperti yang lain. Tidak putar balik tak jelas bersama Araz.
Pesawat kelas eksekutif itu mendarat mulus di bandara. Sein menjejakkan kakinya di kota makassar. Ia segera meluncur menuju ke sebuah hotel yang pernah Amara berikan alamatnya. Butuh waktu hampir tiga jam untuk sampai di sana. Sein mengetuk pintu sebuah kamar.
Rin menguap, beranjak dengan malas mendengar ketukan pintu beberapa kali. Apa itu roomboy? Ah, perasaan ia harus check out besok pagi. Amara? untuk apa gadis itu mengetuk pintu? Bukankah tadi ia bilang ingin sarapan di bawah? Ia segera membuka pintu ketika ketukan itu semakin intens.
" Sein??!!!" desis Rin tak percaya.
Belum sempat ia menyadarkan dirinya, Sein sudah mendorongnya dan menutup rapat pintu itu.
" Seimmm.." geram Rin saat Sein melumat cepat bibir Rin.
Rin terkunci oleh tubuh kekar Sein. Wangi maskulinnya membuatnya lumer. Ia sudah tiga hari tak menghirup oksigennya. Rin menutup matanya menikmati harum tubuh Sein yang mulai memenuhi rongga paru-parunya. Apa ia merindukan pria itu?
" Rin, aku menginginkanmu." desah Sein di sela ciumannya.
" Sein, please.."
" Aku akan membuatmu lumer di pelukanku sampai kau hanya menginginkanku. Hanya aku bukan yang lain."
Rin hanya mengerang saat Sein menciumnya lebih dalam. Ini gila. Sein membuat Rin lumer setiap berada dalam genggamannya. Sein mengakhiri ciumannya, menatap lekat-lekat Rin yang tengah menggigit bibir bawahnya. Sexy!!
" Apa kau menemui pria itu?" tanya Sein lirih.
" Ya. Kenapa?"
Sein tersenyum getir. Gadis itu menjawabnya dengan jelas.
" Kau masih mencintainya?"
" Sudah kubilang, bantu aku untuk melupakannya, Sein."
" Aku mengerti." ujar Sein lirih seraya bangun dari tubuh Rin yang ia tindih.
Ia segera bergegas. Ia paham, Rin butuh waktu untuk menghabiskan rindunya bersama pria itu.
Rin menatap punggung pria asing itu dengan nanar. Apa Rin telah menyakitinya? Pintu itu kembali tertutup menelan sosok Sein dari pandangannya.
" Sein,,,"
Rin berontak. Ia segera berlari keluar kamarnya, mengejar Sein yang akan menuruni anak tangga. Rin menarik punggung Sein, memeluk erat pria itu dari belakang.
" Don't leave me, my man." bisik Rin.
Sein tertegun. Ia membalikkan tubuhnya, merangkum wajah Rin dengan kedua tangannya. Menatap dalam-dalam gadis yang kini memeluknya erat.
" Aku..aku butuh waktu, Sein."
" Aku mengerti. I'm yours, Baby. Aku akan menunggumu sampai kau siap."
Rin memejamkan matanya. Sein mengatakan itu dengan sangat tulus, terdengar sangat lembut di telinganya. Dan itu membuatnya sesak.
" Jangan menangis, Babe."
Rin tersenyum getir, menenggelamkan wajahnya ke dada bidang Sein. Aroma polo sport membuat Rin semakin rileks dalam dekapan pria itu. Tanpa Rin sadari, ia sudah kecanduan pria itu. Ia ingin pria itu tetap memeluknya, menyalurkan harum tubuhnya ke dalam aliran darah Rin.
***
" Bagaimana bisa kau ada di sini? Bukankah kau sedang ada tugas di Jerman?" tanya Rin mendongak, menatap wajah Sein yang kini memeluknya.
Sein terkekeh, mengecup sekilas kepala Rin.
" Ya. Aku berusaha cepat menyelesaikan pekerjaanku yang dijadwalkan memakan waktu hampir seminggu." ujarnya sambil menatap lembut wajah Rin.
" Jangan bilang ini ada hubungannya dengan Amara."
" Kalau iya kenapa?"
" Apa dia melaporkan semua padamu?"
" Hmm, bukan masalah buatku. Yang penting kau masih ada di sini." Sein menunjuk tepat di dadanya.
Rin terdiam. Ia menatap dalam-dalam mata hijau itu, mencari setitik kebohongan. Tapi sayang, ia tak menemukan.
" Tapi, Sein.."
" Kau masih mencintainya? Kau menerimanya kembali?"
Rin menundukkan kepala. Sikap Rin membuat Sein tak memerlukan jawaban. Sein mengusap pelan kepala Rin, menjatuhkannya di dadanya. Ada kecewa dan nyeri yang datang tiba-tiba. Tapi ia yakin, Rin takkan pernah pergi darinya. Rin miliknya. Dan ia selalu menginginkan Rin.
" Sein.."
" Aku mengerti, Rin."
***
Rin menatap sendu tubuh yang tengah terlelap itu. Perlahan ia mendekatinya, mengecup sekilas pelipis pria itu. Rin segera bergegas meninggalkan kamar itu.
Rin masuk ke dalam sebuah mobil dinas yang telah menunggunya di tepi jalan tak jauh dari hotel itu.
" Rin, bagaimana kalau kita tunangan? Nanti sepulang aku dari makassar."
" Kapan kau pulang?"
" Tiga bulan lagi, Rin."
Rin tersenyum tipis. Seharusnya ia bahagia tapi ia tak merasakan apa-apa. Rindu yang dulu pernah menggebu hilang tanpa sisa. Cinta? Apa Rin masih memiliki cinta untuk pria keras kepala ini? Rin tak merasakan apa-apa. Semuanya datar. Ia hanya ingin menemuinya, tidak lebih.
" Araz, aku harus kembali." seru Rin.
Araz mengerutkan keningnya, mengerem mendadak mobilnya hingga terdengar bunyi decitan.
" Riinnn!!!" teriak Araz memanggil Rin yang keluar dari mobilnya dan memberhentikan sebuah ojek.
Rin tak peduli dengan teriakan Araz. Yang ia ingin adalah kembali ke hotel. Tak berapa lama Rin sampai ke hotel. Ia berlari menuju ke kamarnya berharap pria itu masih ada. Pintu terkuak. Rin tersenyum diantara nafasnya yang tersengal-sengal.
" Sein.." desisnya.
Rin menindih pria yang tengah telentang dalam lelap, memeluknya erat. Tak peduli ia telah mengganggu tidur pria itu.
Sesaat Sein bergerak saat menyadari ada beban di tubuhnya. Ia mengerjabkan matanya lalu tersenyum simpul menyadari gadis itu tengah memeluknya erat.
" Hey, kau kenapa?" tanya Sein serak.
Rin tak menjawab, ia semakin mengeratkan pelukannya.
" Aku masih di sini untukmu, Hey. Aku tak akan kemana-mana jangan cemas." ucap Sein menyadari ketakutan yang tengah melanda gadis itu.
" Kita pulang sekarang."
Sein terbangun, bersandar pada kepala ranjang. Tangan kekarnya menarik pinggang Rin untuk tetap berada di pelukannya.
" Bukankah kau harus check out besok pagi? Lagipula Amara sedang bersenang-senang dengan pacarnya."
" Aku mau sekarang, Sein."
" Hey.."
" Right now, Sein." ucap Rin lagi.
Sein menyerah. Ia segera menelpon Larry yang tengah bersama Amara.
" Hm, come on." ujar Sein seraya memasukkan ponselnya dalam saku celananya.
Sein menatap Rin yang bergegas memberesi kopernya. Ia tau gadis itu menyimpan sesuatu darinya.
Di dalam taxi yang membawanya ke Bandara, Rin tak banyak bicara. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Bahkan hingga ia kembali menginjakkan kakinya di Jakarta, Rin masih terdiam. Tatapannya kosong. Ia bingung dengan dirinya sendiri.
" Rin, kau sedang ada masalah?" tanya Sein lembut begitu sampai di depan rumah Rin.
Rin tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya.
" Kau memikirkannya?"
Rin menoleh, menatap Sein berkaca-kaca.
" Aku bingung.." jawab Rin lirih.
" Kau masih mencintainya?"
Rin mengangguk lemah.
" Kembali lah padanya."
" Tapi aku tak merasakan apa-apa saat di dekatnya. Semuanya hampa." desaunya lirih.
Rin menundukkan kepalanya. Sein tersenyum getir, mengusap lembut kepala Rin.
" Lalu apa yang kau rasakan saat bersamaku?"
Rin menegakkan kepala menatap pria asing itu. Bibirnya bergetar ingin mengucap sesuatu tapi lidahnya terasa kelu.
" Aku tau kau belum mencintaiku, Rin."
" Bantu aku, Sein." bisik Rin parau.
" Istirahatlah, Rin."
Rin menghela nafasnya. Ia membalikkan badannya, melangkah masuk ke rumahnya.
***
Rin merebahkan tubuh lelahnya, mengusap pelan wajahnya. Ia menoleh kala terdengar ringtone dari ponselnya. Amara?!!
" Iya, Ra?" sapa Rin lemah.
" Kau sudah sampai?" tanya Amara sedikit khawatir.
" Hm. Baru saja."
" Ada apa denganmu, Rin?"
" Aku baik-baik saja. Sein menjagaku, tenang saja."
" Syukurlah. Oya, tadi Araz mencarimu ke hotel. Aku bilang kau sudah pulang."
" Aku tau, sebentar lagi Araz pasti menelponku dan memarahiku."
Rin tersenyum getir.
" Lupakan Araz. Jangan biarkan ia menghempaskanmu lagi, Rin."
" Thanks, Ara."
Rin menghela napasnya, menatap langit-langit kamar. Benar saja, tak lama Araz menelponnya.
" Rin, kau membuatku takut. Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?!! Kau tau aku masih merindukanmu. Kita baru saja bertemu, Rin." berondong Araz begitu telfon tersambung.
" Maafkan aku, Raz."
" Tak semudah itu, Rin. Aku akan cepat-cepat melamarmu, huh!!" ucap Araz kesal.
" Kita sudah berakhir, bukan?"
" Ya. Tapi kita sudah kembali. Tunggu aku, Rin. Aku akan segera pulang."
Rin terdiam, memejamkan matanya. Ia tak ingin Araz kembali membuangnya setelah kembali mendapatkannya. Ia bukan barang yang bisa Araz ambil dan buang sesukanya.
Aahhhh!!! Rin merutuk dirinya sendiri. Ia meringkung di tengah kasurnya, mendekap erat perasaannya yang pernah terbuang karena Araz.
Tangannya menekan tombol dial pada ponselnya.
" Baby, are you okay?" sahut sebuah suara penuh kecemasan.
" Sein.." ucap Rin lirih.
" Rin, kenapa?"
Tak ada jawaban dari Rin meski telpon masih tersambung. Hanya sesekali terdengar isakan yang tak dapat gadis itu tahan. Sein tersadar, gadisnya tengah kacau. Tapi apa yang membuatnya kacau?
Sein menatap jam dindingnya. pukul 02.45. Menjelang pagi. Ia tak mungkin ke rumahnya sekarang. Setidaknya ia harus menunggu empat jam lagi, hingga matahari telah menampakkan wajahnya. Sein merutuk dirinya yang tak bisa berbuat apa-apa saat gadis itu sendiri. Rin pasti membutuhkannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top