Penutup
Maaf ya baru post sekarang.
Sebenarnya ceritanya masih nyambung sama part terakhir sebelum ini. Harusnya memang postnya 1-2 hari dari part sebelumnya, jadi feelnya juga masih dapat. Tapi nggak apa-apa deh. Curhatnya nanti aja di bawah.
Komenin yang banyak-banyak yaaa. Part perpisahan sama Andro Salma lho iniii. Hihi....
***
Andro kembali menuju lapangan rumput yang riuh oleh keluarga, kerabat, dan rekan-rekan para wisudawan. Ia melangkah sejajar sang papa. Santai, sambil mengobrol akrab. Sesekali terlihat tawa dari wajah keduanya. Lepas dan hangat.
"Lihat, Ma." Salma menahan haru, menunjuk ke arah kedua pria dengan dagu.
Utami menoleh, air matanya meleleh. Dipanggilnya pelan nama-nama orang tersayang, "Re, Dim, Mami, Papi ... Lihat Andro dan Iksa. " Dan mereka pun larut dalam haru masing-masing. Kemudian menyambut ayah dan anak itu dengan tangis haru.
"Ini pada ngapain, sih? Drama banget. Laki-laki tuh kayak gini biasa. Udah ya udah, selesai. Malu lah dilihat orang. Nanti ketahuan aibku. Susah move on."
Dasar Andro! Responnya sangat menyebalkan, ketika orang-orang terdekat menyambutnya dan papanya dengan pelukan serta air mata. Mama, Rea, dan kedua eyangnya langsung membubarkan diri sambil mengomel. Antariksa terbahak. Anak laki-lakinya memang tak pernah berubah, masih saja semau gue.
Hanya Salma yang masih bertahan di samping Andro. Oh, bukan bertahan, lebih tepatnya tertahan, karena Andro mencengkeram kuat pergelangan tangannya.
"Kamu nggak boleh ke mana-mana, Sal. Harus di sini, harus sama aku terus."
"Ih, apaan sih, Mas. Drama banget. Malu, ah. Nanti dikira Sal yang bucin sama Mas. Maunya di dekat-dekat Mas terus. Monopoli." Salma mengomel pelan sambil berusaha melepaskan cengkeraman Andro. Sayangnya gagal.
Andro terkekeh. Rasanya ingin memeluk Salma detik itu juga. Mendekapnya erat dan berharap bumi berhenti berputar agar dia tak perlu melepas dekap.
Lalu dia benar-benar melakukannya. Melekap Salma sangat kuat. Sama kuat dengan isak yang ia keluarkan tanpa peduli pada riuh rendah di sekeliling. Hati dan benaknya bersepakat ingin meluapkan segala rasa yang selama ini tersumbat. Dan hanya kepada Salma dia ingin menumpahkan semuanya.
"Andro kenapa?" Tak satu dua pertanyaan dari teman-temannya. Banyak. Dan semuanya tertuju pada satu orang yang berdiri tak jauh dari Andro dan Salma.
"Andro hebat. Istrinya hebat." Cuma itu jawabannya, tapi kalau Andro tahu, Andro pasti bangga. Sahabat terbaiknya memahami dia dengan sangat baik.
Salma bergeming, menerima suaminya dengan segala apa adanya. Walaupun apa adanya Andro mungkin setiap perempuan bersedia menerima, hanya saja tak ada manusia yang sempurna. Sedikit cela yang ada pada seorang Angkasa Andromeda bisa jadi tak setiap perempuan sanggup menghadapi.
Drama selesai. Andro berteriak memanggil teman-temannya untuk duduk-duduk bersama dan menikmati kudapan hasil bikinan istrinya. Padahal sejak tadi penganan-penganan itu sudah dicomot silih berganti.
"Foto, Ndro, foto," teriak teman-temannya kompak.
Dimas beserta kameranya sigap bergerak. Rea sudah sejak di Surabaya berpesan agar dia menjadi tukang foto di wisuda adik kesayangannya.
Andro meraih Najma ke gendongan,dengan bangga mengajak bayi lucu itu berbaur dengan om-om teknik sipil yang hampir semuanya bising. Ia ingin Salma ikut juga, tapi perempuannya itu menolak, tak mau berdesak-desakan dengan banyak teman Andro yang nyaris semuanya laki-laki.
Salma terkikik tak jauh dari Andro and the gank. Bangga dan bahagia menyeruak di dada. Andro terlihat begitu sayang dan bangga pada keberadaan Naj. Binar di matanya menunjukkan keseriusannya sebagai seorang papa. Sebaris ayat melintas. Mata Salma memanas. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan.
"Androoo!"
Lengkingan nan merdu terdengar tiba-tiba. Memecah keramaian hingga semua kepala menoleh ke arah datangnya suara. Andro auto tertawa, mayoritas yang lain terpesona, hanya satu orang yang mendadak ingin ditelan bumi detik itu juga.
Gadis ramping tinggi dengan wajah cantik khas hispanik itu merekah senyumnya. Di belakangnya, ayah dan ibu mertua Andro tersenyum tak kalah lebar.
Salma menyambut ayah ibunya yang sedikit terlambat. Lalu memeluk sepupunya dengan gembira. Andro bergegas mendekat, menerima pelukan dan ucapan selamat dari kedua mertua. Najma pun berpindah ke gendongan neneknya.
Pada si gadis bule, Andro hanya berjabat. Erat, hangat, dan agak lama. Tak ada pelukan.
"Feliz graduacion, Andro." Kemudian ketiganya —Andro, Salma, Leticia— berbincang riang.
"Ndro, kowe wis nduwe, lho. Ojok lali karo kita-kita, lah. (Ndro, kamu sudah punya lho. Jangan lupa sama kita-kita lah?)" Celetukan terdengar dari satu dua orang yang terdeteksi fakir perhatian.
"Itu teman-teman kamu?" Leticia bertanya. Andro mengiyakan.
"Wahyudi? Is he graduation too?" Andro mengangguk. Mengedarkan pandangan pada gerombolan teman yang masih menunjukkan harap bakal dikenalkan. Nihil.
Arah pandang beralih pada kumpulan keluarga Djamin. Ada. Sosok yang dia cari, yang diam-diam telah melipir ke sana. Wahyudi duduk di belakang salah satu saudara kandungnya. Berbincang sambil pura-pura tak tahu apa-apa.
"Itu. Dia di sana." Tunjuknya untuk Leticia.
"Gracias, Andro. I'll congratulate him."
Leticia bersegera menuju Wahyudi. Mantan mahasiswa yang juga beroleh gelar cumlaude itu mau tak mau berdiri menyambut. Si gadis bule menyalami, memberi selamat atas kelulusannya.
"Gracias, Leticia. Emm, como estas?"
"Aku..., aku baik. Muy bien." Si cantik hispanik mendadak gugup tak berkutik. Senyumnya terbit malu-malu.
Keduanya bertatapan. Wahyudi hendak berpaling, tapi lehernya mendadak kaku dan tegang. Matanya pun sama, tak bisa diajak kompromi untuk mengubah arah pandang.
"Te extraño, Yudi. I miss you." Lalu sebuah pelukan membuat Wahyudi membeku.
Belasan bulan sudah berlalu, selama itu tak seorang gadis pun dekat dengannya, apalagi memeluknya. Hari ini, kejadian itu terulang kembali. Gadis yang sama, momentum yang berbeda.
Pemuda itu tak sanggup bergerak, meski telinganya menangkap lantunan istighfar serta Allahu Akbar dari anggota keluarganya. Juga umpatan-umpatan tak jelas dari gerombolan mahasiswa fakultas teknik yang tak menyangka atas rezeki yang dia terima.
Salma bergerak secepat kilat, menarik Leticia yang mulai hilang kendali saat berhadapan dengan Wahyudi.
"Maaf ya, Pak, Bu, Mbak, Mas. Ini Leticia, sepupu saya. Dia tinggal di Eropa, di Spanyol. Ini sedang liburan. Kenal dengan Mas Wahyudi karena dulu pernah liburan ke Surabaya. Waktu itu Mas Wahyudi sedang magang di perusahaan papa, jadi kami sering pergi bareng, dengan saya dan Mas Andro."
Salma berusaha menghindarkan dari kesalahpahaman. Diajaknya serta Leticia untuk bersalaman pada keluarga Wahyudi.
"Memang budayanya berbeda, jadi Leticia kadang lupa. Mereka nggak kenal mahram atau bukan mahram. Sekali lagi saya mewakili Leticia memohon maaf pada Bapak, Ibu, Mbak, dan Mas semua. Insya Allah Mas Wahyudi nggak ada macam-macam dengan Leti. Maaf, nggih. Maafkan Leti, maafkan saya."
Sungguh, Salma merasa tak enak hati. Meski jarang berkomunikasi, tapi dia cukup tahu bagaimana kebiasaan dalam keluarga Pak Djamin ini.
Keluarga Wahyudi balik tak enak hati. Gara-gara pekik istighfar dan Allahu Akbar mereka yang kurang terkendali, seorang perempuan yang sangat mereka hormati sampai harus memohon maaf kepada mereka.
"Waduh, kami yang minta maaf, Mbak Salma. Mohon dimaklumi, kami ini cuma orang ndeso, orang susah. Lak nggih tratapan to nek ningali larene kok kados ngoten niku kalih kawula estri (kan ya kaget to kalau melihat anak kok seperti itu dengan anak perempuan). Astaghfirullah hal adzim. Maaf ya, Mbak Salma."
Pak Djamin mewakili keluarganya, Bu Djamin menyalami dan merangkul Salma. Salma tersenyum ramah, membesarkan hati mereka. Andro mendekat, Salma mulai dag dig dug.
"Doakan, Pak, Bu. Siapa tahu beberapa tahun lagi Yudi pulang bawa mantu bule."
Nah, kan. Nah, kan. Apa yang dikhawatirkan Salma terjadi juga. Bukannya mendukung pernyataannya, suami semau gue itu malah membuat ulah, sambil tertawa pula. Salma kesal, dicubitnya pinggang suaminya. Andro meringis, lalu melanjutkan tawa.
Sementara Wahyudi hanya mampu tertawa sumbang. "As* kowe yo, Ndro," bisiknya sambil menyikut sahabat terbaik yang seringkali jauh dari baik. Seperti sekarang.
Setelah mengobrol secukupnya dan memperkenalkan Leticia, Andro dan Wahyudi kembali kembali ke tengah teman-temannya. Wahyudi habis diceng-cengin. Beberapa melontarkan canda, meminta rekomendasi dukun agar sukses menggaet yang serupa.
Dari kejauhan, beberapa mahasiswi berjalan menuju kerumunan. Salah satunya membuat Andro menoleh ke arah istrinya.
"Congrats, Pal. Harusnya itu posisiku, tapi nggak pa-pa deh, kuikhlaskan buat kamu." Canda Asya. Bisa jadi benar, sebab mereka berdua berkejaran dalam nilai dan kepandaian. Sayangnya kondisi Asya sebagai ibu beranak dua membuat dia harus ikhlas merelakan sesuatu yang diidamkan.
"Terima kasih, Saudara Asya. Dan mohon maaf, saya prihatin." Jawaban Andro menuai satu cubitan dari Asya. Keduanya tergelak riang.
"Selamat ya, Ndro." Zulfa menangkupkan kedua tangan di depan dada. Senyum tulus menghiasi wajahnya. Andro menelan ludah, ingatan pada yang lalu-lalu mendadak berkelebat.
"Thanks, Zul."
Ada haru menyelinap. Bagaimanapun, istri orang yang sedang berdiri di hadapannya itu punya banyak pengaruh dalam perjalanan hidupnya. Setidaknya pernah punya.
"Mana Salma dan Najma? Najma udah mau setahun kan, ya? Tapi aku belum pernah ketemu sama sekali, lho."
Andro buru-buru menoleh ke tempat Salma duduk. Istri cantiknya itu buru-buru pula membuang muka, pura-pura melihat ke arah berbeda. Tapi telat, Andro sudah memergoki Salma saat sedang menatap padanya, juga Zulfa.
"Sal." Ia melambai ke arah Salma, memberi kode agar mendekat padanya. "Bawa Naj," teriaknya lagi.
Salma mendekat, mengajak serta si bayi kesayangan yang segera ia serahkan pada suaminya. Kemudian menyalami Asya, saling menempelkan pipi kanan kiri dan berpelukan. Ia melakukan hal yang sama pada Zulfa.
"Terima kasih banyak ya, Mbak Zulfa. Mas Andro sampai di titik ini juga secara tidak langsung ada peran Mbak Zulfa. Kami minta maaf kalau ada kesalahan selama kita berhubungan."
Zulfa meneteskan air mata. Dipeluknya Salma sekali lagi. "Aku yang minta maaf, Salma. Terima kasih banyak, ya. Andro sangat pantas dapat istri secantik dan sesempurna kamu. Bucinnya udah kondang seantero kampus. Apalagi sejak punya baby."
Salma tersenyum geli. Zulfa bisa saja, batinnya. Padahal memang demikian realitanya.
"Nggak foto bareng Mbak Zulfa dulu, Mas?" goda Salma.
"Lha kamu bolehin nggak? Kalau kamu bolehin, aku mau lah foto bareng. Tapi..., aku sama Zulfa aja yaaa."
Asya mengakak mendengarnya. Salma ikut tertawa, mencubit kecil perut suaminya. Zulfa tersenyum kecil, tak enak hati. Padahal Andro jelas cuma bercanda. Mereka pun berfoto bersama.
"Oh iya, dapat salam dari Pak Iqbal, Ndro. Selamat udah lulus dengan banyak gelar terbaik. Semoga sukses terus di mana pun berada. Gitu kata beliau tadi." Zulfa menyampaikan pesan dari Iqbal Sya'bani.
"Thanks, Zul. Salam juga untuk Pak Iqbal, ya. Sampaikan banyak terima kasihku untuk beliau. Untuk kamu juga. Terima kasih banyak pokoknya."
Sedetik keduanya bertukar pandang. Kemudian Zulfa beranjak bersama Asya. Andro menggenggam erat jemari Salma, membisikkan i love you di telinga istrinya.
Kegembiraan siang itu ditutup dengan foto bersama keluarga Andro dan keluarga Wahyudi. Kemudian kedua keluarga saling berpamitan. Ucapan terima kasih tak berhenti mengalir dari bapak, ibu, dan kakak-kakak Wahyudi. Untuk Andro. Untuk Salma. Untuk Utami. Untuk Dimas. Dan yang paling utama adalah untuk Antariksa, sebab setelah ini Wahyudi akan langsung bekerja di perusahaannya.
"Ampun lali, Pak, Bu, niki Yudi didoakan biar cepat menghalalkan pujaan hati. Soalnya dia bilang nggak mau pacar-pacaran." Lagi-lagi Andro mencari perkara.
"Lha nopo Yudi niku sampun wonten pujaan hati to, Mas Andro? Nopo wonten sing purun? (lha apa Yudi itu sudah ada pujaan hati to, Mas Andro? Apa ada yang mau?)" gurau ibunda Wahyudi yang memang lebih banyak bicara daripada Pak Djamin sendiri.
"Jelaskan, Yud!" sahut Andro.
"Andro ngawur thok, Buk. Wis gek ndang mantuk wae, gak usah dirungokke cah edan kui. (udah cepat pulang saja, nggak usah didengarkan bocah edan itu)"
"Hush! Sing sopan, Yud. Tahu diri ngono lho."
Wahyudi meringis. Sedetik saja. Sebab detik berikutnya si gadis bule terlihat menuju ke arahnya.
"Please, no hugs. You shocked my family, heh," candanya pada Leticia, sebelum pelukan kembali ia dapatkan.
Leticia tertawa. "I want to meet your madre. May i?"
Sebenarnya Wahyudi ingin bertanya, untuk apa? Tapi diurungkan niatnya. Ia mengangguk sembari melempar senyum tulus yang selalu dirindukan si gadis bule di hadapannya, kemudian melangkah mendekati ibunya.
"Buk, Leticia mau pamit." Setiap pasang mata dari keluarga Djamin mengarah padanya. Wahyudi salah tingkah. Ibunya buru-buru berdiri, menyambut gadis bule yang tampaknya rendah hati.
"Ibu, saya pamit dulu, nanti sore mau pulang ke Surabaya. Maafkan yang tadi ya, Ibu. Saya dimarahi Salma." ujar Leticia dengan bahasa Indonesia yang jauh lebih baik dari kunjungan ke Indonesia sebelumnya. Dia pula menyelipkan canda, yang membuat ibunda Wahyudi dan yang lainnya tertawa.
Tak hanya berpamitan, Leticia meraih dan mencium tangan Bu Djamin. Yang bersangkutan hanya bengong, lalu mendongakkan kepala menatap gadis cantik berambut cokelat keriting yang menjulang di depan mata.
"Mbaknya ini sebetulnya siapanya Yudi, to?"
"M-mbaknya?" Leticia kebingungan.
"Kamu, Leti. Mbak itu panggilan umum untuk perempuan." Leti ber-oh mendengar penjelasan Andro.
"Saya teman Yudi, Ibu. Yudi anaknya baik, saya suka jadi temannya Yudi. Boleh ya, Ibu?"
"Oh, ya boleh-boleh saja, to. Namanya berteman kan harus dengan siapa saja."
"Teman hidup juga boleh nggih, Bu?" Andro menyahut lagi. Usil sekali.
Tak ada jawaban dari ibunda Wahyudi, hanya matanya menyorot tajam pada si anak yang paling dibanggakan.
"Wis ah, Ndro, mulih bae kono! Ngalamat siap-siap disidang pak mbokku iki. (Udah ah, Ndro, pulang aja sana! Alamat siap-siap disidang bapak ibukki ini)" Wahyudi memelototi sahabatnya dengan kesal. Lalu menggandeng ibunya untuk segela berlalu.
"Yudi."
Duh, apalagi sih? batin Wahyudi sembari menelan ludah mendengar panggilan Leti. Ia menghentikan langkah, ibunya juga, tapi hanya Wahyudi yang menoleh ke asal suara.
"Ya?"
"See you in Surabaya. Kita sama-sama lagi ya di sana."
Tak hendak menjawab apapun, Wahyudi hanya menatap lembut pada Leticia. Melempar seulas senyum tulus yang selalu dinantikan gadis itu. Kemudian merangkul sang ibu dan berlalu bersama keluarganya.
***
"Sal."
"Ya?"
"Yang mesra dikit, dong. Masa cuma ya aja. Ya, Mas Andro sayang. Gitu kek."
Salma terkikik. Merasa suaminya sangat lebay sepanjang hari itu. Andro bahkan sampai meminta waktu berduaan segala. Benar-benar hanya berdua, tanpa siapapun, termasuk Najma.
Dan malam itu mereka berdua ada di salah satu hotel berbintang di pusat kota Semarang.
"Mas kenapa, sih? Dari tadi pagi Sal ngerasa Mas tuh agak lebay gitu. Ini udah malam lho, nggak capek lebay terus seharian?"
Ganti Andro yang cekikikan. Dalam hati membenarkan ucapan sang istri. Tapi memang seharian itu dia merasa ingin selalu ada di dekat Salma.
"Kamu terganggu, ya?"
"Dih, apaan sih, Mas? Nggak lah. Sal seneng, kok. Cuma agak heran aja, gitu. Ya kalau kita cuma berdua atau bertiga sama Naj. Lha ini, ada banyak banget orang-orang tersayang, tapi Mas nempelin Sal terus. Sal kan jadi nggak enak.
"Emm, satu lagi. Sal tuh ... Emm ..."
"Kenapa? Tinggal bilang aja apa susahnya, sih?"
"Sal kepikiran Naj, Mas." Mata ibu muda itu berkaca-kaca. Andro tertawa, meraih Salma ke pelukannya.
"Sayang, Naj udah mau satu tahun lho. Dia udah kenal keluarganya,udah hafal orang-orang yang menyayangi dia. Kamu lihat sendiri kan, seharian ini dia happy banget main sama kakek neneknya, eyang buyutnya, budenya, semua. Pas kita tinggal juga malah dadah-dadah itu bocah. Kamu juga udah ninggalin ASIP yang lebih dari cukup buat semalam. Dan satu lagi, kakeknya Naj tuh dokter anak, jangan lupa. Insya Allah Naj aman. Buktinya dari tadi juga nggak ada satupun yang nelpon atau ngechat kita soal Naj, kan?"
"Yang terakhir ya jelas aja. Gimana mau menghubungi, kan HP dimatiin semua sama Mas. Gimana, sih?" Salma cemberut. Tawa Andro pecah makin keras. Dia lupa!
"Ya udah, terus kamu maunya gimana? HP dinyalain? Atau ..."
"Emm, gini aja deh. Mas pengen berduaan sama Sal sampai ngajakin Sal nginep di hotel segala itu tujuannya buat apa? Nggak mungkin kan cuma buat duduk berdua sambil haha hihi begini? Nggak mungkin juga kan kalau cuma buat nganu, karena yang itu juga Mas udah kerajinan banget tanpa harus cari tempat khusus."
"Ish. Jujur banget yang bagian nganu." Ditowelnya hidung mbangir istrinya. Lalu memeluknya lagi.
"Aku cuma pengen berterima kasih khusus sama kamu, Salmaku. Karena sejak ada kamu di hidupku, banyak hal yang sebelumnya kukhawatirkan, ternyata semua terlalui dengan baik-baik saja. Banyak masalah yang rasanya aku nggak yakin akan terselesaikan, nyatanya bisa kulewati dengan happy ending. Bahkan yang kukira seumur hidup akan menjadi dendam, maksudku ... case yang papa sama ibunya Orion, pada akhirnya selesai juga dengan bahagia. Termasuk ending dari drama menjelang wisuda, cita-citaku untuk wisuda disaksikan papa terwujud juga.
"Keberadaanmu udah bikin hidupku berubah, Sal. Aku berhasil melepaskan banyak hal yang memberatkan hidupku, yang dulu rasanya mustahil untuk bisa terbebas dari semua itu. Hidupku sekarang jadi lebih berwarna, lebih berarti. Aku udah berhasil move on."
"Berhasil move on dari mbaknya maksudnya? Mas mau sebut itu tapi takut nervous, kan?" Salma mendadak galak. Lagi-lagi bikin Andro tergelak.
"Aku udah merangkai kata-kata mutiara lho, malah ditutup istri dengan sadis dan bengis. Gagal romantis, deh."
"Ya habisnya Mas gitu, sih. Mainstream banget. Move on selalu dikaitkan dengan mantan, dengan patah hati, dengan urusan percintaan, dan segala yang berhubungan dengan itu. Padahal kan nggak. Kalau Mas kira cuma Mas yang berusaha untuk bisa move on, Mas salah besar. Sal juga selalu berusaha biar bisa move on?"
Salma mulai menginjak gas. Andro mendengar sambil harap-harap cemas.
"Mas tahu nggak, sih? Pada dasarnya hidup itu adalah rangkaian move on. Berpindah dari satu masalah ke penyelesaiannya. Dari satu tantangan ke bagaimana menghadapinya dengan tetap baik-baik saja. Berusaha berdamai dengan diri sendiri, dengan keadaan, dan melupakannya. Meninggalkan yang tidak membawa kebaikan, supaya bisa menjadi lebih baik.
"Sal dari kecil udah terbiasa untuk move on, Mas. Move on dari bayang-bayang teman-teman sekolah yang bahagia dengan kedua orang tua mereka. Move on dari segala kekurangan dan keterbatasan agar Sal bisa punya kelebihan yang bisa Sal banggakan dan jadi hiburan buat diri sendiri. Move on dari berharap kasih sayang lebih dari Bu Miska di tengah-tengah adik-adik panti yang jauh lebih membutuhkan perhatian daripada Sal.
"Bahkan ketika Sal memutuskan menerima lamaran Mas. Sal harus move on dari ketakutan-ketakutan akan dicibir orang, dianggap cewek matre, mau dinikahin karena Mas anak pengusaha besar, pengen hidup enak dengan instan, dan semacamnya."
Berapi-api Salma bicara, seperti melepaskan apa yang selama ini disimpan dalam hati. Di wajahnya tampak ketegaran. Bening yang berkaca-kaca di kedua matanya pun tertahan. Andro terharu, bicara tentang kehidupan Salma di panti selalu membuat hatinya nyeri. Ia hendak merengkuh Salma, tapi perempuan yang dicintainya itu menolak. Kelihatannya belum selesai bicara.
"Sal bukannya belum move on ya, Mas. Sal juga bukan mau membandingkan beban yang pernah Mas dan Sal tanggung, yang sama-sama ingin kita lepaskan. Sal cuma ingin Mas tahu pendapat Sal, bahwa setiap orang punya tantangan masing-masing dalam hidupnya, nggak bisa kita banding-bandingkan."
Salma mengambil jeda. Mengerjapkan mata, lalu menatap tajam pada suaminya.
"Tapi sayang sekali kalau kita sulit move on cuma karena perkara cinta. Bertepuk sebelah tangan pula. Dicuekin pula. Yang dicintai dengan mendalam kurang peka pula. Di---"
"Tetep ya, ujung-ujungnya nyindir." Tawa Andro pecah. Menarik Salma ke dalam pelukan dan mendekapnya erat.
"Kayaknya gantian kamu deh, Sal, yang gagal move on dari Zulfa," goda Andro. Ditempelkannya hidungnya dengan hidung mancung Salma.
"Ya habisnya Mas gitu. Seharian lebay banget sama Sal, tapi masih aja mbaknya dibawa-bawa. Gitu katanya move on. Huu." Salma mencibir.
"Dih, yang nyahut move on dan bawa-bawa Zulfa tadi kamu sendiri lho yaaa. Lagian, biasanya juga udah cuek aja soal Zulfa, kenapa sekarang jadi sensi lagi? Hamil apa gimana, sih?"
"Lah, kok Mas tahu, sih?"
"Ehk!" Pelukan dilepas begitu saja. Andro terkejut luar biasa. "Sal, k-kamu ... Kamu b-beneran hamil? Astaghfirullah hal adzim."
Salma terpingkal-pingkal mendengar Andro mengucap istighfar, bukannya hamdalah. Wajah tampan itu memucat pula. Membuat Salma makin keras tawanya.
"Nggak, Mas, nggak. Becanda. Lagian kalau Sal hamil kan harusnya alhamdulillah. Kenapa malah istighfar, sih? Mas nih lucu."
"Sal, please deh. Yang serius. Hamil apa nggak?"
"Nggak, nggak. Serius, Sal nggak hamil kok. Tapi..., kalau misal Sal hamil lagi kenapa memangnya? Mas nggak suka kah?"
"Bukan gitu, Sal. Naj belum genap setahun. Ya kali kita mau kasih adik buat dia? Kita nabung dulu yang banyak ya, nanti kita kasih adik yang banyak juga buat Naj. Tapi kalau sekarang aku belum siap, Sal. Aku...."
Kalimat Andro terhenti. Dipandanginya wajah cantik Salma dengan hati berdebar-debar. Untuk kesekiankalinya ia merasa jatuh cinta pada perempuan yang sama. Perempuan yang telah membawa banyak kebahagiaan bagi hidupnya.
"Hari ini aku merasa bahagia banget, Sal. Status mahasiswaku udah selesai, aku udah siap masuk dunia profesional. Aku bahagia banget karena cita-citaku untuk bisa membahagiakan kamu dan keluarga kecil kita dengan tanganku sendiri selangkah lagi akan terwujud. Tapi aku maunya kamu dulu, Sal. Kamu prioritasku. Aku belum siap kalau Naj punya adik. Aku mau nyenengin kamu dulu, Sal. Boleh, ya?"
Ganti Salma yang terharu. Impian suaminya mungkin sederhana dan jamak bagi setiap suami dan kepala keluarga, tapi tidak demikian bagi Salma. Kehidupan yang ia lalui tak seperti kebanyakan orang, di mana kebahagiaan adalah sesuatu yang harus ia perjuangkan sendiri. Maka, impian sederhana dari suaminya tentu saja menjadi begitu istimewa bagi seorang Salma.
Salma mengangguk. "Iya, boleh. Tapi asal Mas tahu, Sal sudah bahagia dengan semua yang kita miliki sekarang ini. Terima kasih ya, Mas, sudah selalu bikin Sal merasa berarti. I love you, Mas Androku."
"I love you too, Salmaku. More than you know."
"Emm ... Sal boleh langsung minta sesuatu nggak?"
"My pleasure, Sayang. Apapun itu."
"Kita pulang, ya? Sal kepikiran Naj," pinta Salma dengan tatapan nan manja. Andro tersenyum saja, dalam hati menahan kesal sekaligus gemas.
"Iya, boleh. Bahkan kalaupun kamu pengen ngasih adik buat Naj pun, aku boleh. Sak bahagianya nyonya saja."
"Beneran, nih? Boleh kasih adik buat Naj?"
"Iya, boleh banget." Andro menatap lucu pada Salma. Lalu secepat kilat meraih dan membawanya ke sofa.
"Ya udah, langsung aja yuk kita usahakan sekarang bikinin adik buat Naj. Pulangnya nanti aja habis ini. Naj aman kok sama kakek neneknya."
"Mas Androoo!!"
***
Selesai!
Alhamdulillah, setelah nyaris dua bulan, udah ganti tahun pulak, akhirnya hutangku lunassss. Yeaiy.
Terima kasih banyak teman-teman yg sudah menemani dari Move On pertama kali muncul, sempat selesai tapi yg nulisnya malah gagal move on dan kedatangan ide baru (haha terus malah lanjut lagi, dan finally.... Kita beneran selesai!
Maaf banget ya, penutup yg kubilang akan post dalam 1-2 hari ternyata malah jadi 1-2 bulan. Udah menguap feelnya yaaa. Udah lupa juga kali ya sama part sebelumnya. Hehe... Ya sudah, pokoknya mohon dimaafkan. Mau cerita panjang lebar ttg alasannya kok kupikir kurang pas juga. Dan panjaaaang banget juga. Jadi... Yaudah nggak usah saja. Yg penting mohon doanya selalu untuk aku dan keluargaku yaaa.
Aku juga akhirnya merombak beberapa bagian dari part ini. Pas lanjutin nulisnya agak kesulitan juga, padahal dulu sebenarnya kurang dikit aja. So, mohon dimaklumi kalau feelnya kurang dapat. Padahal penutup yaaa.
Sempat galau juga, mau dipost apa kagak. Takutnya udah bagus-bagus selesainya seperti part kemarin, malah kutambahin ini yg jadi agak mengganggu. Padahal sebenernya di part ini aku cuma pengen menyampaikan bahwa move on itu nggak melulu tentang percintaan, asmara, mantan, dan semacamnya. Tapi... Ya sudahlah, pokoknya gitu lah ya. Hihi...
Sekali lagi terima kasih banyak udah setia menemani Andro-Salma dan semuanya.
We love you all ❤❤❤
Semarang, 30012023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top