9. Berduaan

Yes I will, take your hand and walk with you
Yes I will, say these three words that promise to
Yes I will, give you everything you need
And someday start a family with you
(Backstreet Boys - Yes I Will)

***

Hampir jam delapan ketika Andro dan Salma masuk ke rumah usai mengantar Wahyudi ke stasiun. Papa dan mama Andro masih sibuk dengan beberapa urusan pasca gelaran pernikahan tadi siang. Rea dan Dimas menginap di salah satu hotel berbintang lima, hadiah dari salah seorang kolega papanya.

"Ndro, nggak pengen tidur di hotel juga?" tanya mamanya.

"Gimana Salma aja deh, Ma," jawab Andro, sambil menoleh ke arah istrinya. Salma menggeleng.

"Salma nggak mau, Ma."

"Lho, kenapa nggak mau, Ustadzah? Kan malam pertama, biar jadi malam yang berkesan." Salma tetap menggeleng, wajahnya terlihat malu-malu.

"Ma, udah jadi mantu masa iya manggilnya ustadzah, sih?" protes Andro disambut tawa mamanya.

"Iya, maaf. Nggak apa-apa ya, mama panggil Salma saja? Mulai hari ini, Salma juga panggilnya jangan Bu Tami dan Pak Antariksa, tapi mama dan papa. Ya?" Mama menepuk pipi menantunya.

"Baik, Bu Tami. Terima kasih."

"Mama, Sal. Bukan Bu Tami."

"Iya. M-ma-mama." Salma gugup. Ada bening menggenang di kedua pelupuk. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia memanggil seseorang sebagai mama. Ya, Salma punya orang tua sekarang.

Mama mertua seakan tahu, segera memeluk erat sang menantu. Tangis Salma tumpah di bahu mama Andro. Dengan agak ragu Andro mengulurkan tangan, mengusap lembut punggung Salma.

"Udah, Sal. Mulai sekarang kalau mau nangis peluknya aku aja." Masih sempatnya menggoda. Lalu menarik Salma dan berpamitan pada mama untuk masuk ke kamar.

Andro mencoba tenang meski ada yang berdebar-debar. Untuk pertama kalinya mereka berduaan di kamar tanpa ada aktivitas lain yang menunggu di luar. Salma apalagi, ia salah tingkah. Padahal siang tadi sudah membantu Andro berganti baju. Tapi yang ini beda, mereka mungkin tak akan keluar kamar lagi sampai besok pagi.

"Sal?"

"Ehk, i-iya, Mas."

"Emm, itu, emm, mau makan lagi nggak?" Andro ketularan gugup.

"Ng-nggak usah, Mas. Masih kenyang."

"Eh, ya udah. Kita ganti baju dulu aja ya. Kamu apa aku dulu yang ke kamar mandi?"

"Emm, silakan Mas dulu aja."

Andro menuju lemari, mengambil kaus dan celana pendek yang nyaman, lalu melepas baju yang melekat di badan. Ia membalut bagian bawah dengan handuk saja. Salma memalingkan wajah sambil menelan ludah, makin salah tingkah. Andro tak paham, ia bahkan tak melihat ke arah Salma sehingga tak tahu reaksi istrinya. Hanya berpikir bahwa suami istri biasa melakukan hal demikian.

Usai bergantian kamar mandi, Andro meminta Salma duduk di sebelahnya, di atas tempat tidur empuk yang mulai malam ini tak lagi ditempatinya seorang diri. Mereka duduk bersisian, bukan berhadapan.

"Sal, terima kasih ya udah mau menikah sama aku." Cuma begitu, tapi bikin Salma yang sejak tadi sudah gemetaran makin tak keruan.

"S-saya yang t-terima kasih, Mas."

"Emm, jadi gini, Sal. Kita menikah kan dadakan, udah pasti banyak hal yang belum kita tahu satu sama lain. Emm..., anu, kalau malam ini kita emm, ngobrol dulu aja, kamu keberatan nggak?"

Salma mengangguk secepat kilat, seakan takut suaminya berubah pikiran. Kalimat Andro barusan bagai angin surga bagi Salma. Ia merasa sangat lega. Sejujurnya ia sendiri belum siap melakukan malam pertama seperti kebanyakan pasangan lainnya. Ia bahkan masih menggunakan celana panjang di balik homedress yang menutup rapat tubuh rampingnya, lengkap dengan jilbab. Hanya kaki saja auratnya yang dibiarkan terbuka.

"Kamu, mau tetap pakai jilbab? Aku suamimu lho sekarang. Dibuka aja nggak apa-apa kali, Sal."

Salma menggeleng, "Dingin, Mas. Seumur hidup saya nggak pernah tidur di tempat ber-AC."

Andro tak ingin istrinya melanjutkan bicara yang sedih-sedih. Digenggamnya jemari Salma, dingin dan basah. Andro jatuh iba. Lagi-lagi ia hanya tak menyadari, bukan dinginnya AC yang menyebabkan Salma begitu, tapi sebab gadis itu merasakan ketegangan yang luar biasa berada berdua saja dengannya.

"Tapi kalau aku tidur, AC selalu nyala dengan dingin yang maksimal, Sal. Nggak pa-pa, ya?" Salma mengangguk.

"Kalau kamu masih kedinginan, besok kita cari selimut yang lebih tebal lagi, ya." Salma kembali mengangguk.

"Aku juga kalau tidur nggak pakai baju, Sal."

"Uhuk uhuk uhuk." Salma keselek, mukanya mendadak pucat. Andro malah tertawa.

"Udah, Sal, nggak usah traveling pikirannya. Nanti juga tiap hari ngadepin yang begini," goda Andro, membuat Salma ingin menangis.

"Kamu nggak nyaman, kah, Sal?" Andro bisa membaca perubahan sikap Salma. Ia jadi merasa bersalah.

"Ng-nggak. S-saya c-cuma..., s-saya anu, emm, s-saya...." Air mata Salma bercucuran begitu saja.

Andro merengkuh bahu Salma, membawanya ke dalam pelukan. Dikecupnya lembut kepala gadis itu. Hatinya riuh oleh desir-desir yang datang tanpa diundang.

"Jangan merasa nggak nyaman ya, Sal. Aku tahu kita ini masih sangat muda. Mungkin dari perasaan, kita berdua masih sebatas sayang dan saling menerima. Kalau soal cinta, mungkin kita sama-sama memulai dari nol. Atau malah minus? Jadi kamu tenang aja, aku nggak akan menuntut sesuatu yang kamu belum siap.

"Aku menikahi kamu yang utama bukan sebab fisik, bukan sekadar untuk kebutuhan biologis. That's not my priority. Itu bisa menunggu, Sal, cuma soal waktu. Tapi aku sayang kamu, Sal. Sejak melihat kamu diganggu cowok-cowok brengsek malam itu, aku pengen jadi seseorang yang melindungi kamu, Sal. Yang selalu ada buat kamu.

"Lagipula, kamu seseorang yang baik dan istimewa. Keluargaku sayang banget sama kamu. Nggak cuma mama, papa, dan Mbak Rea, tapi juga bude, tante, dan sepupu-sepupuku, bahkan Celia. Itu lebih dari cukup untuk membuatku yakin kalau aku akan bisa mencintaimu. Begitu pun sebaliknya.

"Menangislah, Sal. Menangislah di pelukanku. Tapi jangan karena kamu nggak nyaman bersamaku."

Salma menghapus basah di kedua pipi mulusnya. Berusaha menarik napas panjang dan menenangkan diri.

"T-terima kasih, Mas. M-maaf, s-saya bukan nggak nyaman sama Mas, tapi saya..., s-saya b-belum siap."

"Belum siap jadi istriku?"

"B-bukan. T-tapi s-saya belum siap...."

"Hemm?" Andro menanti kelanjutannya.

"Emm, itu. S-saya b-belum siap anu, emm..., b-bu-buka baju di depan Mas. Saya m-malu." Tawa Andro pecah, tak menyangka jawaban Salma sedemikian lugunya.

"Kamu nggak perlu buka baju di depanku, Sal. Karena kalau nanti sudah tiba waktunya, aku yang akan buka bajumu." Tawa Andro masih belum berhenti.

"Mas, ng-nggak gitu juga." Salma cemberut. Wajahnya sekarang merona. Malu pada apa yang mereka bicarakan. Satu cubitan mendarat di lengan Andro. Membawa ingatan Andro pada seseorang yang suka mencubit lengannya saat sedang gemas atau kesal padanya.

Astaghfirullah. Andro merasa begitu berdosa pada Salma. Baru malam pertama, dan apa yang Salma lakukan justru membuat ingatannya terseret pada....

"Mas, kok ngelamun. M-maafkan saya, ya. Mas nggak marah, kan?"

"Ehk." Andro tersadar. Dirangkulnya bahu Salma erat. Dalam hati kembali mencaci diri sendiri.

"Aku yang minta maaf, Sal. Aku sayang kamu. Ngobrolnya kita lanjutkan besok pagi aja ya. Kamu pasti capek. Aku juga. Sekarang kita istirahat. Nggak apa-apa kalau kamu masih belum nyaman ngelepas jilbab. Aku nggak akan memaksa. Kamu juga boleh tidur munggungin aku kalau masih malu."

Salma kembali berterima kasih. Ia merasa Andro sangat pengertian kepadanya.

Malam pertama berlalu begitu saja. Sampai satu jam berikutnya, Salma masih belum bisa tidur. Sedangkan Andro, beberapa menit usai bicara ia sudah jatuh mendengkur. Dasar laki-laki!

***

Tak butuh alarm apapun, Salma selalu bangun dengan sendirinya, maksimal pukul tiga. Yang pertama ia lakukan adalah berdoa, bersyukur karena Allah masih memberinya kesempatan untuk memperbaiki atau menambah amalan.

Salma menghela napas panjang saat mengamati sekeliling ruangan yang masih asing baginya, lantas tersadar, statusnya sudah berubah sejak kemarin siang. Ia menoleh ke belakang, detik itu juga ia shock menemukan seorang laki-laki yang tidur nyaris tanpa pakaian. Posisinya asal saja. Selimutnya berantakan entah ke mana. Salma segera membuang muka.

"Astaghfirullah hal adzim," gumamnya berkali-kali.

Sepanjang umurnya Salma selalu menjaga pandangan. Ia tak pernah membiarkan matanya dijejali pemandangan yang tak seharusnya menjadi tontonan. Jadi meski sudah sah dan halal, Salma masih merasa aneh dengan apa yang ditemuinya dini hari ini, dan mungkin hari-hari berikutnya. Seumur hidupnya.

Dengan gemetaran ia menarik selimut, hendak menutup tubuh Andro, minimal sebagian. Sayang, si pangeran tidur terjaga dan membuka mata.

"Nggak usah diselimutin, Sal. Gerah."

Allahu Akbar. Dinginnya udah kayak di Arktik begini masih dibilang gerah. Aku nikah sama manusia apa beruang kutub sih sebenernya?

"Ehk, i-iya." Salma panik dan beranjak dengan gegas. Tapi Andro tak kalah cekatan, ditariknya tangan Salma hingga tak bisa bergerak ke mana-mana.

"Mau ke mana, Sal?"

"S-sa-ss..., s-sudah..., ss-saya..., j-jam t-tiga...." Kelu. Salma pucat pasi. Matanya terpejam. Ia tampak ketakutan, seolah Andro adalah monster yang siap menerkam.

"Maaf, Sal. Aku cuma mau minta tolong ambilin minum. Yang dingin ya. Kulkasnya di sebelah lemari."

Tadinya berniat menggoda, tapi Andro tak tega. Ia jatuh iba. Andro segera turun dari tempat tidur, memungut dan mengenakan kaus serta celana pendeknya. Salma kembali, menyodorkan sebotol air mineral dingin. Menunduk, tak memandang wajah Andro sama sekali.

"Kamu nggak bisa tidur ya, Sal?" tanya Andro setelah menguras separuh isi botol.

"B-bukan, Mas. S-saya sudah b-bangun. M-mau qiyamul lail."

"Salat tahajud?"

"I-iya, salah satunya."

"Kamu selalu melakukannya?"

"Eh, i-iya. Saya selalu terbangun jam sekian ini, Mas. Alhamdulillah. Saya yakin, Allah masih membangunkan saya karena masih memberi kesempatan saya untuk memperbaiki atau menambah amalan saya. Maka seperti anjuran pada surat Al Muzammil, saya menghidupkan malam saya dengan salat dan membaca atau muroja'ah Al Qur'an," jawab Salma lancar. Andro terdiam. Malu merayapi hatinya.

"Mas belum pernah qiyamul lail, kah?"

"Emm, baru sekali. Waktu aku galau tentang perasaanku ke kamu."

"M-maksudnya?"

"Malam setelah kejadian itu, aku pengen selalu ada buat melindungi kamu, Sal. Tapi kamu tahu sendiri kan, aku masih kuliah, belum punya penghasilan untuk memberi nafkah. Terus nggak tau gimana, tanganku kayak spontan searching aja, gitu. Cara salat tahajud, cara salat hajat, cara salat istikharah, dan aku coba melakukannya."

Salma mendekat, tangannya terulur perlahan dan berhenti di genggaman tangan Andro.

"M-Mas melakukan itu? Padahal sebelumnya nggak pernah?"

"Sama sekali. Aku bahkan baru tahu kalau salat tahajud harus dilakukan setelah sempat tidur dulu. Maaf ya, Sal, aku nggak ada apa-apanya dibandingkan kamu kalau soal ilmu agama. Itu juga salah satu yang bikin aku galau, pantas apa nggak bersanding sama kamu. Aku minder tahu nggak, Sal? Mana ada imam lebih bego dari makmumnya, iya kan?"

"Mas minder untuk sesuatu yang Mas masih bisa usahakan untuk dicapai. Apa kabar keminderan saya?"

"Maksudnya?"

"Mas minder soal ilmu agama kita, yang menurut Mas, saya jauh lebih baik. Padahal Mas masih punya kesempatan untuk belajar, sehingga Mas bisa lebih baik dari saya. Dan Mas punya kemampuan untuk itu."

"Bukan, Sal. Bukan itu. Tapi, apa maksudmu dengan keminderanmu? Kalau aku bisa mengusahakan untuk mencapai sesuatu yang membuatku minder sehingga nggak berkecil hati lagi, kenapa nggak dengan kamu? Apa bedanya?"

"Mas..., Mas tahu apa yang membuat saya minder?" Andro menggeleng.

"Keminderan saya adalah tentang kesendirian saya. Saya seringkali iri melihat teman-teman saya yang punya orang tua. Dari saya sekolah TK sampai saat ini, rasanya cuma saya yang seumur hidup sendirian. Berangkat sekolah, ambil raport, naik kelas, sampai kelulusan, cuma saya yang selalu sendirian. Sekalipun saya hampir selalu naik ke panggung sebagai yang terbaik, saya tetap saja sendirian.

"Saya iri melihat kedekatan orang lain dengan orang tuanya. Jalan bareng, bercanda, tertawa, curhat, menangis, semua di pelukan orang tuanya, bersama orang tuanya. Saya? Memanggil seseorang dengan sebutan ibu saja saya nggak pernah bisa. Seumur hidup cuma Bu Miska yang saya punya, yang selalu ada buat saya. Itupun saya nggak pernah bisa memanggilnya 'ibu' saja.

"Dan untuk hal seperti itu, apa saya bisa mengusahakan sesuatu untuk mencapainya? Apa saya bisa tiba-tiba punya orang tua? Apa usaha keras bisa membuat saya kemudian punya orang tua? Nggak kan, Mas? Yang bisa saya lakukan cuma mendoakan ibu saya. Siapapun dia, di manapun keberadaannya, masih hidup atau sudah mati." Salma tergugu, ditumpahkannya semua yang selama ini dipendam sendiri.

Ini hari pertama di mana dia memiliki seseorang untuk mendengarkan isi hatinya, keinginannya. Dan Salma yakin, Andro tak akan mengingkari janji, untuk selalu ada buat dia.

"K-kamu..., mendoakan ibumu?" Salma mengangguk.

"Eh, t-tapi untuk apa?" Itu sama sekali di luar dugaan Andro. Salma, istrinya, masih mendoakan seseorang yang tega membuangnya sejak bayi.

"Saya mendoakan ibu saya, agar Allah mengampuni kesalahannya karena meninggalkan saya. Juga karena dia telah berbaik hati mempertahankan saya, sampai saya lahir ke dunia."

"Sal, k-kamu...." Andro sampai bingung hendak berkata apa.

"Saya yakin, dalam hati yang paling dalam, tidak ada seorang ibu yang tidak menyayangi anaknya, Mas. Mungkin ibu saya orang miskin banget, sehingga nggak bisa memberikan penghidupan yang baik kalau saya tetap bersamanya. Atau mungkin ibu saya nggak ingin mencoreng nama baik keluarga. Dengan membuang saya, setidaknya ibu saya melakukannya untuk menjaga nama baik orang tuanya. Atau mungkin juga ibu saya seorang pelac*r, yang kalau saya tetap hidup bersamanya, bisa jadi saya sekarang menjadi orang yang sama dengan dia.

"Dengan membuang saya, seungguhnya dia telah menyelamatkan hidup saya. Kalau bukan karena dibesarkan oleh Bu Miska, mungkin saya nggak akan pernah jadi Salma yang sekarang ini. Allah Maha Adil, nggak akan pernah membiarkan satu pun makhluknya tersia-sia, Mas.

"Dan yang paling saya syukuri, kalau ibu nggak membuang saya, mungkin saya nggak akan pernah jadi istrinya Mas. Nggak akan pernah jadi bagian dari keluarga yang baik ini. Terima kasih, Mas, sudah mau menerima saya."

Andro tak bisa lagi berkata-kata. Ia merasa yang berdiri di depannya saat ini bukan manusia, tapi malaikat. Mana ada manusia yang mau memberi maaf, setelah ditinggalkan teronggok di tempat sampah begitu saja.

Ditariknya Salma ke dalam pelukan. Andro tak tahu lagi harus bagaimana mengungkapkan rasa syukurnya. Ia tak lagi punya alasan untuk tak bisa mencintai perempuan sebaik Salma.

"I love you, Sal. Kamu punya aku sekarang. Kalaupun ibu nggak akan pernah kita temukan, kamu tetap punya mama, punya papa. Mereka orang tuamu sekarang.

"Menangislah, Sal. Aku nggak akan ke mana-mana. Aku tempatmu pulang, Sal. Sampai kapan pun."

Salma tak henti bersyukur. Kalaupun orang tuanya membuangnya, ia masih punya Allah, yang tak akan pernah meninggalkannya. Dan sekarang ada Andro. Seseorang yang mengambil tanggung jawab atasnya. Seseorang yang ia sebut suami. Seseorang yang akan menjadi temannya berbagi. Tak hanya tentang suka, tapi untuk segala hal yang akan mereka jalani bersama.

Salma melonggarkan pelukan suaminya. Memberanikan diri menatap dalam-dalam pada sorot mata tegas di hadapannya.

"Terima kasih, Mas. Emm, i love you," bisiknya malu-malu.

"I love you too..., Salma Andromeda."

Ada sejuk yang mengaliri hati Salma. Ia membenamkan wajahnya ke dada suaminya. Menangis lagi, kali ini sebab rasa bahagia.

"Sal, mulai saat ini, aku mau belajar biar bisa jadi imam yang baik buat kamu. Tolong bantu aku ya, Sal. Tolong ajari aku," bisik Andro di telinga Salma.

"Will you, Sal?"

Salma membiarkan kedua matanya kembali beradu dengan mata Angkasa Andromeda, sang galaksi di langit utara. Senyumnya merekah, membalas tanya suaminya dengan bisikan, "Yes, i will."

***

Alhamdulillah, memutuskan untuk tetap update di bulan Ramadhan.

Gimana dengan part ini? Masih masuk kategori aman dan sopan kan ya? Tolong kasih tau aku kalau ada yg kurang pas atau kurang berkenan ya.

Btw, udah tau kan ya, Salma masih belum siap. Jadi selama bulan Ramadhan insyaAllah tetap aman lapak ini. Ya paling ada sedikit yang bikin baper, tapi nggak danger. Hehe..

Lagunya jadul abis. Kalian nggak harus suka sih, ini cuma keinget pas nulis kata-kata Salma di ending, Yes I Will. Langsung inget lagu Backstreet Boys yang judulnya sama.
Ssstt, aku memang dulu fans BSB. Kalau N'Sync suka dengerin lagunya aja. Maklum, aku besar di era boyband naik daun. Hanson, A1, The Moffats, Take That, Boyzone. Duh duh duh... Hahaha.

Yaudah gitu aja. Terima kasih sudah baca. Mohon maaf kalau ada salah.

Selamat menjalani bulan Ramadhan dg kebaikan ya teman-teman. Perbanyak ibadah, jangan lupa sedekah, baca wattpad buat selingan ajah :)

See you.

Semarang, 15042021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top