78. Melepaskan

Dentang bel berbunyi nyaring. Salma melihat jam dinding, 20.17, lalu tergopoh menuju pintu. Pasti mama mertua yang datang. Besok pagi anak laki-laki kesayangan akan wisuda.

"Assalamualaikum, Salma," sapa Utami begitu wajah cantik sang menantu muncul di balik pintu.

"Lho! Papa!" Salma memekik kaget, sampai lupa membalas salam.

Hampir empat bulan tak bertemu, Antariksa terlihat berbeda. Wajahnya lebih tirus, pun tampak lelah, juga sedikit sayu.

"Eits, mantu sholihah sampai kelewat balas salam iki piye? Terpana ndelok kon, Ik." Utami terkekeh. Antariksa juga.

"Astaghfirullah hal adzim. Iya, Ma. Waalaikumussalam. Maafkan Salma." Si ibu muda tersipu, kemudian memeluk mama mertua.

"Papa sehat, kan?" Disalami dan diciumnya punggung tangan papa mertua. Mata Salma berkaca-kaca.

"Maafkan Mas Andro ya, Pa." Tangis Salma pecah di pelukan mama mertua.

Hampir empat bulan Andro sama sekali tidak bertemu papanya. Andro biasa saja, tapi Antariksa yang memutuskan menghindar.

Andro dan Salma bukannya tak pernah ke Surabaya. Sebaliknya, mereka makin sering ke sana sejak eyang papinya sakit. Andro menjadi satu-satunya penyemangat Jaya Ahmada untuk sembuh dan pulih seperti sediakala. Tapi tidak dengan Antariksa, eyang papi Andro masih marah padanya. Itu pula yang membuat Antariksa menarik diri, menjauh sementara dari papinya. Sayangnya, ia memutuskan untuk menjauh pula dari Angkasa Andromeda, putranya.

"Nggak apa-apa, Sal. Itu keputusan papanya Andro sendiri. Nggak mau bikin papi dan Andro makin kesel sama dia. Tapi dia tetap pengen datang ke wisudaan Andro, minimal lihat anaknya pakai toga lah."

Utami membesarkan hati Salma, tanpa tahu bahwa yang paling diharapkan Andro untuk mendampingi pada wisudanya besok adalah sang papa.

"Andro ke mana? Kayaknya nggak mungkin kalau jam segini udah tidur." Salma tersenyum mendengar tebakan mama mertua.

"Iya, Ma. Papanya Naj lagi keluar. Ada acara sama teman-temannya." Maklum, Andro adalah satu dari tujuh mahasiswa yang wisuda pertama di angkatannya.

Usai menaruh koper dan berganti baju, Utami dan Antariksa bergabung dengan Salma di ruang tengah, juga si bayi lucu yang sudah menginjak sepuluh bulan. Mulai merambat setiap kali bertemu pegangan. Dia terbangun, mungkin mendengar suara-suara yang dirindukan.

Andro baru pulang ketika pukul sepuluh menjelang. Hanya ada Salma dan mamanya. Dan Najma yang pulas di atas sofa.

"Sendirian, Ma?" Diraihnya tangan kanan mamanya, menciumnya dengan hormat dan cinta.

"Sama papa." Memang tak saling berkabar sebelumnya. Obrolan Andro dengan mamanya beberapa waktu terakhir tak pernah menyinggung soal Antariksa.

"Mana?"

"Di kamar."

"Tidur?"

"Nggak tahu. Cek sendiri, coba." Ada hangat menjalari hati Utami. Berharap malam ini hubungan antara ayah dan anak laki-lakinya bisa mencair dan kembali akrab seperti sebelumnya.

Antariksa sedang duduk berselonjor, menyandarkan punggung ke headboard empuk di belakangnya. Sebuah buku di pangkuannya, terbuka, tapi tak satu huruf pun dibaca. Dia mengangkat kepala ketika pintu terbuka.

Andro menghampiri, menyodorkan sepucuk kertas. Undangan wisuda universitas.

"Untuk Salma saja. Dia lebih pantas mendampingi kamu." Datar. Dingin. Bahkan menyambut sehelai kertas itu pun tak dilakukan. Sungguh menyakitkan.

Bukan kalimat seperti itu yang ingin Andro dengar. Pun Antariksa, bukan nada semacam itu yang sebenarnya ingin ia keluarkan.

"Nggak."

"Atau mamamu?"

"Nggak."

"Tapi mereka lebih pantas. Papa kan nggak punya peran apa-apa buat tugas akhirmu."

"Oke. Aku wisuda sendiri juga nggak ada masalah, kok." Andro merapatkan gigi-giginya. Menahan sesak di dada.

Ditaruhnya undangan itu di atas nakas, lalu meninggalkan kamar depan. Tak berhenti pada istri dan mamanya, ia terus melangkah masuk ke kamar, disusul suara berisik guyuran air.

"Sudah malam, Ma. Kita istirahat dulu, ya? Sal juga agak capek, tadi siang bikin kue buat dibawa ke wisudaan. Besok sebelum subuh mau bikin beberapa lagi."

Salma menutup pembicaraan dengan agak canggung. Keduanya lalu berpisah. Digendongnya Najma, menaruh ke atas bednya. Kemudian menunggui Andro di depan pintu kamar mandi.

"Mas," sapanya ketika melihat Andro keluar dengan mata sedikit merah.

"Aku wisuda sendirian juga nggak apa-apa kok, Sal." Berusaha kuat, nyatanya air matanya luruh juga.

Salma memeluknya. Tak berkata apa-apa, hanya mengusap lembut punggung suaminya.

"Aku nggak bisa ngomongnya ke papa, Sal. Aku nggak bisa."

"Mas nggak harus ngomong apa-apa. Papa dan Mas itu terhubung oleh garis yang nggak bisa diputuskan oleh apapun. Papa pasti tahu keinginan dan harapannya Mas. Percayalah, Mas nggak akan wisuda sendiri."

Salma melepas peluknya. Ditangkupnya kedua pipi Andro yang masih setengah basah dan sedikit lengket. Mereka saling menatap penuh cinta.

"Kita tidur, ya? Sal yang malu kalau besok Mas wisuda dengan mata sembap gitu. Kayak anak kecil nggak dibeliin minderjoy sama mamanya aja."

Ia berjinjit. Dikecupnya bibir Angkasa Andromeda, lantas menariknya untuk mengarungi alam mimpi berdua.

***

Pagi masih buta, Salma sudah tak Andro temukan di pelukan. Dari celah pintu yang tak tertutup sempurna, aroma keju menyusup masuk meninggalkan pemanggangnya. Senyum Andro mengembang bersama rasa bangga akan istrinya. Salma selalu ingin memberikan yang terbaik untuknya, termasuk penganan yang akan dibawa dan dimakan bersama keluarga dan teman-temannya nanti, Salma dari jauh hari sudah minta izin untuk memasaknya sendiri.

"Jangan sampai kecapaian, Sayang." Andro mengagetkan Salma, memeluknya dari belakang. Tapi Salma bukan kaget karena itu, melainkan karena....

"Mas, ada mam---"

"Astaghfirullah hal adzim, Androoo." Pekikan Utami memotong peringatan Salma.

"Naj udah besar lho, Ndro! Kamu jangan sembarangan berkeliaran di rumah kayak Tarzan gitu, dong. Astaghfirullah. Sana, masuk kamar! Pakai baju yang bener!" Ibu jari dan telunjuknya menarik kuping Andro tanpa ampun.

Andro mengaduh-aduh, lalu secepat kilat meninggalkan dapur sambil tergelak-gelak. Tak sempat melihat wajah Salma yang memerah karena malu parah.

"Diingatkan lah, Sal, suamimu itu. Ya untungnya cuma kamu sama mama, kalau ada orang lain gimana? Dita misalnya. Kan nggak pantas. Naj juga udah mau setahun, lho. Makin besar kan dia makin bisa merekam perilaku orang-orang di sekelilingnya."

Sekali lagi yang bisa Salma lakukan cuma minta maaf. Dia bukan tak pernah mengingatkan suaminya. Justru sebaliknya. Selama ini Salma selalu mencegah hal-hal semacam itu terjadi, dengan berusaha ada di dekat Andro saat lelakinya itu membuka mata, misalnya. Mencegah agar Andro tak berkeliaran dengan kostum one piece favoritnya.

Tak sampai sepuluh menit, Andro kembali berada di dapur. Sudah segar dan wangi. Yang tertinggal di sana cuma istri tercinta. Ia duduk di meja makan, mencomot lasagna tanpa permisi, lalu menghabiskan hampir sepertiga loyang. Salma hanya tersenyum, mau dicegah juga percuma. Lagipula, dia selalu senang setiap kali Andro melahap masakannya dengan rakus.

"Aku berangkat duluan nggak apa-apa ya, Sal? Habis subuh. Kamu nanti nyusul sama mama papa. Bisa nyetir semua, ini. Aman." Ada dua mobil di rumah mereka sekarang. Ardhito tak mau SUV miliknya dikembalikan. Untuk Sal dan Naj, katanya. Anak dan cucu tercinta.

"Kenapa nggak bareng-bareng aja?"

"Wisudawan harus datang duluan, kan?" Malah balik bertanya.

"Ya tapi nggak habis subuh juga kali, Mas? Bukan mau jemput Mbak Z dulu, kan? Atau ngantar dandan buat wisuda?"

Tawa Andro meledak. "Kamu nyindir dia, ya? Mana mungkin Zulfa wisuda pertama di angkatan, Sal? KP aja dia belum kelar kayaknya."

"Tumben pakai kayaknya? Biasanya semua tentang si mbak Mas hafal luar kepala?"

"Ini kamu cemburu apa gimana, sih?" Seingat Andro, sejak ada Najma, Salma nyaris tak pernah cemburu pada Zulfa. Jangankan cemburu, membahasnya saja bisa dihitung dengan jari tangan kiri saja.

Gantian Salma yang tertawa. "Nggak. Cuma ngetes Mas aja, sedih nggak mau ninggalin Semarang yang penuh kenangan?"

"Nggak, lah. Semarang sebenarnya cuma jadi pelarian. Qodarullah banyak pelajaran yang berujung pada kesadaran. Tapi tetap, Surabaya di hati yang paling dalam. Buktinya, hatiku nyangkutnya di orang sana-sana juga, kan?" Dia beranjak, lagi-lagi memeluk dan menciumi leher Salma dari belakang.

"Itu juga terpaksa deh kayaknya? Buat pelarian karena yang di Semarang udah nggak mungkin diperjuangkan, ya kan?"

"Terpaksa macam apa yang sampai dibela-belain maksa ustadzah nan solihah lagi hafidzah jadi makmum buat imam amatiran yang cuma hafal triqul dan Al Fatihah? Istri cantik ini suka banget ngebahas yang nggak perlu dibahas, deh." Dibalikkannya badan Salma hingga keduanya berhadapan.

Salma terkekeh, melingkarkan lengan di pinggang Andromedanya. "Tapi jujur, Mas sedih nggak ninggalin Semarang?"

"Nggak. Aku lebih sedih kalau hari ini harus menerima kenyataan kalau aku akan wisuda sendirian."

"Ya udah, Sal yang nyaksiin deh nanti." Tentu saja Salma tak serius. Dia tahu betul yang diharapkan suaminya.

"Thank you, Sayang. Maafin aku, ya, kalau bukan kamu yang kuharapkan ada di sana."

Salma mengangguk, menutup bibir Andro dengan tangannya. "Nggak usah diterusin bahas yang nggak perlu dibahas. Mas nggak akan sendirian. Semuanya akan berlangsung seperti yang Mas harapkan."

"Kamu ngadu ke mama, ya?"

"Sama sekali nggak. Tapi Sal udah ngadu ke Allah. Minta agar Allah lembutkan hati papa. Hati anak laki-lakinya juga. Minta sama yang bersangkutan sendiri susah, sama-sama kerasnya. Apalagi si anaknya, ngeyelan banget. Kalau diajakin diskusi soal ini banyakan cueknya." Salma pura-pura cemberut, Andro jadi gemas. 

"Subuh masih sepuluh menit lagi, nih, Sal. Aku berangkat agak siangan juga nggak apa-apa, kok. Mandi lagi dan keramas butuh waktu, ya kan?"

"Sorry, kode diterima tapi nggak direspon. Mas berangkat habis subuh aja nggak apa-apa, deh." Kali ini Salma cemberut betulan. Masak memasaknya saja belum kelar, Andro malah mengajak yang tidak-tidak.

"Jemput dan ngantar Mbak Z dandan buat wisudaan juga nggak apa-ap.... Awww! Ampun, Sal, ampuuun."

Sebuah cubitan membuat perut Andro cekit-cekit. Kecil, keras, lama, dan sulit dilepas. Khas cubitan Salma kalau sedang kesal padanya.

"Udah sana. Jemput dan anterin mbaknya. Tungguin di depan rumahnya sampai beliaunya wisuda. Sal pulang ke Surabaya duluan sama mama papa."

Sekali lagi Andro tertawa. Dicemburui Salma selalu membuatnya bahagia, meski ia tahu persis, Salma sudah tak peduli lagi pada masa lalunya. Obrolan tentang Zulfa sekarang cuma menjadi bahan bercanda bagi mereka.

"I love you, Salmaku. Terima kasih udah bikin aku tahu rasanya menjadi seseorang yang keberadaannya berarti buat orang lain. Seperti janji yang selalu aku katakan, setelah ini aku akan berjuang lebih keras buat ngebahagiain kamu dan anak-anak kita, dengan tanganku sendiri."

Bibir Salma menghangat bersama dekapan erat Angkasa Andromeda. Tak ada jarak, hanya ada cinta.

Dari depan pintu kamar tamu, seseorang berdiri. Menatap pasangan muda yang saling tulus mendukung dan menyayangi. Ia lalu kembali masuk ke kamar. Ditimangnya selembar undangan. Hatinya menghangat, pun matanya. Detik itu juga, ia berubah pikiran.

***

Nama-nama wisudawan dari fakultas teknik satu per satu disebut. Wisudawan dengan pencapaian tertentu disebut lebih dahulu. Tentu saja akan ada nama Angkasa Andromeda di sana, sebagai wisudawan dengan IPK terbaik, termuda, dan masa studi tercepat dari Departemen Teknik Sipil.

Andro gelisah. Berkali menoleh ke sekeliling, mencari seseorang yang paling ia harapkan kehadirannya. Tapi nihil. Ia menggigit bibir.

"Arah jam empat, baris ketiga," bisik Wahyudi yang duduk tepat di sampingnya. Dia yang menangkap keresahan Andro sudah lebih gercep mencari tahu tentang keberadaan calon bos besarnya.

Andro menoleh, tepat saat namanya disebut. Seseorang di baris ketiga arah pukul empat sedang menatapnya bangga sambil mengusap sudut mata.

Senyum Andro terbit, wajahnya bersinar secerah matahari musim semi. Ia melangkah gagah menuju panggung wisuda. Rasa bahagia membuncah di dada.

Seusai prosesi, para wisudawan bubar, berkumpul berkelompok-kelompok dengan keluarga dan teman-teman mereka. Pun Andro. Ia melangkah menuju Salma dan mamanya yang memilih menggelar berbagai kudapan dan minuman di bawah salah satu pohon nan rindang beralas hamparan rerumputan.

Sekali lagi senyum Andro merekah. Keluarganya berkumpul di sana, lebih banyak dari yang dia kira. Selain mama, Salma, dan Najma, hadir pula Dimas dan Rea, bahkan eyang papi yang masih harus duduk di kursi roda pun ingin menyaksikan hari penting bagi sang cucu kesayangan, satu-satunya yang kelak akan membawa mewariskan namanya pada keturunan berikutnya.

Anak itu juga ada di sana. Orion. Menggelesot diantara Rea dan Salma, asyik mencandai Najma hingga bayi chubby itu tergelak-gelak gembira.

Andro berhenti sejenak. Ada hangat yang menjalar di dada. Entah apa. Ia menelan ludah, kemudian melanjutkan langkah.

Melihat adik semata wayangnya datang, Rea segera bangkit dan menghambur mendekapnya. Mengucapkan selamat dengan air mata berlinang.

"Selamat ya, Ndro. We're all so proud of you. Maafkan mbak yang setahun terakhir ini mungkin mengecewakan dan nyakitin hati kamu. Aku yakin, kamu bisa ngertiin keputusanku."

"Thanks, Mbak. Santai aja. Sal udah berkali-kali ngejelasin banyak hal tentang Mbak, papa, dan mama. It's okay. Mbak juga berhak bahagia, nggak harus selalu mikirin perasaanku juga. Aku aman, kok. Ada Sal dan Naj yang selalu bikin aku merasa berarti sebagai seseorang."

"Please, Ndro. Jangan ngomong gitu." Rea memeluk adiknya lagi, kali ini tangisnya lebih keras dari sebelumnya.

Andro merasakan sesuatu. Perut Rea, yang tertutup jilbab lebar, terasa berbeda saat tak ada jarak diantara mereka.

"Mbak, kamu hamil, kah?"

"Heh, dasar adik durhaka. Aku udah hamil jalan lima bulan, kamu nggak tahu, hah? Kurang ajar!" Dicubitinya adik tak berguna, yang saking senangnya menuruti sakit hati sampai tak tahu perkembangan berita terkini.

Kali ini Andro yang memeluk kakaknya. Dia tertawa, tapi basah di kedua mata. Memiliki keturunan memang sesuatu yang membahagiakan bagi hidup seseorang. Tentu saja ia juga ingin kakaknya merasakan kebahagiaan yang sama.

Orion menatap Rea, yang sudah dekat selayak ibu baginya. Rea mengangguk, melambai padanya. Bocah laki-laki itu lalu mendekati kedua kakak beradik. Dengan takut-takut dia menatap Andro, lalu mengulurkan tangannya kepada Andro. Andro menyambutnya, berlutut menyejajarkan diri, lalu menarik Orion ke dalam pelukan dan menepuk-nepuk punggung anak itu dengan rasa sayang.

Ini dunia, pikirnya. Dia sudah mendapatkan banyak hal baik. Istri yang cantik dan shalihah, anak yang lucu dan memggemaskan, orang tua dan keluarga yang melimpahinya dengan cinta dan kasih sayang. Dia pa Allah beri rizki berupa kepandaian, wajah nan rupawan, harta dan fasilitas melimpah dari orang-orang tua....

Egois sekali kalau masih mengharap semua keinginannya terpenuhi. Apalagi sampai mengorbankan anak kecil yang belum mampu menopang hidupnya sendiri.

Nobody gets too much heaven, Ndro! ujar hatinya kepada diri sendiri.

"Mulai sekarang, kamu adiknya Mas Andro, ya."

Andro berdiri. Diciumnya puncak kepala Orion, lalu mengacak rambut anak itu sambil tertawa kecil, layaknya seorang kakak kepada adiknya.

Utami menangis haru, mendekap erat si anak kesayangan dengan perasaan lega. Salma, Rea, serta kedua eyangnya menyusul melakukan hal yang sama.

"Papa mana?" Andro baru sadar, tak ada papanya diantara mereka.

"Tadi nyari toilet katanya," jawab Utami.

"Andro juga mau cari toilet, deh." Dilepasnya topi wisuda dan menitipkannya kepada Salma. Lalu pergi begitu saja. Teman-temannya bahkan belum sempat mengucap selamat.

Di dekat toilet ada taman, di taman itu ada bangku-bangku besi dengan beberapa jenis pepohonan peneduh, di salah satu bangku ada seseorang yang sedang ingin ia ajak bicara.

Antariksa tengah menghisap  cerutunya, tak menyadari ada yang berdiri mengamatinya.

"Dari kapan merokok?" Setahu Andro papanya hanya merokok ketika pikirannya sedang ruwet. Saat banyak masalah dalam pekerjaan, misalnya. Itupun tak pernah dilakukan di rumah.

Antariksa sedikit tersentak, buru-buru mematikan cerutunya, lalu menggeser duduknya, memberi ruang untuk si anak lelaki kebanggaan.

"Stress banget, ya? Kurusan juga." Andro menjejeri papanya, tanpa menatap pada sang lawan bicara.

"Kentara, ya?" Antariksa terkekeh, sambil menatap anak laki-lakinya yang pandangannya masih mengarah ke depan sana.

"Lagian, anak ambil sikap begini, bukannya dideketin malah dijauhin."

"Papa cuma menyesuaikan saja. Didekati nggak suka, ya mungkin memang lebih baik mengambil jarak dulu saja."

"Aku ini anak, dan papa adalah orang tua. Kalau ada yg lebih pantas egois, harusnya itu aku. Kalau ada yang lebih pantas marah, harusnya itu aku. Kalau ada yang lebih pantas ngambek, harusnya itu aku. Kalau ada yang lebih pantas menjauh, harusnya itu juga aku."

Andro menjeda kalimatnya, menghela napas dan melepaskannya perlahan.

"Tapi kalau ada yang lebih pantas meminta balas budi, itu sudah pasti Papa. Dan Papa nggak pernah sekalipun melakukannya. Sebaliknya, semarah apapun aku ke Papa, aku tahu Papa selalu ingin memberikan yang terbaik buat aku.

"So, ketika kemudian Papa memilih untuk menjauh, sejujurnya aku patah hati."

Hening. Hanya desau angin yang menengahi.

"Jauh lebih patah hati dari waktu papa memilih si tante itu jadi istri muda."

Kali ini hela napas Antariksa bersahutan dengan suara daun yang bergesekan. Sedikit heran, ketika tak ada sebutan anj*ng yang biasanya Andro sematkan untuk bekas istri mudanya.

"Papa memang payah milih selingkuhan. Tapi ya bagus juga, sih. Hikmahnya papa jadi sadar kalau selingkuh itu nggak bener. Nggak berlama-lama jatuh di dalamnya. Dan nggak ngulangin lagi. Semoga.

"Tapi aku akui, papa jago milih menantu. Mas Dimas bisa bawa Mbak Rea jadi jauh lebih baik. Dan Salma, dia bisa bikin anak papa yang pembenci ini jadi manusia yang bahagia."

Masih tak ada tanggapan, cuma helaan napas berat yang entah sudah berapa puluh kali Antariksa lakukan.

"Aku udah nerima Orion, Pa. Aku udah declare dia sebagai adikku, walaupun kenyataannya bukan. Aku udah melepas semua kebencian atas segala kejadian di masa lalu.

"That's why, aku bilang kalau Papa jago milihin menantu. Karena Salma yang akhirnya menyadarkan aku, bahwa membawa kebencian sama saja membawa sampah ke mana-mana. Sampah hati. Sampah pikiran. Sampah kehidupan.

"Salma yang selama ini selalu sabar ngadepin aku. Kucuekin, dia nggak nyerah. Kuambekin, dia nggak putus asa. Kuajakin berantem, dia berusaha untuk nggak nanggapin. Dia selalu tenang, padahal aku selalu jadi pihak yang merasa harus menang.

"Aku nemu buku catatannya Sal, Pa. Yang sejak kami sadar Papa menjauh dari aku, dia menuliskan doa yang sama di setiap harinya, dan melangitkan di sepertiga malamnya. Agar Allah melembutkan hatiku, juga hati Papa.

"Aku terima kasih sama Papa. Bukan cuma karena udah memilihkan Salma buat mendampingi aku, lebih dari itu, adalah untuk setiap kasih sayang yang udah, masih, dan aku yakin akan selalu Papa berikan buat aku. Sejujurnya, dari sejak dulu aku nggak pernah bener-bener bisa membenci papa."

Andro berhenti bicara. Mendongak, memandangi awan yang berarak cepat seolah saling berkejaran. Batu besar yang kemarin menghimpit sudah terlepas. Lega. Lapang dada.

"Maafin Andro, Pa." Ia menoleh pada papanya. Keduanya saling tatap. Tak ada yang bercakap. Tak perlu ada.

***

Alhamdulillah. Kali ini usai sudah.

InsyaAllah besok atau Sabtu aku post penutup. Udah nggak memengaruhi cerita, sih. Makanya kusebut endingnya di sini, karena semua konflik sudah ada penyelesainnya. Udah bahagia. Hehe...

Terima kasih banyak udah menemani aku, Andro, dan Salma sampai sejauh ini.

Aku ingat betul, Move On pertama kali kupost itu Maret 2021. Aku lagi isoman. Fisik sehat, tapi psikis tertekan. Stress. Takut mati. Kecil hati. Sampai rasanya pengen menarik diri. Serumah sama anak-anak tapi nggak bisa meluk. Kepikiran orang tua yg setiap waktu selalu mengkhawatirkan aku. Macem-macem banget. Astaghfirullah.

Akhirnya aku post Move On yg waktu itu punya tabungan 8 part. Nggak pernah nyangka bakalan sampai sepanjang ini.

Dan Move On waktu itu jadi salah satu hiburan yg ikut membesarkan hatiku. Respon teman-teman pembaca, komentar-komentar yg seru dan kocak, semuanya.

Terima kasih ya, teman-teman.
Terima kasih sudah melewati canda tawa, suka cita, gundah gulana, riang gembira, sedih dan bahagia, duka dan air mata....

Udah-udah... Jadi ke mana-mana. Kebiasaan. Tuman! Haha....

Aku juga minta maaf kalau ada banyak kekurangan, kesalahan, keterlambatan, dan hal-hal menyebalkan lainnya, khususnya di sepanjang perjalanan Move On ini.

Kalau berkenan, bolehlah tinggalkan kesan dan pesan teman-teman untuk cerita ini. Semoga bisa menjadi masukan dan motivasi untuk bikin karya yg lebih baik lagi.

See you & love you :)

Semarang, 01122022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top