77. Kabar Tak Mengenakkan

Menjelang pukul tujuh, Andro dan keluarga kecilnya sudah tiba di gate kedatangan bandara Ahmad Yani.

"Andro!" Teriakan mama terdengar di sela kerumunan. Sesaat berikutnya memeluk anak laki-lakinya dengan berlinangan air mata.

"Dih, Ibu Utami Wulandari kok malah nangis, sih? Tahu gitu Andro nggak usah jemput, deh." Andro mencandai. Diciuminya ujung kepala sang mama yang terbalut jilbab warna mocca.

"Kamu sehat, Nak?" Mama menangkup kedua pipi Andro.

"Alhamdulillah, kami sehat semua, Ma. Udahan ya nangisnya, menantu tuh dipeluk dulu. Dia yang udah ngopeni anak cucu Mama, lho," ucap Andro dengan nada bangga.

Utami memeluk Salma. Ucapan terima kasih menghujani menantu kesayangan. Andro menyalami papanya, masih berjarak, tak seperti dengan sang mama.

Mobil melaju ke arah Semarang atas. Andro duduk di balik kemudi, bersisian dengan papanya.

"Kampus gimana, Ndro?"

"Aman."

"TA?"

"Alhamdulillah, sesuai rencana. Target sih semester depan udah kelar dan wisuda."

"IPK?"

"Aman, insya Allah. Kalau cuma cumlaude sih kelewat-kelewat."

"Sombong sekali, Bung."

Anyep. Tak ada tawa atau tanggapan lebih. Datar saja, seperti sebelum-sebelumnya.

"Jadi pulang kan kalau udah ST.? Papa menang tender pembangunan sekolah internasional, kamu bisa join di sana."

"Makasih. Tapi aku mau kerja dulu di luar, nggak di perusahaan Tuan Besar Antariksa. Tenang aja, Insya Allah aku bisa berdiri sendiri. Nggak usah terlalu mikirin aku. Nggak diminta mikirin juga."

"Ya minimal dimintai doa lah, Ndro." Andro menoleh sekilas, ada sinis pada sorot mata yang tertangkap oleh Antariksa.

"Kalau orang tua yang baik dan bener tuh mestinya udah otomatis ngedoain anaknya tanpa perlu diminta. Entah kalau yang nggak baik dan nggak bener." Sebuah cubitan kecil terasa di lengannya. Andro cuek saja. Malah menangkap dan mengelus jemari istrinya.

"Masih marah sama papa?"

"Udah sih, Pa, ngapain juga dibahas terus? Ujung-ujungnya pasti ke situ lagi. Nggak usah bikin aku jadi anak yang makin durhaka, lah. Capek. Toh Papa juga nggak pernah merasa jadi papa yang durhaka, kan?"

Satu cubitan gantian mampir di lengan Antariksa. Wajah Utami kesal, khawatir berimbas lagi pada sikap Andro yang tadi sudah berbaik-baik padanya.

Sampai di rumah, Andro tak ikut nimbrung di meja makan. Memilih bermain-main dengan Najma di halaman belakang. Bergulingan, melempar dan mengejar mainan, mengayun-ayun, menggelitiki Najma sampai bayi itu tergelak-gelak kegelian.

"Andro kalau udah sama Naj suka lupa waktu ya, Sal," komentar Utami. Matanya tak lepas dari anak dan cucu yang sedang bercandaria. Senyum sedari tadi mengembang di wajahnya yang cantik.

"Iya, Ma. Tapi Sal suka banget lihatnya. Mas tuh sayaaang banget sama Naj. Seringkali sampai Sal yang dikalahin." Salma terkikik geli sembari membereskan meja makan.

"Dulu Iksa juga begitu waktu Andro kecil, Sal. Sampai Andro ABG juga masih begitu. Dekat sekali mereka, sampai kadang mama kasihan sama Rea karena Iksa lebih condong ke Andro. Lalu semuanya berakhir setelah kejadian itu. Ibarat api, itu tuh udah padam. Mati pet."

"Iya, Ma. Walaupun Sal baru kenal Mas setelah Mas kembali ke rumah, tapi Sal sangat bisa merasakan sakit dan patah hatinya Mas kalau menyangkut kejadian itu.  Dan masih terasa banget sampai sekarang, Ma."

Ibu muda nan cantik itu kembali duduk bersama kedua mertua. Kejadian dini hari tadi Salma ceritakan. Tentang betapa panik dan khawatirnya Andro saat Najma hampir jatuh. Mata basah yang menyimpan ketakutan dan trauma. Juga perbincangan mereka tentang kemiripan nasib Salma dengan Orion, bocah malang yang dibenci setengah mati oleh Andro.

Mata Antariksa berkaca-kaca, memandangi Andro dan Najma dari tempat duduknya. Hela napas terdengar berulang, berat oleh penyesalan.

"Sudah nggak bisa diapa-apakan, Sal. Papa juga sudah pasrah. Cuma bisa minta tolong sama kamu, karena seperti yang selalu Andro bilang, sekarang ini yang bisa megang dia ya cuma kamu."

Cuma anggukan yang bisa Salma berikan. Dari sejak peristiwa itu terjadi, Salma bukannya tak ada usaha sama sekali. Ia tak pernah lelah mengajak Andro berdiskusi. Andro memang selalu mendengarkan, meski setelahnya tak ada tanggapan berarti. Juga bukan sekali dua kali Salma dicueki. Atau didengarkan, kemudian berujung dengan perang dingin. Bahkan tak jarang pula berakhir dengan adu argumen nan sengit.

"Sayang, Naj udah mulai bete, nih. Mungkin lapar atau ngantuk." Andro datang, menyerahkan Najma kepada Salma. Si bayi chubby rewel. Matanya sayu. Memang sudah waktunya tidur pagi itu.

"Sal izin nenenin dulu ya, Ma, Pa."

"Aku juga mau ya, Sayang. Antri deh habis Naj." Mata Salma membulat Bibirnya komat-kamit, mengeluarkan omelan tanpa suara. Malu.

Sehelai serbet melayang ke muka Andro. "Udah jadi papa kok ngomongnya saru ki lho. Sini, kamu ngobrol sama mama papa aja."

"Ya gimana, dong? Enak sih, Ma." Bukannya malu, Andro malah cekikikan mendengar ucapan mamanya. "Ngobrolnya udah diwakili Salma, kan, tadi? Ya udah, nggak ada yang perlu diobrolin lagi. Andro mau ke kampus."

Dengan santainya ia melangkah ke kamar, meninggalkan kedua orang tuanya. Tak sampai lima menit di dalam sana, ia pergi hanya dengan mengucap salam, plus sedikit kecupan di pipi kiri kanan mamanya.

Sebenarnya tak ada keperluan ke kampus. Dia hanya sedang malas saja berhadapan dengan papanya. Baginya, yang paling pantas disalahkan saat ini ya cuma sang papa. Menyalahkan anak itu, Andro sudah sadar bukan perbuatan yang bijak. Tapi untuk tidak menyalahkan siapa-siapa, egonya belum bisa menerima. Kali ini Antariksa diam, walau hatinya nelangsa.

"Udahlah, Ndro, lupakan yang lalu-lalu. Kamu berhak bahagia."

Pendapat Wahyudi didukung teman-teman yang pernah kerja praktik di perusahaan papanya. Mereka sedang nongkrong di kantin siang itu.

"Halah, kalian nggak pernah ada di posisi itu, jadi gampang aja bilang lupakan. Dikira aku nggak pernah usaha buat ngelupain itu semua, apa? Diem aja lah kalau nggak ngerti." Temtu saja Wahyudi sangat mengerti, tapi apalah artinya di depan orang yang sedang sakit hati setengah mati.

Andro kesal. Ditinggalkannya teman-teman yang menurutnya menyudutkan dia hanya karena pernah —dan mungkin masih— punya kepentingan dengan perusahaan Antariksa. Hanya pindah meja, menghampiri dua sahabat lainnya, Asya dan Zulfa, kemudian mengobrol dengan santai di sana.

Baru sekira lima belas menit, gawai di sakunya berdering. Panggilan dari Salma segera ia terima.

"Assalamualaikum, Sayang. Gimana? Kangen, ya?" Asya mencibir mendengarnya, lalu tertawa menggoda.

"Waalaikumussalam. Mas lagi penting banget kah di kampus?"

"Nggak, sih. Gimana?"

"Pulang sekarang ya, Mas."

"Tumben sih posesif?" Asya terkikik lagi mendengarnya.

"Lagi ada Mbak Zulfa, ya? Kok kayak malas pulang, gitu?"

Asem! Feeling aja kalau ada Zulfa. Dasar perempuan! batin Andro. Padahal dia sama sekali tak peduli, bahkan jika ada tiga Zulfa sekalipun.

"To the point, Sayang."

"Eyang papi jatuh di kamar. Kata tante-tante stroke. Agak berat. Ini di rumah sakit. Papa mau pulang. Kita ke Surabaya ya, Mas?"

"Astaghfirullah hal adzim. Iya, Sal. Aku pulang sekarang. Siapin bawaanku, ya. I love you, Sayang" Sempat-sempatnya menyisipkan i love you.

"Aku duluan ya, Sya, Zul. Eyangku masuk rumah sakit. Aku mau ke Surabaya." Andro tergesa. Menimbulkan tanya pada Wahyudi dan dua teman lain yang mengamati gerak-gerik Angkasa Andromeda.

"Piye, Ndro? Ono opo?"

"Eyangku masuk rumah sakit."

"Butuh bantuan nyetir, Ndro? Aku siap."

"Gak sek, Yud. Bisa gantian sama papa mama. Thanks." Andro sedang tak ingin dijustifikasi soal sikapnya pada keluarga. Lagipula, ini bukan urusan bersenang-senang, jadi dia tak perlu menyeret siapapun di luar lingkaran keluarganya.

Tak mengambil jeda, Andro langsung tancap gas begitu tiba di rumah. Mereka langsung menuju Surabaya, ke rumah sakit tempat eyangnya dirawat.

"Alhamdulillah kamu cepet dateng, Ndro," sambut ketiga tantenya sambil bergantian memeluk Andro.

"Kamu yang dari tadi dipanggil-panggil sama papi. Buruan masuk sana, udah ditungguin dari tadi. Dokter sama perawat juga udah izinin untuk masuk begitu kamu datang." Dian, adik tertua papa Andro menjelaskan. Lalu menggandeng keponakannya. Keduanya melangkah cepat menuju salah satu kamar di area ICU.

"Aku?" tanya Antariksa.

"Mas Iksa nanti dulu aja, deh." Kedua adiknya yang masih di area tunggu —Cahaya dan Pelita— kompak menjawab. Seperti menyembunyikan sesuatu.

Salma datang bersama ayahnya. Ibunya menunggu di mobil. Mereka tadi bertemu di area parkir untuk menyerahkan Najma, karena tidak mungkin membawa bayi itu masuk ke rumah sakit.

Antariksa dan Utami berbasa-basi sebentar dengan besannya. Kemudian bertiga —dengan Salma— kembali mendekati kedua tante Andro setelah Ardhito berpamitan.

"Haya, Lita, sebenarnya ini ada apa? Apa yang kalian sembunyikan? Kenapa aku harus nunggu nanti untuk ketemu papi? Aku anak laki-laki papi satu-satunya, lho."

"Udah diwakili Andro, Mas. Mas Iksa nanti, deh. Sabar dulu. Yang dicari papi dari tadi tuh cuma Andro."

"Iya, tapi ini ada apa? Kenapa papi bisa sampai gini?" Cahaya dan Pelita berpandangan.

"Papi tadi baru tahu kalau Orion anaknya mantan istrimu, Mas. Marah besar. Kata papi, kamu nggak mikirin perasaan Andro. Apalagi pas tahu kalau anak itu ikut Rea. Papi kayak patah hati. Terus langsung anfal."

Antariksa mendadak lemas. Utami mengusap bahu sang suami. Memapahnya duduk di bangku kayu ruang tunggu. Ia setia mendampingi, membawa Antariksa menyandarkan kepala di pundaknya. Kedua adiknya mendekat pada kakak dan ipar mereka. Mencoba menghibur, meski dalam hati ada rasa yang sama kesalnya dengan papi mereka.

"Tapi papi baik-baik aja, kan?" tanya Utami.

"Alhamdulillah baik, Mbak. Sejam di ICU terus siuman. Cuma memang napasnya agak lemah. Jantungnya juga. Dan dari sejak sadar, yang berkali-kali dicari tuh si Andro."

"Mami?"

"Mami di dalam. Papi cuma mau ditemenin mami. Dari tadi air matanya ngalir terus. Ya gitu, sambil nanyain Andro terus."

Air mata Salma ikut mengalir. Sedih sekaligus bahagia melihat betapa Andro sangat disayangi oleh keluarganya. Oleh Eyang dan tante-tantenya. Dalam hati berdoa, semoga di dalam sana suaminya bisa bersikap bijak pada kondisi ini. Tidak malah menambah beban pikiran dan amarah eyang papinya.

Di dalam ruangan, Jaya Ahmada memeluk cucu laki-laki kebanggaannya dengan bercucuran air mata.

"Sabar ya, Ndro. Eyang nggak tahu kenapa Iksa bisa mengambil keputusan seperti itu. Bahkan Utami dan Rea juga mendukungnya. Eyang tahu, hati kamu pasti tersakiti lagi. Kamu---"

"Ssstt, Eyang nggak boleh banyak ngomong dulu, lho. Andro nggak apa-apa kok, Yang. Alhamdulillah aman. Ada Salma yang selalu jagain Andro dengan sabar. Menyadarkan Andro juga kalau anak itu nggak salah apa-apa. Dia cuma korban, Eyang. Sama seperti Andro."

Andro sudah diberitahu Tante Dian saat mereka berjalan menuju ruang tempat eyangnya dirawat, jadi dia tahu apa yang menyebabkan eyangnya menjadi seperti itu.

"So, nggak usah terlalu dipikirkan, Yang. Papa tuh ya gitu. Lima puluh tahun lebih lho jadi anaknya Eyang, masa Eyang nggak hafal." Eyang maminya terkekeh. Memeluk Andro dengan haru.

"Pokoknya Eyang harus sembuh. Harus sehat, karena Andro baik-baik aja. Andro kuat. Andro sabar. Andro malah udah ngerjain tugas akhir segala. Makanya Eyang Papi cepet sembuh, ah, biar bisa datang pas Andro wisuda. Hukumnya fardhu 'ain. Kudu. Wajib. Harus."

Eyang papinya tersenyum lebar. Eyang maminya mengeratkan pelukan.

Doa Salma terkabul. Andro bisa mengambil sikap yang bijak di hadapan eyangnya. Menghibur sang kakek, menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. Membela papanya, meski hatinya mungkin tak rela.

Detik itu juga, semangat Jaya Ahmada untuk sembuh melesat hingga ke angkasa. Membuat kondisinya membaik lebih cepat dari perkiraan medis yang disampaikan dokternya.

-----

"Sementara kita banyak di sini nggak apa-apa ya, Sal?"

Sudah hampir sepekan mereka di Surabaya. Dua hari terakhir mereka habiskan di rumah eyangnya, setelah keluar dari rumah sakit. Salma tentu tak keberatan, karena ayah ibunya, dan Najma tentu saja, tinggal di rumah Opa Johan yang bersebelahan.

Keduanya baru usai menemani eyang papi. Sejak eyangnya sakit, Andro yang menyuapi setiap kali tiba waktu makan. Dia pula yang menemani ngobrol sampai waktu istirahat bagi eyangnya datang. Dan baru keluar dari kamar setelah eyangnya tidur.

"Nggak apa-apa, Mas. Sal malah seneng kalau di Surabaya. Dan Sal juga bangga banget Mas bisa selalu membela papa di depan eyang, walaupun mungkin Mas menahan sakit hati. Di sini," ujar Salma sambil menekan telunjuk ke dada suaminya. Berikutnya, menyusupkan tangannya ke dalam kaus, dan mengelus dada Angkasa Andromeda.

"Sal, jangan menggoda gitu, dong."

"Lho, kenapa memangnya?"

"Aku nggak tahan kalau kamu udah, gitu?"

"Lha yang suruh nahan juga siapa? Mas manusia biasa. Laki-laki. Punya hasrat. Punya tempat melepaskannya juga. So, kenapa harus ditahan?"

"Hemm, kamu minta dihukum yaaa."

***

Eh, Salma dapat hukuman apa sih dari Angkasa Andromeda? Wkwk.

Satu part lagi, insyaAllah.

Udah siap berpisah sama mereka kan yaaa? Harus siap dong, ya.

Baiklah. Terima kasih sudah membaca. Semoga terhibur yaaa. Nggak harus aja hikmah dan pelajarannya kan ya? Haha.

See you :)

Semarang, 16112022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top