73. Menghapus Kerinduan
Ardhito bangun tidur dengan tubuh yang bugar. Pun Nerudita, ia merasa dua puluh tahun lebih muda. Sejatinya malam pertama yang bahagia mampu membuat manusia lebih optimis menatap masa depan. Itu yang dikatakan Ardhito tadi, saat mereka berdua baru saja membuka mata di pagi yang masih buta.
"Kalau di rumah sendiri, aku pasti masakin yang spesial buat Mbak Dita. Tapi karena masih di hotel, ya aku cuma bisa pesenin aja, tapi tetap yang spesial, kok. Kesukaan Mbak Dita."
Sepiring nasi goreng dengan aroma khas ikan asin ada di tangan Ardhito. Ia mendekati Dita yang duduk di sofa. Rupanya masih ingat saja, malam itu Dita memilih nasi goreng jambal roti lengkap dengan embel-embel 'kesukaan'.
"Dan karena aku nggak bisa masakin, jadi izinkan aku menggantinya dengan nyuapin Mbak Dita. Boleh, ya?" Senyum Dita merekah, pipinya memanas.
"Eh, emm, makasih ya, Dhit," ujar Dita sambil menerima suapan dari pria pertama yang berstatus sebagai suami sepanjang hidupnya. Sungguh, nasi goreng yang dikunyahnya kali ini rasanya jadi berjuta kali lebih lezat dari semua nasi goreng jambal yang ada di seluruh dunia.
"Emm, by the way, setelah ini rencana kamu gimana, Dhit?"
"Rencanaku? Aku udah nggak ada rencana apa-apa, Mbak."
"Lho, kenapa begitu?"
"Karena sejak kemarin siang rencanaku sudah resmi berubah jadi rencana kita."
Dita tergelak. "Kamu kayak Mas Andro ke Salma, Dhit. Ngegombalnya nanggung." Ardhito ikut tertawa.
"Nanti kita akan bicarakan apa saja yang bisa dan nggak bisa berubah dari kita, Mbak. Insya Allah aku yang akan menyesuaikan Mbak Dita dan Salma. Soal tempat tinggal juga. Misalnya Mbak Dita masih tetap mau menemani Salma, aku nggak apa-apa, kalau perlu aku yang ikut pindah ke Semarang atau pulang ke Salatiga."
"Ya kalau soal pekerjaanmu, nggak perlu begitu juga, Dhit. Anak-anak insya Allah nggak lama lagi di Semarangnya. Mas Andro katanya semester ini ambil Tugas Akhir juga, kalau lancar ya nggak sampai setahun lagi bisa lulus dan kembali ke Surabaya.
"Aku minta maaf ya, Dhit. Mungkin untuk saat ini prioritasku masih Salma dan Najma. Aku nggak tega kalau mereka di Semarang tanpa aku. Mas Andro kesibukannya di urusan kampus itu luar biasa. Kasihan kalau Salma banyak mengurus Najma sendirian."
"Nggak apa-apa, Mbak, aku pun sama. Prioritasku sementara ini juga Salma. Bahkan kalau dia nanti sudah bisa menerima aku dan berkenan aku ada di dekatnya, aku akan pindah ke manapun dia berada. Aku ingin mengganti semua waktu yang Salma lewati tanpa kita, orang tuanya."
Dita lega. Satu masalah terselesaikan. Ganjalan terbesar yang kemarin membuatnya galau akan menerima lamaran Ardhito atau tidak. Dia khawatir tak bisa menemani Salma lagi setelah menikah. Jika akhirnya menerima, itu karena Salma dan Andro sudah berusaha keras meyakinkannya. Tak disangka, Ardhito memiliki pemikiran yang sama.
"Terima kasih, Dhit. Hal-hal yang lain tidak terlalu mengganggu buatku, cuma ini saja, dan kamu menyelesaikannya di obrolan pertama tentang rencana masa depan kita. Alhamdulillah.
"Oh iya, Dhit, nggak pa-pa kan kalau aku memanggilmu Dhito saja? Seperti..., dulu." Dita menggantung kalimatnya, menyelesaikan dalam hati saja.
"Sangat nggak apa-apa, Mbak. Aku justru senang. Aku merindukan panggilan itu berpuluh tahun lamanya, lho." Dita tersipu lagi.
"Kalau kamu, Dhit?"
"Aku? Aku kenapa, Mbak?"
"Kamu mau seterusnya panggil aku Mbak Dita, gitu? Nggak malu kalau semua orang jadi tahu kalau istrimu jauh lebih tua?" Ardhito terkekeh.
"Maaf ya, Mbak. Sebenarnya aku sudah berencana mengubah panggilan itu, tapi nanti, kalau Salma sudah menerimaku sebagai ayahnya. Ayah biologisnya. Aku akan memanggil Mbak Dita dengan panggilan apapun yang diusulkan oleh Salma."
Ah, Andai Salma tahu betapa beruntungnya dia, dikelilingi oleh orang-orang yang begitu mencintai dan menyayanginya. Semua derita masa kecilnya seolah terbayar lunas dalam satu tahun saja.
Ting tong.
Suara bel menyela obrolan dan sarapan pengantin baru yang sudah tidak muda itu. Dengan agak kesal Ardhito beranjak menuju pintu. Dalam hati merutuki office boy yang pagi-pagi sudah mengganggu kesenangan mereka.
Dari lubang yang ada, dipindainya siapa yang berdiri di depan pintu. Lalu buru-buru membukakan ketika tahu bahwa yang ada di sana bukan petugas hotel, melainkan sang menantu teladan.
"Assalamualaikum, Bapak Mertua," sapa Andro sambil mencium tangan Ardhito.
"Waalaikumussalam. Masya Allah, menantu teladan pagi-pagi sudah datang," balas Ardhito dengan sambutan hangat.
Andro mundur dua langkah, menoleh ke sebelah kanan, dan berkata, "Yuk, Sal."
Dada Ardhito mendadak berdebar tak keruan. Dia kira Andro datang sendirian. Ini pertemuan pertamanya dengan Salma setelah mereka sah berstatus sebagai mahram.
"Anak cucu datang, Mbak," ucap Ardhito, berusaha tampil senormal mungkin.
"Assalamualaikum, Bu. Gimana malam pertamanya? Lancar kayaknya, ya? Kelihatan dari wajah-wajah yang berseri bagai kebun ceri di musim semi," celoteh Andro riang, juga asal. Diambil dan diciumnya tangan Bu Dita.
Ketiga orang dewasa tertawa, kecuali Salma. Andro melirik saja pada istrinya. Dia memang tidak bisa menggambarkan perasaan dan ketegangan Salma dalam goresan pena, yang jelas dia mengerti, sangat mengerti.
Sejak tiba di depan hotel, raut wajah Salma sudah meredup. Tegang. Andro memaklumi, meminta agar dia saja yang menggendong Najma, tapi tidak diizinkan oleh Salma.
"Salma apa kabar, Nak? Masih menangis terus, kah? Itu matanya kelihatan agak bengkak." Dita tak berusaha menyembunyikan keingintahuannya.
"Alhamdulillah, Sal baik, Bu. Sehat. Menangis sedikit, nggak dibelikan balon sama Mas Andro." Dia yang melempar joke, dia pula yang wajahnya datar saja. Ibunya tertawa, pun suaminya, tapi tidak dengan ayah barunya.
"Alhamdulillah kalau begitu. Sini, biar Naj sama nenek saja, nenek kangen, tiga hari kemarin cuma gendong Naj sebentar-sebentar." Kemudian cucu dan nenek itu sudah terlibat interaksi yang absurd. Salma tersenyum melihat ibunya bicara dengan Najma, kali ini senyum bahagia.
"Sayang, salim dulu sama Pak Dokter. Udah boleh, lho. Kan malam pertama berhasil dilewati tanpa kendala, iya kan, Bu?"
Nerudita pura-pura tak mendengar. Ardhito tertawa jenaka, mengiyakan tanpa perlu mengatakan.
"Nah, Sal, Kamu udah boleh salim sama Pak Dokter, Sayang. Cita-citamu punya orang tua lengkap juga udah terwujud. Yuk bisa yuk, tunggu apa lagi?"
Dengan menyelipkan canda, Andro berusaha menggiring Salma agar mau menyalami ayahnya. Digenggamnya jemari Salma, terasa dingin dan basah.
"Yakin deh, Sal, aku nggak apa-apa kamu bersentuhan dengan Pak Dokter. Aku nggak cemburu. Malah senang. Swear," bisik Andro. Telunjuk dan jari tengah Andro angkat membentuk huruf V. Tak lupa segaris cengiran menghias wajahnya. Sebenarnya detik itu Andro tak kalah tegangnya, dia hanya berusaha menyembunyikan saja.
"Tapi aku nggak maksa juga, ya." Dia menambahkan, sambil membimbing Salma mendekat pada Ardhito. Andro pula mengangkat tangan Salma dan membawanya berjabat dengan Pak Dokter. Sungguh kontradiktif antara perkataan dan perbuatan. Andro sengaja.
Kepada Ardhito, Andro melempar kode lewat mata, hendak mengatakan bahwa Salma sudah tahu fakta sebenarnya. Maka Ardhito pasrah saja menanti apa yang akan terjadi berikutnya.
Keduanya berjabat tangan. Seorang anak dan ayah biologisnya, yang hampir dua puluh dua tahun tak pernah bertemu, bahkan sekadar saling tahu. Ardhito menggenggam tangan Salma erat, kontras dengan jemari Salma yang justru melemah.
Salma menguatkan hatinya. Mengangkat kepala hingga kedua pasang mata mereka saling menyapa. Seulas senyum nan menyejukkan terukir di wajah sang ayah. Dua titik bening menggantung di matanya yang meneduhkan.
Bibir Salma bergerak-gerak, hendak bicara, tapi tak satu kata pun yang bisa lolos dari sana.
"Salma." Suara sang ayah lebih dulu memanggil.
"A-Ayah," jawab Salma lirih, nyaris tak terdengar. Kepalanya menunduk dalam.
Ardhito memajukan kepala, mencoba meyakinkan apa yang baru saja didengarnya. Nyatanya dia melihat sendiri bibir kemerahan itu melafalkan sebutan yang sangat dia nantikan.
Salma kembali mendongak, kedua matanya sudah basah. Bibirnya kembali bergetar, lebih hebat dari sebelumnya.
"Ayah." Suara Salma terdengar lagi, lebih kerss dan tegas dari sebelumnya.
Dada Ardhito seakan mau meledak oleh rasa sukacita. Belum sempat dia menjawab, seseorang yang begitu ingin ia peluk telah membenamkan kepalanya dan membasahi dada Ardhito dengan air mata.
Ayah dan anak itu bertangisan pilu. Keadaan memaksa mereka untuk tak pernah saling tahu, padahal jarak mereka selama ini tak begitu jauh. Jika dulu Salma butuh waktu untuk menerima ibunya, kali ini dia tak butuh apa-apa untuk merasa dekat dengan ayahnya. Mungkin sebab perasaan senasib.
Ia dan ayahnya bagai dua orang yang berdiri berhadapan tanpa saling tahu karena terhalang pintu yang sekian lama terkunci. Ibunyalah si pembawa kunci. Dan hari ini, pintu itu telah terbuka, tak ada lagi penghalang bagi perjumpaan sang putri dan ayahnya.
Tak ada kalimat apapun yang terucap, hanya tangis yang terdengar nelangsa. Andro menghapus air matanya sendiri. Dibiarkan saja istri dan ayah mertua menuntaskan perasaan yang tak bisa ia lukiskan.
"Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah ...."
Salma mengulang-ulang memanggil ayahnya. Begitu terus sambil tetap mendekap Ardhito dan menangis. Lama-lama Andro tak tega.
"Sal, kamu kenapa, Sayang?" Tangannya mengusap-usap punggung Salma. Andro mengkhawatirkan keadaan istrinya.
"Sal nggak apa-apa. Sal cuma mau melakukan yang selama ini Sal nggak pernah bisa. Sal bisa memanggil ibu dan memeluk Bu Miska, tapi nggak bisa memanggil ayah dan memeluk bapak karena kami berbeda. Bahkan memeluk papa pun Sal nggak berani. Dari dulu Sal ingin memanggil ayah. Sal ingin merasakan pelukan seorang ayah." Salma menjelaskan di sela isak dan sengalnya
"Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Salma sayang Ayah. Ayah. Ayah ...." Diulangnya lagi memanggil-manggil ayahnya. Lantas berpelukan erat seperti sebelumnya.
"Salma, anak ayah. Ayah juga sayang kamu, Nak. Ayah juga merindukan panggilan itu. Maafkan ayah ya, Nak. Panggillah ayah sebanyak kamu mau. Sejuta kali sehari pun akan ayah dengarkan."
Keduanya masih betah bertangisan. Pun dengan Dita, yang masih tak berani untuk mendekat dan ikut memeluk dua orang yang berarti bagi hidupnya.
Andro tak sampai hati. Diambilnya Najma dari gendongan Bu Dita. Menaruh bayi cantik itu di atas tempat tidur, tak lupa memberi bantal di kanan kirinya. Dia takut putri kecilnya menggelinding dan jatuh, padahal bergerak miring saja Najma belum bisa.
Dihampirinya ibu mertua, menawarkan pelukan yang seumur menjadi menantu belum pernah dia berikan. Bu Dita terisak-isak di bahu Andro, seperti yang dulu pernah ia lakukan dengan Antariksa. Permintaan maaf dia sampaikan, yang ditolak Andro karena menurutnya itu sesuatu yang tidak perlu.
"Udah, Sal. Kamu harus jaga kesehatan. Udah tiga hari lho kamu banyak nangis, aku nggak mau kamu sakit atau stress. Ini sesuatu yang semestinya membahagiakan. Nangisnya secukupnya aja, jangam berlebihan."
Andro terpaksa menghentikan drama yang sudah berlangsung terlalu lama. Sebenarnya dia bisa memaklumi, kisah hidup istrinya, bahkan lebih dramatis dari sinetron-sinetron yang sering ditonton Bu Jani dan mbak-mbak asisten di rumah mamanya. Ia hanya tak ingin Salma sakit, itu saja.
"Salma nurut Mas Andro ya, Nak. Mulai sekarang dan sampai kapan pun, ayah akan selalu ada buat Salma. Ya?"
Salma mengangguk, dengan berat hati melepaskan diri dari sang ayah. Andro membawanya duduk di sofa. Ardhito ganti memeluk Dita. Pengantin baru itu larut dalam bahagia.
Berempat berbincang usai haru biru berlalu. Salma dan ibunya duduk di tepi sofa mengapit Ardhito. Andro duduk di karpet tepat di bawah Salma, kepalanya bersandar di paha Salma, tangannya tak pernah lepas menggenggam dan mempermainkan jemari istrinya. Ardhito berkali mengulum senyum melihat tingkah polah menantunya, merasa bahagia untuk cinta yang Salma dapatkan dari seorang Angkasa Andromeda.
"Setelah ini rencananya bagaimana, Dok?" tanya Andro sesudah berbincang banyak hal yang ringan.
"Oh, soal itu tadi kami sudah membahas sedikit, dan kami sepakat rencana-rencana kami selanjutnya akan menyesuaikan Salma. Kalau Salma berkenan, sore ini juga kita pulang ke rumah. Kita mulai kehidupan baru sebagai keluarga yang utuh."
"Pulang ke rumah siapa maksudnya, Dok?" Dia paham maksudnya, tapi egonya agak tidak terima, maunya Salma tetap tinggal di rumah keluarga Antariksa saja.
"Rumah saya, yang sekarang sudah berubah menjadi rumahnya Salma. Rumah kita semua, Mas Andro."
Rumahnya Salma? Andro mendadak sensi, merasa turun harga diri. Dia belum bisa memberi apa-apa buat Salma, tapi lagi-lagi Salma sudah memiliki segalanya.
"Maaf, Dok. Dokter dan Ibu boleh menyesuaikan atau mengikuti Salma, tapi Salma tetap akan mengikuti pertimbangan dan keputusan saya. Dokter dan Ibu masih ada dua hari, kan, di sininya? Selesaikan dulu saja honeymoon-nya. Kalau sudah, Andro janji akan menyusul ke rumah Dokter dan tinggal di sana beberapa hari. Begitu ya, Sal?"
Keduanya berpandangan, Salma mengangguk mengiyakan, biarpun keinginan hatinya berkebalikan.
"Tapi, Mas Andro ...."
Satu tekanan di lengan menghentikan kalimat Ardhito. Sebuah kode dari Dita agar tak melanjutkan bantahan, dia terpaksa menerima keputusan si menantu teladan.
Andro bergegas berpamitan. Salma kembali memeluk, bukan hanya ayahnya, tapi juga ibunya. Suasana haru biru kembali menyeruak. Masih ingin di sana, dengan gontai Salma ikut meninggalkan ruangan.
Mereka masih di parkiran saat Andro sadar telah melakukan kesalahan. Seharusnya dia lebih bersabar, bukan malah mengikuti egonya. Sejak kecil dia punya keluarga yang utuh, kenapa harus keberatan kalau mulai sekarang waktu mereka mungkin lebih banyak untuk keluarga dari Salma?
"Sal, maafkan aku ya, Sayang. Aku..., aku tadi cuma takut kamu lebih suka sama keluargamu dan memilih tinggal di sana. Maafkan aku. Maafkan keegoisanku. Katakan kalau kamu berubah pikiran, aku nggak apa-apa kalau kamu mau ikut ayah ibumu pulang ke sana, bahkan kalaupun kamu menginginkannya sekarang juga, aku akan ikut. Naj juga.
"Eh, lho..., Naj? Astaghfirullah. Naj ketinggalan, Sal!"
***
Maapkeun endingnya absurd gini. Wkwk
Sebenarnya sebelum ngetik part sebelumnya aku udah ngetik sampai di drama pertemuan ayah dan anak. Ini jadi semacam susulan, terutama mikir endingnya yang, ujung-ujungnya ....
Baiklah aku ngantuk berat, nih. Sampai sini dulu aja yaaa. Kalau ada scene yang agak janggal, please, diam aja. Haha. Thank you.
See you :)
Semarang 30-09-2022
Sssttt....
Ini aku screenshoot buat kenang-kenangan kalau pernah update part dalam keadaan ngantuk berat. Hahaha..
Aku edit juga sedikit, di bagian akhir.
Jadi itu ceritanya Andro sama Sal masih di parkiran hotel, belum jauh. Andro saking keselnya langsung bae ngajakin Sal pulang. Sal yang sama keselnya (karena sebetulnya masih ingin dekat-dekat ayah ibunya) jadi kebawa nggak fokus. Ketinggalan deh si Naj di kamar kakek neneknya.
Ini nggak kutulis, tapi kalau kita jadi Ardhito dan Dita, kayaknya memilih diam aja deh yaaa. Lumayan kan, jadi bisa ngadepin cucu kesayangan. Sekalian aja kerjain itu si menantu teladan yg kalau udah jealous jadi mendadak error nggak keruan. Wkwkwk...
Oh iya, sampai nulis tanggal pun salah. Harusnya 19092022, lha kok jadinya 30-09-2022. Baru ngeh karena ada yg komentarin tanggal. Dahlah.
Ya Allah, gini amat saking pengennya satu hari update double part. Sekali-sekali lah ya.
Terima kasih udah mau tetap menerima cerita ini dg segala ke-error-annya. Haha.
Baiklah. See you. Silakan kalau mau ngetawain kekonyolan ini. Huahahahaha...
Semarang, 20092022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top