72. Penerimaan
Andro membiarkan Salma menumpahkan seluruh emosi dan perasaannya. Tak bicara apa-apa, hanya duduk di dekat istrinya. Minimal Salma tahu bahwa dia ada dan selalu siap memenuhi apa pun yang diperlukan Salma, meski sekadar senyum atau tempat bersandar.
Tangis Najma bahkan tidak membuat Salma bergeser dari posisi dan aktivitasnya. Bermacam rasa sedang campur aduk, seakan siap meledakkan dadanya. Salma tak tahu perasaan apa itu. Ada kesal, marah, benci, dan menolak, tapi sekaligus haru, senang, bahagia, dan bertambah harapan akan banyak hal.
"Sal, kasih ASI dulu buat Naj mau ya, Sayang? Sebentaaar aja." Andro sudah menyerah. Kalau cuma menghadapi tangis Salma, dia masih sanggup bertahan, tapi tidak jika itu tentang Najma.
Salma melunak. Bangkit dan meraih Najma tanpa bicara. Ditatapnya bayi mungil dalam dekapan sambil air matanya berlelehan. Kenangan masa kecilnya di panti datang tanpa permisi.
"Bu Miska, apakah Ibu adalah ibuku?" Bu Miska mengangguk.
"Dan bapak, apakah bapakku?" Bu Miska mengangguk sekali lagi.
"Tapi kenapa kita tidak pernah liburan seperti teman-temanku di sekolah, Bu?"
"Karena adikmu banyak, Nak. Kalau mau berlibur, kita juga harus punya uang yang banyak."
"Kenapa anak Ibu banyak?"
"Karena banyak anak yang harus disayangi."
"Kenapa ada adik yang datang dan pergi? Kata Bu Guru, ibu harus hamil dulu untuk punya anak, tapi Ibu kok nggak pernah hamil tapi anaknya banyak?"
"Karena setiap anak di sini punya ibu selain Ibu Miska ini, Nak."
"Apa aku juga punya ibu selain Bu Miska?"
"Tentu saja. Kamu punya ibu yang sayang sama kamu."
"Apa aku juga punya bapak?"
"Tentu saja."
"Apa bapak itu juga sayang sama aku, Bu?"
Bu Miska tersenyum. Salma memang istimewa, selalu punya pertanyaan yang mungkin tak pernah terlintas di benak anak-anak lain di panti.
"Setiap orang tua pasti menyayangi anaknya."
"Tapi kenapa aku di sini, Bu? Kalau bapak dan ibuku sayang sama aku, harusnya datang dan mengajak aku liburan kan, Bu? Aku belum pernah merasakan liburan seperti teman-temanku, Bu.
"Tadi Bu Guru menyuruh murid-murid cerita tentang liburan, cuma aku yang tidak punya cerita liburan, Bu. Kata temanku, itu karena aku tinggal di panti asuhan, jadi tidak kenal liburan. Apa betul, Bu?"
Hari itu hari pertama Salma duduk di kelas dua Sekolah Dasar. Bu Guru meminta murid-muridnya bercerita tentang pengalaman liburan. Malang, hanya Salma yang tidak punya cerita.
"Salma anak pintar dan solihah. Salatnya paling rajin, ngajinya paling pandai, hafalannya paling banyak. Allah sayang sama Salma. Jadi, Salma banyak berdoa ya, Nak, biar rezeki panti kita banyak, nanti kamu dan adik-adikmu, kita semua bisa liburan.
"Kalaupun tidak bisa terwujud di sini, Salma tetap jangan lelah berdoa ya, Nak. Ibu yakin, saat sudah besar nanti, Salma akan menjadi orang yang bahagia."
Secuil ingatan masa kecilnya melintas, memantik sedikit emosi di hati Salma.
"Sal sudah dewasa, Mas. Sudah punya keluarga sendiri. Sudah bahagia. Sal nggak bisa mengulang masa kecil kan, Mas? Waktu Sal ingin punya orang tua tapi nggak pernah bisa. Kalau sekarang buat apa? Sal nggak punya bapak juga nggak apa-apa. Bahkan Sal nggak usah punya ibu juga nggak apa-apa. Sal udah kenyang dengan kesendirian. Sal udah kebal, Mas. Kalau sekarang Sal punya bapak ibu, apa nggak udah telat?"
Andro tak sanggup berkata-kata. Tentu saja tak mudah menjadi Salma. Sepandai dan sesholihah apapun, Salma hanya manusia biasa, ada kalanya marah dan kecewa. Andro bisa memahami itu semua. Istrinya hanya butuh waktu untuk menerima.
Diambilnya Najma yang sudah kembali pulas di dekapan sang mama. Menaruhnya di box bayi yang bisa berayun-ayun sendiri.
"Maafkan aku ya, Sayang. Mungkin aku terlalu cepat mengatakan ini ke kamu. Kamu nggak harus langsung menerima kok, seperti dulu kamu dengan ibu. Bahkan sekalipun kamu nggak mau menerima sampai kapanpun, itu juga nggak apa-apa.
"Satu hal yang aku mohon ke kamu, jangan membenci Pak Dokter ya, Sal. Beliau juga nggak tahu tentang kamu. Baru tahu sore itu, waktu aku izin ke kamu mau keluar, dan pulang sampai malam."
"M-maksudnya? Nggak tahu? Nggak tahu apa? Nggak tahu bagaimana? Pak Dokter nggak tahu kalau Sal anaknya? Gimana, Mas? Maksud Mas apa? Apa!"
Tangis Salma pecah lagi, kepalanya juga serasa mau ikut pecah. Salma bingung. Dalam setahun kisah hidupnya naik turun bak roller coaster. Mendadak menjadi istri dan menantu keluarga kaya raya yang sangat perhatian dan tulus menyayanginya, hamil tanpa harus menunggu lama, lalu ibu yang dua puluh tahun meninggalkannya tiba-tiba muncul di hadapan, tak berselang lama Bu Miska meninggal, kemudian mendadak pula punya nenek, tante, paman, serta sepupu-sepupu. Kehadiran Najma tentu menjadi yang paling membahagiakan. Dan sekarang....
"Sal capek, Mas. Sal nggak tahu harus gimana lagi menerima kejutan-kejutan yang membingungkan buat Sal. Sal bahkan nggak tahu, apa harus senang atau malah sedih. Sal nggak tahu, Mas. Sal nggak tahu."
Lagi-lagi tangis Salma pecah, seakan tak mengenal lelah. Kaus Andro pula ditarik-tarik sebagai penyaluran emosi dan kekalutan. Andro prihatin,merasa salah langkah.
"Aku boleh cerita sekarang, Sal? Atau lebih baik aku diam dulu?" tanya Andro setelah emosi Salma mereda.
"Aku cerita, ya?" Salma mengangguk lemah. Andro memeluk, membawa Salma bersandar padanya.
Cerita Andro mengalir perlahan. Panjang dan lama. Sebisa mungkin berusaha menyampaikan dengan bahasa yang paling mudah diterima oleh kondisi Salma yang sedang tidak baik-baik saja.
Dimulai dari gelagat yang dia tangkap dari Dokter Ardhito saat pertama mengunjungi Najma, ia lau berusaha mencari tahu tentang bagaimana sosok sang dokter spesialis anak tersebut. Sesudahnya ia mencoba memancing sang ibu mertua, hingga meluncurlah pengakuan tentang pertemuan dan hubungannya dengan Dokter Ardhito.
Andro melanjutkan dengan cerita tentang pembicaraan empat mata di rumah Ardhito yang nyaman dan membuat kerasan. Waktu di mana Andro mendengar kisah pertemuan Pak Dokter dan ibu mertuanya dari sudut pandang Ardhito. Saat itu pula Andro menyampaikan fakta bahwa Ardhito adalah ayah biologis istrinya.
Rangkaian kisah itu berujung pada wacana tentang pernikahan, yang siang tadi telah terwujud menjadi kenyataan.
"Nggak ada yang salah dalam hal ini, Sal. Kumohon, jangan membenci ibu juga. Ibu punya alasan kuat untuk pergi, sedangkan Dokter Ardhito sendiri benar-benar nggak tahu kalau ibu sedang mengandung anaknya. Kamu, iya kamu." Salma datar saja, tak ada tawa untuk candaan Andro yang garing.
Andro kembali menjelaskan tentang alasan Bu Dita melakukan itu semua. Sekali lagi meminta Salma untuk tidak membenci ibu dan ayah biologisnya.
"Aku bersyukur dan berterima kasih sekali sama Allah, Sal, ketika akhirnya kamu mengatakan ya dan menerima keputusan ibu untuk menikah dengan Pak Dokter. Kamu tahu nggak, itu hari yang paling membahagiakan buat ibu, nomor tiga versi On The Spot. Nomor empat pasti bikin kamu melongo."
Tawa kecil meluncur dari bibir Salma, disertai cubitan di perut Angkasa Andromeda. Kali ini candaan Andro yang tidak bermutu berhasil menjadi penolong saat suasana sedang beku.
"I love you, Salmaku." Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, Andro menjatuhkan satu ciuman di bibir Salma yang kemerahan.
"Sal boleh tahu nggak, Mas?"
"Eh, tentang apa?"
"Urutan hari yang paling membahagiakan buat ibu? Terutama yang nomor empat, yang bikin melongo."
Ah, rasanya Andro makin jatuh cinta pada istrinya. Suasana hati yang cepat dan mudah sekali membaik, itulah Salma. Dia bisa memroses informasi dengan segera, menganalisa dan mengambil kesimpulan tanpa harus berlama-lama, dan menjadikan pijakan untuk membuat keputusan yang bijaksana.
Tak perlu Salma katakan, Andro tahu Salma sudah menerima suratan takdirnya. Urusan bagaimana Salma bersikap saat bertemu ayahnya nanti, Andro tak menuntut banyak. Bagi Andro, penerimaan Salma akan kehadiran ayah biologisnya sudah lebih dari cukup untuk sekarang ini.
"Waktu paling membahagiakan buat ibu yang pertama sudah pasti adalah waktu ibu melahirkan kamu. Yang kedua, waktu ibu bertemu lagi sama kamu. Yang ketiga, waktu kamu menerima dan mendukung ibu untuk menikah dengan Dokter Ardhito." Tentu saja semua hanya karangan Andro belaka.
"Eh, kamu tahu nggak, Sal?"
"Tahu apa?"
"Ibu tuh mau menerima Pak Dokter bukan karena cinta lama belum kelar, tapi lebih dari itu, ibu memikirkan kamu. Biarpun terlambat, ibu ingin memberi keluarga yang utuh buat kamu. Dan tentu saja buat Naj juga.
"Menurut ibu, itu juga satu-satunya jalan untuk menebus dosa dan kesalahannya pada kamu dan pada Dokter Ardhito. Kalau bicara ego dan prioritas, aku yakin ibu lebih memilih sendiri daripada punya suami, karena kalau ibu sendiri, ibu bisa menemani kamu dan Naj kapan pun, di mana pun. Kalau sekarang kan ibu punya tanggung jawab lain yang lebih utama."
Salma mengangguk-angguk, menyetujui semua pendapat suaminya. Ia sangat bersyukur, memiliki suami yang bisa membahagiakan bukan hanya dirinya, tapi juga keluarganya.
"Tapi Sal nggak harus langsung mau memeluk atau bersikap sebagaimana seorang anak kepada ayahnya kan, Mas? Sal masih belum bisa bayangin meluk laki-laki lain selain Mas. " Andro mengangguk, egonya berbangga. Dia adalah laki-laki yang paling berarti dalam hidup istrinya.
Ditariknya Salma dalam dekap yang menghangatkan, seolah ingin memberitahu bahwa memang di situlah tempat yang harus Salma tuju ketika membutuhkan ketenangan.
"Tapi yang tadi belum selesai lho, Mas."
"Heh, apa lagi, sih?"
"Yang nomor empat versi On The Spot. Tadi kan baru nomor tiga." Salma pura-pura cemberut. Andro gemas, rasanya ingin meng-krues bibir Salma yang maju beberapa mili.
"Hari paling bahagia buat ibu nomor empat itu..., waktu ibu tahu anaknya punya suami yang nggak cuma ganteng tapi juga baik hati, cinta banget sama anaknya ibu, dan calon orang sukses."
Tawa Salma berderai-derai. Dicubitinya perut Andro, tak peduli suaminya yang ganteng, baik hati, dan calon orang sukses itu berteriak-teriak kegelian. Mereka berbagi tawa dan sukaria. Baru berhenti bercanda setelah tangis Najma pecah membahana akibat ulah berisik mama papanya.
Aktivitas menyenangkan terpaksa dihentikan, tapi tidak demikian dengan aktivitas sejoli lain yang baru resmi menyandang gelar suami istri setelah sekian lama sama-sama berusaha membunuh perasaan.
Nerudita dan Ardhito baru usai berbincang tentang banyak hal. Keduanya saling membagi cerita tentang kesusahan dan air mata yang dilalui selama ini.
"Aku minta maaf untuk semua kesalahanku ya, Dhit. Kalau dulu aku nggak jahat menggoda kamu, pasti jalan hidupmu nggak jadi seperti ini. Aku kebangetan ya, dikirim malaikat penolong yang baik hati, malah kujebloskan ke dalam dosa besar. Astaghfirullah hal adzim." Air mata Dita mengalir deras.
"Boleh saya peluk?"
Ardhito tak pernah berubah. Tetap santun seperti saat pertama mereka berjumpa. Bahkan mau memeluk saja harus minta izin dulu, padahal mereka sudah berstatus suami istri sekarang.
Nerudita mengangguk, menenggelamkan wajahnya di dada pria yang diam-diam dicintainya sekian lama. Tangis yang selama ini hanya tumpah di atas sajadah, kali ini seperti menemukan wadah.
Entah berapa pria yang silih berganti mewarnai hidupnya, memeluknya, bahkan tidur dengannya. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya Dita merasakan pelukan yang tulus serta penuh cinta dan kasih sayang. Tak ada kepentingan. Tak ada yang harus disembunyikan. Tak ada rasa berdosa. Juga tak ada hati yang terkhianati.
"Hidup saya bahagia kok, Mbak." Dita mendengarkan dengan saksama tanpa sedikitpun melepas peluknya, malah makin erat mendekap tubuh gagah nan tegap di hadapannya.
"Dan believe it or not, itu nggak lepas dari kehadiran Mbak Dita dalam hidup saya. Kalau saya nggak kepeleset di dosa besar dulu itu, mungkin hidup saya masih belum terarah, masih galau-galau, masih nggak ada motivasi.
"Namanya hidup tentu nggak lepas dari ujian. Ujian saya ya salah satunya kepeleset itu. Semoga kesulitan-kesulitan yang saya lalui sesudahnya adalah hukuman yang Allah kasih untuk membersihkan dosa-dosa saya. Dan semoga kebahagiaan yang saya dapatkan hari ini adalah salah satu tanda bahwa Allah menerima taubat saya. Dan taubat Mbak Dita, mungkin?"
"Kamu nggak marah sama aku, Dhit?" Pelukan merenggang, mata bening Dita menatap Ardhito dalam-dalam. Mereka berbalas pandang.
"Emm, yaa..., sedikit sih. Waktu Mas Andro bilang kalau Salma adalah anak biologis saya. Membayangkan anak saya hidup kesepian dan kekurangan selama hampir dua puluh tahun membuat hati saya hancur. Tapi Mas Andro membesarkan hati saya dengan mengatakan bahwa kehidupan yang dilalui Salma itulah yang justru membuatnya tumbuh besar menjadi sosok yang istimewa.
"Saya percaya penuh sama Mas Andro. Dia suaminya. Mungkin dia juga orang pertama yang di depannya Salma bisa mencurahkan apa saja yang dia alami dan dia rasakan. Keberadaan Mas Andro juga melegakan hati saya, dia anak yang baik, insya Allah bisa menjaga dan membimbing Salma walau dengan segala keterbatasannya. Mereka saling melengkapi. Alhamdulillah.
"Saya terima kasih yang tak terhingga sama kamu, Mbak. Terima kasih, karena mau mempertahankan anak kita, Salma. Walaupun tentu tidak mudah saat mengandung, melahirkan, apalagi saat meninggalkannya tanpa tahu akan bisa bertemu lagi atau tidak.
"Terima kasih, Mbak. Aku menyayangi dan mencintai Salma, sama seperti aku menyayangi dan mencintai Mbak Dita."
Ardhito kembali merengkuh Nerudita ke dalam pelukannya. Dita menangis lagi. Batinnya dipenuhi rasa syukur sekaligus memohon ampunan kepada-Nya.
"Sudah malam, Mbak. Kamu pasti capek seharian nggak istirahat. Kita tidur, ya?"
Hampir setengah jam berpelukan, Ardhito mengingatkan Dita untuk beristirahat. Hari itu sungguh terasa panjang. Mungkin saja melelahkan bagi istrinya. Kalau Ardhito sendiri tidak, lelahnya tenggelam oleh rasa bahagia.
"Emm, beneran mau tidur, Dhit?"
"Kalau saya sih nggak capek, Mbak. Happy malah. Mbak Dita mungkin yang capek?" Digandengnya Nerudita menuju tempat tidur. Mereka duduk berdampingan di tepiannya.
"Aku capek, tapi nggak terlalu parah juga, sih. Namanya juga orang tua, Dhit." Dita terkekeh.
"Kamu nggak malu punya istri yang sudah lanjut usia kayak aku?" Sambung Dita lagi.
"Kalau kamu nggak mengumumkan pada dunia berapa umurmu, orang-orang di luaran sana pasti nyangkanya kamu masih awal 30-an, Mbak. Kamu masih cantik, masih berisi."
"Berisi nasi sama rujak cingur ya, Dhit?" Tawa berderai dari keduanya. Ardhito meraih Dita agar bersandar di bahunya. Dikecupnya sekilas kepala Dita yang masih terbalut jilbab coklat muda.
"Serius, Mbak. Jujur, aku nggak pernah merhatiin perempuan di luaran sana. Nggak tertarik. Udah mentok di kamu, Mbak. So, aku minta maaf kalau seharian ini aku banyak merhatiin kamu, Mbak. Udah halal ini, udah boleh. Makanya aku berani bilang dan memastikan kalau Mbak masih cantik dan berisi."
Dita memandangi Ardhito dengan debaran yang tak biasa di dadanya. Bukan karena gombalannya, tapi karena Dita terharu. Ardhito menyebut dirinya sendiri sebagai aku, dan itu terasa memangkas jarak diantara mereka.
"Eh, emm..., ya udah, Dhit, lanjutin aja ngerayunya. Soalnya kalau harus aku yang godain kamu seperti dulu, aku udah nggak bisa, harus belajar lagi. Waktunya nggak memungkinkan, Dhit. Keburu bel, masuk kelas, dan ujian."
Dita mencoba mencairkan suasana. Rayuan yang canggung dan candaan yang garing sudah diprediksi akan muncul di malam pertama.
"Gurunya killer, ya, Mbak?" Ardhito terkekeh.
"Gurunya Maha Penyayang. Ujiannya yang agak bikin deg-degan, Dhit. Harus sewaktu-waktu siap bertemu dan menghadapi anak kita, yang kita sendiri nggak tahu apakah dia sudah tahu bahwa kamu ayah biologisnya atau belum.
"Aku nggak mau kehilangan momentum, Dhit. Mas Andro orangnya nggak bisa ditebak, sulit diprediksi. Bisa saja dia mengatakan kepada Salma tahun depan, bulan depan, pekan depan, atau malah sudah tadi sore. Kupikir..., bersiap sewaktu-waktu akan lebih baik, Dhit.
"Maaf ya, Dhit, kalau kamu nggak berkenan dengan kejadian yang dulu itu. Mungkin kamu juga nggak sudi mengulanginya lagi. Tapi kumohon, untuk sekali ini saja, Dhit. Aku cuma ingin memastikan kamu bisa memeluk Salma kapanpun moment itu tiba. Sesudahnya, kamu boleh menjauhi aku, Dhit."
Sungguh, Dita malu setengah mati. Kejadian berpuluh tahun lalu seperti diputar ulang di benaknya. Ia ciut hati. Rasa bahagia karena saling memiliki mendadak surut. Kalau boleh meminta, dia ingin bumi menelannya detik itu juga. Tapi dia harus bertahan untuk menebus kesalahan. Salma dan Ardhito harus segera berstatus sebagai mahram.
"Mbak Dita kenapa, sih? Kalau yang dulu bikin Mbak Dita malu, kita tutup saja. Kita jalani hidup kita yang sekarang dan yang akan datang dengan bahagia. Aku juga ingin secepatnya bisa memeluk Salma, Mbak.
"Aku menunggu dua puluh tahun lebih, Mbak, dan selama itu aku nggak pernah bisa melupakan kejadian itu. Aku bahkan nggak pernah lupa rasanya, Mbak." Nerudita menunduk, berusaha menyembunyikan rasa malu yang mungkin sudah memerahkan pipinya.
"So, kalau untuk sekali ini saja, jujur aku nggak berkenan. Justru sebaliknya, aku maunya kita rapelan, Mbak. Dua puluh tahun menjomlo itu nggak enak lho. Pengertian dikit bisa kali, Mbak."
Tawa Dita pecah. Ardhito sudah tak ada jaim-jaimnya. Dia bahkan berani bercanda dan dengan jujur mengungkapkan perasaan.
Keduanya saling berjanji, setuju untuk tak menjadikan masa lalu sebagai sesuatu yang menghalangi kedekatan mereka sekarang. Rasa sungkan dan tak enak hati sepakat mereka tinggalkan. Pun rasa malu, malam itu Dita tanggalkan. Ia melancarkan godaan yang dulu pernah membuat Ardhito terpeleset pada kesalahan. Hanya saja malam ini semua sudah berbeda. Keduanya jatuh, bukan dalam kubangan dosa, melainkan dalam lautan nikmat yang berpahala.
***
Lah, udah ditunggu lama, eh Salma belum juga ketemu sama ayahnya. Gimana sih, mbak e? Haha...
Sabar, ya. InsyaAllah habis ini. Kalau selesai nulisnya aku double update, deh. Tapi nggak janji ya.
Aku baru datang dari Bogor jam beberapa jam lalu. Seperti biasa, emak-emak mah biarpun gantiin nyetir juga, pas udah sampai rumah teteup ditunggu mesin cuci, kompor, sapu, dkk-nya. Haha...
Ya udah, yang ini dulu aja gpp yaa. Semoga tetap suka.
Terima kasih udah bareng-bareng aku, Andro, dan Salma sampai sejauh ini. Love you all.
See you :)
Semarang, 19092022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top