71. Harinya Tiba
Senyum Andro tercetak lebar begitu mobilnya memasuki halaman rumah keluarga Antariksa. Salma dan Najma ada di teras. Ada Bu Jani juga yang sedang membersihkan lantai dengan penyedot debu.
Mobil bahkan belum berhenti sempurna ketika pintu di sisi kiri depan terbuka. Andro melompat meninggalkan Wahyudi dan dua temannya yang lain. Ketiganya kompak menggeleng, sudah maklum dengan kebucinan Andro jika itu tentang anak dan istrinya.
Andro dan tiga orang temannya -termasuk Wahyudi, yang capaian SKS-nya sudah memenuhi syarat mengambil mata kuliah Kerja Praktik, memanfaatkan waktu libur semester genap yang cukup panjang untuk melaksanakan salah satu fase paling menantang bagi mahasiswa Teknik Sipil.
Beruntunglah mereka yang dekat dengan Andro. Mencari proyek yang menerima mahasiswa seperti mereka tentu bukan hal sulit. Sang tuan muda tinggal bilang pada papa dan kakak iparnya, maka beres perkara.
Ini hari keempat para pemuda harapan bangsa itu terjun di proyek konstruksi di bawah perusahaan milik Antariksa. Dua proyek yang berbeda, hanya saja lokasinya tak terlalu jauh sehingga mereka berempat selalu pergi dan pulang bersama.
"Anak papa apa kabarnya, Sayang?" Andro bersegera menghampiri Najma, tapi Salma buru-buru menjauhkan si bayi cantik dari papanya.
"Cuci tangan sama muka dulu, Mas. Bagus lagi kalau sekalian mandi," bisik Salma, sungkan kalau sampai terdengar teman-teman suaminya yang sedang melepas sepatu tak jauh dari mereka.
"Kata mama, papa nggak boleh gendong kalau belum mandi, Sayang. Naj sama Bu Jani dulu ya, mama mau mandiin papa."
Salma memelotot, kaget sekaligus malu. Sementara ketiga teman Andro kompak mendesiskan umpatan.
"Asem!"
"Jangkrik!"
"Telo!"
Bu Jani terkikik geli. Mengambil alih Najma dan mengayunnya riang. "Sing sabar, Mas. Mas Andro ya gitu itu. Nak ngomong asal ae, gak dipikir."
Andro tak peduli, jomlo adalah nasib yang harus mereka tanggung sendiri. Direngkuhnya pinggang Salma, membawa sang istri menuju ke kamar mereka.
"Kamu kok agak pucet, Sal? Badanmu juga agak anget. Kecapaian, kah? Kan aku udah bilang, kamu nggak harus urus Naj sendiri. Jangan apa-apa kamu. Sesekali biar Bu Jani, mama, atau ibu yang mandiin, gendong, dan lainnya. Kamu cukup menyusui Naj aja yang utama."
"Iya, Sal agak capek, Mas, padahal nggak banyak kerjaan dan aktivitas juga. Malah seharian ini kayaknya lebih banyak bengongnya."
"Kenapa?"
"Nggak tahu."
"Minum obat, ya?"
"Nggak berani, kan lagi menyusui, takut ngaruh ke Naj."
"Ke dokter?"
"Nggak usah. Paling sebentar juga hilang."
"Ya udah, kamu istirahat, nanti Naj biar aku yang urus. Aku mandi sebentar."
"Terima kasih ya, Mas." Lalu ada yang mengalir dari kedua mata Salma. Dia menangis begitu saja.
"Kamu kenapa? Ini tentang ibu?" Andro sendiri tak tahu mengapa pikirannya ke arah situ. Ragu-ragu Salma mengangguk.
"Kenapa? Kamu berubah pikiran soal pernikahan ibu? Kalau iya, ya nggak pa-pa juga. Ibu pasti lebih memilih mengikuti permintaanmu. Katakan saja, Sal, mumpung belum kejadian. Waktumu kurang dari sehari lho. Kuantar ke sana?"
Bu Dita sudah dua hari berada di rumah keluarganya, mempersiapkan tempat dan segala keperluan pernikahan. Besok pagi, akad nikah dan syukuran sederhana akan dilaksanakan di sana.
"Nggak gitu, Mas. Sal cuma merasa baru sebentar aja dekat sama ibu, Sal agak khawatir setelah ini Sal jadi jauh lagi sama ibu. Ibu kan punya suami, mestinya ikut suaminya, bukan sama kita lagi.
"Sal masih ingin dekat dengan ibu. Sal merasa belum maksimal berbakti sama ibu. Sal nggak tahu, apakah selama ini ibu udah bahagia selama berada di dekat Sal. Tapi Sal nggak mau egois, Mas. Sal tahu kalau ibu mencintai Dokter Ardhito, begitu pun sebaliknya Dokter Ardhito kepada ibu. Lagian, Sal juga takut kalau berada di dekat Sal ternyata menjadi kerepotan buat ibu, karena Sal punya tanggung jawab lain sebagai istri dan mama." Sambil sesenggukan, Salma berusaha menjelaskan.
"Nah, itu udah bagian dari birrul walidain, Sayang. Kamu menerima dan mendukung keputusan ibu, yakinlah, itu udah bikin ibu bahagia. Itu udah jadi salah satu wujud berbaktimu sama ibu. Toh Semarang-Surabaya juga nggak jauh, malah kita jadi bisa sering-sering pulang kalau kamu kangen ibu atau sebaliknya."
"Sering-sering pulang, gimana? Mas pasti akan makin sibuk setelah kembali ke Semarang nanti. Bikin laporan, terus Tugas Akhir juga."
Andro terkekeh. Salma kalau sudah merajuk selalu membuatnya gemas. Dipeluknya sang istri, membiarkan Salma menangis di dadanya. Dia mafhum, semua itu hanya bagian dari emosi Salma. Belum lama berkumpul dengan ibunya, lalu harus melepasnya lagi. Ditambah pula Salma baru saja melahirkan, emosinya kadang masih naik turun.
"Aku mandi dulu, ya, Sayang? Naj sementara biar sama Bu Jani. Apa yang diperlukan, Sal? Biar kubawakan sekalian ke Bu Jani."
"Nggak usah, Mas. Mas mandi aja, habis itu Mas bawa Naj ke sini. Kasihan Bu Jani, nanti pekerjaan yang lain jadi tertunda." Andro menurut saja. Bergegas mandi dan melaksanakan kemauan Salma.
Azan maghrib berkumandang tak lama setelah Najma berada di pelukan ibunya. Andro berpamitan untuk ke masjid bersama teman-temannya, dilanjutkan makan malam, dan mengobrol tentang urusan kerja praktik mereka. Baru kembali ke kamar menjelang pukul sembilan. Salma sudah pulas. Piring dan gelas bekas makan malam ditaruh begitu saja di atas nakas. Sama sekali bukan kebiasaan Salma.
Najma terlihat sangat lelap, sesekali mulutnya yang mungil bergerak-gerak, membuat sang papa jadi gemas dan tak tahan untuk tak menciumnya.
Didekatinya Salma, menempelkan punggung tangan pada pipi dan kening mulus milik istrinya. Hangat. Wajah Salma juga masih tampak pucat. Matanya pun terlihat sembap.
Andro memanggil Bu Jani meminta bantuan membereskan makan malam Salma dan menemani Salma untuk beberapa saat.
"Andro mau keluar sebentar, Bu. Mama ada acara sama papa, mungkin pulangnya agak malam. Nitip Sal sama Naj ya, Bu. Bu Jani tidur sini aja dulu."
Andro sedang dalam mode tidak mau menerima penolakan. Ia segera berlalu, mengetuk kamar yang dihuni teman-temannya dan mengajak Wahyudi membersamainya. Wahyudi tak banyak tanya, baru tahu ke mananya setelah mereka tiba di tujuan.
"Maaf ya, Bu. Malam ini tolong Ibu tidur di Pakuwon, ya. Salma agak demam. Kayaknya dia yang grogi Ibu mau nikah." Masih sempat-sempatnya Andro bercanda.
Bu Dita terkekeh, buru-buru mengiyakan. Ada tangis yang dia tahan dalam hati.
Malam itu Andro mengalah, memilih tidur di perpustakaan papanya, memberi ruang dan waktu pada Salma dan ibunya.
***
Akad nikah Nerudita dan Ardhito akan dilaksanakan pukul sepuluh, diawali dengan lamaran dari pihak keluarga Ardhito kepada Dita.
Dita baru sampai di lokasi akad nikah -rumah papanya- lima belas menit menjelang acara. Ardhito dan keluarganya bahkan sudah lebih dulu berada di sana.
Ardhito bagai tersihir memandangi sang calon istri. Mengenakan gamis sutra putih dengan taburan manik-manik warna rose gold yang juga menghiasi kerudung putihnya, Nerudita tampak memesona. Sama sekali tak terlihat jika usianya sudah melebihi separuh abad.
"Ada apa, Mbak Dita? Semua baik-baik saja, kan?" Ardhito berdiri, menghampiri Dita, dan bisik-bisik bertanya.
"Salma. Semalam demam. Mas Andro jemput aku buat tidur di sana. Kami ngobrol hampir semalaman." Dita sudah ber-aku kamu sejak rencana pernikahan disepakati, namun tidak demikian dengan Ardhito.
"Salma sakit?" Wajah Ardhito berubah, terlihat agak panik.
"Agak galau karena aku mau menikah. Merasa belum lama bersama dan belum bisa bikin aku bahagia," jawab Dita singkat, padat, jelas.
"Oh, nggak apa-apa lho kalau memang kita harus menunda dulu sampai Salma siap. Bahkan kalaupun dia berubah pikiran dan nggak siap sampai kapanpun, saya juga nggak apa-apa. Salma yang paling penting."
Tentu saja ada yang perih di hati Ardhito. Harapan bisa memeluk Salma sebagai seorang ayah kepada anaknya meredup seketika.
"Nggak. Nggak ada yang perlu ditunda. Kami sudah bicara banyak. Aku yakin, akan ada lebih banyak kebahagiaan dengan pernikahan ini. Insya Allah."
"Apa Salma sudah tahu tentang saya, Mbak?"
"Belum. Mas Andro maunya dia yang akan menyampaikan, meski belum tahu kapan."
"Emm, sekarang Salma di mana?"
Salma memang tak terlihat di sana. Dia ada di rumah sebelah, rumah eyangnya Andro.
"Dokter, Ibu, acaranya bisa dimulai sekarang?" Suara Andro menyapa tiba-tiba. Dia yang akan menerima lamaran Ardhito kepada ibu mertuanya.
"Oh, iya. Insya Allah sudah siap." Ardhito menjawab mantap. Lalu terkesiap melihat Salma ada di belakang Andro.
Terakhir bertemu Salma adalah saat keluarga Andromeda hendak meninggalkan rumah sakit, beberapa hari setelah Salma melahirkan. Waktu itu dia bahkan belum tahu kalau dalam tubuh Salma mengalir darahnya.
Salma membisu, hanya senyum saja yang menghias wajahnya. Masih pucat, dengan mata yang terlihat sembap. Salma lantas mengangguk, kedua tangannya menangkup di depan dada, memberi salam pada calon suami ibunya, tanpa sepatah pun kata.
"Yang menerima lamaran tetap Andro, Bu, Dok. Tapi maaf, yang jadi saksi nikah nanti digantikan papa. Sal minta Andro menemani dia saat prosesi akad nanti."
Mata Bu Dita berkaca-kaca. Diraihnya jemari Salma, lalu menggandengnya masuk ke dalam ruangan tempat acara akan dilangsungkan.
"Mas Andro," panggil Ardhito. "Kalau memang Mbak Salma belum siap melepas ibunya, kita tunda saja sampai beliau siap."
"Nggak, Dok. Insya Allah Salma siap. Saya mengerti dan memahami perasaannya. Jalan hidupnya memang nggak mudah, ditambah belum lama melahirkan, jadi emosinya agak banyak bermain. Tapi nggak apa-apa, Dokter tenang saja. Ada saya, Angkasa Andromeda. Suami siaga."
"Terima kasih, Mas Andro. Calon menantu terbaik di dunia." Ardhito tertawa, agak sumbang oleh keharuan. Dipeluknya erat calon menantunya, dua bulir bening lolos dari kedua mata.
Acara lamaran berlangsung lancar, tanpa jeda, dilanjutkan dengan akad nikah. Pihak Dita diwakilkan oleh wali hakim, sebab tak satupun keluarga dari jalur papanya yang memeluk keyakinan sama dengan Nerudita.
Sesaat setelah suara Pak Wali Hakim terdengar, air mata Salma mengalir deras tanpa suara. Ia duduk tegak tanpa gerakan, bahkan seperti menahan napas. Matanya tak berkedip memandangi punggung pria tampan yang sedang mengucap qabul atas ibunya. Ada rasa aneh yang menjalari tubuhnya, seperti magnet yang menariknya ke dunia yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Salma tak tahu itu perasaan apa, ia membiarkan saja.
Andro menggenggam erat jemari istrinya. Keharuan menyesaki dadanya. Ibu dan ayah biologis dari istrinya akhirnya bersatu dalam ikatan pernikahan. Salma memang belum tahu, tapi dia yakin Salma akan bisa menerima dengan lapang dada, bahkan mungkin..., bahagia. Andro berjanji dalam hati, akan menyampaikannya segera.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Nerudita binti Johan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Bagaimana hadirin, sah ya?"
"SAH!" Pertanyaan petugas KUA dijawab serempak oleh hampir semua yang ada di sana.
Senyum Dita mengembang lebar di sela air mata yang bercucuran. Sembari mendengarkan Ardhito membaca sighat taklik, Utami yang duduk di sampingnya -dan menggendong cucu mereka- memeluk Dita penuh sukacita.
"Selamat ya, Dit. Barakallahu lakum wabaraka 'alaikum wa jama'a bainakum fii khair. Samawa, ya. Bareng-bareng kita dampingi anak-anak kita, juga Najma dan adik-adiknya nanti," bisik Utami. Nerudita menyambut dengan amin. Memeluk besannya semakin erat, lalu mencium sekilas cucunya yang cantik.
Keluarga Ardhito tak kalah mengharu biru. Ketiga kakaknya bergantian menyalami dan memeluk si bungsu, yang akhirnya mengakhiri masa lajang di pertengahan empat puluhan, tanpa ada satu pun yang tahu bahwa Ardhito telah memiliki seorang putri yang mewarisi darah yang sama dengan mereka. Ardhito sengaja melakukannya.
Sebelum mendekat untuk menyalami sang suami, Dita menoleh ke arah Salma yang berada dua baris di belakangnya -Salma sendiri yang memilih duduk di sana.
Salma sejak tadi bergeming, pandangannya masih tidak lepas dari pria yang kepadanya ia menaruh harap atas kebahagiaan sang ibunda. Sesaat berikutnya Ardhito berbalik badan, keduanya pun bertemu pandang.
Di luar dugaan siapapun, Salma beranjak menghampiri sang dokter anak, menangkupkan kedua tangan di depan dada, dan mengangguk dalam. "Tolong jaga dan bahagiakan ibu saya ya, Dok," pinta Salma lirih.
Ardhito tak sanggup menahan air mata. Putri yang begitu dia rindukan berdiri tepat di hadapan, tanpa bisa ia peluk, bahkan sekedar memberitahu bahwa dia adalah ayahnya.
"S-saya berjanji, saya akan menjaga dan membahagiakan Mbak Dita dan..., kamu..., S-Sal-Salma."
Salma bertahan, menatap mata Pak Dokter yang semestinya belum menjadi mahram baginya. Salma menemukan sesuatu yang tak biasa di sana. Tatapan Dokter Ardhito kepadanya serasa meneduhkan dan sarat akan kasih sayang.
Tangis Salma pecah di pelukan Angkasa Andromeda, sang suami siaga. Andro menenangkan, membimbing Salma untuk keluar dari keramaian. Tak lupa memberi kode kepada ibu mertua dan mamanya untuk tidak cemas dan tetap melanjutkan acara.
***
"Ibu sama Pak Dokter pasti lagi malam pertama ya, Sal. Aku yakin deh, malam pertamanya pasti nggak kayak kita dulu. Aku masih ingat banget, kamu langsung pucet dan keselek pas aku bilang kalau aku biasa tidur nggak pakai baju." Andro tergelak-gelak. Salma mencubitinya tanpa ampun.
Malam itu Salma sudah jauh lebih tenang setelah hampir setengah hari mudah sekali menangis. Bu Dita bahkan nyaris berubah pikiran. Hadiah dari papa mama Andro untuk menghabiskan tiga malam di president suite room salah satu hotel bintang lima hendak dia hanguskan. Untung saja kamar tamu di rumah keluarga Antariksa habis ditempati teman Andro, jadi Bu Dita tidak bisa melewatkan malam pertamanya dengan menemani Salma.
"Ibu juga mungkin sama canggungnya, Mas. Walaupun masa lalunya nggak baik, tapi ibu udah bertaubat dan menjaga dirinya sejak saat itu."
"Kamu beneran udah ikhlas ibu menikah, kan?"
"Dari kemarin juga Sal ikhlas terus, kok. Ibu bahagia, itu udah lebih dari cukup buat Sal. Sal juga yakin Pak Dokter akan bisa menjaga dan membahagiakan ibu, seperti yang Mas lakukan ke Sal.
"Emm..., Sal boleh jujur nggak, Mas?" Andro mengangguk. "Emm, maaf, tapi jujur, tadi Sal sempat bertatapan mata sama Pak Dokter dan Sal merasakan sesuatu yang berbeda. Emm, kayak merasa tatapan beliau itu bikin Salma tenang. Meneduhkan gitu, seperti papa kalau lagi ngelihatin Mas atau Mbak Rea. Mungkin Pak Dokter udah menganggap Sal sebagai anaknya ya, Mas?"
Andro mendadak galau. Apakah ini waktu yang tepat untuk menyampaikan fakta yang sebenarnya?
"Y-yaaa..., kamu kan memang anaknya. Anak ibu kan berarti anak Pak Dokter."
"Tapi kan bukan mahram, Mas, kecuali...."
"That's why, aku yakin banget ibu dan Dokter Ardhito akan melakukannya malam ini juga, Sal."
"Melakukan apa maksudnya?"
"Melakukan itu, lah. Nganu. Memangnya apa lagi? Ya kali malam pertama diisi dengan main Halma?" Andro sangat yakin, seratus dua puluh tujuh persen."
"Kenapa Mas bisa seyakin itu?"
"Karena...."
Andro menelan ludah. Hanya ada dua kemungkinan jika dia mengatakan kebenaran itu. Salma akan menerima, atau justru marah dan menolak semuanya. Tapi Andro pikir, sekarang atau nanti, kemungkinan yang akan terjadi tetap sama. So, dia memilih untuk....
"Karena ibu ingin kamu dan Dokter Ardhito segera berstatus sebagai mahram, Sal."
"Tapi kenapa, Mas? Kan nggak harus cepat-cepat juga."
"Karena...."
Andro meraih jemari Salma dan menggenggamnya erat. Ia menatap Salma lekat-lekat.
"Karena ibu ingin melihat, emm..., maksudnya ibu dan aku juga. Iya. Aku juga."
"Iya, kenapa? Ingin melihat apa?"
"Emm..., ingin melihat seorang ayah memeluk putrinya."
Salma mengerenyit, tak paham. Matanya menatap tajam kepada Andro seakan menuntut penjelasan.
"Dokter Ardhito. Emm..., dia, eh, beliau..., emm..., d-dia ayah biologismu, Sal. Darahnya mengalir dalam tubuhmu, juga dalam tubuh Najma, anak kita."
"Saya nggak paham Mas bicara apa!"
Nada bicara Salma meninggi. Ia membuang muka dan berbalik memunggungi Andro, lalu beranjak menuju tempat tidur, dan membanting badannya. Ditelungkupkanyan wajah di bawah bantal. Tangisnya meledak. Tangis paling parah yang pernah Andro lihat dari istrinya.
***
No curhat-curhat dulu ya, suer, aku ngantuk berat. Hihi..
No baca edit juga karena ya itu tadi..., ngantuk. Haha....
Mohon dimaklumi kalau banyak kurang di sana sini. InsyaAllah next part Salma ketemu ayahnya.
Baiklah. Terima kasih banyak-banyak-banyak utk kalian yg sudah setia menyimak Andro Salma walaupun ceritanya udah ke mana-mana nggak jelas juntrungannya. Hehe... Semoga nggak kapok bacanya yaaa.
Thank you , teman-teman.
See you :)
Semarang, 12092022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top