70. Dukungan

Andro merasa ada yang merayap-rayap di dadanya. Seperti cicak. Atau mungkin..., kecoa? Dia geragapan, membuka kausnya dan melempar sembarang saja. Tak ada apapun, tapi kenapa rasanya masih ada yang membuatnya geli?

"Ssh..., Sal? Kamu...."

Andro membuka mata, lalu lega bukan kepalang. Dia cuma mimpi. Ternyata bukan cicak atau kecoa, tapi Salma yang mengganggu tidurnya. Tentu saja dia menerima gangguan dengan sukarela.

"Kok masih pakai piyama lengkap sih, Sal?" Andro sudah berharap banyak, namun harapannya menyusut begitu melihat penampilan Salma.

"Pintunya nggak bisa dikunci, Mas."

"Rusak?"

"Nggak. Kuncinya diambil mama." Salma terkikik geli. Andro kesal tiada terkira.

"Maksudnya mama apa, sih? Rese banget."

"Mama cuma takut Mas kebablasan."

"Ya aku tahu kali, kalau lagi nifas nggak boleh nganu, tapi kan...." Andro bangkit dari tempat tidur, hendak menuju ke pintu.

"Mas mau ke mana?"

"Ke mama." Salma buru-buru mencegah suaminya. Selain baru pukul dua, Salma tentu tak rela Andro keluar kamar dengan lembaran kain yang cuma tersisa sehelai saja.

"Ini baru jam dua, Mas. Lagian Mas cuma pakai kayak gitu, nanti kalau ada mbak-mbak yang pas kebetulan ada di luar, gimana?" Mulut Salma mengerucut.

"Kuatir banget, sih. Tempatnya mereka kan di belakang. Lagian, jam segini juga ngapain mereka keluar?"

"Ya kan yang namanya apes kita nggak tahu kapan. Udah deh, Mas. Lagian mau apa sih memangnya pakai dikunci segala? Mending Mas cerita, pergi sampai malam tuh ke mana aja? Sal nggak tenang. Nggak biasanya Mas pergi terang-terangan tapi tanpa penjelasan."

Andro selalu luluh kalau Salma sudah merajuk begitu, apalagi dia baru ingat kalau semalam belum menjelaskan maksud kepergiannya. Dia datang hampir pukul sepuluh, Salma sudah terlelap dengan Najma masih menempel di dadanya.

"Iya, maafin aku ya, Sal. Aku cuci muka dulu, nanti kuceritakan semuanya. Tapi janji, aku cuma mau jawaban ya dan setuju."

"Eh, ini tentang apa nih, Mas?" Andro sudah keburu kabur ke kamar mandi. Suara tangis Najma memaksa Salma membatalkan rasa dongkolnya.

"Boleh ngobrol sekarang, Sal?" Salma mengangguk.

Andro menyeret bangku kecil tempat Salma biasa menaruh kaki saat menyusui sambil duduk. Diangkatnya kaki sang istri dan memosisikan dengan pas sehingga Salma nyaman dan tidak merasa pegal. Lalu sebuah kecupan Andro tinggalkan di kening istrinya.

"Aku tadi ke rumah Dokter Ardhito. Ada yang mau beliau bicarakan denganku. Sesuatu yang serius. Tentang ibu." Sambil bicara, jari Andro tak lepas dari menowel-nowel pipi Najma. Tak merasa berbohong, karena sudah izin pada Ardhito agar kesannya Androlah yang diundang ke sana.

"Ibu kenapa? Teman lama, kan, sama Dokter Ardhito?"

"Iya. Dan Dokter Ardhito berniat melamar dan menikahi ibu."

"Ehk. Ibu Dita maksudnya? Ibunya Sal? Neneknya Naj?"

"Kamu kalau tiba-tiba bego gitu kok jadi gemesin sih, Sal?"

Plak. Satu keplakan keras memerihkan paha Andro.

"K-kenapa, Mas? K-kok tiba-tiba?"

"Apanya yang tiba-tiba?"

"Itu, Dokter Ardhito. Kenapa tiba-tiba ingin melamar ibu?"

Andro mengambil alih Najma yang sudah kembali terlelap. Dipandanginya bayi cantik itu dengan kekaguman dan rasa cinta yang luar biasa.

"Najma harus bahagia ya, Nak. Papa janji, kebahagiaan kamu dan mama yang nomor satu buat Papa," gumam Andro. Diciumnya rambut lebat nan lembut milik Najma.

Salma memandangi adegan di hadapannya dengan penuh sukacita. Ia tak tahu, Andro sedang menyimpan perih atas masa kecil yang dilalui Salma tanpa kasih sayang kedua orang tua.

"Dokter Ardhito sudah menyimpan keinginan itu sejak lama, Sal. Beliau merasa berhutang budi pada ibu."

Cerita pertemuan Ardhito dengan Nerudita diulang Andro dengan banyak sensor di sana-sini. Hanya disampaikan intinya, juga bagian yang baik-baiknya saja.

Yang lebih banyak diceritakan justru keadaan rumah Dokter Ardhito yang nyaman, pekerjaan rumah yang dihandle sendiri, kesibukan praktek di rumah sakit, hingga hobi yang -benar dugaan Andro- berhubungan erat dengan kopi.

Cukup lama Andro berada di rumah Ardhito. Setelah perbincangan paling penting terselesaikan, mereka melanjutkan dengan obrolan ringan tentang banyak hal, utamanya mengenai kegiatan dan keseharian.

Tentu saja bukan tanpa tujuan Andro mengulang cerita pertemuan empat mata itu pada sang istri. Apalagi goalnya kalau bukan membuat Salma setuju pada niat Ardhito memperistri ibunya.

"Sama seperti kamu, Sal, ibu juga pasti melewati banyak hal yang nggak bahagia dalam perjalanan hidupnya. Insya Allah kamu sekarang sudah bahagia, dan aku janji akan menjaga itu semua, bahkan aku akan usahakan lebih. Kamu harus lebih bahagia dari sekarang ini.

"Tapi aku, kita, mungkin nggak bisa menjaga itu untuk ibu, Sal. Kamu dan Naj sudah pasti adalah kebahagiaan ibu sekarang ini, tapi kita nggak tahu ke depannya gimana? Aku kuliah lagi di luar Surabaya, misalnya. Sedangkan ibu udah makin menua, mungkin nggak bisa atau keberatan ngikutin kita.

"Kita nggak tahu soal masa depan, Sal, tapi kalau ibu punya seseorang yang bisa menemani di masa tuanya, kupikir nggak ada salahnya kita mendukung dan menerima. Tentunya kalau ibu juga menerima lamaran Dokter Ardhito. Dan aku yakin, jawaban ibu pasti diserahkan ke kamu. So...."

"Kalau Dokter Ardhito nggak bikin ibu bahagia, gimana?" Mata Salma berkaca-kaca. Tentu saja dia ingin ibunya menghabiskan masa tua dengan bahagia. Yang dikatakan Andro benar semua, tapi....

"Kita kan juga nggak bisa menjamin ibu akan bahagia dengan menikah, Mas."

"Husnuzon, itu kuncinya, Sayang. Aku nggak akan mendukung kalau aku nggak mencari tahu dulu tentang siapa dan bagaimana Dokter Ardhito, Sal. Aku udah tanya ke beberapa orang, termasuk ibu sendiri. Dan penilaian ibu tentang Pak Dokter nggak pernah berubah dari saat pertama mereka kenalan, malah makin baik. Kalau dulu nilainya 10, sekarang jadi 10,5."

"Skala berapa, tuh? 100? Berarti penilaiannya buruk, dong?"

"Hmmm, minta dihukum, ya?" Andro menatap Salma dengan galak, yang ditatap malah tergelak-gelak.

"Iya, nanti Sal ngobrol dulu sama ibu ya, Mas. Ibu udah tahu belum soal ini?"

"Udah. Semalam ibu yang bukain pintu, jadi aku langsung sampaikan maksud baik Pak Dokter. Kayaknya memang ibu sengaja nungguin aku, kan Pak Dokter memang udah kasih kode-kode dari sejak pertama ketemu ibu. Kamunya yang lagi kurang peka, tapi kalau tentang aku, sensinya luar biasa, ya?"

Satu cubitan kembali memerihkan lengan Andro.

"Terus?"

"Ibu bilang, ibu nunggu pendapat kamu."

"Sal ikut pendapatnya Mas. Tapi Sal tetap ingin ngobrol dulu sama ibu sebelum benar-benar mengiyakan."

"Alhamdulillah. Terima kasih, Sayang, kamu memang anak yang baik, mama yang baik juga." Dikecupnya Salma sekali lagi, kali ini di bibirnya, yang selalu meresahkan hati Andro.

"Berarti Sal bukan termasuk istri yang baik, ya?" Wajah Salma berubah sedih.

"Dih, sensi lagi, kan. Kirain sesudah Naj lahir sensiannya ngilang, ternyata masih aja. Nggak lah, kamu bukan cuma istri yang baik, tapi kamu istri yang baiiik banget dan selalu bisa bahagian aku. I love you, Salmaku."

Satu ciuman kembali diberikan, kali ini lebih lama dari yang sebelumnya, dan mengalirkan energi panas yang Andro tak sempat menganalisa jenis perpindahan kalornya, apakah konduksi, konveksi, atau radiasi.

Sayangnya Andro lupa, Najma masih ada di gendongannya. Mungkin sebab tidak nyaman, bayi cantik itu menangis keras, mengacaukan kesenangan papa dan mamanya.

***

"Ibu, kita jalan-jalan, yuk?"

Salma menemui ibunya selepas salat subuh, ia ingin segera mendiskusikan obrolan semalam bersama suami tercinta.

"Naj?"

"Sama papanya, Bu. Insya Allah aman." Najma sudah dimandikan dan disusui hingga terlelap lagi. Andro menemani sambil mengerjakan urusan kampus yang -entah apa- Salma tak tahu dan tak begitu ingin tahu.

Bu Dita membuka gorden kamar, melihat suasana di luar. Agaknya mendung menggelayut, kurang mendukung untuk mengobrol sambil berjalan-jalan.

"Mendung, Nak. Kalau di sini saja bagaimana? Sewaktu-waktu Naj menangis atau Mas Andro cari kamu, nggak kesulitan." Salma setuju, duduk di sofa di kamar ibunya.

"Semalam Salma sama papanya Naj ngobrol agak banyak, Bu. Salah satunya tentang niat baik Dokter Ardhito untuk melamar Ibu. Mas Andro diam-diam sudah mencari tahu tentang beliau, Bu, katanya sudah ada feeling pas pertama Pak Dokter ketemu Ibu.

"Kalau Ibu sendiri bagaimana? Jawabannya jangan manut Salma ya, Bu." Salma terkekeh sambil meraih jemari ibunya.

"Sayangnya jawaban ibu adalah manut kamu, Nak." Keduanya tertawa.

"Kalau prinsipnya Salma, asalkan Ibu yakin dan siap menerima Pak Dokter, Salma juga menerima dan mendukung keputusan Ibu. Sal nggak tahu, apakah akan bisa menemani Ibu terus di masa tua Ibu, atau enggak. Maaf ya, Bu. Ibu percaya kan kalau Sal bukan mau melempar kewajiban ke Dokter Ardhito?"

"Ssstt, itu bukan kewajibanmu, Nak. Sebaliknya, justru ibu yang khawatir kalau menikah akan membuat ibu nggak bisa menemani anak dan cucu ibu."

"Bu, Ibu nggak perlu khawatir soal itu. Salma dan Najma ada Mas Andro, yang insya Allah akan selalu menjaga kami. Ibu nggak perlu mengkhawatirkan kami dan mengesampingkan kebahagiaan Ibu sendiri. Salma tahu, Ibu juga ada rasa sama Pak Dokter, kan?"

Tentu saja Salma tahu dari Andro, dia sudah membocorkan sedikit mengenai perasaan ibu mertua kepada Pak Dokter yang masih tampan dan memesona.

Bu Dita melengos, berusaha menyembunyikan wajahnya yang tiba-tiba menghangat. Nyatanya dia tak bisa membohongi hati, sosok Ardhito memang tak pernah bisa pergi. Malah sekarang datang dan menerima segala keadaan masa lalu serta segala salah langkah yang pernah dilaluinya.

"Salma sendiri, apakah masih ingin punya ayah, Nak?"

Yang ditanya terkikik geli. "Salma udah punya Mas Andro, Bu. Ada atau tidak sosok ayah, akan bertemu atau tidak, masih hidup atau sudah mati, siapapun dia, tidak ada nasab yang mengikat kami, Salma dan ayah biologis Salma."

"M-maksud ibu, Salma nggak keberatan kalau punya ayah? Ibu sudah tua, lho."

"Tapi kan masih menarik perhatian yang muda, Bu." Direngkuhnya sang ibu ke dalam pelukan. Sambil tertawa, diucapkannya kata sayang.

Dita mengharu biru. Memeluk anak semata wayangnya erat. Sangat erat.

"Kalau suatu hari nanti setelah ibu menikah, tiba-tiba kamu bertemu ayahmu, apa kamu akan menerimanya seperti kamu menerima ibu?"

"Insya Allah. Sal akan menghormati dia sebagai bagian dari masa lalu Ibu, juga sebagai salah satu sebab Salma ada di dunia. Alhamdulillah, Sal sudah bahagia, Bu, jadi..., Ibu juga harus bahagia. Kalau suatu hari nanti ayah biologis Sal tiba-tiba muncul, Sal akan kasih tahu beliau kalau Sal sudah punya ayah yang baik dan hebat, yang pintar dan sholeh. Dan yang pasti, bisa bikin Sal dan Mas Andro tenang soal Naj, karena bisa berkonsultasi kapanpun kami butuh jawaban."

Tawa Salma berderai-derai bersama gerimis yang menderas dari mata ibunya.

"Terima kasih, Nak, ibu senang kamu bisa menerima Ardhito. Kalau nanti ibu menikah dengan Ardhito, apakah kamu mau memeluknya sebagai seorang anak kepada ayahnya?" tanya Dita sesudah reda tangisnya.

"Insya Allah, Bu. Kalau Mas Andro mengizinkan, tentunya setelah kami sah berstatus sebagai mahram ya, Bu. Kalau kata Mas Andro, setelah Ibu nganu dulu sama Pak Dokter."

Pipi Salma bersemu. Meski sudah hampir setahun bersama Andro yang suka bicara asal, dia sendiri masih malu kalau bicara hal-hal yang menurutnya saru.

Nerudita tertawa lepas, ingat kelakuan menantunya yang agak somplak tapi selalu berhasil menghibur dan membesarkan hatinya.

Di sudut hati Bu Dita yang paling dalam, ada kelegaan sekaligus keharuan membayangkan hari itu tiba, hari saat Ardhito bisa memeluk putri mereka.

"Alhamdulillah, ibu selalu bahagia melihat kamu dan Mas Andro, Nak. Cintanya ke kamu benar-benar tulus dan luar biasa. Doa ibu selalu tercurah untuk kalian berdua."

Kali ini giliran mata Salma yang basah. Benar yang dikatakan ibunya, Andro mencintainya dan selalu memperlakukannya dengan istimewa.

"Terima kasih, Bu. Doakan Salma dan mas terus ya, Bu. Sal juga sangat mencintai Mas Andro, Bu. Sal bersyukur banget, meski Sal cuma punya modal nekat, tapi dulu Sal berani menerima mas yang hidupnya bagai langit dan bumi dengan kehidupan Sal."

Ingatannya melayang pada masa-masa Andro memintanya menjadi istri. Sekali lagi air mata berlelehan di kedua pipi Salma yang mulus. Bu Dita meraih Salma ke pelukan, keduanya larut dalam keharuan.

"Begitulah jodoh, Nak. Seringkali tak pernah terlintas dalam bayangan, lalu kuasa Allah mempertemukan. Ada pula yang sudah memupus harapan, kemudian terseret dalam takdir yang insya Allah membawa kebahagiaan."

"Ibu sedang membahas tentang kisahnya Ibu sendiri, yaa?" Salma menggoda, masih di tengah keharuan yang melanda. Keduanya tertawa lagi.

Bu Dita menangkup kedua pipi Salma, lalu mengecup keningnya, lama. Kedua tangan Salma melingkari tubuh ibunya, tempat ternyaman yang pernah ia tinggali selama sembilan bulan sebelum resmi menjadi penduduk bumi.

"Ibu menyayangimu, Nak."

"Salma juga menyayangi Ibu."

Sesi haru biru berakhir, ibu dan anak itu kemudian melanjutkan obrolan dengan bertukar cerita-cerita ringan. Dari cerita masa Salma masih di kandungan, sampai berandai-andai akan hidup mereka seusai Bu Dita menikah kelak.

Sementara di kamar besar tempat peraduan keluarga Andromeda, Najma menangis keras sekali. Gendongan Andro tak berarti apa-apa, bayi itu tak juga diam, malah makin keras saja tangisnya.

"Saaal, Salma. Saaal. Naj nangis ini lhooo. Salmaaa." Teriakan Andro dari depan pintu kamar membahana ke seantero rumah keluarga Antariksa. Beberapa penghuninya tergopoh menghampiri si Tuan Muda, mama salah satunya.

"Ada apa sih, Nak? Masih pagi lho ini, udah teriak-teriak aja. Udah jadi papa kok masih sembarangan begitu, sih," omel mama sambil meraih Najma dari gendongan Andro dan membubarkan hadirin yang lain.

"Naj nangis. Udah Andro gendong dan ayun-ayun, malah makin kenceng. Lapar kayaknya ya, Ma? Sal lagi ngobrol sama ibunya, makanya Andro teriakin."

"Lah, tadi Salma pamit mau ngajak ibunya jalan-jalan keliling komplek katanya."

Utami sempat bertemu Salma saat menuju kamar Dita. Menantunya itu memang meminta izin hendak mengajak ibunya jalan-jalan, tapi Utami tidak tahu kalau rencana itu urung dilaksanakan karena cuaca.

"Astaghfirullah. Mana nggak bawa HP lagi." Andro gusar. Dicobanya menghubungi ibu mertua, tapi tak ada respon, mungkin handphone-nya juga tidak dibawa.

"Gimana ini, Ma? Kasian Naj. Andro kan nggak bisa menyusui. Mama aja yang menyusui, ya? Nggak apa-apa kali, kan sama cucu sendiri. Andro keluar sebentar cari Sal."

Utami beristighfar keras-keras. "Ya kali mama masih keluar ASI, lha yang disusuin terakhir aja udah punya anak bayi begini." Ditoyornya kepala Andro dengan kuat. Kesal menghadapi anak laki-lakinya, yang kalau sudah panik soal anak atau istri suka mendadak bego.

"Ya udah, nitip Naj dulu ya, Ma. Andro cari Sal. Semoga nggak jauh-jauh dari rumah."

Tergesa-gesa Andro keluar kamar hingga bertabrakan dengan seseorang yang sedang berdiri tepat di depan pintu. Lawannya nyaris terjengkang, untung Andro sigap meraih tangannya.

"Salma."

Keadaan hening sesaat. Tanpa diperintah, pikiran keduanya terseret pada kejadian setahun kemarin. Pertemuan mereka di sore hari menjelang lamaran Dimas kepada Rea.

"Eh, m-maaf." Andro mendadak salah tingkah. Salma buru-buru menarik tangannya yang masih dalam genggaman Andro. Keduanya seakan lupa pada status suami istri, bahkan papa mama bagi Najma.

"Ak-aku."

"S-saya."

Lagi-lagi mereka kompak berkata-kata tanpa ada yang memberi aba-aba.

"Kalian berdua kenapa, sih? Ini lho anaknya nangis, malah main film India. Astaghfirullah."

Tanpa basa-basi Utami menyodorkan Najma kepada Salma, membuat pasangan muda itu mendadak sadar apa yang terjadi baru saja.

"Mas apaan, sih?" Salma memukul tangan Andro, senyum malu-malu terukir di bibirnya.

"Kamu tuh yang apaan." Andro meringis, mengacak kepala Salma yang terbalut jilbab merah tua.

Keduanya bertukar tatapan mesra. Desir dan debar bergantian meramaikan hati mereka.

"I love you, Sal," bisik Andro. Sayang sekali, bisikannya menyusup pula ke indera pendengaran sang mama.

"Heh, ini kapan mau menyusui anaknyaaa? Astaghfirullah."

***

Lama nggak update nih, sekalinya update absurdnya level dewa sembilan belas. Wkwk....

Dimulai dg adegan agak-agak dewasa, diakhiri dengan adegan yg -aku sendiri ngerasa- super lebay. Hahaha...

Udah lah ya, diterima aja buat hiburan. Aku lagi turun banget nih produktivitas nulisnya. Kualitas juga kayaknya. Hihi. Mohon dimaklumi dan dimaafkan yaaa.

Terima kasih masih mau membaca. InsyaAllah Move On belum berakhir deh. Yg mau aja silakan baca, yg ngerasa ini udah ke mana-mana, boleh ditinggalkeun aja. Hehe.

See you :)

Semarang, 04092022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top