7. Penilaian

Kita selalu berpendapat kita ini yang terhebat, kesombongan di masa muda yang indah
Aku raja kaupun raja, aku hitam kaupun hitam, arti teman lebih dari sekedar materi
(Sheila On 7 - Sahabat Sejati)

***

Notes:
- Tau kan ya part ini ceritanya ttg Andro dan siapa :)
- Maaf dulu. Ada beberapa obrolan yg agak kasar dan banyak obrolan pakai bahasa Jawa yg mungkin translatenya mengganggu. Thank you.

Enjoy reading.

***

Hari-hari berikutnya diisi dengan persiapan pernikahan yang boleh dibilang serba mendadak. Andro tak mau ada pesta, sekalipun dibarengkan dengan pernikahan kakaknya. Hanya akad nikahnya saja yang dilaksanakan pada hari yang sama. Kumpulnya keluarga menjadi pertimbangan utama.

Pada Salma juga ia telah menjelaskan kenapa, yang pasti bukan karena malu atas latar belakang Salma, atau semacamnya. Andro berhasil meyakinkan calon istrinya. Dasarnya memang tak ada prasangka buruk apapun dari Salma.

Hubungan keduanya berangsur akrab. Pesan-pesan Andro mulai sering berjawab. Meski begitu, Andro tahu diri untuk tak terlampau agresif. Keduanya berusaha saling menjaga agar tetap berada di koridor yang semestinya sampai waktunya tiba. Tak lama, hanya dua hari lagi.

[Yth. Saudara Wahyudi bin Djamin.
Harap kirim no ktp untuk keperluan pembelian tiket. Ditunggu maks. jam 1 siang.]

Masih pagi, satu pesan Andro kirim untuk Wahyudi. Ia ingin sahabatnya itu menjadi saksi pada momentum besar hidupnya.

[Meh ngejak nandi, tuan muda?]
*Mau ngajak ke mana, tuan muda?

[Wes, gek cepet. Kon gelem gak? Meh ndelok peristiwa besar opo gak?]
*Udah, buruan. Kamu mau nggak? Mau lihat peristiwa besar apa nggak?

[Peristiwa opo sek ki?]
*Peristiwa apa dulu nih?

[Gak gelem yo wes.]
*Nggak mau ya udah

[Eh, gelem, Ndro. Gelem aku.]
*Eh, mau, Ndro. Aku mau

[Kon pancen geleman.]
*Kamu memang murahan

[Wes ben!]
*Biarin!

Tak sampai sepuluh menit, kode booking tiket kereta kelas eksekutif jurusan Semarang-Surabaya sudah Wahyudi terima. Siang itu juga ia harus berangkat menuju kota metropolitan nomor dua di Indonesia. Untuk suatu kepentingan, yang ia sendiri tak tahu apa.

[Nang Semarange nduwe sangu gak?]
*Ke Semarangnya punya uang saku nggak?

[Wes beres.]
*Udah beres

[Tenan?]
*Bener?

[Gampang, sesuk gari rembes to yo]
*Gampang, besok tinggal reimburst dong

[Wooo, cowok matre]

[Gak matre, cm kere]

[Kere. Edan pisan. Lengkap!]
*Kere. Gila pula. Lengkap!

[Tp yo mbok goleki. Sampe rela kirim tiket barang.]
*Tapi ya kamu cariin. Sampai rela kirim tiket segala.

[Yoh!]

[CU wes. Jam limo nak pasar turi yo. Ojok lali pamit bapak ibuk.]
*See you, deh. Jam lima di (stasiun) pasar turi ya. Jangan lupa pamit bapak ibu

[Siap ndoro]
*Siap, Tuan.

Sisa hari itu Andro lewatkan dengan gembira. Sebulan lebih tak bertemu sahabatnya, ada kerinduan untuk berbuat keasyikan yang biasa mereka lakukan di sela tugas sebagai mahasiswa. Ia pula hendak berbagi cerita tentang keputusan kontroversialnya. Menikah muda.

Maka sejak bakda asar ia sudah berpamitan pada mamanya untuk menuju ke Stasiun Pasar Turi. Tak lupa berpesan untuk tak membiarkan calon menantunya pulang pergi sendiri.

Sambil menunggu Wahyudi, Andro menelepon Salma, memberitahunya bahwa ia tak bisa menjemput seperti kemarin-kemarin.

"Assalamualaikum, Sal."

"Waalaikumussalam."

"Nanti yang jemput driver sama Bu Jani ya, Sal."

"Jemput apa, Mas? Malam ini saya udah nggak ngajar. Ini aja saya lagi diajakin Mbak Rea ke salon."

"Heh, kok Mbak Rea nggak bilang aku sih? Wah, pelanggaran. Bawa calon istri orang nggak bilang-bilang." Salma tertawa kecil, entah kenapa kata 'calon istri' memunculkan rasa geli-geli di hati.

"Memangnya ini Mas mau ke mana?"

"Aku ada perlu jemput temen di Pasar Turi."

"Teman cowok apa cewek?"

"Ciee, ustadzahnya udah bisa cemburu."

"Apa sih, Mas?" Di sana Salma malu-malu.

"Ya udah. Jaga kesehatan ya, Sal. Jangan kecapean. Besok udah nggak usah kerja."

"Iya, Mas. Memang sudah selesai kok kontraknya."

"Ya udah, gitu aja ya, Sal. I lov--- Assalamualaikum." Hampir keluar lagi pernyataan yang masih Andro hindari. Ia tak mau mengumbar terlalu cepat, sebab rasa itu memang masih perlu diperjuangkan keberadaannya.

"Waalaikumussalam."

Baru menyelipkan handphone ke saku, satu sapaan datang mengagetkan.

"Masya Allah, ada yang mau bilang i love you tapi nggak jadi. Ngono yo. Pisah sama aku sebulan langsung dapat yang baru." Wahyudi tiba. Andro bahkan tak menyadari.

"Huek. Jijik!" Disambutnya guyonan Wahyudi dengan tinju yang keras pada lengan kanannya. Wahyudi meringis kesakitan.

"Gimana gimana, ada cerita apa?"

"Nantilah kuceritain. Sekarang kita kangen-kangenan dulu."

"Huek. Jijik!" balas Wahyudi. Cuma begitu saja sudah bikin keduanya ngakak.

"By the way, Bro, kowe ketok ngganteng ik gondrong ngono. Brewok pisan. Pak Iqbal kalah wis (Kamu kelihatan ganteng lho gondrong gitu. Brewok pula. Pak Iqbal kalah udah)," puji Wahyudi melihat penampilan Andro yang berbeda dari biasanya.

"Mumpung prei, Yud. Lek aku ngene nak kampus mesakke Pak Iqbal, penggemare pindah nak aku kabeh (Mumpung libur, Yud. Kalau aku gini di kampus kasian Pak Iqbal, penggemarnya pindah ke aku semua)" Tawa lepas kembali meramaikan keduanya.

Mobil melaju meninggalkan area parkir stasiun Pasar Turi. Wahyudi menekan piranti audio, dan memilih playlist asal saja. Suara lantunan murotal yang terdengar. Ia melirik Andro yang tetap asyik menyetir.

"Aku mau nikah," kata Andro datar. Matanya tak beralih dari jalanan di hadapan.

Wahyudi mematikan audio. Merasa tak nyaman mau mengumpat saat kalam-Nya dibacakan.

"Lambemu, Ndro! Mbok kiro nikah ki dolanan po? (Omonganmu, Ndro. Kamu kira nikah itu main-main, apa?)"

"Aku serius, Yud."

"Kamu nggak habis minum air tape yang kelamaan difermentasi kan, Ndro?" Dasar asal. Andro mengulas senyum, melirik sekilas pada teman baiknya.

"Aku sadar seratus persen, Yud. Lusa aku nikah."

"Bukannya kakakmu ya yang mau nikah?"

"Iya, kami berdua."

"Ehk, kamu nikahnya bukan sama kakakmu, kan?"

"Gobl*ke lho! Nggaklah. Haram." Andro sewot.

"Lha terus sama siapa?"

"Sama---"

"Eh, kamu nggak ngehamilin anak orang juga kan, Ndro?" sela Yudi lagi, makin parah prasangkanya.

"Astaghfirullah, Yud, pikiranmu sadis bener. Aku aja sama Zulfa ngejagain banget, mana tega aku hamilin anak orang."

"Kamu kalau udah mau nikah kenapa masih inget Zulfa?"

"Udah lah, nggak usah cerewet. Aku mau nikah sama Salma."

"Salma? Salma yang guru ngajinya mamamu?"

"Masih inget ya?"

"Masih. Biarpun aku nggak pernah lihat wajahnya." Wahyudi menatap tajam pada teman terbaiknya.

"Kamu nggak jadiin dia pelarian dari Zulfa kan, Ndro? Aku memang nggak kenal Salma, tapi aku yakin dia jauh lebih baik dari Zulfa. Jangan kamu permainkan orang sebaik itu, Ndro. Bukannya kamu dulu yang sewot dan nggak terima waktu aku becanda kurang etis tentang Salma?"

"Semua orang berprasangka buruk sama aku, Yud. Kupikir kamu akan berbeda sama yang lain, ternyata sama aja. Kamu kayak nggak kenal aku aja, sih?"

"Justru karena aku kenal sama kamu, Ndro. Aku tahu seperti apa kamu ke Zulfa. Aku tahu gimana usahamu untuk ngelupain dia, dan so far aku merasa belum menemukan keberhasilanmu untuk itu. Kenapa tiba-tiba kamu mau nikahin Salma? Pengalihan aja kan? Karena kalau ada penggantinya kamu berharap melupakan Zulfa akan jadi lebih mudah, kan?

"Jangan bilang iya, Ndro. Kalau kamu bilang iya, lebih baik aku pulang aja. Pakai duitku sendiri!"

"Bukan ini yang kuharapkan dari kamu, Bro. Aku butuh ngobrol, bukan butuh kamu hakimi." Rahang Andro mengeras.

"Sorry, Bro. Yo wis, kita nyusu dulu aja lah. Mungkin aku train lag."

"Opo kui?"

"Nge-lag bar numpak sepur. Jet lag kan nek numpake pesawat."
(Nge-lag habis naik kereta. Jet lag kan kalau naiknya pesawat.)

"Alah mbuh, arek gemblung!"
(Terserah, bocah edan!)

Suasana tegang kembali cair oleh susu madu dan susu jahe yang selalu menjadi perekat kedua pemuda harapan bangsa. Obrolan kembali mengalir, tentang Zulfa, juga Salma.

Andro menceritakan dari awal, saat mama, papa, dan kakak semata wayang menggodanya dengan Salma. Disusul sepupu-sepupu serta tante, bude, dan yang lainnya. Ia belum goyah dengan penolakannya. Hingga ia tahu bahwa Salma adalah anak yang terbuang. Kejadian malam itu tak terlewat untuk diceritakan. Juga obrolan Salma dengan Bu Miska yang tak sengaja ia dengar.

"Kamu ngerti kan, Yud, aku paling nggak bisa kalau ada orang yang kukenal dan mengalami kesusahan. Malam itu aku jadi galau semalaman. Ancaman digodain cowok-cowok iseng bisa saja mengintai Salma kapanpun. Ditambah nggak setiap waktu punya kemampuan untuk menggunakan transportasi yang lebih aman.

"Dia penghafal Qur'an, Yud. Hafalannya malah udah 30 juz. Itu kelebihannya, sekaligus kekuranganku. Minder udah pasti. Pas ngimamin dan ada dia jadi makmum, yang sanggup keluar cuma Al Falaq sama Qulhu. Kurang isin piye meneh, jal? (Kurang malu gimana lagi, coba?)" Wahyudi terkikik geli.

"Kegalauan terbesar memang itu, Yud. Tentang pelarian. Aku sampai berkali-kali nanya sama diriku sendiri, ini beneran aku tulus, atau cuma pelarian? Tapi semakin aku coba menjauh, kok rasanya semua tentang Salma nih semakin ngikutin aku.

"Aku ngobrol sama kakakku, sama mama dan papaku. Waktu aku bilang mau ngelamar Salma, pertanyaan mereka pun sama. Bener aku nggak cuma menjadikan dia pelarian? Dan aku dengan yakin dan pe-denya menjawab, bukan!

"Salma anak baik, Yud. Kalau dibandingkan Zulfa, dia jelas lebih segalanya. Cuma di nasab saja dia kalah telak. But it's okay. Di hadapan Allah, it's not something of value kan, Yud?"

"Hemm."

"Ojok ham hem ham hem, thok."

"Iya iya. Semua yang kamu bilang bisa diterima dengan akal sehatku, Ndro. Masuk. Aku juga kenal sifatmu, baikmu yang memang nggak kira-kira itu, jadi aku nggak heran kalau kamu bisa khawatir sampai segitunya ke Salma. Tapi sampai memutuskan nikahin segala, it's gokil, Bro!"

"Satu hal yang jadi pertanyaanku. Seandainya kamu nggak bisa jatuh cinta sama Salma, terus gimana? Pernikahan bukan main-main lho, Ndro."

"Tapi di manapun, pernikahan itu sesuatu yang juga nggak bisa diprediksi, Yud. Banyak yang udah lama jalan bareng, kemudian nikah, pada akhirnya berpisah. Apa mereka memulai pernikahan tanpa rasa cinta? Nggak kan, Yud? Tapi banyak juga yang sebaliknya, dan berhasil bersama sampai akhir hidup.

"Aku sayang sama Salma, Yud. Aku yakin, itu jadi satu modal yang lebih dari cukup untuk menumbuhkan cinta."

"Sorry. Tapi bukan juga karena kamu tertarik fisiknya aja kan, Ndro? Dan, emm..., biologis mungkin?"

"Sh*t! Laki-laki kan makhluk visual, Yud. Jujur, fisiknya memang salah satu yang bikin aku nengok ke dia. Tapi untuk biologis, aku bahkan nggak kepikiran sampai ke situ, Yud. Aku masih risih dengan obrolan atau bahasan tentang malam pertama dan semacamnya. Aku masih polos yaa."

"Halah, raimu, Ndro. Mbok kiro aku percoyo opo? Prek!" Tangan Andro mendarat ke muka sahabatnya, disusul gelak tawa dari keduanya.

"Oke, Ndro. Aku percaya kamu. Insya Allah aku akan selalu berada di belakangmu, termasuk kalau pernikahanmu masih mau kamu sembunyikan dari anak-anak kampus."

"Thanks, Yud! Itu yang ada di pikiranku. Aku belum mau teman-teman tahu, terutama...., Zulfa. Aku nggak mau dikasihani. Aku nggak mau orang menganggap Salma pelarianku saja. Nyatanya nggak begitu, Yud. Mungkin aku kesulitan menjelaskannya, tapi..., ya pokoknya gitu.

"Aku sayang sama Salma, Yud. Aku pengen melindungi dia. Aku pengen membahagiakan dia. Dan kalau aku melakukannya, aku berharap bisa sekaligus dapat pahala birrul walidain. Karena mama papaku pengen punya mantu kayak Salma. Sorry, ralat. Bukan kayak Salma, tapi ya memang Salma."

Obrolan serius diakhiri. Mereka meluncur ke rumah Andro, sepakat untuk menutup malam dengan main PES, seperti yang biasa mereka lakukan di Semarang.

Mobil sudah terparkir rapi di garasi. Baru membuka pintu, Andro menemukan Salma dan mama berdiri di baliknya.

"Eh, Sal. Belum pulang?"

"Belum. Tadi pulang sama Rea terus ngobrol dulu sama mama, sekalian nunggu penjahit mama ke sini ngantar gaun yang buat akad. Alhamdulillah udah pas. Lagian mumpung nggak ada kamu juga, jadi kami bisa lebih lama ngobrolnya." Mama yang menjawab.

"Maksudnya apa, deh?"

"Ya kalau ada kamu kan kamu maunya nimbrung aja, deket-deketin Ustadzah terus. Ngganggu, ngerti nggak sih?" Sengaja membuat si anak bungsu kesal.

"Siapa yang terganggu? Mama?"

"Iyalah. Kalau Ustadzah kan paling malu-malu karena kamu lihatin melulu."

"Dih, Mama kok sama anaknya gitu, sih. Nah, ini Salma pulang sama siapa?"

"Sama Rea dan mama."

"Biar Andro aja yang antar, Ma. Sama Yudi dan Bu Jani, deh."

"Nanti kalau Wahyudi malah jadian sama Bu Jani, gimana?" Semua tertawa mendengar guyonan mama.

"Udah, biar mama sama Rea aja  Kalian istirahat sana, Wahyudi pasti capek habis perjalanan jauh."

"Tapi, Ma...."

"Udah sih, Nak, tinggal dua hari lagi masa nggak tahan, sih?" goda mamanya. Andro dan Salma kompak tersipu. Wahyudi menahan tawa, memandang bergantian pada keduanya.

"Ya udah, hati-hati ya, Sal. Jangan kecapean," pesan Andro penuh perhatian.

"Ehem ehem," sambar Rea, yang datang-datang langsung ngeledekin adiknya.

"Ini lagi, ngajakin calon istri orang nggak izin dulu."

"Baru calon, belum ada hak. Wee." Rea menjulurkan lidah.

"Rese pada!"

Andro lalu berpamitan. Wahyudi mengekor di belakang.

"Ndro."

"Hemm."

"Ayu ya?"

"Sopo?"

"Calonmu."

"Wah, pelanggaran. Besok kusuruh pakai cadar aja lah, daripada digebet sahabat sendiri."

"Dih, posesif. Sing nggebet yo sopo lho. Belum juga nikah udah cemburuan gitu, Ndro. Ckckck."

Andro tersenyum kecut. Iya juga, kok aku cemburu, batinnya berkata.

"Aku kok optimis ya, Ndro." Wahyudi bicara lagi.

"Tentang?"

"Tentang kamu yang nggak butuh waktu lama untuk bisa mencintai Salma. Aku yakin sepenuhnya. Dia jauh lebih segalanya dari Zulfa, kecuali---"

"Nasabnya?" seru Andro.

"Bukan, Ndro. Tapi..., matanya. Mirip banget."

Krik krik krik.

***

Yeiy, ketemu lagi sama keluarga outer space nih. Haha...

Part ini yg muncul Mas Wahyudi nih. Semoga tetap suka yaaa.

Kalau lagu Sheila On 7 tuh anak milenial pada kenal yekaan?

Oke deh, udahan dulu yaaa. Terima kasih dan mohon maafkan kalau ada kesalahan.

See you :)

Semarang, 08042021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top