69. Pemberitahuan

Dokter Ardhito menggendong Najma, sementara Andro dan Bu Jani menyiapkan barang-barang. Sore itu Salma dan Najma akan meninggalkan rumah sakit dan kembali ke rumah keluarga Antariksa.

"Ibunya Mbak Salma sudah pulang, ya?" Ardhito memberanikan diri untuk bertanya pada Salma.

"Iya, Dok. Ibu pulang dari kemarin siang. Mau menyiapkan sambutan buat Naj katanya," ujar Salma riang.

Andro yang mendengar melirik ke arah keduanya. Dadanya berdesir. Di sana, cuma dia saja yang tahu bahwa dalam diri dua manusia yang sedang berbincang itu mengalir darah yang sama.

"Oh iya, jadi benar ya, Dokter dan ibu saya teman lama? Mas Andro kemarin cerita."

Aktivitas Andro mendadak jadi slow motion. Dia memutuskan untuk memasang telinga baik-baik.

"Iya, betul, Mbak Salma. Alhamdulillah Mbak Dita juga ingat sama saya. Yaa..., walau mungkin sempat sedikit lupa, tapi beliau ingat. Alhamdulillah."

"Kenal ibu di mana, Dok?"

"Dulu kami---"

Oee oee oee....

Andro bersorak dalam hati. Rasanya ingin sekali menciumi Najma sebagai tanda terima kasih sudah menyela pembicaraan Salma dengan Pak Dokter. Kalaupun ada cerita yang lebih detail, Andro mau dialah yang menyampaikan semua itu.

"Wah, anak papa udah nggak sabar pengen pulang ke rumah, ya?" seru Andro pada Najma.

Dia bergegas mengambil alih Najma dari gendongan Ardhito, menciumi bayi mungil yang tangisnya malah makin keras. Salma tersenyum. Dia selalu suka melihat interaksi Andro dengan putri kecil mereka.

Sayangnya tangis Najma tak kunjung mereda. Bayi itu haus akan air susu ibunya, bukan haus belaian papanya.

"Mari, Dok, kita ngobrol sebentar di balkon, sambil menunggu Salma selesai meng-ASI. Kami mungkin akan langsung pulang setelahnya." Sebab Andro tak perlu sibuk mengurus administrasi, semua sudah diselesaikan di depan oleh Utami.

Tak banyak yang dibicarakan Andro dengan Ardhito. Dia hanya bercerita sedikit tentang obrolan kemarin dengan ibu mertuanya.

"Sebenarnya ada banyak yang ingin saya sampaikan, Dok, dan ini cukup serius. Tapi tidak bisa di sini. Kalau boleh, saya mau minta waktu khusus untuk ngobrol dengan Dokter. Kapan kira-kira ada waktu luang, Dok? Dan di mana? Biar saya yang nyamperin."

Ardhito mengangguk-angguk. "Ini ada hubungannya dengan Mbak Dita, kah?"

"Off course, Dok. Dan mungkin akan berhubungan dengan masa depan banyak pihak, Dok."

"Maksudnya?"

"Yaa..., antara Dokter dengan ibu mertua saya. Tentu saja dengan kami juga, keluarga Bu Dita."

"Oh, baiklah. Bagaimana kalau nanti sore di rumah saya? Saya akan minta pengganti untuk praktek saya hari ini."

"Eh, apa nggak mengganggu, Dok? Kasihan pasiennya Dokter, dong."

"Nggak apa-apa. Biasanya akan dijelaskan kalau yang praktek bukan saya. Kalau masih bisa ditunda satu dua hari, imunisasi misalnya, dan mereka maunya harus dengan saya, biasanya keluarga pasien memilih menunda besoknya. Kalau yang sifatnya darurat kan mau tidak mau ya dengan dokter siapa saja. Insya Allah aman. Ini bukan yang pertama saya izin, kok, dan saya tetap bertanggung jawab untuk schedule saya. Mas Andro tenang saja."

"Baiklah, Dok. Nanti kirim alamatnya ya, Dok. Sekalian shareloc." Dokter Ardhito mengiyakan sambil tersenyum. Senyum yang mengingatkan Andro pada Salma.

"Itu Naj udah selesai kayaknya, Dok. Kami izin pulang sekarang ya, Dok. Insya Allah nanti sore kita ketemu lagi."

"Semoga ada kabar baik untuk saya ya, Mas Andro."

"Ciee, Pak Dokter ngarep ni ye. Udah bosan ngejomlo ya, Dok?" Dasar Andro kurang adab.

Ardhito terbahak mendengar ledekan anak muda di depannya. "Tahu aja. Punya pengalaman ngarepin seseorang juga ini kayaknya."

Asem! batin Andro sambil tersenyum kecut.

Mereka -Andro dan Ardhito- kembali masuk ke ruangan bersamaan dengan pintu utama terbuka. Antariksa dan Utami datang, hendak menjemput cucu pertama yang menjadi kesayangan. Ada Nerudita juga di sana.

Andro buru-buru mencuri lihat pada wajah Pak Dokter dan ibu mertuanya. Ardhito terlihat menyembunyikan rasa bahagia. Nerudita menunduk, tersipu-sipu seperti remaja yang malu bertemu gebetannya.

Oh, dunia, batin Andro menahan tawa.

Keluarga bahagia itu lantas berpamitan pada para petugas bangsal kelas paling tinggi yang sudah lima hari mereka tempati. Ardhito mengantarkan sampai ke lobi utama. Wahyu dan salah satu driver keluarga mereka menunggu di sana.

Sesudah mengingatkan Dokter Ardhito soal janji temu mereka sore nanti, barulah Andro masuk ke mobil. Masih sempat melambaikan tangan dan mengucap salam kepada Pak Dokter, lalu mengumpat habis-habisan dua detik berikutnya. Ia baru sadar kalau Salma dan Najma ikut di mobil papanya.

***

Sorenya Andro meluncur ke rumah Ardhito, setelah dengan susah payah meminta izin pada Salma untuk keluar rumah. Dia tak biasa berdusta, jadi hanya bisa mengatakan kalau nanti akan menjelaskan urusan kepergiannya pada Salma setelah semuanya clear.

Tentu saja Salma tidak terima. Sensitivitasnya belum berkurang. Bahkan ada kecemburuan yang menyusup saat terpaksa memberikan perizinan.

Ting tong.

Suara bel rumah terdengar hingga depan pintu. Andro harap-harap cemas. Jantungnya berdegup cepat, antara gugup akan melaksanakan misi yang sulit, juga senang karena hampir berhasil menata keping-keping puzzle kehidupan istrinya yang cukup rumit.

Satu langkah lagi. Langkah yang entah akan membawa bahagia atau justru malah menghancurkan semuanya.

Pintu terbuka, bersama senyum yang -sungguh, Andro berani bersumpah- selalu mengingatkannya pada Salma.

"Assalamualaikum, Dok. Maaf mengganggu istirahatnya." Basa-basi yang sangat basi.

"Waalaikumussalam. Mari masuk Mas Andro. Nggak lah, sama sekali nggak mengganggu, kok. Sendirian saja?"

Tentu saja Dokter Ardhito sama sekali tidak terganggu. Apapun itu, jika berhubungan dengan Nerudita, menjadi sesuatu yang menarik baginya.

"Pasti Dokter ngarepnya saya sama ibu, ya?" Tawa keduanya berderai-derai, tampak lebih akrab dari pertemuan sebelumnya. Mungkin karena suasana yang tak seformal di rumah sakit.

Bukan di ruang tamu, Ardhito mengajak Andro berbicara di teras belakang rumahnya yang asri dan nyaman. Mempersilakan duduk di sofa besar yang terletak di depan deretan rak kayu berisi beragam jenis bacaan.

Di sisi seberang terdapat pantry kecil yang tak kalah rapi. Lebih mirip mini bar kalau menurut Andro, sebab ada peralatan meracik kopi yang tampaknya cukup lengkap. Andro sendiri tak begitu mengerti, hanya sering melihat saja di kafe-kafe yang pernah dia kunjungi.

Taman belakang rumah Ardhito tak seluas di rumah keluarga Antariksa, tapi penataan tanaman serta suara gemericik air yang jatuh ke kolam kaca berisi ikan koi menciptakan suasana nan menentramkan hati. Batu koral warna putih berserakan memenuhi petak berukuran sekira 1x3 m² sebagai pembatas kolam ikan dengan kolam renang yang tak terlalu besar.

Andro yakin akan betah kalau suatu hari nanti mereka -dia, Salma, dan Najma- pulangnya bukan ke kediaman keluarga Antariksa, tapi ke rumah ini, rumah bapak mertua.

"Rumahnya nyaman banget, Dok, dan bersih. Rapi. Terus siapa yang ngurus kalau Dokter tinggal sendiri? Masih sempat memangnya?" Andro kepo.

Ardhito terkekeh. "Ada suami istri yang bantu ngurus rumah ini, Mas Andro. Sepekan sekali datang. Istrinya bersih-bersih rumah, nyeterika, masak, menuhin kulkas buat persediaan sepekan. Suaminya bersih-bersih taman, halaman, kolam, dan ngecek-ngecek kalau ada yang bocor, perlu diganti, atau semacamnya.

"Kalau sehari-hari ya saya sendiri, sesempatnya saja, apa yang bisa dikerjakan. Apa sih sulitnya masak, nyapu, ngepel, cuci piring, cuci baju, nyiram tanaman? Wong dari kecil juga saya sudah biasa melakukan itu. Apalagi orang sekarang itu apa-apa dimudahkan. Mesin cuci, dishwasher, sapu, alat pel, microwave, semua ada. Alhamdulillah Allah kasih kemampuan juga untuk mengadakannya."

Andro tercengang. Rasa malu menyusupi hatinya. Pria dewasa di hadapannya itu benar-benar istimewa. Sudah menjadi dokter spesialis yang sibuk pun masih menyempatkan mengurus rumah sendiri. Bahkan kalau melihat perkataannya tadi, pekerjaan-pekerjaan rumah semacam itu sudah biasa dilakukannya sejak kecil.

Ingatan Andro melayang pula pada Salma. Like father like daughter, batinnya. Bagaimana pun, ada darah dokter Ardhito yang mengalir dalam tubuh istrinya.

"Ckckck, hebat Dokter ini. Kurang sibuk apa coba, sampai masih mau pegang kerjaan rumah sendiri? Masya Allah." Andro salut sekali dengan bapak mertuanya.

"Justru karena nggak ada keluarga. Istri belum ada, anak cucu apalagi. Ya beginilah, pekerjaan rumah jadi healing saya selain membaca dan menulis."

"Menulis apa, Dok?"

"Rahasia." Ardhito menaik turunkan alisnya sambil tertawa.

"Nulis cerpen ya, Dok? Ceritanya tentang penantian panjang yang tak kunjung bertemu ujungnya."

Plak. Masih sambil tertawa, Ardhito menepuk punggung Andro cukup keras.

"Sudah, kita langsung saja masuk ke inti dari tujuan Mas Andro kemari. Mestinya ke sini nggak cuma iseng ingin tahu rumah saya saja, to?"

Hati Andro bersorak gembira. Ini yang dia tunggu. Sejujurnya dia bingung mau memulai dari mana.

Diambilnya sebotol air mineral yang ada di atas meja. Meneguk sebagian isinya, lalu mengambil nafas panjang sebelum mulai bicara.

"Emm, Alhamdulillah. Langsung saja ya, Dok. Mohon maaf, soalnya saya nggak pintar basa-basi. Jadi begini...."

Sebagai pembuka, Andro mengulang sebagian cerita yang sudah dia sampaikan di balkon rumah sakit. Melanjutkan dengan pengakuan ibunya tentang kapan, di mana, dan bagaimana Nerudita dan Ardhito bertemu.

"Ibu tidak menceritakan dengan detail soal itunya, Dok, tapi Insya Allah saya sudah menangkap maksudnya dan bisa mengambil kesimpulan. Untuk itulah saya datang kemari, Dok.

"Ini adalah inisiatif saya sendiri, tentunya dengan persetujuan ibu. Tapi tidak dengan Salma. Dia belum saya beritahu mengenai ini semua. Bahkan saya tadi harus bersusah payah saat minta izin untuk ke mari, Dok." Ardhito terkekeh, mengungkapkan kekagumannya atas perhatian Andro pada Salma.

"Ada tiga poin penting yang ingin saya sampaikan, Dok, dan ketiganya merupakan hal yang cukup serius. Oh, bukan cukup, tapi sangat serius."

Andro berhenti sebentar. Menelan ludah dan menata hati serta pikiran. Berharap tidak perlu ada kesalahan dalam kalimat yang akan terucap berikutnya.

"Yang pertama, apakah Dokter sudah tahu track record, latar belakang, masa lalu, atau apapun itu tentang ibu mertua saya?"

"Mbak Dita?"

"Please deh, Dok. Istri saya cuma satu dan insya Allah akan selalu begitu. So, nggak perlu tanya siapa ibu mertua saya, kecuali Dokter cuma ingin menyebut nama beliau saja." Andro agak kesal, Ardhito tersenyum. Benar yang dikatakan pemuda di hadapannya, bahkan hanya sekadar menyebut nama Dita saja hatinyaa sudah merasa gembira.

"Kalau tentang siapa dan bagaimana Mbak Dita dulu, Alhamdulillah saya sudah tahu, walaupun hanya secara umum saja. Tapi itu tidak mengubah apapun. Pandangan dan rasa hormat saya pada beliau tetap sama."

Usai kejadian malam itu, mereka masih bersama hingga keesokan paginya. Ardhito membawa Dita memeriksakan kaki ke klinik, lalu kembali mengantarnya pulang, dan sekali lagi terbuai dalam godaan. Setelahnya Ardhito disibukkan dengan co-assnya di Semarang.

Di satu sisi, dia merasa sangat berdosa. Berhari-hari galau dan menyesali semua perbuatannya. Pulang dari rumah sakit yang dia tuju adalah masjid, mencoba mencari orang alim yang bisa diajak berbagi dan memberi nasihat atas kegelisahan hatinya.

"Saya kemudian bertaubat dan berniat menikahi Mbak Dita, tapi saat saya pulang ke Salatiga dan mendatangi rumahnya, sudah kosong. Saya bertanya pada tetangga sekitar, dan informasi yang saya dapatkan membuat saya tercengang. Kata mereka, Mbak Dita itu perempuan.... Ah, sudahlah."

Ardhito menghela napas dan membuangnya perlahan. Menerima kenyataan bahwa Nerudita adalah perempuan tidak baik, itu menyakitkan baginya. Tapi lebih menyakitkan lagi ketika dia sadar bahwa dia tidak bisa mengusir bayangan perempuan itu dari pikirannya.

Sejak hari itu dia bertekad melupakan Nerudita, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Wajah cantik Nerudita seakan menghantui langkahnya. Terlebih kejadian malam itu, rasanya tak pernah bisa dia lupakan.

"Saya kembali bertaubat. Saya pasrah soal melupakan. Nyatanya setiap saya berusaha, justru ingatan saya semakin kuat. Akhirnya saya mencoba mengubah semua itu menjadi motivasi untuk kebaikan. Saya berusaha berbuat baik sebagai penebus dosa besar saya. Saya mulai menetapkan tujuan hidup. Apa saja yang harus saya capai, apa saja yang harus saya upayakan. Saya pernah berbuat maksiat, maka saya bertekad, sisa hidup saya harus bermanfaat.

"Tapi ya itu tadi, bayangan Mbak Dita tetap saja tidak pernah bisa enyah dari pikiran saya, sampai saya memutuskan untuk tidak menikah. Saya tidak ingin menyakiti perempuan yang menjadi istri saya.

"Kakak-kakak saya tidak pernah tahu soal aib ini. Saya hanya mengatakan bahwa belum ada yang cocok. Mereka terus mendesak saya untuk menikah, menjodoh-jodohkan saya, dan sebagainya, sampai akhirnya terucap oleh saya, bahwa saya bersedia dijodohkan oleh mereka, nanti..., kalau umur saya sudah 45 tahun.

"Qodarullah saya dipertemukan kembali dengan Mbak Dita sekarang, menjelang usia 45. Harapan saya, jika beliau bersedia, saya ingin menikahinya. Saya akan mempertanggungjawabkan perbuatan saya puluhan tahun lalu, meski beliau mungkin tidak pernah menginginkan itu, toh saya cuma seseorang yang numpang lewat dalam hidupnya. Saya cuma---"

"Nggak begitu, Dokter. Meski track record ibu tidak baik, ibu tetaplah manusia biasa, punya rasa punya hati. Kemarin, ibu ceritakan juga soal ini ke saya. Walaupun ada banyak pria yang pernah hadir dalam hidup ibu, ada satu pria yang namanya ibu simpan di hati yang paling dalam. Dan itu adalah Anda. Dokter Ardhito."

Ardhito menelan ludah. Kalau saja tidak malu, rasanya ingin sekali meminta Andro mengulang lagi ceritanya, khusus di bagian itu saja.

"B-benarkah yang Mas Andro katakan?" Ardhito mendadak gugup, saking gembiranya. Andro mengangguk. Lalu wajah Ardhito berubah, bersinar seterang bulan purnama.

"Itu adalah hal kedua yang akan saya sampaikan, Dok, agar Dokter menikah dengan ibu saya. Tentunya jika poin pertama telah Dokter ketahui dan bisa Dokter terima. And that's done."

Hamdalah terucap dari bibir Ardhito. Teknisnya belum terlintas di pikiran, yang pasti hatinya dipenuhi kebahagiaan.

Hening menyelinap sesaat. Andro memberi kesempatan pada Ardhito untuk menghayati perasaan. Menunggu seseorang selama puluhan tahun, lalu keinginan yang sekian lama terpendam tiba-tiba akan menjadi kenyataan, tentu saja itu adalah sesuatu yang patut dirayakan.

"Emm, apa poin yang ketiga?" tanya Ardhito setelah berhasil menguasai perasaan.

Andro terdiam. Sosok Salma mendadak hadir memenuhi kepalanya, pun kejadian-kejadian yang berpotensi membuat jantungan namun berhasil mereka lalui bersama.

Pertemuannya dengan Salma, kejadian ketika Salma digoda berandalan di dekat penjual nasi goreng, Salma yang demam saat mau menerima lamarannya, ibu kandung yang datang tiba-tiba, kepergian Bu Miska, kedatangan keluarga dari Spanyol....

Ya Rabb, berat sekali hidupmu, Sayang, batin Andro yang ditujukan kepada Salma.

"Emm, yang ketiga ini, emm..., saya tidak tahu apakah akan menjadi kabar baik bagi Dokter dan ibu, atau malah akan menghancurkan semuanya. Saya tidak tahu. Tapi, s-saya..., emm, izinkan saya untuk bercerita tentang saya dan Salma, Dok." Ardhito mempersilakan.

"Saya bertemu Salma di rumah orang tua saya, Dok, dia mengajar mama saya mengaji. Kepribadiannya yang istimewa membuat mama saya menyukai dia. Begitu juga dengan papa dan kakak saya satu-satunya. Mereka lalu menjodoh-jodohkan saya dengan Salma, dan itu membuat saya kesal. Saya selalu menghindar setiap kali dia datang ke rumah.

"Lalu pada suatu malam, saya melihat seorang perempuan digodain anak-anak berandalan. Saya tidak suka melihat ketidakadilan semacam itu, Dok. Dan saya kaget banget waktu tahu perempuan yang nggak berdaya itu adalah Salma."

Kisah berikutnya mengalir penuh keharuan. Tentang kehidupan Salma di panti, perjuangan Salma untuk bisa membiayai hidupnya sendiri, sampai alasannya berubah pikiran dan ingin menikahi Salma.

Beberapa kali suara Andro bergetar. Beberapa kali pula Ardhito mengangguk dan mengerutkan kening, menyimak dengan serius.

"Jadi, yang menikahkan Salma dengan saya adalah wali hakim, karena nasabnya tidak bisa ditelusuri. Bu Dita datang beberapa bulan setelah Salma menikah dengan saya, bahkan waktu itu Sal sedang hamil muda. Saya sampai takut Salma stress dan akan berpengaruh pada bayi kami."

Mata Andro berkaca-kaca. Mengulang kisah hidup Salma selalu membuatnya dilanda haru yang luar biasa.

"Jadi..., dia tumbuh besar di panti asuhan, Dok. Ibu menitipkan Salma di sana beberapa saat setelah melahirkannya. Oh, bukan, bukan menitipkan, lebih tepatnya adalah meninggalkan. Ibu panti bahkan tidak pernah tahu siapa yang meninggalkan bayi cantik di depan pantinya.

"Waktu itu Bu Dita belum bertaubat, tapi hati ibu kuat ingin mempertahankan bayi dalam kandungannya. Salma."

"K-kenapa?"

"Ibu sendiri tidak tahu sebabnya, tapi ibu merasa hatinya terikat dengan seseorang, yang ibu yakin sekali adalah ayah biologis dari Salma."

Andro diam. Ardhito ikut terdiam. Benaknya berusaha mencari benang merah, kenapa kisah semacam itu harus Andro ceritakan kepadanya.

"Emm, maaf. Tadi Mas Andro katakan bahwa ada satu nama yang Mbak Dita simpan di hatinya, dan itu adalah saya. Jadi, apakah ada yang lain di hati Mbak Dita? Ayah biologis Salma mungkin?"

"Emm..., tidak ada, Dokter. Cuma Dokter saja."

"So...." Ardhito tidak melanjutkan ucapannya. Hati dan pikirannya mengarah ke sana, tapi lisannya masih menampik itu semua.

"Mungkin sebenarnya Dokter bisa menyimpulkan cerita saya. Adalah wajar ketika terjadi peperangan dalam hati, kebimbangan, ketidakyakinan, bahkan juga penyangkalan.

"Saya masih bisa mengingat dengan sangat baik. Waktu pertama kali Dokter visite Naj, saya tidak sengaja menangkap momentum waktu Dokter terkejut setelah menatap wajah Najma. Lalu berulang lagi ketika melihat wajah Salma. Qodarullah, saya pula yang Allah beri kesempatan untuk mendengar ketika Dokter menyebut nama ibu waktu bertemu di depan pintu.

"Puncaknya saat Dokter berpamitan dan tersenyum kepada saya. Saya merasa pernah melihat, bahkan akrab dengan senyum itu. Lalu ketika saya kembali masuk ruangan dan istri saya menyambut dengan senyuman....

"Senyum Salma..., senyumnya mirip sekali dengan senyum Dokter. Tarikan dagunya..., saya hafal betul setiap inci wajah istri saya, Dok." Andro tersenyum lagi, kali ini benaknya dipenuhi ingatan saat dia menciumi wajah Salma. Ah, Andro mendadak didera rindu.

"Salma. Ibu mertua saya yakin sekali bahwa dia anak biologis dari Dokter Ardhito. Demikian pula dengan saya, Dok. Saya yakin sekali, sekalipun tanpa tes DNA.

"Ibu pergi setelah sadar bahwa ibu mengandung, yang ibu yakin sekali itu adalah benih dari Dokter. Ibu merasa sudah merusak pemuda sebaik Dokter, dan ibu tidak mau merusak masa depan Dokter. Maka ibu memutuskan untuk pergi dan menghilang dari kehidupan Dokter.

"Tapi tidak apa jika Dokter tidak bisa menerima. Salma belum tahu soal ini, dan saya rasa dia tidak tahu sampai kapanpun juga tidak apa-apa. Sudah cukup berat kehidupan yang dia jalani, saya cuma mau dia bahagia."

Hening. Andro menyimpan kepedihannya untuk Salma. Ardhito mencoba mencerna semua fakta yang baru saja diterimanya.

Lima menit berlalu tanpa sepatah pun kata. Lalu terdengar sedu dari Ardhito. Dengan terbata-bata dokter yang masih tampak muda itu bercerita.

"Saya menyukai anak kecil, tapi saya tahu, saya tidak mungkin punya anak tanpa menikah. Itu sebabnya saya memutuskan untuk mengambil spesialis anak, agar saya bisa banyak berinteraksi dengan mereka.

"Dunia anak-anak adalah dunia yang hanya berisi kegembiraan. Saya ingin lebih banyak anak yang merasakan itu semua. Saya ingin membantu mereka yang sedang sakit dan menderita, saya ingin menjadi perantara bagi kesembuhan mereka dan melihat kebahagiaan dari orang-orang tua yang bahkan rela menukar hidupnya demi kesehatan anaknya.

"Tapi ternyata, darah daging saya sendiri harus melalui masa anak-anak yang tidak bahagia. Astaghfirullah hal adzim. Mungkin ini balasan atas dosa besar yang telah saya lakukan."

Ardhito menutup wajah dengan kedua tangannya. Bahunya naik turun dengan cepat. Isaknya terdengar begitu menyayat.

"Tolong beritahu saya, Mas Andro. Apa yang harus saya lakukan agar saya bisa meminta maaf dan menebus kebahagiaan yang hilang dari diri anak saya? Apa yang bisa saya lakukan agar bisa memeluk dan memanggil anak saya?"

Andro mengharu biru. Dihampirinya Ardhito, menawarkan pelukan sebagai seorang menantu kepada bapak mertua yang sedang bersedih hati.

"Allah Maha Baik. Mungkin ini jawaban bahwa taubat yang Dokter dan ibu lakukan Allah terima.

"Saya mohon, menikahlah dengan ibu, Dok. Cuma itu satu-satunya jalan agar Dokter dan Salma memiliki status ayah dan anak, juga menjadi mahram. Mungkin, di hati Salma yang paling dalam, dia juga ingin merasakan pelukan seorang ayah.

"Sudah sepatutnya Dokter mendapatkan kebahagiaan, begitu juga dengan ibu. Kebahagiaan ibu adalah kebahagiaan bagi Salma, dan tentu saja saya. Saya yang akan menyampaikan berita gembira ini untuk Salma. Saya juga yang akan memberitahu Salma tentang siapa ayah biologisnya.

"Tenang, Dok, saya menantu yang baik dan berbudi pekerti luhur. Dokter bisa mempercayakan semuanya pada saya, termasuk membuat Salma bahagia." Andro terkekeh. Jemawa.

Sekali lagi Ardhito menangis, kali ini karena bahagia. Dipeluknya erat Angkasa Andromeda. Menantu baik hati yang hadir tiba-tiba dan membawa banyak kebahagiaan bagi hidupnya.

***

Udah-udah, nangisnya udah. Apalagi pakai ngebayangin nangis di pelukan Andro, bisa disambit mixer sama Sal. Wkwk..

Part ini disupport oleh lagu-lagu hitsnya Om Ari Lasso yang nyaris semuanya bercerita ttg penantian, kesetiaan, harapan, dsb. Pas banget sama ceritanya si Bapak Dokter.
*pas apa dipas-pasin hayoo?

Btw, kapan nih Ardhito sama Dita nikahnya?

Sabar ya jama'aaaah. Haha....

Kenapa pas udah memutuskan Move On selesai malah jadi banyak adegan so sweet berlintasan di kepala yak? Sampai kuingin berkata, hiihhhhh.....

Ya udah. Gimana nanti aja lah ya. Mau sampai part berapa juga bebas lah. Atau bikin sekuel juga bisa aja. Gimana ntar deh. Wkwk.

Btw, aku post cerita baru di platform/aplikasi Cabaca. Sebenernya agak nggak yakin juga sih, akan bisa kelar apa kagak, secara range waktunya pendek, sedangkan syaratnya minimal 35 part. Duh duh duh. But it's okay, nggak ada salahnya mencoba kan yaaa.

Kalau pengen baca, bisa cari di Cabaca ya. Nama akunku fitrieamaliya. Judul ceritanya The Day I Want You to Stay, yang covernya pernah kuminta bantuan teman-teman buat ikut memilihkan. Hehe..

Oh iya, kalau kalian baca, jangan lupa vote dan komentarnya ya, biar rame. Hehe...

Thank you and see you :)

Semarang, 18082022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top