68. Kenangan

Andro menyelipkan gawai di saku kiri celana jeans-nya, kemudian berdiri dan mendekati Salma. Digendongnya Najma sambil menciumi buah hati yang hingga kini Andro masih merasa amazed memilikinya. Salma tersenyum-senyum melihat betapa sayang dan gemasnya Andro pada Najma.

"Aku antar ibu pulang dulu ya, Sayang. Kalau perlu apa-apa Bu Jani siap bantu. Ya, Bu, ya?" Bu Jani mengiyakan pertanyaan tuan muda yang sangat disayanginya.

Tatapan Salma pada Andro berubah sayu. Ini hari keempat di rumah sakit, selama itu pula bisa dihitung dengan menit berapa lama Andro tak ada di sisinya, itupun perginya di sekitaran rumah sakit saja. Jadi kali ini Salma merasa berat ditinggalkan, biarpun cuma mengantar ibunya pulang.

"Kok kayak nggak ikhlas sih kutinggal pulang?" Salma cemberut. Biasanya kalau Salma memasang tampang begitu Andro akan luluh, tapi tidak kali ini.

"Cuma sebentar, Sal. Sebentaaarr aja. Ngantar ibu dan memastikan rumah udah siap menyambut Naj dan kamu, terus aku langsung balik ke sini lagi. Oke?"

Sebenarnya Salma ingin mengusulkan agar ibunya dijemput Mas Wahyu saja, tapi bibirnya kelu. Dia tak sampai hati mengatakan, kesannya seperti agak berlebihan manjanya pada suami, juga tidak sopan pada ibunya.

"Kamu kalau manja gitu bikin gemes, deh. Cuma kalah sama Naj aja gemesinnya." Andro tak tahan, diciumnya sekilas bibir istrinya, tak peduli ada Bu Jani serta ibu mertua. Salma mendorong pelan Andro agar menjauh. Malu.

"I love you, Salmaku. Belum pergi aja aku udah kangen sama kamu," gombalnya. "Kalau kangen telpon aja, ya, Sayang." Diusapnya pucuk kepala Salma, lalu mencium Najma agak lama sebelum menyerahkan ke buaian mamanya.

"Ayo, Bu, berangkat sekarang."

Bu Dita, yang sedari tadi cuma senyam senyum melihat interaksi anak dan menantunya, bergegas mengekori langkah Andro. Selangkah sebelum sampai di pintu, terdengar ketukan. Andro membukanya dengan segera.

"Eh, Dokter Ardhito. Saya baru mau pulang, nih. Ya udah, nunggu Dokter meriksa Naj dulu saja, deh."

Muka Andro tampak semringah. Jelas saja. Kedatangan Dokter Ardhito yang bertepatan dengan dia dan Bu Dita hendak keluar bukanlah sebuah kebetulan.

Senyum Bu Dita menghilang. Wajahnya berubah, tampak panik dan gugup. Mau menghindar ke mana dan beralasan apa lagi?

Andro pura-pura tidak tahu. Digandengnya kuat tangan Bu Dita untuk mengikuti dokter dan asistennya. Bu Dita tak berdaya, cuma bisa menurut pada menantu yang mulai dia curigai gelagatnya.

Dokter Ardhito mengambil Najma dari Salma, meletakkan di tempat tidur, memeriksa secukupnya, lalu menggendong si bayi berpipi merah nan chubby. Keadaannya baik dan sehat. Tentu saja, sebab bayi cantik itu dilimpahi banyak kebahagiaan dari sekelilingnya.

"Besok kami pulang lho, Dok, tapi kalau pengen ketemu pasien imut, cantik, dan gemesinnya, boleh banget main ke rumah." Ibu mertua melirik Andro dengan pandangan yang mewakili kalimat Maksudnya apa, nih?

"Eh, iya. Kayaknya pas pertama papasan sama ibu, saya dengar Dokter menyebut nama ibu, deh. Betul nggak sih, Dok?" Dasar Andro!

"Oh, waktu itu, ya? Emm...." Dokter menyuruh asistennya untuk keluar dan melanjutkan pekerjaannya, sementar Pak Dokter sendiri tinggal lebih lama di kamar perawatan Salma dan Najma.

"Sejujurnya beliau mirip dengan teman saya dulu. Namanya Mbak Dita. Tapi sudah lama sekali saya nggak bertemu dengan beliau, saya juga nggak tahu bagaimana kabarnya sekarang, cuma memang mirip dengan---"

"Ibu saya memang namanya Dita, Dokter," sahut Salma antusias.

Menurut Salma, bertemu teman lama itu sesuatu yang sangat menyenangkan. Dia sendiri merasa gembira seandainya itu terjadi padanya. Maklum, sekarang ini dunianya hanya berputar di sekitaran Angkasa Andromeda saja. Sudah macam benda langit dengan orbitnya.

Wajah Bu Dita makin pucat. Rasanya ingin kabur secepat dia bisa, meninggalkan anak, cucu, menantu, serta seseorang yang muncul dari masa lalu.

"Ya sudah, Dok. Besok kita ketemu lagi ya, Dok. Saya berharap Dokter ada di sini waktu kami pulang. Farewell party, gitu. Eh, ya nggak farewell juga sih, kan Dokter boleh main kapanpun ke rumah buat nengokin Naj."

Andro sengaja membelokkan pembicaraan Salma. Dia merasa harus mencari tahu dulu kisahnya dari sudut pandang sang ibu mertua sebelum level kepekaan Salma kembali ke grade semula.

"Aku ngantar ibu dulu ya, Sal. Bye, Sayang. I love you." Andro hendak memberi kecupan, tapi -lagi-lagi- Salma mendorongnya menjauh. Malu.

Sambil terkekeh melihat pasangan muda di hadapannya, Dokter Ardhito turut berpamitan. Andro kembali menggandeng kuat tangan ibunya. Ketiganya beriringan keluar dan berjalan menuju lift.

"Mbak Dita masih ingat saya?" Dokter Ardhito mengawali percakapan. Mereka hanya bertiga di dalam lift.

"S-saya..., s-saya..., maaf, saya t-tidak ingat. S-saya lupa."

"Saya Ardhito. Dulu kita ketemu waktu saya masih awal-awal co-ass di---"

"Oh, iya. Saya ingat." Bu Dita menjawab secepat kilat. Ada kekhawatiran dokter tampan dan gagah itu membahas lebih banyak lagi cerita lama mereka.

"Wah, jadi Ibu beneran kenal sama Dokter Ardhito, ya? Masya Allah. Kenal di mana dulu, Bu? Teman kuliah, ya? Atau jangan-jangan..., mantan pacar yaaa?"

Bu Dita diam saja mendengar candaan Andro. Rasanya ingin sekali menjewer telinga menantu satu-satunya yang kadang suka menyebalkan itu.

"Sayang sekali baru fix sekarang ya, Dok. Mana besok udah harus pulang. Eh, tapi Dokter beneran boleh banget lho main ke rumah. Pintu rumah kami selalu terbuka buat Dokter. Mau reunian sama ibu di rumah juga nggak apa-apa, Dok. Iya kan, Bu?"

Plak! Satu keplakan yang cukup keras mendarat di punggung Andro. Bukannya kesakitan, Andro malah tertawa.

"Iya, maaf, Bu. Tenang aja, nanti kalau ada Pak Dokter ke rumah, Andro temenin deh. Kan bukan mahram."

Istighfar mengalir deras dalam batin Bu Dita. Air mukanya menunjukkan dia tidak suka dengan candaan menantunya. Andro paham, segera meminta maaf dan berpamitan kepada Dokter Ardhito begitu pintu lift terbuka.

Andro kembali mengulang permintaan maafnya saat hanya berdua dengan ibunya menuju area parkir. Kemudian mengulanginya lagi saat mobil mulai meninggalkan rumah sakit.

"Maafin Andro ya, Bu. Tapi memang dari Pak Dokter pertama kali nyebut nama Ibu waktu itu, Andro jadi penasaran. Terus setiap kali Dokter Ardhito visite, Ibu selalu menunjukkan gelagat yang mencurigakan. Maaf ya, Bu, tapi Andro diam-diam mengamati Ibu. Andro mengamati Pak Dokter juga.

"Tahu nggak, Bu? Setiap kali visite Naj, Pak Dokter juga beberapa kali tertangkap sedang melirik ke sana ke mari nyariin Ibu lho."

"Sudah, Mas Andro. Nggak penting, wong cuma masa lalu. Ya wajar to. Dulu Ibu juga sekolah, kuliah, punya banyak teman. Wajar kalau satu dua kali ketemu teman lama. Sudah, nggak usah dibahas panjang lebar."

"Tapi Dokter Ardhito baru 44 tahun lho, Bu. Dan katanya beliau kenal sama Ibu sekitar 22 tahun lalu."

Dhuarr! Nerudita bagai tersambar petir mendengar data yang dibeberkan oleh menantunya.

"M-Mas Andro t-tau d-dari mana?"

"Maaf, Bu. Kemarin Andro menemui Dokter Ardhito. Kami bicara banyak. Eh, nggak banyak sih, tapi menggiring keyakinan Andro pada satu hal." Diliriknya sekilas sang ibu mertua, beliau sedang menatap kosong keluar jendela.

"Dokter Ardhito masih single, Bu. Menunggu ketemu Ibu katanya. Beliau juga bilang, kalau pertemuannya dengan Ibu dulu sudah membuat hidupnya jauh lebih baik dan punya arah yang jelas."

Tak ada tanggapan. Andro menoleh, pipi ibunya sudah basah. Tak ada suara. Dan kelihatannya Bu Dita tak berniat sedikit pun menyeka air mata.

Andro menarik beberapa lembar tisu, menyelipkan pada genggaman tangan kanan sang ibu.

"Maafkan Andro ya, Bu. Andro nggak cerita apa-apa soal Ibu, kok. Andro bahkan mengalihkan topik ketika beliau tanya tentang bapak mertua Andro. Andro cuma bilang kalau Andro nggak punya bapak mertua. Pas beliau tanya lagi, apa karena sudah meninggal, Andro alihkan topik pembicaraan.

"So..., apakah Dokter Ardhito orangnya, Bu?" Andro kadang sulit diprediksi. Bu Dita baru mau lega, eh kalimat penutup dari Andro malah membuatnya makin merana.

Masih tak ada respon dari Bu Dita. Matanya pun masih menatap kosong pada deretan permukiman yang menjadi pemandangan utama. Tapi tidak dengan pikirannya, yang empat hari ini dipenuhi dengan flashback ke masa 22 tahun lalu.

*****

Malam itu jalanan cukup sepi. Apes sekali Nerudita, motor yang dia kendarai oleng setelah melindas batu besar. Mana dia berjalan terlalu ke kiri. Akhirnya kehilangan keseimbangan dan terjatuhlah dia ke parit. Parit kecil memang, tapi agak dalam. Masih untung tak berlumpur, airnya juga lumayan bersih, tidak bau.

Terdengar suara pintu rumah dibuka, lalu derap kaki mendekat. Nerudita lega, merasa beruntung jatuh di parit yang terletak di depan sebuah rumah besar.

Seorang pria muda keluar dan berdiri di jembatan kecil yang menghubungkan jalanan dengan halaman rumah.

"Astaghfirullah." Cuma itu kata yang keluar dari si pria muda. Kemudian bergegas mencebur ke parit dan membantu Nerudita.

"Maaf, saya gendong saja ya, Mbak. Sepertinya kakinya Mbak terkilir," ujar pria muda itu setelah melihat Nerudita kesusahan berjalan.

Tanpa kesulitan yang berarti, si penolong itu membawa Nerudita ke dalam rumahnya yang besar. Menurunkan Dita di sofa ruang tamu dan menyalakan lampu, lalu meminta izin untuk mengurus motor Dita yang -untungnya- tak sampai ikut tercebur ke parit.

Nerudita mengamati sekeliling. Ruang tamu yang besar dengan banyak foto terpajang di salah satu sisi tembok. Foto paling besar memuat gambar suami istri dan empat orang anaknya, tiga perempuan dan satu laki-laki. Foto-foto yang lain dipasang dengan rapi di samping dan di bawah foto paling besar itu. Dua foto sepasang suami istri yang terlihat sudah sepuh, beberapa foto keluarga, juga empat foto wisuda.

Dita menemukan wajah penolongnya pada foto wisuda yang terletak di paling kanan bawah. Wisuda Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas D....

"Almarhum orang tua saya suka sekali memasang foto kami. Anak-anaknya malu, tapi beliau berdua suka. Ya bagaimana lagi."

Dita terkejut. Belum juga selesai membaca nama universitasnya. Rupanya dia terlalu fokus memerhatikan foto-foto sampai tak sadar si pemilik rumah sudah di hadapan.

"Eh, m-maaf." Sungguh, Dita malu sekali tertangkap basah sedang memelototi foto-foto.

"Nggak apa-apa, Mbak. Oh ya, saya izin memeriksa Mbak, ya? Semoga nggak ada luka yang berarti."

"Masnya dokter, ya?" Dita yang memang ceplas ceplos bertanya begitu saja.

Yang ditanya terkekeh. "Belum, Mbak. Saya masih co-ass."

"Ya kan sudah dokter muda. Saya panggil Dok saja, ya? Pakai K kok, bukan pakai G." Dasar Dita, lihat cowok cakep sedikit saja sudah berani melempar candaan tak bermutu macam itu.

Bukannya tersinggung, dokter muda -dan ganteng, plus gagah- itu malah tertawa. "Panggil saya Ardhito saja, Mbak. Jangan Dok. Itu panggilan profesi, dan sebenarnya saya belum resmi menyandang gelar tersebut."

"Oh iya. Baik, Dokter Ardhito."

"No, tidak usah pakai dokter, Ardhito saja." Dita mengangguk. Merasa kurang sopan kalau harus memanggil nama, tapi bagaimana lagi? Itu permintaan si empunya nama sendiri.

"Maaf, izin memeriksa ya, Mbak."

Dita mengiyakan. Membuka kain dan jaket yang biasa dia pakai ketika naik motor dengan baju yang panjangnya tak sampai lutut dan tak menutupi lengan. Seperti kali itu, dia cuma memakai celana denim sepanjang separuh paha dan kaus oblong yang lengannya hanya lima centi dari bahu. Tujuannya tadi hanya membeli ayam goreng kesukaan. Mana tahu malah terjadi kecelakaan dan membawanya bertemu dokter tampan nan sopan.

Ardhito mengurungkan niat. Dia laki-laki normal, hanya saja tak pernah berhadapan langsung dengan perempuan berbusana seterbuka itu. Kagok.

"Emm, ada yang terasa sakit sekali seperti perih begitu nggak, Mbak? Kalau sekiranya masih bisa ditahan, mungkin Mbak mau ganti baju dulu? Kelihatannya basah semua bajunya. Ini sudah malam, takutnya nanti meriang.

"Kakak saya tiga, perempuan semua, dan sudah berkeluarga semua. Yang paling dekat tinggal di Surabaya. Yang lain ikut suaminya ke luar pulau semua, Kalimantan dan Papua. Tapi baju-bajunya masih banyak di sini. Sebentar ya, saya ambilkan."

Tak menunggu jawaban, dokter muda itu menghilang di balik tirai pembatas antara ruang tamu dan ruang yang lebih dalam.

Dita tak enak hati. Baru kali itu dia merasa malu dan menyesal mengenakan pakaian yang kurang tertutup. Tapi ya sudahlah, mau bagaimana lagi? Dita kembali cuek. Melanjutkan membaca nama almamater sang dokter muda, lalu mengamati sekeliling.

Perabotan besar-besar tertata rapi. Sofa, jam kayu, guci porselen besar, bifet kayu berisi barang-barang tempo doeloe. Benar-benar suasana rumah khas orang yang berkecukupan era orde baru. Dita tersenyum sendiri, lalu buru-buru menghapus senyumnya saat tirai pembatas kembali terbuka.

"Ini baju kakak saya yang nomor dua. Kelihatannya posturnya nggak jauh berbeda dengan Mbak ...."

"Dita. Nerudita. Panggil saja Dita."

"Nah, iya. Nggak jauh beda dengan Mbak Dita. Mbak bisa ganti di kamar tamu saja, ada kamar mandinya di dalam."

Ardhito membuka pintu ruangan yang terletak di sebelah kiri dari tempat Dita duduk. Disodorkannya satu stel baju untuk Dita. Kulot berbahan katun yang ringan dan kaus oblong longgar berlengan panjang.

"Maaf, saya bantu Mbak Dita jalan, ya? Atau perlu digendong lagi?" Dita tergelak. Dokter muda di hadapannya itu lucu juga.

"Nggak usah, Dok. Bantu jalan saja. Saya takut khilaf." Keduanya tertawa.

Jujur sekali Nerudita ini. Dia memang suka tak tahan godaan melihat laki-laki ganteng dengan postur yang ideal. Apalagi latar belakangnya juga bagus. Kalau kata orang Jawa, bibit, bobot, bebetnya dapat semua.

"Saya tunggu di luar ya, Mbak. Nanti kalau ada kesulitan, Mbak Dita bisa panggil saya. Teriak saja nggak apa-apa. Saya mau telepon Pak RT dulu, melaporkan kalau ada Mbak di sini dan kronologi kejadian Mbak jatuh tadi. Soalnya saya tinggal sendirian, jadi biar nggak ada fitnah atau prasangka dari tetangga-tetangga."

Usai menghubungi Pak RT, Ardhito kembali berjaga di depan pintu kamar tamu. Begitu pintu kamar mandi terbuka dan Dita terlihat kesulitan, Ardhito segera masuk dan membantunya.

"Saya periksa di ruang tamu saja nggak apa-apa ya, Mbak?" Dita mengangguk saja.

Ada beberapa luka yang perlu penanganan. Ringan saja, seperti kulit yang sedikit cuil terantuk benda keras, juga lecet-lecet yang itupun tidak seberapa. Hanya terkilir di pergelangan kaki kiri Dita saja yang mungkin agak parah.

Ardhito masuk ke dalam dan kembali dengan baskom berisi es batu serta washlap. Dikompresnya kaki Dita setelah memohon maaf dan meminta izin. Semua dilakukan dengan lembut tapi tetap cekatan. Dita bersyukur sekali jatuh di depan rumah seorang calon dokter, ganteng pula. Eh.

"Mbak Dita rumahnya mana? Biar saya antar pulang. Motornya biar di sini dulu, besok saya antarkan ke rumah."

"Ehk, saya malah jadi merepotkan ya, Dok?"

"Ardhito, Mbak."

"Iya, maksud saya Ardhito. Biar saya pulang sendiri saja. Bisa, kok."

Ardhito tertawa. "Lha mau jalan saja kesusahan kok mau bawa motor to, Mbak. Sudah, saya antar saja, nggak apa-apa."

Ardhito meninggalkan Dita beberapa saat, keluar lagi setelah mengganti baju rumahan dengan celana blue jeans dan polo shirt warna hitam. Rambutnya juga tersisir rapi. Di tangannya terselip sebuah tas kulit kecil berwarna coklat tua.

Dita terpana. Dua detik kemudian segera bisa mengondisikan hatinya. Penampilan Ardhito sedikit berbeda dengan sebelumnya. Tetap ganteng sih, tapi yang ini terlihat mapan dan dewasa.

"Saya keluarkan mobil dulu ya, Mbak Dita tunggu di sini saja, nanti saya bantu. Tenang saja, saya sudah bilang Pak RT juga, kok."

Nerudita menurut saja. Dia tahu persis, dokter muda itu tak mungkin menyuruhnya menginap di rumah besar itu. Bisa-bisa keluarga Pak RT ikut menemaninya kalau dia nekat minta menginap di sana.

Mobil bergaya jeep keluaran 80-an yang masih tampak mengilat meninggalkan rumah Ardhito. Lagu-lagu Toto menemani perjalanan mereka. Sesekali si dokter muda ikut bersenandung, juga bercerita tentang keluarganya.

"Saya lagi bingung sebenarnya. Ibu saya belum lama meninggal, beberapa minggu setelah saya wisuda Sarjana Kedokteran. Bapak saya meninggal dua tahun sebelumnya. Saya agak oleng. Rasanya ingin stop saja nggak usah lanjutin co-ass, terus menyusul salah satu kakak saya dan cari kerja di sana.

"Dari kecil saya terbiasa hidup di tengah kehangatan keluarga. Sendirian itu rasanya nelangsa. Saya bahkan memilih untuk pulang pergi Semarang - Salatiga waktu kuliah, saking nggak bisa jauh dari keluarga, khususnya bapak ibu saya. Ya indekos, tapi banyakan pulangnya." Ardhito tertawa, ada getir di dalamnya.

"Tapi sekarang saya indekos karena co-ass nggak bisa disambi pulang tiap hari. Ini bisa libur dua hari, jadi saya pulang menengok rumah. Ada yang mengurus sih, jadi tetap bersih dan rapi.

"Oh iya, Mbak Dita rumahnya mana?"

Nerudita tertawa keras. Sejak tadi dia membatin, Ini dokter kok nggak tanya lokasi langsung jalan aja, cerita soal pribadi pula.

"Kayaknya kamu butuh teman buat cerita. Lanjutkan saja, saya akan kasih tahu rumah saya nanti, kalau kamu sudah selesai bercerita."

Keduanya tergelak-gelak. Ardhito benar-benar melanjutkan ceritanya. Dia kesepian. Dan untuk sekarang ini, rumah bukan lagi tempat membunuh sepi, tapi justru makin menguatkan rasa kesendiriannya.

Ardhito dan kakak-kakaknya dididik oleh orang tuanya dengan penuh kasih sayang dan kesantunan. Menolong sesama menjadi bahasa sehari-hari keluarga mereka. Itu juga yang membuat Ardhito bercita-cita menjadi dokter, meski sempat tersendat ketika dia kehilangan ibunya dua tahun setelah bapaknya lebih dulu tiada.

Menolong Dita membuatnya merasa ilmunya bermanfaat. Dia ingat kembali pesan-pesan dan kebiasaan bapak ibu serta keluarga mereka.

"Terima kasih ya, Mbak. Saya merasa menemukan diri saya yang baru. Dan saya jadi punya semangat baru buat melanjutkan co-ass. Sampai beberapa waktu sebelum Mbak Dita jatuh tadi, saya masih menyimpan keinginan untuk berhenti dan ikut salah satu kakak saya, tapi sekarang nggak lagi. Saya harus jadi dokter yang baik dan benar, yang memegang teguh kode etik, dan menjadikan menolong sesama sebagai bahasa sehari-hari saya."

Nerudita tertawa. Menganggap ucapan Ardhito hanya bercanda. Mana ada bertemu sesingkat itu tiba-tiba menumbuhkan semangat kebaikan yang nyalanya berkobar sedahsyat itu? Mustahil.

Ardhito berhenti di depan apotek. "Kayaknya saya sudah cukup bercerita. Takutnya nanti bocor dan masuk Kabar Kabari."

Dita tertawa makin keras. "Mahasiswa FK sempat lihat infotainment juga, ya?" Dan Ardhito ikut tertawa.

"Oh ya, mau ngapain berhenti di apotek? Pacarnya apoteker, ya? Setelah izin Pak RT, sekarang izin pacar?" tanya Dita. Dia sendiri heran, kenapa jadi nyinyir? Dan kenapa pula hatinya merasa tidak rela?

Selama ini dia berganti-ganti dari pelukan laki-laki satu ke laki-laki yang lain juga tak pernah peduli pada pacar, istri, atau apapun yang berhubungan dengan para lelaki itu. Yang penting keinginan dan kesenangannya terpenuhi. Dia bahkan masih santai saja bermain api, meski sudah ada satu yang menjadi sponsor utama alias menjadikannya simpanan.

Tapi dengan Ardhito ini....

Ah, mana ada bertemu sesingkat ini tiba-tiba memunculkan rasa yang sebelumnya aku juga nggak pernah peduli? batinnya mengulang pendapat yang tadi.

"Saya nggak punya pacar, Mbak. Saya ke apotek mau beli obat buat Mbak Dita, biar terkilirnya lebih cepat sembuh. Besok juga sebaiknya Mbak ke dokter untuk memeriksakan kakinya, minimal ada kepastian tingkat keparahan dan jika mungkin perlu penanganan yang lebih tepat. Kalau perlu bantuan, besok saya kosong."

Jawaban Ardhito melelehkan hati Nerudita. Dia tersenyum-senyum sendiri sembari menatap punggung Ardhito yang sedang berinteraksi dengan mbak-mbak di apotek. Ada yang tiba-tiba berdesir-desir di hati dan membuat perutnya terasa geli.

Apa sih, Dit? batinnya lagi.

Mobil kembali melaju, lalu berhenti di depan warung tenda penjual nasi goreng. "Saya lapar. Mbak Dita sekalian makan, ya?"

Dita bahkan lupa kalau dia belum makan. Jatuh di parit dan bertemu malaikat penolong nan tampan, sopan, dari keluarga mapan ternyata mampu membuatnya kenyang tanpa makan.

Berdua menikmati nasi goreng di dalam mobil. Ardhito kembali bercerita, kali ini tentang kesukaannya. Lagu, film, buku, juga hobi. Sedangkan Dita lebih banyak menyimak sambil melempar tawa, berniat menyembunyikan rapat-rapat tentang siapa dan bagaimana dirinya.

Menjelang pukul sepuluh malam mereka tiba di depan tempat tinggal Dita. Rumahnya cukup besar, laki-laki yang menjadikan Dita simpanan yang menyewa rumah itu untuk Dita. Tentu saja untuk si laki-laki juga, agar lebih mudah dan bebas menyalurkan hasrat serta kesenangan mereka.

Dita merogoh kunci dari dompet dan menyerahkan pada Ardhito.

"Tutup saja pintunya. Nggak apa-apa, di sini nggak harus lapor Pak RT segala," candanya. Ardhito menurut saja, merasa diri hanya sebagai tamu, yang itu pun mungkin hanya akan tinggal beberapa menit saja.

Dita meminta Ardhito membantunya masuk ke kamar. Ardhito memapahnya dengan sabar.

"Besok jadi bantu nganterin saya ke dokter?" tanya Dita begitu dia duduk di tepi tempat tidurnya.

"Boleh. Mbak bisa telepon saya saja. Saya kasih nomor telepon, ya." Ardhito meraih secarik kertas yang dia lihat di atas nakas, lalu mencari alat tulis, dan menuliskan nomor telepon rumahnya.

"Ardhito, terima kasih ya, sudah menolong saya." Nerudita meraih tangan Ardhito dan menggenggamnya dengan kedua tangan.

"Saya nggak tahu bagaimana nasib saya kalau kamu nggak menolong saya. Tapi saya juga nggak tahu akan membalas dengan apa. Saya cuma punya...."

*****

"Astaghfirullah hal adzim!" pekik Bu Dita. Lamunannya buyar. Tangisnya pecah bersama istighfar yang meluncur berkali-kali diantara isaknya.

"Saya merusak dia. Saya nggak punya terima kasih. Saya memang bejat. Astaghfirullah. Astaghfirullah hal adzim. Ampuni saya ya Allah. Maafkan ibu, Salma. Maafkan ibu. Astaghfirullah hal adzim." Tangis Bu Dita semakin keras. Tangannya berkali-kali mengusap mata, lalu ditepuk-tepukkan ke wajah dengan keras.

Andro menepikan mobilnya. Memegang erat-erat tangan ibu mertuanya sambil mengulang-ulang kata maaf.

"Ibu tenang, Bu. Maafkan Andro. Ibu nggak salah, Ibu orang baik. Istighfar, Bu. Sabar. Tenang dulu, Bu."

Hampir sepuluh menit, hingga Bu Dita mulai kecapaian dan perlahan mulai tenang. Andro membantu memundurkan dan menurunkan sandaran kursi ibunya. Memberikan sebotol air mineral agar peredaran darah ibu mertua kembali lancar.

"Ardhito. Dia..., dia ayah biologisnya Salma. Saya yakin. Saya tahu pasti. Saya menyimpan rapat-rapat rahasia ini, saya pikir saya akan berhasil mempertahankannya sampai mati.

"Dia orang baik. Sangat baik. Santun, sopan. Dia menolong saya, tapi saya merusaknya. Dia...." Tangis Bu Dita kembali pecah.

"Nggak, Bu. Andro nggak tahu apa yang ibu maksud dengan merusak, tapi yang jelas beliau nggak merasa seperti itu. Justru sebaliknya. Jadi Ibu jangan berpikir dan merasa seperti itu.

"Ibu orang baik. Ibu orang hebat. Semua orang punya kesalahan, Bu, tapi hanya orang yang beruntung yang dipilih Allah untuk dapat hidayah hingga menyadari kesalahannya, bertaubat, dan memperbaiki hidupnya. Salah satunya Ibu. Ibu orang baik, bahkan di mata Dokter Ardhito. Percayalah, Bu."

Bu Dita menyeka air mata. Wajahnya kusut dan sembap. Andro jadi merasa berdosa sudah mengungkit masa lalu ibu mertuanya. Dia tak tahu, sedalam apa sakit yang disimpan Bu Dita hingga reaksinya sampai sesedih itu. Juga sedalam apa perasaan Dokter Ardhito hingga rela menunggu selama itu. Untungnya menjelang injury time Allah memberi kesempatan keduanya untuk bertemu.

"Jadinya Ibu mau pulang ke Pakuwon atau ke rumah Opa Johan?" Andro kembali melajukan mobilnya.

"Iya. Ke rumah papa saja."

"Tapi nggak ada yang nemenin Ibu di sana."

"Kenapa? Mas Andro takut ibu bunuh diri gara-gara masa lalu?"

Andro terkekeh. "Ibu ni lho, masih sempatnya becanda. Tapi Andro lega, sih. Dari tadi Andro merasa berdosa udah bikin Ibu sedih begitu. Kalau ketahuan Salma, bisa habis deh saya. Dia kalau yang disakiti dirinya sendiri masih bisa bertahan, tapi kalau Ibu, atau mama papa, Andro yang nggak bisa tahan. Ceramahnya udah ngalahin Mamah Dedeh."

Bu Dita terbahak. Sedikit terhibur mendengar guyonan menantu yang agak absurd karakternya.

"Ibu nggak tahu itu perasaan apa, tapi waktu ibu tahu ibu hamil dan ibu yakin itu benih Ardhito, rasanya ibu sayang sekali pada si jabang bayi dan nggak ingin kehilangan dia. Ibu berusaha mempertahankan, meski harus kehilangan kehidupan yang nyaman, yang ibu dapatkan dari jalan salah.

"Sekarang ibu bingung bagaimana harus menyampaikan pada Salma, juga pada Ardhito. Ibu menghilang begitu saja dari Ardhito ketika ibu sadar ibu sedang mengandung anaknya. Ibu sudah merusak orang sebaik dia. Ibu nggak mau merusak juga masa depannya. Dia bahkan nggak pernah tahu kalau dia punya anak dari ibu."

Mata Bu Dita kembali basah. Kali ini Andro tak berusaha menghibur ibu mertua, sebab penglihatannya sendiri ikut mengabur oleh genangan air yang mendesak-desak di mata. Andro ingat Salma, setelah berkali-kali ingin tahu tentang ayahnya, lalu diredam olehnya, hingga Salma pasrah dan mengubur dalam-dalam keinginannya, tiba-tiba yang dicari muncul di depan mata. Entah akan sedih atau bahagia jika Salma tahu tentang ini semua. Andro memilih untuk merahasiakan saja kisah ini dari istrinya.

"Salma nggak usah dikasih tahu, Bu. Bagaimana pun, keberadaan seorang ayah tidak akan mempengaruhi status Salma. Tak ada nasab yang menghubungkan Dokter Ardhito dengan Salma, itu berarti tak ada wali, waris, dan sebagainya yang menjadikan ada keperluan diantara mereka berdua.

"Selain darahnya yang mengalir dalam diri Salma, Dokter Ardhito bukan siapa-siapa bagi Salma. Satu-satunya jalan jika Ibu menginginkan Salma memiliki ayah adalah dengan menikah. Itupun suami Ibu baru bisa menjadi mahram dengan Salma hanya setelah nganu. Kalau tidak atau belum ya..., nggak boleh meluk-meluk Salma."

Kalimat terakhir diucapkan Andro dengan nada sumbang. Bu Dita melirik menantunya, lalu tersenyum geli melihat wajah Andro yang asem.

"Cemburu, ya?" Andro tersipu, ketahuan perasaannya.

"Alhamdulillah, kalau begitu cerita kelam ini kita tutup saja. Cukup ibu dan Mas Andro yang tahu."

"Lah, kok gitu, Bu? Kasihan Dokter Ardhito, Bu. Beliau menunggu ibu bahkan lebih panjang dari umur Andro lho, Bu. Andro sama Salma juga pengennya Ibu bahagia di hari tua."

"Kebahagiaan ibu sekarang dan sampai ibu mati nanti adalah Salma. Ibu mau menghabiskan masa tua dengan selalu ada untuk Salma dan Najma. Ibu harus memastikan Salma dan Najma bahagia. Lagipula, ibu nggak mau Mas Andro keseringan cemburu, nanti jadi sering meriang gimana? Mahasiswa teknik sipil kan tugasnya banyak."

Andro terkekeh. Asem tenan, batinnya.

"Membahagiakan Sal dan Naj dan adik-adiknya Naj itu tugas Andro, Bu. Tapi tugas Andro juga untuk memberikan kebahagiaan buat orang tua. Orang tuanya Andro, orang tuanya Sal juga. Jadi kebahagiaan Ibu itu juga tugas Andro. So...."

Bu Dita memandangi Andro, menunggu pemuda itu melanjutkan ucapannya.

"So, Ibu siap-siap saja dilamar dan menikah sama Dokter Ardhito, ya."

***

Menantu satu ini memang nggak bisa ditebak sama ibu mertua. Hahaha...

Udah yaa. Yang dari kemarin yakin, ragu, yakin, ragu siapa Pak Dokter itu, sekarang terjawab sudah.

By the way, kira-kira jadi nikah nggak ya Bu Dita sama Pak Dokter muda?

See you aja deh. Entah kapan Move On ini kelar. Hahaha....

Thank you udah membaca. Yuk ramaikan dengan komentar kalian, biar seruuu.

Semarang, 08082022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top