66. Dugaan

Andro bangun kesiangan. Ibu dan mamanya sibuk mengurus Najma, sampai lupa ada bapak ganteng yang meringkuk di sofa balkon. Semalam Andro memutuskan tidur di luar karena kegerahan. Kebetadaan ibu mertua di ruangan yang sama membuatnya tak bisa tidur dengan outfit kesukaan, ditambah pula pendingin udara yang suhunya mesti menyesuaikan bayi dan para lanjut usia.

Salma sendiri tidur lagi sekitar pukul empat tadi, setelah Najma anteng karena cukup asupan ASI. Sengaja tidak diganggu, karena kedua ibunya tahu Salma pasti kelelahan.

"Kok nggak ada yang bangunin Andro, sih? Untung masih gelap. Malu lah sama Najma, baru hari pertama jadi papa udah gagal kasih contoh yang baik. Salat subuh aja kelewat." Muka Andro asem sekali.

"Masih lebay aja sih, Ndro. Ya udah, mumpung masih gelap buruan sholat. Malah ngomel diduluin."

Utami heran. Tak menyangka anaknya yang cuek dan sering tidak peduli sekeliling bisa seheboh itu karena punya bayi. Diwakilinya Andro untuk minta maaf pada besannya. Bu Dita hanya tertawa, malah senang, sebab itu berarti Andro benar-benar mencintai anak istrinya dengan sepenuh hati.

Usai salat subuh yang agak telat, Andro berlama-lama di kamar mandi. Ketegangan kemarin membuatnya lupa pada urusan metabolisme yang terhambat.

"Yudi tadi telpon, Ndro. Nggak mama angkat. Cuma mama lihat aja HP-mu." Lapor mamanya begitu Andro selesai dengan urusan pertoiletan.

"Lah, iya. Dia tidur di mana ya, Ma? Semalem Andro keinget, tapi udah malem banget, mau telpon juga males, mending pacaran sama Salma."

Mamanya mencebik. "Di rumah lah. Udah disiapin Bu Jani. Mama papa udah feeling, begitu sampai sini kamu pasti udah nggak mikir kanan kiri."

Andro meringis. Kemudian mengambil gawainya dan menghubungi Wahyudi.

"Aman, Ndro. Pokoke uripku penak dan terjamin. Kamu udah bilang Pak Iqbal belum? Kapan kita susulannya?" Wahyudi mengingatkan.

"Astaghfirullah hal adzim. Laliii."

Andro mengakhiri obrolan tanpa persetujuan Wahyudi. Dihubunginya Pak Iqbal dengan segera, mengucapkan maaf dan menceritakan sebab dirinya sampai terlewat memberi kabar pada dosennya.

"Terima kasih banyak, Pak Iqbal. Alhamdulillah anak kami sudah lahir semalam, dan saya masih keburu untuk mendampingi mamanya berjuang. Anak kami perempuan, Pak. 4,1 kilogram dan 50 centimeter."

Di sana Iqbal Sya'bani tertawa. Dikira kuis apa, pakai sebut angka segala?

"Alhamdulillah. Selamat ya, Angkasa. Sampaikan salam dari saya dan Zulfa, untuk Mbak Salma dan orang tua kalian berdua."

"Insya Allah saya sampaikan salamnya, Pak. Dan saya sudah siap untuk susulan, Pak. Eh, maksud saya, kami sudah siap. Saya dan Wahyudi. Untuk waktunya kami menyesuaikan dengan Bapak. Kalau mau sekarang juga insya Allah kami siap."

Lagi-lagi Iqbal Sya'bani tertawa. "Ini masih pagi, Angkasa. Mana ada ujian susulan tapi waktunya lebih duluan? Teman-temanmu yang ujian sesuai jadwal saja mungkin pada belum sampai kampus."

"Baik, Pak. Tapi Insya Allah kami siap kapan saja ya, Pak." Andro tetap lempeng.

"Oke. Kalau begitu nanti sekitar pukul sepuluh, ya. Waktunya dua jam perkuliahan, soal sudah saya siapkan khusus, beda dengan yang ujian di kampus, biar tidak terjadi kecurangan karena ada jeda waktu. Dan saya mau kalian berdua menghadap laptop dan menerima soal langsung dari saya. Saya akan awasi dari sini."

"Oh, iya, Pak. Tapi laptopnya cuma satu, Pak. Nggak apa-apa, kah?"

"Iya, nggak masalah. Yang penting kalian berdua kelihatan bersamaan."

Ujian susulan dengan diawasi langsung di depan mata bukan sesuatu yang horor untuk spesies mahasiswa macam Andro dan Wahyudi. Mereka sudah siap lahir dan batin, bahkan meski semalam tak sempat belajar, atau sekadar mengerjakan latihan soal.

"Oh iya, baik, Pak. Insya Allah kami siap. Sampai bertemu nanti jam sepuluh, Pak. Terima kasih banyak."

Percakapan selesai. Andro melihat jam dinding, 06.55. "Lah, iya. Anak-anak juga pasti belum pada sampai kampus. Ujian susulan kok mulainya duluan." Dia menggumam sambil terkekeh, menertawakan kekonyolannya.

"Kenapa ketawa sendiri, Mas? Mencurigakan sekali," tanya Salma. Mulutnya mengerucut, tapi cuma bercanda. Dia belum lama bangun dan baru selesai menyusui Najma.

Andro menjelaskan, disambut tawa dari Salma dan kedua ibu mereka. Kemudian Utami dan Dita izin untuk meninggalkan Andro dan Salma. Mama Andro hendak pulang, ada sedikit pekerjaan yang harus diurus. Sedangkan Bu Dita mau turun sebentar, mencari camilan di kantin rumah sakit.

Setelah mama dan ibu mertuanya pergi, Andro menyampaikan salam dari Pak Iqbal dan Zulfa, hanya untuk Salma. Untuk kedua ibunya dia simpan dalam hati saja, daripada memunculkan komentar-komentar yang bisa menambah dosa atau mengurangi pahala.

Salma menerima dan membalas dengan waalaikumussalam. Tak lupa bersyukur atas kebaikan Pak Iqbal memberi kesempatan ujian susulan untuk suaminya. Juga atas keberadaan Zulfa dan segala masa lalu yang sudah mempengaruhi hidup Andro hingga berada di titik yang sekarang. Topik itu lama sekali tak pernah dibicarakan, apalagi sudah ada Najma sekarang, semestinya mereka berdua makin dewasa dalam menyikapi keadaan.

"I love you, Sal," kata Andro tiba-tiba sambil menatap Salma dengan tatapannya yang sanggup melelehkan besi baja.

"I love you too, papa Najma yang paling ganteng sedunia."

"Ganteng dan siap 40 hari berpuasa ya, Sal?"

Salma terpingkal-pingkal mendengar celetukan suaminya. Sumurnya memang harus tutup dulu untuk sementara waktu.

Sedang asyik bercanda ria, seorang pria berjas putih mengetuk pintu yang tak tertutup sempurna. Di sampingnya, perempuan berseragam hijau muda mengiringi dengan membawa sebuah map berwarna hijau tua.

"Assalamualaikum. Bayi Ibu Salma, ya?" sapa Pak Dokter sambil tersenyum ramah. Andro mengiyakan. Menyambut dokter yang masih terlihat muda itu dengan jabat tangan nan hangat.

"Benar, Dok. Bayi Ibu Salma dan Bapak Angkasa Andromeda." Andro melengkapi. Pak Dokter, Bu Suster, dan Salma tersenyum geli.

"Ini Dokter Ardhito, spesialis anak yang akan memantau perkembangan bayi Ibu Salma selama di sini." Suster menerangkan.

"Bayi Ibu Salma dan saya, Suster. Angkasa Andromeda." Suster terkekeh lagi sambil menganggukkan kepala.

"Terima kasih, Dokter, Suster. Alhamdulillah bayinya anteng." Salma menginfokan.

"Namanya Najma, Dok." Andro memberi informasi tanpa ditanya.

"Oh, sudah dikasih nama ya? Masya Allah, gercep sekali ya ayahnya. Namanya juga bagus. Najma artinya bintang. Ayahnya Angkasa. Sudah pas betul. Angkasa itu menaungi bintang, seperti halnya seorang ayah menjadi tempat berlindung bagi anaknya, terutama anak perempuan."

Komentar dokter menyadarkan Andro dan Salma. Mereka bahkan tidak terpikir sampai ke situ.

"Kalau dokter tuh beda, ya. Analisanya mendalam walaupun dilakukan secara spontan," ujar Andro.

"Apa sih, Mas. Udah deh, diem aja dulu," bisik Salma sembari menghadiahkan cubitan untuk suaminya.

Dokter Ardhito tertawa, lalu meminta izin untuk memeriksa Najma. Bayi itu berbaring di box, matanya memejam, tapi lidahnya yang mungil menjulur-julur. Sungguh menggemaskan.

Dokter memeriksa secukupnya, memastikan kondisi Najma sehat dan baik-baik saja. Kemudian mengambil Najma dan membawa ke gendongannya. Mata Najma berkedip-kedip, mulutnya bergerak-gerak seperti ikan mas, Pak Dokter semakin gemas.

"Pandangan mata bayi masih kabur dan belum bisa melihat jarak jauh ya, Bu. Baru sekitar 20-30 senti. Jarak ini kurang lebih sama seperti jarak mata bayi dengan mata ibunya saat proses menyusui. Masya Allah. Itulah kenapa Islam menganjurkan seorang ibu menyusui bayinya secara langsung, karena bonding awal seorang ibu dengan anaknya salah satunya terjadi dalam proses menyusui.

"Pesan saya, jangan disambi main handphone atau nonton tivi atau semacamnya ya, Bu. Sebaiknya digunakan untuk menransfer kebaikan, seperti membacakan ayat suci Al Qur'an, bersholawat, atau menceritakan tentang kisah-kisah Nabi. Sekadar menceritakan tentang keluarga juga tidak apa-apa, itu lebih baik daripada disambi kegiatan yang hanya memuaskan ego orang dewasa."

Salma mengangguk-angguk mendengar nasihat dan saran dokter. Merasa bersyukur karena yang terlibat dalam proses kelahiran dan yang sekarang menangani bayinya semuanya adalah dokter yang alim. Tak hanya menguasai ilmu yang menjadi spesialisasinya, tapi juga menyertai dengan ilmu dari sisi agama.

"Terima kasih banyak, Dok. Saya malah baru kepikiran. Memang kalau bicara dengan ahli ilmu itu semuanya ada kandungan kebaikannya ya, Dok. Alhamdulillah, istri saya juga hafidzah, Dok, jadi sambil memberi ASI bisa sambil muroja'ah."

Salma memelotot pada Andro. Menurutnya yang seperti itu tak perlu disampaikan di sini. Tapi dia sekaligus maklum, kondisi Andro sedang agak oleng saking gembiranya menjadi seorang papa.

"Masya Allah. Iya, saya sudah dengar dari Dokter Anita yang kemarin membantu persalinan Bu Salma. Memang kami berdua dipilih oleh Ibu Bos Besar untuk mendampingi Bu Salma, putri menantu dari sahabatnya Ibu Bos." Ternyata selain alim, Dokter Ardhito juga luwes dalam bercanda.

Salma kembali bersyukur menjadi bagian dari keluarga kaya raya yang baik hati, penuh perhatian, dan sangat menyayanginya.

"Jangan lupa diberi ASI paling tidak setiap dua jam sekali ya, Bu. Bapak juga men-support ibu, ya. Nanti bisa ikut juga saat sesi konseling dengan konselor ASI. Konselornya sudah ditunjuk juga kok sama Ibu Bos."

"Semalam sudah sempat ke sini, Dok. Pagi ini katanya juga akan ke sini lagi." Andro memberitahu.

"Oh, ya? Biasanya pasien yang datang ke sana, tapi kan yang ini beda, ya?" canda dokter lagi. Salma dan Andro ikut tertawa, tanpa tahu soal satu unit ambulans yang dikeluarkan oleh mamanya.

"Baik, Pak, Bu, saya pamit dulu. Insya Allah nanti siang sebelum pulang saya tengok Najma lagi."

"Mmhh..., mmhh...." Najma bersuara. Matanya terbuka, seperti menatap dokter yang timangannya begitu nyaman.

Dokter Ardhito balas menatap Najma. Sesaat dia terkejut dan menelan ludah. Mata bayi itu seperti miliknya.... Buru-buru dihentikannya pikiran yang mengganggu. Mata bayi belum bisa bicara banyak.

Dokter yang belum terlihat tua itu melanjutkan menimang Najma, sambil mengeluarkan ucapan-ucapan berhuruf vokal yang tidak ada artinya, tapi Andro sempat menangkap momentum itu. Agak aneh menurutnya, tapi dia diam saja.

"Baiklah. Kami pamit dulu ya, Bu. Tidak apa-apa kalau bayinya sering digendong, biar sering merasakan dekapan ibu atau ayahnya. Nggak ada itu istilah bau tangan atau bau gendongan." Diberikannya Najma pada suster, yang kemudian menyerahkan ke buaian Salma.

Salma menerima dengan pancaran mata bahagia, lalu mendongak, menyampaikan terima kasih pada dokter yang sudah begitu ramah dan perhatian.

Mata keduanya saling bertemu, Dokter Ardhito kembali terpaku. Hanya sekian detik saja, yang lagi-lagi terekam oleh mata Angkasa Andromeda.

Andro mengiringi dokter dan asistennya hingga keluar dari pintu kamar. Mereka bertemu Bu Dita yang baru pulang dari minimarket di lantai bawah untuk membeli camilan.

"Mbak Dita?" Dokter Ardhito bergumam pelan, seakan bertanya pada dirinya sendiri. Yang disebut namanya juga terlihat salah tingkah.

Sekali lagi Andro menangkap momentum yang baginya agak ganjil. Apalagi dia mendengar sendiri dokter yang masih terlihat muda dan gagah itu menyebut nama ibu mertuanya.

Bu Dita terlihat canggung, lalu kembali melangkah, tampak sekali terburu-buru. Dokter Ardhito justru menoleh, menatap Nerudita hingga menghilang di balik pintu.

Andro tak mau asal mengambil kesimpulan, tapi hati dan feeling-nya mengatakan, ada sesuatu antara ibu mertuanya dengan dokter spesialis anak yang belum pantas dibilang tua itu.

"Dokter kenal ibu sa---"

"Mari, Pak Angkasa. Assalamualaikum." Pak Dokter berpamitan, seakan tak memberi kesempatan Andro melanjutkan pertanyaan.

"Ehk. I-iya, Dok. Silakan. Terima kasih banyak untuk kunjungannya."

Dokter Ardhito kembali tersenyum. Andro yang sedari awal bertemu tak terlalu memperhatikan, kali ini tiba-tiba merasa pernah melihat senyum yang sama, bahkan senyum semacam itu seperti sering ditemuinya. Tapi di mana? Dan siapa?

"Embuh, ah. Lali," gerutu Andro setelah Dokter Ardhito melangkah. Sedikit kesal karena gagal mengingat dan menuntaskan penasarannya.

Dia kembali masuk ke kamar tempat istri dan anaknya dirawat. Salma sedang mengamati ibunya mengeluarkan camilan yang baru saja dibeli. Kemudian tersenyum saat melihat Andro berjalan ke arahnya.

Andro menghentikan langkah dengan tiba-tiba. Ditatapnya Salma dengan pandangan tercengang. Senyum dan dagu istrinya itu mirip....

"Dokter Ardhito!" seru Andro dengan suara tertahan. Setengah berlari dia keluar lagi dari kamar. Sayang sekali, sosok yang dicarinya sudah hilang dari pandangan.

***

Jeng jeng jeng jeeeeng. Apakah itu adalah apakah? Hahaha....

Yuk lah, waktu dan tempat dipersilakan.

Aku sih nggak banyak curhatan, mau nyeterika ajah. Haha.

See you :)

Semarang, 18072022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top