65. Ujung Perjalanan
Andro kembali segar setelah menandaskan sebotol kecil air mineral. Dia tidak pingsan, hanya agak lemas melihat Salma tampak begitu menderita. Merasa bersalah karena tidak bisa membantu apa-apa, bahkan berada di sampingnya pun tidak. Dia sudah pasrah, kalaupun si bayi keburu lahir sebelum dia tiba, dia tidak apa-apa. Tidak akan protes kepada Salma, apalagi kepada Yang Maha Kuasa.
"Semangat, Ndro. Optimis. Selama belum ada kabar kalau anakmu udah lahir, berarti masih ada harapan buat nemenin Salma. Aku dan yang lainnya aja optimis kalau semuanya akan berjalan lancar, Salma dan bayi kalian sehat dan selamat semua. So, kamu yang suaminya, yang bapaknya si bayi, mestinya lebih optimis, dong. Lak yo ngono to, Mas Wahyu?"
Wahyudi menyemangati, tetap meminta dukungan dari Wahyu.
"Sip. Bener banget Mas Yudi. Harus semangat dan optimis, Mas Andro. Aku juga yakin banget, bayine nek wedok mesti ayu koyok ibue, nek lanang ganteng koyok Pak Antariksa."
"Heh, maksudnya apa, nih?" Andro tak terima dengan kalimat Wahyu baru saja. Wahyu malah tertawa.
"Sengojo, Mas. Alhamdulillah peyan jek fokus. Lha buktine jek iso protes. Yok bisa yok. Semangat."
"Kon pancen asem tenan, Mas. Tak sumpahi gajimu diundakke wis."
Ketiganya tertawa. Andro sudah lebih bisa menerima keadaannya. Tak mengapa dia tak berada bersama Salma, yang penting doa-doanya hadir menemani perjuangan istrinya, dan yang lebih penting lagi istri dan anaknya bisa melalui tahap ini dengan selamat.
"Tidur dulu, Ndro. Lumayan setengah jam." Wahyudi menyarankan, hari sudah mulai gelap, waktu yang tepat untuk memejam barang sekejap. Andro menyetujui. Meski yakin tak akan bisa melakukannya, minimal dia bisa mengistirahatkan sejenak kerisauan hatinya.
Andro diam, memejamkan mata tanpa kehilangan kesadaran. Dirapalnya segala kalimat thoyyibah dan doa-doa untuk kebaikan istri dan anaknya. Andro sudah pasrah. Ikhlas atas apapun takdir yang akan dihadapinya.
"Ndro, bangun, Nak. Udah sampai." Dengan hati-hati Antariksa membangunkan anak laki-laki kebanggaannya.
Andro akhirnya tertidur juga. Singkat, tapi begitu dalam. Untungnya Wahyudi tahu apa yang harus dilakukan. Dia berinisiatif menghubungi papa Andro agar menunggu di depan lobi rumah sakit, jadi begitu mereka sampai, Andro ada yang memandu menuju tempat di mana Salma berada.
"Astaghfirullah hal adzim. Kok aku tidur, sih? Salma lagi berjuang malah kutinggal tidur. Suami macam apa aku ini? Ya Allah. Astaghfirullah. Salma gimana, Pa? Salma..., ya Allah. Astaghfirullah."
Mata Andro sudah tergenang. Rasanya ingin berlari agar secepatnya sampai pada Salma. Dia merasa begitu berdosa. Merasa gagal menjadi suami yang baik untuk Salma yang sudah berkorban banyak untuknya.
"Nggak apa-apa. Anakmu hebat, Ndro."
"Sudah lahir ya, Pa?" Andro menangis. Memeluk erat papanya.
"Belum. Dia hebat karena bisa bertahan untuk menunggu papanya datang. Ayo, Bung, jangan buang-buang waktu."
Andro meneriakkan hamdalah sambil melompat dan meninju udara. Ditariknya tangan papanya agar mengikuti laju larinya.
"Ndro, salah jalan, beloknya ke kanan. Makanya jangan suka berlebihan begitu. Heran papa. Laki-laki dewasa kok---"
"Papa diam, deh. Setiap orang punya gaya masing-masing untuk menunjukkan ekspresinya."
"Tapi gayamu nggak banget, Ndro. Kalem sedikit, kek."
"Debat kusirnya nanti lagi. Habis ini beloknya ke mana?"
"Udah, papa aja yang depan."
"Tapi kita harus lari, Pa."
Tak berkata apa-apa, Antariksa melesat meninggalkan si anak yang sedang sangat menyebalkan itu. Tak ada komplain, Andro mengejar papanya dengan semangat empat lima.
Salma sudah berada di ruang bersalin. Utami dan Dita mendampingi dengan setia. Andro membuka pintu tepat ketika ibu bidan senior yang mengasisteni persalinan mengatakan "Lengkap" usai memeriksa pembukaan jalan lahirnya.
"Salma! Alhamdulillah. Terima kasih udah nunggu aku. I love you, Sayang. I love you." Andro memeluk dan mengecupi kepala Salma dengan penuh haru dan sukacita.
"Oh, ini ya calon papa yang bikin heboh semua orang." Dokter kandungan datang dan langsung memberi komentar yang bikin wajah Andro mejikuhibiniu.
Setelahnya semua petugas yang terlibat dalam persalinan segera melakukan tugasnya masing-masing.
Andro mendampingi Salma. Menyediakan badannya untuk dicakar, dicubit, atau sekadar menjadi pegangan bagi Salma. Mengulang setiap perintah dokter dengan membisikkan lembut di telinga Salma.
Satu kali mengejan, Salma belum berhasil mendorong keluar bayinya. Mengejan yang kedua, terdengar teriakan dokternya, "Bagus, kepalanya sudah mulai kelihatan. Istirahat sebentar. Ambil napas dan persiapan ya, Mbak Salma. Nanti hitungan ketiga, dorong lagi sekuatnya ya. Bismillah."
Salma tetap tenang dan penuh perhitungan. Andro menggenggam kuat-kuat jemari Salma, sudah tak sanggup berkata apa-apa. Hitungan dokter pun tak lagi terdengar olehnya, hanya teriakan Salma yang sedang berusaha sekuat tenaga untuk segera bertemu dengan buah hati mereka.
"Hhh.... Eeeeghhhhh...."
Oee oee oee.... Suara tangis bayi memecah ketegangan.
"Alhamdulillah. Bayinya perempuan," seru Bu Dokter dengan gembira.
Utami dan Dita berpelukan. Salma mengembuskan napas lega. Semua rasa sakit yang baru saja mendera mendadak sirna tak bersisa, berganti bahagia yang tiada terkira.
Andro melepas genggamannya. Dia mundur beberapa langkah hingga menemukan tempat bersandar, kemudian merosot dan terduduk di lantai. Tulang-tulangnya seakan lepas dari tubuhnya. Perasaannya campur aduk. Lega, bahagia, sekaligus tak tega melihat perjuangan Salma.
Utami menghampiri anak kesayangannya, meraih Andro dalam dekapan penuh kasih sayang.
"Andro udah jadi papa, Ma. Andro janji nggak akan menyia-nyiakan Salma." Air matanya menderas, membasahi bahu sang mama.
"Mas." Sayup terdengar satu panggilan.
"Astaghfirullah. Kok aku malah ninggalin Salma, sih? Astaghfirullah." Secepat kilat Andro bangkit dan menghampiri Salma. Memeluk dan menyampaikan maaf serta berjuta perasaan yang memenuhi dadanya. Mamanya cuma geleng-geleng kepala setelah ditepis begitu saja oleh Angkasa Andromeda.
"Terima kasih, Mas. Sal nggak apa-apa. Sal bahagia. Kita udah jadi mama papa. Mas nggak pengen lihat bayi kita?"
"Lho, boleh ya?" Andro bengong. Utami dan Dita serentak menepuk dahi masing-masing.
Seorang perawat tersenyum geli, berdiri menggendong si bayi untuk inisiasi menyusui dini.
"Bapak mau melihat atau menggendong bayinya dulu?" tawar mbak suster.
"Eh, saya belum bisa, Bu. Takut merucut." Lagi-lagi ruang bersalin dipenuhi senyum geli. Andro kumat konyolnya.
"Ya sudah, dilihat dulu saja, ya."
Mbak suster menunjukkan si bayi pada Andro. Alhamdulillah, lengkap dan sempurna. Tangan, kaki, jari-jari, telinga, lalu wajahnya. Mata, hidung, pipi, bibir, dagu, dahi, alis, juga rambutnya yang hitam dan tebal.
Andro terpesona. Jantungnya memompa darah lebih cepat. Belum pernah dia merasa begitu jatuh cinta pada seseorang yang baru dilihatnya, tapi bayi mungil itu seperti merebut semua perhatiannya.
Tangan Andro terulur, membelai pipi si bayi dengan telunjuknya. "Sayang, ini papa," gumamnya. Pipinya basah tanpa terasa.
"Sudah ya, Pak, biar dede bayinya dapat ASI dulu ke ibunya." Suster mengingatkan. Andro mempersilakan, sambil celingak celinguk mencari sesuatu.
"Eh, emm..., ini maksudnya bayinya mau menyusui ibunya, gitu?"
"Ibunya yang menyusui bayinya, Pak." Kali ini susternya tak bisa menahan tawa.
"Iya, maksud saya itu. Emm..., nggak ada CCTV kan, ya? Eh, emm..., maksudnya kan ini menyusui. Eh, itu, anu..., kan yang boleh lihat cuma saya. Emm...."
"Ndro, better kamu keluar aja, deh. Jangan bikin mama malu." Utami menarik tangan Andro. Yang bersangkutan menolak, berjanji untuk diam saja daripada melakukan kekonyolan yang lain lagi.
Salma tersenyum geli. Dia begitu bahagia melihat segala kelakuan suaminya. Salma tahu, Andro mencintai dirinya. Sangat cinta. Kalau tidak, Andro tak mungkin melakukan hal-hal yang membuatnya tampak bodoh.
"Mas di sini aja nemenin Sal, ya."
Andro mengangguk, mendekati Salma tanpa mengeluarkan sepatah kata, khawatir yang meluncur dari bibirnya lagi-lagi mengundang tawa. Memangnya dia pelawak, apa?
Mata Andro kembali berkaca-kaca melihat anak pertamanya merayap di dada ibunya, mencari makanan pertamanya di dunia. Air mata turun lagi saat menemukan bagaimana berbinarnya mata Salma menatap anak mereka. Andro mengharu biru.
Usai meng-ASI, bayi Salma dibawa ke ruangan khusus bayi baru lahir untuk diobservasi. Salma sendiri dipindahkan ke ruang perawatan kelas tertinggi. Sekitar empat jam kemudian si bayi akan diantar untuk berada di ruangan yang sama dengan ibunya.
Malam itu keluarga Antariksa berkumpul dalam suasana penuh sukacita. Dimas, Rea, dan eyang dari pihak mama papa Andro datang untuk menyambut cucu pertama keluarga Antariksa, walaupun belum bisa bertemu dengan bayi mungil yang menjadi center of point bagi kebahagiaan para manusia dewasa.
Menjelang pukul sembilan, perawat mengantarkan si bayi, lebih awal dari waktu yang seharusnya. Semua senang dan mengerumuni si bayi dengan gembira. Andro belajar menggendong untuk pertama kali. Air matanya meleleh lagi.
"Memangnya jadi papa tuh bikin orang jadi cengeng, ya?" tanyanya, entah pada siapa.
"Kamu aja, kali. Papa dulu nggak gitu." Antariksa mencibir.
"Eyang kakungmu dulu juga gitu, kok." Eyang putri dari pihak mamanya memberitahu. Andro lega, dia tidak termasuk anomali.
Jam dinding menunjukkan hampir pukul sepuluh. Keluarga yang berkunjung berpamitan pulang, tinggal mama Andro dan ibu Salma yang menemani. Bu Dita lalu membantu Salma untuk kembali menyusui bayinya. Andro izin untuk beristirahat sebentar mencari angin, dia menuju balkon dan menyandarkan punggung pada sofa yang nyaman, menikmati semilir angin malam yang menyejukkan.
"Mas capek banget, ya?" Suara Salma mengagetkannya.
"Lho, kamu kok jalan-jalan, sih?"
"Ya kan nggak apa-apa, Mas. Sal melahirkan normal, lho. Ini sudah nggak terlalu sakit, kok. Baby juga lagi bobo. Nenek-neneknya juga Sal minta untuk istirahat. Mas tidur di dalam aja, yuk," ajak Salma.
Andro diam saja, malah meraih jemari Salma dan meminta Salma duduk di sampingnya.
"Hidupku udah hampir lengkap, Sal," ucap Andro sambil menengadah memandangi langit malam.
"Kok hampir?"
"Iya. Karena aku belum bisa membahagiakanmu dengan tanganku sendiri. Tapi aku janji, Sal, aku akan melakukan itu secepatnya."
Salma terkekeh. "Sal nggak buru-buru kok, Mas. Sal yakin Mas akan bisa mewujudkan itu semua suatu hari nanti. Sal udah bahagia, asal Mas nggak berubah sikapnya, tetap manis dan sayang sama Sal.
"Sal merasa dicintai banget melihat kekonyolan-kekonyolan yang Mas lakukan. Pasti panik banget, ya? Sal jadi ingat yang pernah Sal bilang dulu. Mbak Zulfa mau melahirkan aja Mas kepikiran banget, apalagi kalau Sal yang mau melahirkan anak kita, ya? Dan terbukti."
"Zulfa? Siapa tuh Zulfa? Aku nggak kenal." Tentu saja bercanda. Salma menyambutnya dengan tawa.
Sejak kejadian di Madrid dulu, segala tentang Zulfa seolah sudah tutup buku. Tak hanya dalam obrolan, di kampus pun Andro hampir tak pernah bersinggungan. Mereka seperti dua orang asing yang tak pernah berdekatan.
"Zulfa nggak pernah kasih aku apa-apa, tapi kamu..., sudah memberiku segalanya." Andro merengkuh Salma, membawa sang istri bersandar di bahunya. Berdua menatap gemintang di pekatnya langit malam.
"Aku cinta kamu, Salmaku. Cuma kamu. Dan..., Najma."
"Ehk. Najma siapa?"
"Anak kita. Namanya Najma."
Nama itu terlintas begitu saja saat menatap taburan bintang di angkasa raya, padahal sudah sejak lama dia mencari kata yang berhubungan dengan angkasa, seperti papanya menamakan dia dan Rea.
"Najma Skyla Ilia," kata Andro lagi, masih sambil memandangi atap semesta.
"Kok nggak ngobrol dulu sama Sal, sih?"
"Kamu nggak suka ya, Sayang?"
"Kok manggil sayang sayang, sih? Sal geli."
"Tapi suka nggak sama namanya?"
"Artinya apa?"
"Najma itu bintang. Sky itu langit. Lailia itu malam. Anak kita..., dia seperti bintang di langit malam. Menghiasi angkasa, benar, karena dia menjadikan hidupku makin indah. Menjadi penunjuk arah, karena kehadirannya membuat aku makin sadar akan ke mana kubawa keluarga kita ini. Dan---"
"Pelempar setan," sahut Salma cepat.
"Jadi doa juga biar anak kita nanti jadi orang yang selalu kuat melawan godaan keburukan." Sambungnya lagi.
Salma teringat masa kecilnya, pada percakapannya di suatu malam dengan Bu Miska. Dulu, bintang digunakan oleh malaikat untuk melempar setan bilamana mereka mencuri dengar pembicaraan dari langit. Terdapat dalam surat Al Mulk ayat 5.
Dengan berlinang air mata, Salma menceritakan kisah masa kecil itu kepada suami tercinta.
"Masya Allah. Bu Miska selalu hadir di setiap momentum bahagiamu ya, Sal? Begitu pun sekarang. Beliau hadir dengan cara yang spesial."
"Terima kasih ya, Mas, sudah selalu menjaga Sal seperti pesan Bu Miska. Sal sayang sama Mas. Dan Naj."
"Naj? Sounds cute and adorable ya, Sal."
"Kan seperti panggilan papanya buat mamanya. Salma, Sal. Najma, Naj."
Andro terkekeh. Merapatkan rangkulannya pada istrinya. Keduanya mengucap syukur tanpa henti, kepada Dia, Sang Maha Pemberi Bahagia.
"Eh, Mas. Lha tadi Mas Wahyudi terus ke mana?"
"Astaghfirullah. Aku kok lali nek ono menungso kui!"
***
Sebenernya aku tadi udah ngetik curhatan panjang-panjang, tapi pas diklik publish, eh nggak bisa nyimpan. Muter-muter terus. Akhirnya aku tutup, dan ternyata nggak kesimpan. Huhuhuu...
Mohon doanya ya teman-teman. Semoga aku masih dikasih rizki untuk bisa menulis banyak cerita lagi, membagi sedikit ilmu yang kumiliki, yang semoga bisa memberi manfaat, syukur-syukur bisa menginspirasi. MasyaAllah.
Semarang, 14072022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top