64. Perjalanan
Gawai Andro berdering nyaring. Panggilan dari mamanya. Andro mengangkatnya sesegera mungkin.
"Assalamualaikum, Ma. Salma gimana?" tukasnya cepat.
"Waalaikumussalam. Salma baik-baik aja. Belum ada tanda-tanda, kok. Semalam tidur sama mama." Hamdalah meluncur dari bibir Andro.
"Tadi habis subuh Wahyu udah berangkat ke airport, Ndro. Kunci titipin ke bapak ibu sebelah, ya."
Wahyu, driver keluarga Antariksa, diminta papa Andro untuk standby di Semarang. Alasan mama dan papanya adalah karena khawatir Andro menyetir dalam keadaan panik saat dikabari Salma mau melahirkan.
"Pagi amat Mas Wahyu?"
"Iya. Tadinya mau berangkat besok pagi, tapi karena kami tahu kamu besok ujiannya pagi, jadi sama Iksa suruh berangkat hari ini, biar besok bisa langsung cabut begitu kamu rampung ujian."
"Oh, iya. Siap, Ma. Andro love Mama. Nitip Sal ya, Ma. Dia tidur lagi, kah?"
"Mana ada Salma tidur lagi habis subuh? Lagi jalan-jalan di komplek sama Dita."
"Lah, kok malah jalan-jalan sih, Ma. Nanti Sal kecapaian gimana?"
"Dasar lebay!" sahut mamanya. Lalu mengakhiri obrolan dengan si anak agak tak tahu diri itu.
Sejak berjauhan, Andro merasa cintanya pada Salma semakin besar saja. Andro sudah merasakan sendiri ngenesnya di rumah tanpa Salma. Enam hari sudah Salma di Surabaya untuk persiapan melahirkan. Andro sendiri masih harus bertahan di Semarang, ujian masih tersisa dua hari ke depan.
HPL bahkan sudah terlewat beberapa hari, tapi Salma masih belum ada tanda-tanda akan melahirkan. Itu menjadi motivasi tersendiri bagi Andro. Dia yakin, si baby ingin ditunggui papanya saat dilahirkan nanti.
*HPL: Hari Perkiraan Lahir
Setiap selesai ujian hari itu, Andro segera menemui dosen pengampu mata kuliah yang diujikan hari berikutnya. Menjelaskan kondisi istrinya dan meminta diizinkan untuk ujian susulan kalau-kalau besok pagi tidak bisa mengikuti ujian karena sudah harus berada di Surabaya.
Wahyudi juga kena getahnya. Dia harus menemani sang tuan muda yang di rumah sendirian. Salma yang meminta. Alasannya sama seperti alasan papa dan mama mertua. Jaga-jaga agar ketika datang kabar Salma akan melahirkan, Andro tidak sendirian menghadapinya. Salma hafal, suaminya itu suka konyol kalau sedang dilanda kepanikan.
Tentu saja Wahyudi menyanggupi dengan senang hati. Dibandingkan indekosnya, rumah Andro jelas lebih nyaman. Urusan bahan bakar perut dan motor juga dompetnya jelas lebih aman.
Satu hal yang membuat Wahyudi terheran-heran. Andro yang sekarang sudah mau mencuci baju dan piring sendiri, menyapu rumah juga. Andro bahkan tak pernah bertanya sama sekali soal teknis melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah itu pada Wahyudi. Atau lebih parah lagi, menyuruh sahabatnya melakukan itu semua. Tidak pernah. Paling hanya menyuruh Wahyudi untuk mencuci baju dan piringnya sendiri. Kalau mau masak mi atau bahan makanan lain, ya silakan masak sendiri. Begitu saja.
"Ndro, kok iso to?" Setelah berhari-hari menyimpan pertanyaan, Wahyu akhirnya tak tahan. Mereka baru usai sarapan. Berangkat ke kampus masih nanti agak siangan.
"Iso opo?"
"Nyuci baju, nyuci piring, nyapu, masak."
"Terpaksa, Yud. Dari sejak memutuskan Salma akan melahirkan di Surabaya, sejak itu juga Salma minta aku belajar ngurusin rumah. Persiapan katanya. Nanti kalau udah punya anak, mungkin fokus dan waktunya Salma untuk ngurus rumah juga berkurang. Jadi minimal aku bisa bantu yang ringan-ringan, kayak pegang mesin cuci, nyuci piring, nyapu.
"Sebenernya ya males. Salma aja ketawa pas ngajarin aku pakai mesin cuci dan aku bilang, Lah, ternyata gampang ya ngoperasiin mesin cuci. Terus pas belajar nyuci piring, baru hari kedua aku udah mecahin piring dua, gelas satu. Nyapu juga gitu. Salma ngomel-ngomel karena yang di kolong-kolong nggak kusapu. Ya gimana, orang bersih juga, apanya yang kudu disapu, coba? " Wahyudi cekikikan mendengar cerita Andro.
"Salma lho, sepanjang jadi istriku kayaknya belum pernah ngerusakin apa-apa, malah aku yang ngerusak hatinya. Bikin dia sedih. Astaghfirullah." Wahyudi berubah ekspresi, kali ini ikut prihatin.
"Eh, tapi apa sih, Yud, yang nggak buat istri? Ibu hamil tuh repot lho. Ngurusin rumah juga repot. Dan Salma melakukan dua-duanya sekaligus. Ditambah ngurusin suami yang sok sibuk dan manja kayak aku gini, malah jadi tiga kan kerepotannya.
"Nah, apalagi nanti pas udah ada baby, Yud. Yg dulu masih di perut, masih ikut mamanya ke mana-mana, nanti kalau udah lahir kan jadi mamanya yang harus ngikutin si baby. Kalau suami nggak bantuin, wuh, repotnya pasti berkali-kali lipat. Ibu juga nggak selalu ada di sini, kan. Punya asisten juga Salma nggak mau.
"Tapi nek tak pikir-pikir, yo pancen masuk akal kabeh, Yud. Kita aja yang kadang suka sok-sokan, bahwa logika itu cuma dipakai buat urusan-urusan di luaran sana. Padahal nggak. Urusan perasaan istri pun kalau dirunut-runut sampai ke akarnya ya butuh pakai logika juga.
"Doain ya, Yud, semoga aku bisa menjaga Salma biar hatinya happy terus. Kan katanya kalau istri bahagia, insya Allah keluarga juga bahagia."
Andro mengakhiri penjelasan dan pendapatnya. Wahyudi terbengong oleh progres Andro, secara dia tahu persis bagaimana kelakuan si tuan muda yang baik hati tapi suka semaunya.
"Siniin piringmu, Yud, tak cuciin sekalian."
Wahyudi seperti kerbau dicocok hidungnya. Mengulurkan piringnya dengan mulut sedikit menganga.
***
Ujian hari ini terlewati, tinggal satu hari dan satu mata kuliah lagi. Seperti yang sudah-sudah, Andro bergegas menemui dosen untuk mata kuliah yang diujikan besok pagi.
"Assalamualaikum, Pak Iqbal," sapanya setelah membuka pintu ruangan dosennya.
"Waalaikumussalam. Oh, Angkasa. Silakan masuk. Ada perlu apa ini?" Dosennya menjawab ramah. Keduanya berjabat tangan, erat dan hangat. Iqbal Sya'bani menyilakan Andro duduk.
"Maaf, Pak, saya ada sedikit keperluan dengan Bapak."
Andro mengutarakan maksud dan kondisinya. Juga menceritakan bahwa dia melakukan hal yang sama kepada dosen-dosen pengampu yang mata kuliahnya diujikan pada hari-hari sebelumnya.
"Jadi begitu, Pak. Saya hendak memohon izin agar diperbolehkan mengikuti ujian susulan, seandainya saya harus segera berada di Surabaya sebelum menjalani ujian mata kuliah Bapak besok pagi."
Iqbal Sya'bani tersenyum. "Kalau saya tidak memberi izin, bagaimana?"
Andro menghela napas panjang. Ingin marah, tapi dia bisa apa?
"Emm, ya tidak apa-apa, Pak. Insya Allah saya masih bisa mengulang mata kuliah yang sama di perkuliahan berikutnya. Tapi mendampingi istri saya melahirkan anak pertama kami adalah momentum yang tidak akan bisa diulang lagi."
Andro mencoba tersenyum dan bersikap biasa. Jangan tanya hatinya, teramat nelangsa. Rasanya ingin menangis di pelukan Salma.
Iqbal terkekeh melihat ekspresi mahasiswanya. "Tentu saja saya tidak setega itu, Angkasa. Saya sudah pernah ada di posisi yang sama dengan kamu, dan Subhanallah..., dramanya luar biasa.
"Pulanglah sekarang juga. Kabari saya kalau anakmu sudah lahir, nanti kita atur kapan ujian susulannya."
"Alhamdulillah. Terima kasih, Pak Iqbal. Terima kasih banyak. Terima kasih banyak, Pak. Alhamdulillah. Saya siap ujian susulan di kampus, Pak, kapanpun setelah anak saya lahir. Terima kasih banyak, Pak. Maaf ya, Pak. Terima kasih banyak."
Andro mengulang-ulang ucapan terima kasihnya. Dadanya serasa mau meledak saking lega dan bahagianya. Air matanya meleleh tanpa terasa.
Iqbal berdiri meninggalkan kursinya, menghampiri mahasiswa yang dulu pernah sangat dicemburuinya. Dipeluknya Angkasa dengan haru.
"Saya salut dengan kamu, Angkasa. Doa saya untuk keluarga kecilmu. Sampaikan salam saya untuk kedua orang tua dan istrimu."
Andro tak bisa berkata-kata lagi. Dia menangis, merasa menemukan seseorang yang bisa memahami keadaannya. Kejadian yang lalu-lalu tak sempat mampir di kepala, sudah penuh oleh pikiran tentang Salma.
Perizinan selesai. Andro meninggalkan ruangan Iqbal dengan segera. Begitu pintu tertutup, yang dilakukan Andro pertama kali adalah mengecek handphonenya. Tujuh panggilan dan empat pesan, semuanya dari Salma.
[Mas, kayaknya mulai kontraksi. Masih jarang, tp sakit. Tp gpp. InsyaAllah Sal kuat]
Selang sepuluh menit.
[Mas, udah nggak sakit kok. Mas nggak usah kuatir. Kl nggak dpt izin buat besok gpp. Selesaikan ujian dulu]
Selang tujuh belas menit.
[Mas, sakit lagi]
Selang lima menit.
[Udah hilang lagi]
Andro panik. Buru-buru menghubungi Salma. Yang mengangkat ibunya.
"Sal lagi apa, Bu? Kondisinya parah nggak, Bu?" Ibu mertuanya terkekeh. Andro agak kesal.
"Nggak apa-apa, Mas Andro. Jangan khawatir. Seperti itu hal biasa kalau sudah dekat waktunya melahirkan. Ini sambil ibu amati berapa lama jeda kontraksinya, nanti kalau sudah lima menit sekali, segera ibu bawa ke rumah sakit."
"Hah, nunggu sakitnya lima menit sekali? Bawa ke rumah sakit sekarang aja, Bu. Bilang ke dokternya, minta obat yang nggak bikin sakit sama sekali."
Bu Dita tertawa lagi. Andro makin kesal. "Sudah, Mas Andro nggak usah khawatir berlebihan. Insya Allah semua yang di sini sudah mempersiapkan diri untuk membantu Salma."
"Iya, Bu. Terima kasih. Assalamualaikum." Andro mengakhiri panggilan tanpa menunggu jawaban. Hatinya kesal bukan kepalang, menganggap ibu mertuanya terlalu santai menghadapi penderitaan Salma.
"Ayo, Yud, mangkat saiki!" Ditariknya tangan Wahyudi yang sejak tadi dicuekin.
"Mangkat nandi?"
"Suroboyo."
"Lha ujianku ngesuk piye?"
"Wis izin. Aman."
"Aku? Wis mbok izinke Pak Iqbal?"
"Dyar! Durung lah. Ayo!"
Andro menarik tangan Wahyudi kuat-kuat. Yang bersangkutan meringis kesakitan, mengikuti Andro yang masuk kembali ke ruang kepala laboratorium Mekanika Tanah.
"Pak Iqbal, maaf mengganggu lagi. Kalau boleh, saya memohon izin dari Bapak untuk Wahyudi. Sama seperti saya tadi. Saya perlu teman untuk menemani perjalanan ke Surabaya. Barusan ibu mertua mengabarkan kalau istri saya sudah mulai kontraksi. Saya mohon izin untuk Wahyudi."
Kalimat Andro sudah tak tentu arah. Kentara sekali fokusnya sudah ke mana-mana. Dia bahkan lupa kalau sudah ada Wahyu yang siap mengawalnya ke Surabaya.
"Oke. Saya izinkan." Jawaban Iqbal Sya'bani lagi-lagi membuat Andro merasa lega. Dia memandangi Iqbal dan Wahyudi bergantian.
"Sudah sana, tunggu apa lagi? Segera berangkat. Istrimu membutuhkan kehadiran kamu, Angkasa. Hati-hati di jalan. Sahabatnya ditemani benar-benar ya, Wahyudi." Iqbal menyadarkan kekonyolan Andro. Wahyudi yang malu.
Keduanya lalu mengucapkan terima kasih dan berpamitan. Andro berlari menuju parkiran. Benar-benar definisi dari berlari. Kalau saja tidak diingatkan Wahyudi soal Wahyu, mungkin Andro sudah bablas memacu mobilnya ke Surabaya.
Sepanjang perjalanan Andro tak putus videocall-an dengan Salma. Dia ingin menemani Salma melalui setiap serangan kontraksi yang datang. Dia pula akhirnya melihat setiap kali Salma menahan kesakitan. Bukannya menenangkan, Andro justru dilanda kepanikan melebihi Salma. Duo Wahyu yang duduk di baris depan cuma bisa kasak kusuk setiap kali si tuan muda bersikap lebay.
"Mas, ditutup dulu ya vidcall-nya," kata Salma dari seberang sana.
"Kamu mau ke mana?"
"Mau ke toilet."
"Eh, jangan, Sal. Jangan ke toilet. Mau ngapain, sih? Nanti kalau baby-nya merucut di sana gimana?"
Tut tut tut.... Di sana Salma mulai kesal dengan sikap Andro yang menurutnya berlebihan.
Dua makhluk di baris depan yang ikut mendengar percakapan Andro-Salma serentak tertawa. Mau berempati, tapi kelakuan Andro sudah di luar batas nalar.
"Nggak usah segitunya juga kali, Ndro. Ya memang kita berdua belum ngalamin, tapi ya kayaknya kalau di posisimu juga nggak bakalan segitunya, deh. Iya nggak, Mas?" Wahyudi menyampaikan pendapatnya, meminta persetujuan dari Wahyu.
"Yo mbuh juga, Mas. Kan awake dewe gurung tau ngono iku. Yo nek pean mungkin suk mbene ngono wong bojoe bule. Nek bojoe Jowo, yo mungkin bedo, wong lingkungane yo bedo." Jawaban Wahyu disambut tawa membahana dari Angkasa Andromeda. Kerisauan yang sedari tadi melanda sejenak terlupa.
Satu tinju dilayangkan Wahyudi ke lengan Wahyu. "Jangkrik tenan kowe, Mas!" serunya kesal.
"Lha bener ta, Mas. Nek guduk bojoe opo yo arep di-kiss nang bagian kono iku." Wahyu ada di bandara dan menyaksikan sendiri saat Leticia mencium Wahyudi.
Andro makin ngakak mendengar pernyataan driver keluarganya. Lumayan, sebagai hiburan di tengah kegelisahan hatinya.
"Ngguyuo sing banter, Ndro. Aku ikhlas, asal kau bahagia."
"Yo wis, thank you, Yud. Aku tak telpon bojoku meneh."
Andro kembali menghubungi Salma, tapi tak juga diangkat. Dia beralih pada mamanya, tak diangkat juga. Pilihan terakhir adalah papanya.
"Assalamualaikum. Gimana, Ndro?"
"Kok ditelpon pada nggak diangkat sih, Pa?
"Iya, lagi jalan ke rumah sakit."
"Astaghfirullah. Salma kenapa, Pa? Kenapa ke rumah sakit? Kenapa nggak nunggu Andro? Andro kan mau nemenin Salma lahiran."
"Ya ini juga kan Salma mau lahiran, Ndro, makanya dibawa ke rumah sakit. Pintar sedikit, Bung. Pria dewasa nggak panikan, apalagi sebentar lagi mau jadi papa. Salma aja tenang banget."
"Papa sama Sal?"
"Nggak. Ini papa dari kantor, mau ke rumah sakit. Mamamu barusan sampai rumah, terus mutusin Salma buat ke rumah sakit sekalian, tapi Salmanya baik-baik aja, kok. Dita laporan terus ke papa sama mama, jadi kami juga tahu perkembangan di rumah.
"Nggak usah panik. Salma tenang banget, kok. Kamu istirahat aja, biar nanti sampai sini udah fit betul, karena nanti bukan cuma nemenin Salma pas melahirkan, tapi justru yang setelahnya itu butuh lebih banyak tenaga.
"Salmanya juga biar istirahat dan fokus untuk persiapan melahirkan. Kamu jangan egois. Apa-apaan sepanjang perjalanan minta videocall non stop. Nggak begitu caranya, Bung. Cinta dan khawatir itu wajar, namanya istri mau melahirkan anak pertama. Tapi kalau berlebihan kayak gitu ya nggak wajar. Kan ada Dita juga yang udah pengalaman. Dia mau ngingetin kamu ya nggak berani."
Panjang lebar Antariksa menasihati anaknya. Andro agak kesal dengan ibu mertuanya, tapi dia mencoba menggunakan logika untuk mencerna semua perkataan papanya. Seperti yang dia katakan pada Wahyudi pagi tadi.
"Oke, Pa. Andro masih sekitar satu setengah jam lagi. Nitip Salma, suruh nahan dulu sampai Andro datang, ya."
"Nahan mbahmu kui! Lha kalau udah waktunya melahirkan ya nggak bisa nunggu kamu, lah. Dipikir nggak sakit apa nahan mengejan gitu. Udah ah, Ndro, kon nggarai emosi thok."
Telepon ditutup. Andro menyugar gusar, membuang napas dengan kasar. Kedua Wahyu berpandangan untuk kesekian kali. Sejak tadi Andro menyalakan loudspeaker karena dia menaruh handphone pada sandaran seat depannya, memakai earphone atau bluetooth dia tak suka. Jadilah dua yang lain bisa mendengar semua pembicaraannya.
"Banter meneh mlakue, Mas. Lanang kok nyupire alon," perintahnya pada Wahyu. Padahal Wahyu sudah memacu mobil dengan kecepatan maksimal yang diperbolehkan.
Andro lalu diam, mencoba tenang. Dirapalkannya segala kalimat thoyyibah, apa saja yang melintas di pikirannya. Setengah jam kemudian handphone Andro berbunyi lagi. Salma yang menghubungi.
"Mas, Sal udah di rumah sakit. Alhamdulillah, lebih tenang. Ini sama ibu dan mama. Papa juga udah di parkiran. Mbak Rea juga katanya mau ke sini." Suara Salma terdengar ceria. Sebaliknya, perasaan Andro mendadak tidak enak.
"Udah diperiksa juga, Mas. Kata bu bidannya udah bukaan enam. Nanti kalau misal udah waktunya, Sal nggak harus nungguin Mas nggak apa-apa, kan?" kata Salma lagi.
"Sal, jangan gitu. Tunggu aku, Sal. Sebentar lagi, Sal. Please. Tahan dulu ya, Sal. Tolong berdoa, Sal. Doa orang yang sedang kesakitan kan jalurnya ekspres. Cepat dikabulkan. Please, Sal." Salma terkekeh. Suaminya kalau sudah lebay begitu seringkali bodohnya nggak ada lawan.
"Kalau misal nanti ada apa-apa sama Sal atau anak kita atau kami berdua, Mas ikhlas, ya. Sal minta maaf untuk semua kesalahan Sal sama Mas. Mas ridho ya sama Sal. Doakan Sal ya, Mas. Sal juga berdoa terus biar Mas masih keburu untuk nemenin Sal di sini."
"Sal. Ya Allah, jangan ngomong gitu, Sal. Salma, please. Sal...."
Andro menangis tersedu-sedu. Hatinya merasakan ketakutan yang luar biasa. Dia belum siap kehilangan Salma, mungkin tidak akan pernah siap.
Berbagai kenangan manis berlalu lalang di benaknya. Salma yang selalu memperlakukannya dengan manis. Salma yang selalu melayaninya dengan sepenuh hati. Salma yang selalu memenuhi semua keperluannya tanpa oernah mengeluh.
"Mas jangan nangis, ih. Jelek banget kalau gitu. Sal nggak apa-apa, Mas. Tapi kan memang udah wajibnya Sal untuk minta maaf sama suami, karena melahirkan itu---"
"Udah, Sal, stop. Aku nggak mau dengar apa-apa yang kayak gitu lagi. Aku---"
Ucapan Andro terhenti. Salma sambat lagi. Kesakitan lagi. Kali ini tampak lebih dahsyat dari yang tadi. Salma berpegangan erat pada tangan ibunya, air matanya meleleh sambil menyebut-nyebut asma-Nya. Andro tak kuat. Suasana mobil menjadi hening, sunyi, sepi.
Wahyudi menoleh ke belakang. "Lho, Ndro. Kowe semaput opo piye? Ojo guyon, woi."
***
Drama banget ya si tuan muda ini? Hahaha....
Aku jadi ingat pas mau melahirkan anak pertama. Sebulan sebelum HPL aku udah tinggal di rumah ortu, jaraknya sekitar 60-an kilometer dari Semarang. Suami maksa pulang pergi ke Semarang setiap weekdays. Bakda subuh berangkat, nanti habis maghrib sampai rumah. Qodarullah lahirnya mundur nyaris 3 minggu dari HPL. Wkwk...
Alhamdulillah, mulai kontraksi itu dari pas sahur (lahirnya pas bulan ramadhan), jadi suami langsung memutuskan izin kerja hari itu. Eh, lahirnya jam setengah dua belas malam. Tau gitu kan ngantor dulu, jadi nggak kena potong gaji. Wakakak.
Tapi waktu lahiran anak pertama dulu aku tenang banget. Bukan apa-apa, cuma waktu itu kami belum bagus secara finansial, makanya berusaha banget biar tetap sehat dan kuat, jadi bisa lahiran di bidan. Ssstt, biar lebih murah. *antara mau ketawa tp juga pengen nangis kalau ingat ini. Heee.
Padahal bapak ibuku ya kuat aja mau bayarin di rumah sakit mana juga. Tapi kaminya nggak mau ngerepotin ortu. Biar beliau-beliau taunya everything is okay aja. Wkwk.
Yaudah gitu dulu. Semoga menghibur ya. Telat updatenya juga nih, jadi Ahim Sarah besok lagi deh.
See you :)
Semarang, 12072022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top