63. Permintaan
Hari masih sangat pagi ketika gawai Salma berdering nyaring. Panggilan dari mama mertua seolah minta diprioritaskan di tengah kesibukan si menantu kesayangan menyiapkan sarapan.
"Assalamualaikum, Ma."
"Waalaikumussalam. Andro tidur lagi ya, Sal? Mama telpon nggak diangkat-angkat," jawab Utami tanpa basa-basi.
"Iya, Ma. Tadi habis subuh izin tidur lagi, soalnya semalam baru tidur jam dua. Gimana, Ma? Perlu Sal bangunin masnya?"
"Terserah kamu aja, Sal. Tapi ini mama sama papa mau ke Semarang. Udah di airport, lagi nunggu boarding sekitar dua puluh menitan lagi. Tolong nanti mama dijemput di A. Yani. Dikira-kira sendiri aja ya bangunin Andronya jam berapa."
"Eh, Ma. Kalau Sal aja yang jemput gimana? Mas nanti ada kuliah agak pagi kayaknya."
"Nggak boleh. Kamu harus ikut jemput, tapi nggak boleh kalau jemput mama sendirian, apalagi nyetir."
"Sama ibu, Ma."
"Jangan manjain Andro berlebihan, Sayang. Udah cukup mama papa aja yang salah didik dia."
"Nggak, Ma. Mama sama papa sangat berhasil. Mas Andro baik kok. Baik banget. Sama sekali nggak manja atau merepotkan." Suara Salma bergetar, air mata mulai mengalir di pipi kiri kanan. Akhir-akhir ini sensitivitas perasaannya makin menjadi saja.
Di seberang sana mama mertua malah tertawa. Utami sudah paham dan sangat memaklumi kondisi menantunya. Hampir setiap hari Andro cerita tentang Salma yang makin hari makin mudah tersentuh perasaannya.
"Maaf, Sayang. Mama lupa kalau menantu mama ini lagi agak sensi. Maaf ya kalau bikin kamu sedih karena perkataan mama soal Andro. Terima kasih ya, Sayang, udah mencintai dan menyayangi anak mama dengan sangat baik. Mama sayang kamu. Kalau memang nanti agak repot, biar mama naik taksi aja."
"Lho, Ma, nggak begitu maksud, Sal. Iya, Ma. Sal bangunin mas sekarang aja biar siap-siap jemput. Maafkan Salma, Ma. Sal nggak bermaksud begitu. Nanti kami semua yang jemput Mama. Maaf ya, Ma. Maafkan Salma."
"Iya, Sayang. Mama juga minta maaf. Pokoknya harus Andro yang nyetir, ya. Jangan kamu, apalagi Dita."
"Iya, Ma. Insya Allah. Mama hati-hati, ya. Salam untuk papa."
"Waalaikumussalam." Suara berat khas pria terdengar.
"Eh, Papa ikut dengerin, ya? Hehe. Hati-hati ya, Pa. Assalamualaikum."
Panggilan selesai. Salma menjelaskan pada ibunya tentang pembicaraannya dengan mama mertua, lalu meminta bantuan ibunya untuk melanjutkan pekerjaan di dapur. Tak lupa menyampaikan maaf karena jadi merepotkan ibunya.
"Ya Allah, Salma, kayak sama siapa aja. Jangan minta maaf terus, Nak. Ibu jadi ikut sensi, merasa diingatkan sama kesalahan ibu yang jauh lebih banyak ke kamu."
"Apa jangan-jangan, Sal sensian ini nurun dari ibu, ya?" Salma terkekeh usai menggoda ibunya. Dipeluknya sang ibu dengan erat. Meminta maafnya sekali lagi, lalu mohon diri untuk ke kamar.
Membangunkan Andro saat dalam kondisi kecapaian adalah perjuangan. Segala cara Salma lakukan, dari yang paling sopan sampai yang nyerempet-nyerempet bahaya.
"Sal, kamu pengen banget apa gimana, sih? Aku capek, ngantuk banget. Nanti sore aja, deh." Bukannya kesal, Salma malah cekikikan.
"Ge-er banget, ih. Mama sama papa mau ke sini, Mas. Ini udah boarding. Kita yang jemput di bandara."
"Duh, ngerepotin banget, sih. Mama papa kan duitnya banyak, rental limosin suruh jemput ke bandara juga mampu, kenapa anaknya lagi istirahat suruh jemput," ceracau Andro, antara sadar dan tidak.
"Berarti Mas nggak mau jemput, nih?"
"Nggak, ah. Males. Biar naik taksi aja."
"Jangan gitu lah, Mas. Ini orang tua, lho. Birrul walidain."
Tak ada jawaban, hanya terdengar suara kuap yang sama sekali tak ditahan. Keras dan tidak sopan.
"Ya udah, kalau gitu biar Sal aja yang jemput mama papa. Nanti Mas ke kampusnya bawa motor, ya."
"Iya, iya. Aku ikut jemput." Kantuknya menghilang begitu saja. Andro langsung bangkit dari kasur. Berjalan menuju kamar mandi sambil mulutnya tak henti mengomel.
"Aku kan udah bilang berkali-kali kalau kamu nggak boleh pergi-pergi sendiri. Apalagi nyetir. Memangnya nggak susah apa perut segede itu duduk di belakang setir. Ntar yang nggak ngerti dikira aku suami nggak bertanggung jawab, ngebiarin istrinya repot sendiri.
"Lagian mama nih nggak pengertian banget. Anaknya kan sibuk, banyak aktivitas. Harusnya naik taksi juga beres. Lagian ke sini mau ngapain sih, nggak bilang-bilang langsung main dateng aja."
Salma geli sendiri melihat si anak mama yang begitu dia cintai. Pada dasarnya Andro adalah orang yang baik. Sangat baik. Ditambah lagi mereka saling mencintai, maka kebaikan itu menjadi makin terasa karena sama-sama menjadi sesuatu yang disyukuri.
"Mas kalau ngomel gitu bikin gemes, deh." Salma mendekat. Memberi satu kecupan pada pipi Andro.
"Huh, memangnya aku cowok apaan bikin gemes." Andro kesal, tapi tetap membalas perlakuan manis dari Salma dengan yang lebih manis.
"Mas tuh cowok yang baik, ganteng, pintar, bertanggung jawab, dan..., seksi."
"Sal, please. Nggak usah mancing-mancing gitu deh, Sal."
Salma tergelak. Didorongnya Andro untuk segera masuk kamar mandi. "Iya, iya, Tuan Muda Angkasa Andromeda. Mandi sana, Sal siapin baju gantinya. I love you."
"Langsung hilang ngantukku kalau udah dapat i love you dari kamu."
"Halah, gombal."
"Tapi suka, kan?"
"Udah udah, ih. Buruan mandi, Mas. Gantian. Sal juga belum mandi ini. Surabaya - Semarang naik pesawat tuh sebentar lho."
"Heh, kamu juga belum mandi?"
Tanpa kesepakatan Andro menarik Salma agar masuk kamar mandi bersamanya.
***
Kegiatan Andro hari itu cukup padat. Kurang dari dua pekan lagi ujian akhir semester tiba. Semester berikutnya juga dia akan mengambil mata kuliah Kerja Praktik. Seperti biasa, kalau itu tentang perkuliahan, maka wajib bagi Andro untuk mempersiapkan dengan sebaik mungkin.
Jam dinding di ruang tengah menunjukkan pukul delapan saat bel pintu berdentang. Andro pulang.
Salma yang sedang ngobrol dengan ketiga orang tua buru-buru beranjak, tapi kalah cepat dengan papa mertuanya.
"Sudah, biar papa saja yang buka pintu," kata Antariksa. Salma cuma bisa mengucap terima kasih.
"Assalamualaikum, Pa. Udah pada tidur ya?" sapa Andro sambil mencium tangan papanya.
"Waalaikumussalam. Belum. Masih pada ngobrol sambil nunggu kamu pulang. Katanya Salma juga nggak bisa tidur kalau kamu belum pulang. Gini terus ya setiap hari?"
"Pakai nanya segala Bapak Antariksa ini. Kayak nggak pernah ngalamin jadi mahasiswa teknik sipil aja. Basi, ah."
Satu tinju melayang ke lengan Andro. Andro balas dengan yang sama. Keduanya tertawa.
Andro menyapa yang lain dulu sebelum masuk ke kamar untuk membersihkan badan. Salma mengikuti suaminya. Meski semua keperluan Andro sudah disiapkan, tapi sudah menjadi kebiasaan Salma untuk juga berada di kamar, siapa tahu Andro membutuhkan sesuatu.
"Mas beneran udah makan di luar, kan?" sambut Salma begitu Andro keluar dari kamar mandi.
"Iya, udah. Kamu juga udah makan, kan? Nggak nungguin aku, kan?" Salma mengangguk.
"Mas capek nggak? Masih kuat ngobrol nggak? Soalnya yang lain nungguin Mas. Mama papa mau bicara."
"Tentang apa?"
"Emm..., langsung ke sana aja, deh. Kan mama papa yang mau bicara."
"Tapi tadi udah ada prolog dulu kan ke kamu?"
"Iya, sih. Tapi...."
"Oke. Lha kamu gimana dengan yang disampaikan mama papa?"
"Memangnya Mas tahu apa yang dibicarakan tadi?"
"Ya belum, tapi kan aku pengen tahu dulu pendapat dan keinginanmu. Apapun yang nanti mama papa sampaikan, seenggaknya aku udah ada panduan kamu maunya gimana."
"Pokoknya Sal ikut Mas aja."
"Ya udah, deh."
Sejujurnya Andro sangat lelah dan ingin istirahat. Tidurnya pagi tadi terpaksa harus dicukupkan karena menjemput orang tuanya di bandara. Setelah itu ada kuliah, dilanjutkan dengan kegiatan lain yang masih berhubungan dengan perkuliahan.
"Kalau Mas capek, besok pagi aja bicaranya. Besok Mas kuliahnya agak siangan, kan? Seharian ini kan Mas belum sempat istirahat banyak." Salma seperti tahu apa yang diinginkan Andro.
"Nggak pa-pa, Sal. Sekalian aja. Nanti selesai nggak selesai, jam sepuluh aku izin istirahat. Santai aja, aku masih kuat melek, kok. Apalagi ada kamu di sampingku."
"Sekarang makin pintar ngegombal, ya?" Salma merajuk. Keduanya bertukar peluk, kemudian bersama-sama menuju ruang keluarga.
Suasana berubah serius begitu Andro duduk diantara yang lainnya.
"Salma bilang kamu udah makan di luar. Ini udah mandi juga, udah segar berarti, ya? Jadi mama sama papa langsung aja ya, biar cepet kelar. Kamu pasti udah pengin istirahat. Mama minta maaf kalau tadi pagi mengganggu tidurmu."
"Oke, Ma. Semua yang Mama katakan bener dan oke. Sip. Jadi to the point lebih baik." Secepat kilat Salma menginjak kaki suaminya. Dasar Andro, masih kurang adab kalau di depan mama papanya.
"Yo wis ngono iku bojomu, Sal. Yang sabar, ya." Bu Dita tersenyum mendengar pesan Antariksa pada anak perempuannya.
"Jadi gini, Ndro." Antariksa melanjutkan dengan langsung masuk ke topik bahasan.
"Tadi kami sudah menyampaikan ke Salma, tapi Salma bilangnya ikut kamu aja. Intinya, HPL cucu papa kan nggak lama lagi ---"
"Iya, lima belas hari ke depan," sahut Andro cepat.
"Nah, kalian kan di Semarang ini itungannya merantau, jauh dari keluarga dan saudara. Kesibukanmu juga luar biasa, apalagi sebentar lagi kamu ujian, dan sebagainya. Kami, mamamu, papa, dan ibunya Salma, berpikir..., bagaimana kalau Salma sementara tinggal di Surabaya dulu sampai anak kalian lahir nanti? Maksudnya supaya---"
"Nggak bisa gitu dong, Pa. Papanya kan Andro. Kalau Salma melahirkan pas Andro nggak di sana, gimana? Nggak, nggak, nggak. Andro nggak setuju. Obrolan selesai."
Andro berdiri. Wajahnya kelihatan marah sekali. Matanya berkaca-kaca. Rasanya sakit sekali membayangkan Salma melahirkan tanpa kehadirannya.
"Mas, duduk dulu, jangan emosi. Sal ikut pendapat, Mas, kok. Tapi tolong, sampaikannya dengan baik-baik."
"Iya. Andro minta maaf sama semua yang di sini. Andro capek kalau obrolannya soal beginian, mungkin lebih baik dilanjutkan besok pagi. Andro mau istirahat dulu biar bisa mikir dengan baik dan nggak emosi. Maaf. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam," jawab yang lain bersamaan. Salma ikut minta maaf, kemudian berpamitan untuk menemani Andro ke kamar.
Tak ada pembicaraan sama sekali. Andro melempar kaus, sarung, dan celana pendeknya sembarang saja, lalu naik ke tempat tidur dan memunggungi Salma. Tampak jelas hatinya sedang tidak baik-baik saja.
Salma menyusul naik ke tempat tidur. Dengan perlahan menyusupkan tangan ke bawah lengan suaminya.
"Sal minta maaf kalau tadi bilang gitu ke Mas."
"Kamu nggak salah, Sal. Akunya aja yang nggak siap. Aku udah tahu, moment ini pasti akan ada. Aku cuma belum siap aja, Sal," ujar Andro pelan.
"Di satu sisi, aku setuju dengan pemikiran para orang tua. Yang kamu butuhkan menjelang kelahiran anak kita itu bukan cuma aku, tapi keluarga, keamanan, kenyamanan. Dan aku tahu banget, melahirkan di Surabaya akan jauh lebih baik buat kamu, Sal. Tapi aku...."
Andro berhenti bicara. Bahunya berguncang pelan, naik turun. Dia terisak.
"Aku takut nggak bisa nemenin kamu, Sal. Aku takut kehilangan kamu, Sal. Setiap hari aku selalu dihantui kekuatiran soal itu, Sal. Aku takut kamu kesakitan. Aku takut kamu nggak kuat. Aku takut, Sal. Aku takut.
"Melahirkan itu sesuatu yang nggak bisa diprediksi, Sal. Bisa selamat dua-duanya, bisa kehilangan salah satunya, atau paling buruk bisa...."
Andro membalik badan. Memeluk Salma sambil menumpahkan semua perasaan, ketakutan, dan air mata.
"Aku sayang kamu, Sal. Aku belum bisa berbuat banyak buat kamu. Aku belum bisa membahagiakan kamu dengan tanganku sendiri. Dan aku takut aku nggak punya lagi kesempatan untuk itu, Sal.
"Aku takut kehilangan kamu, Sal. Aku belum bisa membalas semua kebaikanmu, semua pengorbananmu, semua maafmu. Aku takut, Sal. Aku takut."
Salma terharu. Tentu saja dia juga ingin ditemani Andro saat melahirkan nanti, tapi keselamatannya jauh lebih penting, dan berada di Surabaya dikelilingi banyak sanak kerabat tentunya lebih memungkinkan untuk itu.
"Ada Allah, Mas. Seperti kita tahu bahwa Allah sesuai prasangka hamba-Nya, jadi kita berpikirnya yang baik-baik aja. Insya Allah Sal kuat, baby juga kuat, apalagi papanya, harus jadi yang paling kuat.
"Sal juga ikut kata Mas aja. Kalau Mas maunya Sal di sini, melahirkan di sini, insya Allah Sal siap. Kan ada ibu. Ibu juga bisa nyetir kok, punya SIM A juga, jadi kalau perlu ke rumah sakit pas Mas nggak ada di rumah, insya Allah tetap aman.
"Yang penting kita selalu husnuzon sama Allah bahwa apapun yang terjadi adalah yang terbaik menurut-Nya. Doa kita yang harus ditambah dan didetailkan, keyakinan dan harapan kita akan hal-hal baik juga harus ditingkatkan.
"Sal sayang sama Mas. Insya Allah kita akan bersama-sama lebih lama lagi. Sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun, berpuluh-puluh tahun lagi, sampai salah satu dari kita kembali kepada-Nya.
"Udah ya, Mas jangan sedih gini. Jangan mikir yang serem-serem. Kalau Mas maunya Sal di sini, Sal akan di sini."
Andro menenangkan diri, mencerna kalimat demi kalimat yang diucapkan Salma. Dikesampingkan dulu egonya. Keselamatan Salma dan bayi mereka tentu jauh lebih penting dari keinginan pribadinya.
"Kalau di Surabaya, kamu nggak apa-apa?"
"Di manapun, asal Mas ikhlas dan ridho sama Sal." Tentu saja Salma tidak apa-apa. Surabaya adalah kota yang dia cintai.
"Oke. Besok pagi kita bicara lagi sama mama, papa, dan ibu. Kamu melahirkan di Surabaya, tapi ke sananya nanti, dua hari sebelum HPL, dan harus pakai mobil yang nyaman."
"Mas jangan lebay, deh. Mobil kita udah paling nyaman, asal ada Mas nemenin Sal di perjalanan."
"Udah pinter ngegombalin aku ya sekarang. Sinau seko ngendi arek ayu iki?"
"Sinau seko bojoe, lah. Udah ah, ayo tidur. Sal ngantuk banget."
Salma menarik selimut, Andro menurunkan suhu pendingin udara ke suhu paling rendah. Keduanya berpelukan, mengarungi malam dengan penuh kehangatan dan ketenangan.
***
Hawa segar menyusup ke pori-pori. Andro berjalan bersama papanya usai berjamaah subuh di masjid. Obrolan ringan mewarnai langkah keduanya.
"Nggak kerasa ya, Ndro, hampir setahun lalu kita ngobrol di pinggir lapangan sebagai dua orang laki-laki dewasa. Dulu masih ngelak terus kalau papa bicara tentang Salma, sekarang malah udah jadi bucin. Papa kira waktu berjalan lambat mengiring dalam titian takdir hidupku---"
"Memangnya lagunya Padi? Please deh, Pa, nggak usah lawak." Papanya terkekeh.
"Alhamdulillah, banyak sekali kebahagiaan yang hadir dalam kehidupan kita ya, Ndro. Maafkan papa ya, Nak. Maafkan semua kesalahan papa ke keluarga kita.
"Sebentar lagi kamu juga akan jadi papa. Tolong jangan ulangi kesalahan papa ya, Ndro. Apapun, jika itu sudah Allah larang untuk didekati, maka jauhilah. Kalau untuk kita kaum pria, salah satu yang harus dijauhi tentu saja adalah wanita, siapapun, yang bukan mahram bagi kita. Baik dari masa lalu maupun yang datang di masa depan. Papa berharap, kamu---"
"Udah cukup, Pa. Dari dulu dan sampai kapanpun Andro nggak suka dengan topik ini. So please, nggak usah dibahas lagi. Insya Allah tanpa Papa pesan juga Andro akan selalu ingat betul setiap kesakitan yang didapatkan mama, Andro, dan Mbak Rea atas apa yang dilakukan Papa. Dan Andro nggak akan melakukan itu kepada keluarga Andro."
"Oke. Kita cukupkan. Oh ya, yang semalam sudah kamu pikirkan, Ndro?"
Andro menarik napas dalam, menghirup udara pagi nan menyegarkan.
"Udah, Pa. Sebenernya Andro juga memikirkan hal yang sama. Sal akan lebih aman, nyaman, dan senang di sana, dikelilingi orang-orang yang sayang sama kami. Andro cuma bingung karena di satu sisi Andro juga pengen ada di samping Sal waktu Sal melahirkan nanti. Tapi ya sudahlah, nggak apa-apa Sal di Surabaya, yang terpenting Sal dan anak kami sehat dan selamat.
"Kami udah sepakat untuk menambah doa, Pa, agar Allah kasih kesempatan Andro nemenin Sal waktu melahirkan. Tapi ya semuanya kami kembalikan sama Yang Kuasa. Intinya apapun kejadiannya nanti, itulah takdir terbaik. Eh, ya walaupun Andro masih sering kuatir berlebihan juga, sih." Andro meringis.
"Nggak apa-apa, Ndro. Itu sesuatu yang wajar."
Antariksa sudah pernah mengalami itu semua. Dua kali. Sebenarnya tiga, tapi yang terakhir sudah dicoret dari ingatannya.
Kelahiran Rea agak drama, tapi bukan Utami Wulandari kalau tidak bisa melewati dengan keyakinan dan kekuatan. Kelahiran Andro malah tanpa drama sama sekali, hingga Antariksa nyaris tak bisa menemani, meski akhirnya ada di samping Utami.
Menyaksikan sendiri proses kelahiran kedua anaknya membuat Antariksa sadar, melahirkan itu bertaruh nyawa. Maka sejak kelahiran Rea, keluarga menjadi prioritas utama bagi seorang Antariksa.
"Papa yakin Salma kuat. Dia sama seperti mamamu, Ndro. Tapi papa juga berharap kamu ada di sisi Salma saat melahirkan anak kalian nanti. Papa ingin kamu tahu bagaimana susah payahnya melahirkan penerus nasab kita.
"Perempuan itu makhluk kuat, Ndro. Papa pernah baca, sakitnya melahirkan itu seperti dua puluh tulang patah bersamaan, tapi perempuan bisa melaluinya, bahkan dengan perasaan bahagia. Lalu mengulangnya lagi, dua kali, tiga kali, bahkan belasan kali.
"Tapi tidak untuk sakitnya pengkhianatan, Ndro. Jangankan mengulangi, bertahan saja sudah sesuatu yang sangat terpaksa untuk dijadikan pilihan."
"Oke, Pa. Andro paham, nggak usah dipanjanglebarin lagi. Tapi, Pa..., ini kita udah jalan berapa putaran ya?"
Andro berhenti dan melihat sekitar. Keduanya lalu terbahak. Obrolan panjang lebar membuat mereka tak sadar blok menuju rumah sudah jauh terlewati.
Sampai di rumah, Salma, Utami, dan Dita terpingkal-pingkal mendengar cerita kekonyolan Andro dan papanya.
"Jadi kesimpulannya bagaimana, Ik?" tanya Utami kemudian. Dia sudah hafal, obrolan serius tak akan terjadi di meja makan. Suami dan anaknya sudah menyelesaikan semua di jalan. Tinggal hasil akhir saja yang akan Antariksa sampaikan.
"Intinya Andro siap melepas Sal ke Surabaya dan melahirkan di sana, Ma." Andro yang menjawab.
"Tapi jangan sekarang. Nantilah, dua hari sebelum HPL. Terus kalau Sal terpaksa melahirkan tanpa Andro di sana, Andro maunya bisa nemenin via video call, entah gimana caranya."
"Oh, soal itu tenang, Ndro. Mama sudah siapkan fasilitas terbaik. Kamar, dokter obsgyn perempuan, dokter anak, semua yang terbaik. Malah nanti pas Salma melahirkan, nggak cuma kamu yang boleh nemenin, tapi mama dan Dita juga."
"Lah, kok bisa?"
"Hemm, jangan panggil Utami Wulandari kalau mengusahakan yang seperti itu saja nggak bisa." Mamanya menepuk dada dengan jemawa.
Sesekali memang perlu menyombongkan diri di depan anak laki-lakinya, tanpa si anak perlu tahu kalau mamanya telah melobi seorang teman yang memiliki rumah sakit besar, juga membayar semua fasilitas terbaik dengan menyumbang satu mobil ambulance.
***
Maafkan, updatenya sedikit molor ke hari Jum'at. Semalam lagi ngedit, si anak kicik minta ditemenin bobo. Terus ya seperti yg sudah-sudah, emaknya ikut merem dah.
2,8K words. Panjang juga ternyata. Padahal kutulis di sela-sela mesin cuci menggiling baju. Wkwk.... Sekarang aku apa-apa sendiri, nggak ada asisten lagi, tapi aku justru senang soalnya ngurus sendiri lebih bisa mengekspresikan diri. Halah. Eh ya walaupun waktu menulis jadi berkurang, sih.
Baiklah. Semoga kita semua selalu sehat dan bahagia. Andro Salma insyaAllah 2-3 part lagi. Udah panjang banget dan mbulet di situ-situ aje. Pusing eike. Wkwk...
See you :)
Semarang, 08072022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top