62. Pertanyaan

Ujian tengah semester di depan mata, tapi kesibukan Andro masih belum mereda, malah makin menjadi saja.

"Ndro, nebeng boleh, dong?" pinta Asya. Mereka berpapasan di depan perpustakaan.

"Nebeng ke mana?"

"Mau ke rumah Luli, nih. Suami lagi ada seminar bareng Pak Iqbal, jadi nanti jemput akunya di sana."

"Oh, oke. Aku ambil mobil dulu, kamu tunggu aja di depan."

"Sip." Asya mengacungkan jempol, tak lupa mengucapkan terima kasih pada sahabatnya.

Tak butuh waktu lama, Andro sudah memacu mobilnya meninggalkan area parkir. Pelan saja. Kemudian berhenti mendadak saat sampai di tikungan dekat gedung satu. Asya tidak sendirian, ada Zulfa dan seorang bayi di gendongannya.

"Astaghfirullah," gumam Andro. Keberadaan Zulfa sama sekali tak ada dalam bayangannya. Apalagi dia bertemu Asya di depan perpustakaan, sendirian, dan sudah sore pula.

Tak hendak menduga-duga tentang alasan Zulfa ada di sana, pikirannya bekerja secepat kilat untuk mencari jalan keluar terbaik, terutama untuk dirinya.

"Yud, di mana?" Wahyudi menjadi orang pertama yang Andro harap bisa menolongnya.

"Parkiran. Arep balik nang kos. Piye?"

"Aku di tikungan deket gedung satu. Please, kamu ke sini sekarang, kujelasin kalau udah di sini."

"Sip. Meluncur saiki." Andro lega. Solusi bagi satu masalah sudah ada di depan mata.

Begitu Wahyudi tiba, Andro segera menjelaskan kondisinya dan meminta Yudi menggantikannya mengantar Asya. Tentu saja Wahyudi menyanggupi. Mereka bertukar kendaraan. Andro membawa sepeda motor butut milik sahabatnya, Wahyudi membawa mobil Andro dan akan langsung ke rumah Andro setelah mengantar Asya dan —tentu saja— Zulfa.

Andro lega. Memacu sepeda motor butut dengan wajah bahagia. Tak peduli pada anggapan Asya nanti, itu bukan urusannya. Satu-satunya yang dia pikirkan adalah menjaga perasaan Salma.

Tak jauh dari kampus, Andro berbelok ke salah satu gerai ayam goreng bermerek internasional. Salma jarang sekali mau makan beginian, tapi 'ungkapan terima kasih untuk Wahyudi' bisa dijadikan alasan. Andro memang berniat mengatakan yang sebenarnya pada Salma, nanti, saat Yudi mengantarkan mobilnya.

Sayang sekali, Salma yang baru pulang jalan-jalan naik motor dengan ibunya keburu melihat mobil Andro berbelok ke blok yang bukan arah rumah mereka. Dan Salma tahu ada rumah siapa di blok itu.

"Mas Andro mau ke mana itu, Sal?" tanya Bu Dita.

"Nggak tahu, Bu. Ke rumah mantannya mungkin." Ada sedikit kesal bercampur kekhawatiran. Hatinya mendadak nyeri.

"Huss, jangan sembarangan lho kalau bicara. Mas Andro sudah baik banget sama kamu, Nak. Sudah nggak pernah berurusan lagi soal itu. Ibu saja percaya, masa kamu yang istrinya malah meragukannya."

"Iya, Bu. Maaf. Sal nggak tahu mas mau ke mana. Sal cuma tahu kalau di blok situ ada rumahnya Mbak Zulfa."

"Yang penting kamu tetap sabar, jaga prasangka baik, jangan langsung marah."

"Insya Allah. Sal nggak marah kok, Bu. Ya mungkin memang ada keperluan mendesak sehingga mas harus ke sana." Salma mencoba menjaga prasangka. Dia yakin suaminya akan menceritakan kejadian sebenarnya tanpa perlu dia tanya.

Sebelum masuk rumah Bu Dita menghela napas panjang, membatinkan doa agar anak dan menantunya dijauhkan dari ketidaksabaran serta kesalahpahaman.

Andro datang tak sampai lima menit kemudian. Salma menyambutnya biasa saja. Sedikit protes ketika melihat Andro menenteng paperbag berlogo fast food ternama.

"Sal masak, Mas. Kenapa beli kayak gituan segala? Mas bosan kah sama masakan Sal?" Andro sudah menduga. Dia hanya tersenyum saja.

"Buat Yudi, Sal. Dia udah bantuin aku, jadi nggak ada salahnya kan aku beli ini sebagai ucapan terima kasih?"

"Mas Wahyudi bantuin apa?"

"Nanti deh, kalau dia udah di sini kita temuin bareng. Sekalian aku jelasin."

"Tapi kenapa beli ayamnya banyak banget, Mas?"

"Iya, Sal. Aku beli agak banyakan, sebagian buat kita. Sesekali makan ginian nggak apa-apa lah, Sal. Bagianku kulitnya buat kamu, deh. Kamu pasti suka, kan? "

"Iya, suka. Tapi zaman di panti dulu makan begituan nggak mesti sebulan tiga kali alias jarang sekali. Itu aja kadang satu dibagi-bagi dan Sal sebagai yang paling besar harus selalu ngalah, dapatnya bagian-bagian yang nggak favorit."

Salma tertawa sumbang, binar di matanya meredup. Ayam goreng itu selalu membuatnya teringat akan kehidupannya dulu, dan bicara tentang kehidupan di panti selalu membuatnya mengharu biru.

"Nanti kalau kita pulang ke Surabaya, kita beli yang banyak buat adik-adik di panti ya, Sal. Oke?" Salma mengangguk. Andro mengacak rambut istrinya.

"I love you, Sal. Aku sedih kalau lihat kamu sedih. Jangan ya, nanti anak kita ikut sedih."

"Kalau papanya yang bikin Sal sedih, gimana?"

"Aku? Aku kenapa memangnya? Aku ada salah apa? Ayam goreng ini?" Andro mendadak bingung. Salah apa lagi dirinya?

"Emm..., Sal tadi lihat Mas belok ke---"

Ting tong.

Suara bel menyela pembicaraan mereka.

"Oke, aku tahu apa yang ada di pikiranmi. Itu Yudi, Sal. Pakai jilbab dan kaus kakimu, kita bareng-bareng bukain pintu. Aku nggak tahu kamu habis dari mana, tapi aku tahu ini ada kesalahpahaman apa."

Salma bergegas masuk kamar. Di sana dia mulai menduga-duga, sambil mengenakan jilbab dan kaus kakinya. Tak lupa menambahkan outer sepanjang lutut yang membuatnya lebih nyaman menemui tamu.

Wahyudi berdiri di depan pintu. Salma melihat mobil suaminya diparkir agak ke belakang. Ada sepeda motor butut yang dia tahu milik Wahyudi.

Ketiganya duduk. Andro menjelaskan pada Salma kejadian sebenarnya. Mulai dari pertemuannya dengan Asya di depan perpustakaan, sampai saat dia mengetahui bahwa Asya tidak sendirian.

"Aku sama sekali nggak nyangka kalau Asya nggak sendirian, Sal. Harusnya dia nggak ngerjain aku gitu, wong dia tahu gimana ceritanya dulu. Aku ya kesel, tapi sekaligus nggak tega. Untungnya aku lihat mereka pas masih di tikungan, jadi mereka nggak lihat aku. Langsung deh aku telpon Yudi. Untungnya lagi Yudi masih di parkiran, belum jalan pulang."

Andro menjelaskan, disusul oleh Wahyudi yang meluruskan cerita sebenarnya.

"Iya, Mbak Salma, memang begitu ceritanya. Andro nggak sengaja, kok. Tapi Asya juga nggak ngerjain Andro, sih. Asya sendiri nggak tahu kalau iparnya ada di kampus karena memang acaranya di luar urusan akademis. Dia diminta sama Pak Iqbal menemui dosen, bu siapa gitu, saya lupa. Tadi di jalan mereka jelasin.

"Oh iya, Asya nitip salam untuk Mbak Salma. Minta dimaafkan atas kejadian tadi. Emm, adik iparnya Asya juga minta maaf kalau membuat semuanya jadi nggak nyaman."

Wahyudi tak enak hati menyebut nama Zulfa di hadapan Salma. Seperti yang pernah sahabatnya bilang, sebisa mungkin tidak menyebut nama Zulfa di depan istrinya.

Tapi kan aku bukan suaminya Salma, apa perluku menghindari menyebut nama Zulfa? batin Wahyudi. Dia tertawa sendiri, tentu saja cuma dalam hati.

"Udah, ah. Case closed. Kita makan sore, yuk."

Andro menggandeng Salma, lalu bertiga menuju meja makan. Bu Dita sudah ada di sana, makanan sudah pula tertata. Mereka menyantap ayam goreng sambil mengobrol ringan. Topik tentang Leticia sempat mengudara, tapi segera dialihkan oleh Andro sebagai balas budi atas kebaikan sahabatnya sore ini.

Menjelang pukul lima Wahyudi berpamitan. Andro menyodorkan sekantong ayam goreng untuk dibawa pulang.

"Gak usah repot ngene iki lah, Ndro. Aku ikhlas ngrewangi. Sumpah."

"Gak repot, Cuk. Nek kon gak gelem yo ben dipangan Hars karo Yonatan." Andro menyebut nama dua teman teknik sipil yang tinggal satu indekos dengan Wahyudi.

"Eh, yo gelem lah. Rugi nemen nek ora gelem. Ngko tak pangan bareng cah-cah wis. Suwun yo, Ndro."

"Wuuu. Kon kok gak gelem panganan enak. Impossible."

Salma dan ibunya tertawa melihat keakraban mereka. Kalau saja punya kuasa untuk menentukan masa depan seseorang, Salma dan ibunya sepakat untuk memilih Wahyudi menjadi bagian dari keluarga besar Opa Johan.

Di kamar, Andro kembali meminta maaf pada Salma. Salma tak bersedia, sebab menurutnya Andro tak punya salah apa-apa.

"Sal percaya sama Mas, sama Mas Wahyudi juga, dan Mbak Asya. Berapa kali harus Sal ulangi? Mas nggak amnesia, masih ada di kampus yang sama juga. Nggak apa-apa sih, yang penting Mas udah berusaha membuktikan ke Sal, itu udah cukup.

"Sal nggak mau jadi orang yang nggak bersyukur dengan menyimpan kecurigaan yang berlebihan. Kayak tadi, sekalinya suuzon langsung dijawab sama Allah lewat Mas Wahyudi.

"Alhamdulillah ada ibu juga. Tadi Sal habis mandi terus jalan-jalan naik motor sama ibu, nggak jauh sih, cuma sampai gerbang kompleks aja, terus ibu beli tanaman. Pas jalan pulang, Sal lihat mobilnya Mas belok ke Madina satu. Sal ingat, Mas pernah nunjukin rumah mbaknya di blok situ. Sal udah sedih aja, tapi ibu mengingatkan Sal untuk menjaga prasangka baik. Ibu juga mengingatkan supaya Sal nggak langsung marah kalau Mas pulang nanti, gitu."

Andro menyimak penjelasan istrinya yang berapi-api. Sesekali mulut Salma mengerucut, kadang pula matanya mengerjap-kerjap. Andro jadi gemas.

"Berarti aku harus berterima kasih sama ibu, nih." Andro beranjak, cuma mencandai Salma saja.

"Ya tapi nggak sekarang juga kali, Mas? Kan nanti masih ada waktu."

Salma tak rela ditinggalkan. Ditariknya lengan suaminya sekuat dia bisa. Andro terkekeh. Memeluk Salma erat dan hangat.

"Kamu kangen aku ya, Sal?"

"Banget. Mas sih sibuk terus, sampai nggak pernah sempat manja-manjain Sal."

"Dih, masa sih?" Salma cemberut, mencubit kecil lengan suaminya.

"Ya udah, malam ini aku milikmu."

"Lah kemarin-kemarin sama besok-besok bukan miliknya Sal, gitu?"

"Kamu kalau udah manja gini gemesin banget deh, Sal. Minta diunyel-unyel."

"Ya udah, ayo unyel-unyel. Mumpung maghribnya masih agak lama."

Tak perlu disuruh dua kali, Andro sudah sangat mengerti apa yang mesti dia lakukan. Sesuatu yang sangat dia sukai dan tak mungkin akan dia lewatkan.

Keduanya keluar dari kamar dengan wajah segar bugar. Bu Dita yang sedang menonton televisi menyambut anak-anaknya dengan senyum lebar. Adzan maghrib di layar kaca baru saja usai. Andro segera berangkat ke masjid, Salma memimpin ibunya salat berjamaah di rumah. Setelahnya mereka bertiga berbincang santai di ruang keluarga.

Belum tiba waktu isya, gawai Andro berdering-dering. Salma mengambilkan, nama TS Wahyudi Yudi terpampang di layar.

"Assalamualaikum. Piye, Cuk? Wis kangen aku, ta?"

"Waalaikumussalam. Hush, iki telpone serius. Ono berita lelayu, Ndro. Ibunya Hars kecelakaan dan meninggal. Iki cah kos jik do nggolekke mobil nggo ngeterke nang Kudus."

"Innalillahi wa innailaihi rojiun. Tak terke, Yud. Ngomongo Hars kon siap-siap, ngenteni isya sisan, terus jak mangan sik. Bar isya awak dewe meluncur. Cah-cah opo cah kosmu nek arep melu yo ayo. Papat meneh yo."

"Alhamdulillah. Sip, Ndro. Langsung tak sampekke Hars karo cah-cah liyane."

"Aku tak ngabari nang grup kelas, Yud. Mari iku siap-siap. Tak ngomong bojoku sik."

Salma yang ikut mendengar percakapan bergegas membantu menyiapkan apa yang sekiranya perlu dibawa. Sebenarnya ada sedikit kecewa, tapi dia tahu keadaan, justru bersyukur karena punya suami yang selalu berusaha membagi kebaikan pada orang lain.

"Maaf ya, Sal, belum jadi manja-manjain kamu lagi. Malam ini tidur sama ibu, ya. Aku belum tahu info pemakaman dan lainnya, jadi belum tahu juga nanti langsung pulang apa sekalian bablas sampai besok. Nggak apa-apa kan, Sal?"

"Iya, nggak apa-apa, Mas. Nanti biar ibu ngelonin Sal. Jarang-jarang ada kesempatan juga, kan?" Padahal bukan jarang, tapi tidak pernah.

"Thanks ya, Sal, udah selalu memahami aku." Andro mendekap Salma erat. Meminta maaf sekali lagi, lalu memberi beberapa kecupan sebagai pamitan.

Jadilah malam itu Salma tidur bersama ibunya. Banyak hal mereka obrolkan, dari soal Andro, mama papanya, sampai Wahyudi dan Leticia. Tanpa terasa malam merayap makin tua.

"Ibu, kalau bapaknya Sal..., siapa?" Salma sendiri tak tahu, tapi pertanyaan itu tiba-tiba saja melintas dan terlepas.

"Sudah malam, Nak. Ibu diminta Mas Andro menjaga kamu. Tidur, ya?"

"Memangnya Ibu benar-benar nggak tahu, ya? Kan pasti ada mirip-miripnya sedikit sama siapa gitu."

Bu Dita mengambil napas panjang, hatinya berdebar tak keruan. Selama ini Salma hampir tak pernah menanyakan soal ini. Walau begitu Bu Dita yakin, suatu saat pasti akan terjadi.

"Ya, Nak. Ada. Mungkin dia. Maafkan ibu ya, Nak."

"Nggak apa-apa, Bu. Salma sudah memaafkan dan menerima semua masa lalu kita. Sal bersyukur dan berterima kasih sekali sama Ibu. Cuma....

"Apa dia..., maksudnya bapaknya Sal, apa masih hidup, Bu?"

"Ibu kurang tahu, Nak. Ibu sudah menutup dan meninggalkan semua masa lalu ibu. Tapi kalau memang Salma ingin tahu, nanti ibu coba cari tahu."

Bu Dita berniat mencari tahu melalui media sosial. Mungkin nanti bisa meminta Andro untuk mengajarinya, atau bertanya pada Google saja. Sementara ini dia tidak pernah menyentuh apalagi menggunakan media sosial apapun. Tidak tertarik dan tidak ingin. Dia takut media itu akan menjadikannya bersinggungan dengan masa lalu yang telah dia kubur dalam-dalam jejaknya.

"Bukannya Ibu sudah nggak punya kontak teman-teman Ibu dulu?"

"Nanti coba ibu cari di Facebook atau semacamnya itu."

Salma terkekeh. "Sal aja nggak main Facebook, Bu. Nanti Ibu jadi gaul, gimana? Ibu masih cantik dan belum tua-tua amat, lho. Nanti kalau malah ada yang naksir Ibu, terus ngelamar Ibu, gimana?"

Ibunya tertawa getir. Pertanyaan Salma tadi masih mengganggu pikirannya. "Nggak lah. Ibu sudah nggak mikirin itu semua. Sekarang yang paling penting buat ibu adalah kamu, Nak, dan sebentar lagi cucu ibu. Ibu mau fokus menemani anak dan momong cucu saja."

Salma terharu, memeluk ibunya, dan berbaring dalam dekapan hangat yang baru kali ini ia rasakan. Keduanya menangis, larut dalam keharuan, kemudian hanyut pada mimpi yang indah.

***

Bakda zuhur Andro tiba dari Kudus. Dia dan banyak teman sekelasnya mengikuti hingga usai pemakaman. Salma menyuruhnya segera mandi, makan, dan beristirahat.

"Sal."

"Ya?"

Andro baru akan beristirahat, Salma menemaninya.

"Maaf ya."

"Untuk apa?"

"Tadi ada dia juga di sana. Sama suaminya. Hars kan asisten praktikumnya Pak Iqbal."

"Oh."

"Iya. Aku bilang ke kamu sekarang, daripada nanti kamu lihat Asya atau Wahyudi update status foto-foto waktu di sana tadi, terus ngebatin lagi kayak kemarin."

"Nggak apa-apa, Mas. Santai aja. Terima kasih udah kasih tahu Sal dari sekarang."

Andro menyelipkan lengannya ke bawah leher Salma, lengan satunya lagi melingkari perut buncit istrinya.

"Semalam jadi tidur sama ibu?"

"Iya, jadi. Terus Sal tanya tentang bapaknya Sal."

"Ehk." Andro kaget. Detik berikutnya mencoba bersikap biasa.

"Kayak gitu ditanyakan buat apa lagi, Sal? Bukannya kamu malah membuka luka lama dan menyakiti hati ibumu?" Sebisa mungkin Andro menjaga intonasi agar tidak memancing emosi Salma.

"Apa Sal salah kalau Sal ingin tahu, Mas?"

"Ya tapi buat apa, Sal? Cuma tahu aja, kan? Habis itu juga udah. Selesai. Nothing."

"Mas nggak pernah lihat berita apa gimana, sih!"

Benar dugaan Andro, istrinya emosi. Dia sendiri mengamati dan merasa, semakin besar perut Salma, semakin tinggi pula sensitivitasnya. Andro paham dan tak pernah mempermasalahkan sama sekali, menurutnya semua masih bisa ditolerir.

"Sesekali lihat berita atau nonton Youtube deh, Mas. Ada banyak anak-anak yang diadopsi dari panti, bahkan dibawa tinggal di Eropa sana. Pas tahu kalau anak angkat, sebagian besar dari mereka ingin tahu siapa orang tua kandungnya. Dan sebagian lagi benar-benar mencari tahu sampai ketemu."

"Ya tapi, Sal, nggak semua yang nasibnya sama harus kita tiru kan, Sayang? Mungkin mereka kurang bahagia hidupnya, jadi mencari-cari sesuatu yang menurut mereka bisa bikin mereka bahagia. Kamu kan nggak seperti itu. Kamu bahagia kan, Sal? Atau aku belum bisa bikin kamu bahagia sampai harus mencari-cari yang nggak seharusnya kamu cari?" Masih tetap datar Andro berujar.

"Mas nggak pernah ada di posisi Sal. Mas nggak pernah tahu rasanya. Mas dari lahir sampai sekarang selalu dilimpahi kebahagiaan. Hidup Mas selalu lengkap, enak, mudah."

"Tapi papaku pernah berselingkuh dan menikahi pelacur, Sal. Kurang aib apa lagi?"

"Jangan lupa, Mas. Sal malah lahir dari seorang ibu yang juga melacur. Yang bahkan nggak tahu Sal terlahir dari laki-laki yang mana."

Salma sampai duduk saking emosinya. Andro memeluknya, membawa Salma pada posisi semula.

Hening. Andro membenarkan kata istrinya, kalau mau susah-susahan hidup, malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya, begitu kata Mbak Dewi Lestari.

"Oke, Sal. Aku kalah kalau soal hidup yang lebih susah. Tapi aku masih heran, kenapa kamu harus menanyakan itu kalau kamu sendiri tahu bahwa ibumu nggak ngerti siapa bapakmu?"

"Tapi ibu bisa menduga, Mas. Ada bagian dari wajah Sal yang mirip dengan salah satu laki-laki dari masa lalu ibu. Ibu sendiri bilang begitu."

"Astaghfirullah hal adzim. Salma, kamu kelewatan, Sayang. Itu menyakiti hati ibu, Sal. Sudahlah. Kurasa sudah cukup yang kita miliki sekarang ini. Ada papa mama, ada ibu, ada oma, Tante Sara dan keluarganya, ada bude, tante, dan sepupu-sepupuku yang juga menyayangi kamu, menyayangi kita. Dan sebentar lagi akan ada anak kita."

Andro tak tahan lagi, kali ini emosinya meninggi. Lalu dia sadar dan mengembuskan napas kasar. Dalam hati merapal beberapa kali istighfar. Diusapnya perut buncit Salma. Bayi di dalam sana bahkan sudah aktif menendang-nendang perut mamanya, seperti tak sabar untuk segera bertemu dengan orang-orang yang menyayanginya.

"Baby masih lincah kayak papanya kan, Sal?"

"Hemm." Salma mengubah posisi memunggungi sang suami.

"Aku minta maaf kalau pendapatku harus berbeda sama kamu, Sal. Kumohon, hentikan keingintahuanmu. Bilang ke ibu kalau kamu nggak jadi ingin tahu siapa bapakmu. Tahu juga buat apa, Sal? Pernikahan kita tetap sah, karena siapapun bapakmu, dia nggak ada hak menjadi wali. Hak waris juga kamu nggak ada. Kewajiban menafkahi kamu juga dia nggak punya. Tahu sekadar tahu ya buat apa, Sal? Aku nggak mau kalau itu malah makin menyakiti hati kamu."

Andro memeluk Salma yang terisak-isak, kemudian melanjutkan bicaranya dengan lebih lembut. Emosi Salma memang agak meledak-ledak. Salma juga ekspresif dan lebih agresif. Andro memaklumi, adalah wajar jika kehamilan mempengaruhi emosi dan kebiasaan seorang perempuan. Memang tidak semua, tapi Salma salah satunya.

"Maafkan aku, Sal. Semalam ibu bilang apa waktu kamu tanya tentang ini semua?"

"Ibu mau cari tahu dulu lewat media sosial, kalau ketemu nanti Sal dikasih tahu. Ibu juga nggak marah atau emosi, kok. Kami bicara ya biasa saja, Sal nggak sampai ngotot meminta ke ibu, ibu sendiri yang mengiyakan tanpa perlawanan."

"Oke, Sal. Tapi setahuku, sejak bertaubat dan memilih jalan yang sekarang, ibu sudah meninggalkan masa lalunya dan nggak pernah menyentuh soal itu lagi. Ibu juga nggak pernah main sosial media. Ganti HP yang ada kameranya juga setelah ketemu kamu, karena pengen bisa mandangin wajah anaknya yang cantik banget ini.

"Kamu ingat kan, pernah cerita ke aku bahwa kamu bersyukur banget ibu meninggalkanmu pada Bu Miska?"

"Hemm."

"Ya sudah, itu saja yang harus selalu kamu jaga. Rasa syukurmu atas semua yang terjadi di masa lalu. Yang sekiranya nggak ada manfaat dan pengaruhnya buat masa depan, maka tinggalkan. Nggak perlu diingat lagi, nggak perlu dilihat lagi. Jadikan pelajaran dan pengalaman hidup aja.

"Coba aku tanya, kalau misal kamu udah tahu siapa bapakmu, terus kamu mau apa lagi setelahnya? Mau stalking sosmednya? Terus kalau ternyata dia bahagia dengan keluarganya, kamu jadi sedih atau sakit hati, gimana? Yakin kamu kuat menghadapi?"

Salma diam, mencoba meresapi perkataan suaminya. Masih sambil terisak, sesekali menghirup oksigen dalam-dalam dan melepasnya perlahan. Dia bimbang.

"Terus kalau Sal mau berubah pikiran, Sal harus bilang apa ke ibu?"

Andro meneriakkan hamdalah dalam hati. Diraihnya Salma untuk berbalik menghadapnya, lalu membenamkannya wajah Salma ke dadanya. Membiarkan perempuan yang dicintainya menumpahkan semua perasaan di sana, sampai Salma tenang dan bisa mengatur kembali napasnya.

"Bilang saja apa adanya, kalau kamu nggak jadi ingin tahu siapa bapakmu. Sekarang dan sampai kapanpun. Kamu punya aku, yang meskipun nggak bisa jadi bapakmu, tapi aku bisa jadi teman, sahabat, partner diskusi, kakak, adik, bahkan jadi musuh yang selalu siap kamu ajak berantem dan berdebat nggak jelas.

"So..., nggak penting siapa bapakmu, Sal, yang paling penting adalah siapa papanya anakmu. Ini lho, Angkasa Andromeda. Ganteng, pintar, bertanggung jawab, calon orang sukses, dan insya Allah selalu upgrade diri biar bisa jadi imam yang baik buat kamu dan buat anak-anak kita nanti."

Salma terkekeh. Dipandanginya wajah Andro dengan binar-binar bahagia. Lagi-lagi benar yang dikatakan suaminya, dia sudah punya segalanya, jadi..., untuk apa lagi mencari-cari sesuatu yang malah berpotensi merusak kebahagiaannya.

"Sal sayang sama Mas."

"I love you too, Salmaku. Sekarang, dan aku maunya sampai selama lama lama lama lamanya."

***

Alhamdulillah 3,2K words setelah beberapa kali Andro-Salma absen menyapa.

Seperti biasa, ceritanya dari sana, ke situ, terus ke sini, dan berakhir di sono. Wkwk...

Btw, izin bertanya dong, teman-teman. Kalau menurut kalian mending mana?
1. Update sedikit-sedikit tapi sering
2. Jarang update nggak apa-apa, tapi sekalinya update panjang

Yang jawabannya "sering update dan tiap partnya panjang" tolong maju ke depan, kaki kiri diangkat, tangan kanan pegang kuping. Kamu tak setrap! Hahaha...

Baiklah. Sampai di sini dulu ya. Maaf dan thank you utk semua-mua-muanya. *ketularan Andro

See you :)

Semarang, 27062022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top